ELISA (singkatan bahasa Inggris: Enzyme-linked immunosorbent assay) atau 'penetapan kadar imunosorben taut-enzim' merupakan uji serologis yang umum digunakan di berbagai laboratorium imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall.[1] Fungsi ELISA adalah untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pelapor (reporter label).[2] Umumnya ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang menggunakan konjugat antigen–enzim atau konjugat antobodi–enzim, dan non-competitive assay yang menggunakan dua antibodi.[3] Pada ELISA non-competitive assay, antibodi kedua akan dikonjugasikan dengan enzim sebagai indikator. Teknik kedua ini sering kali disebut sebagai "Sandwich" ELISA.[4] Uji ini dilakukan pada plate 96-well berbahan polistirena.[5] Untuk melakukan teknik "Sandwich" ELISA ini, diperlukan beberapa tahap yang meliputi:
Uji ini memiliki beberapa kerugian, salah satu di antaranya adalah kemungkinan yang besar terjadinya hasil false positive karena adanya reaksi silang antara antigen yang satu dengan antigen lain.[8] Hasil berupa false negative dapat terjadi apabila uji ini dilakukan pada window period, yaitu waktu pembentukan antibodi terhadap suatu virus baru dimulai sehingga jumlah antibodi tersebut masih sedikit dan kemungkinan tidak dapat terdeteksi.[9] Sebagai kadar analisis biokimia dan teknik "lab basah", ELISA mengidentifikasi kehadiran suatu analit dalam sampel yang berbentuk cair.[10][11] Analit ini terus menerus digunakan oleh reagen yang tetap cair selama analisis.[12] Reagen ini juga akan tetap berada pada ruang reaksi atau plat untuk menjaga reaktan agar tidak tumpah.[13] Hal ini kontras dengan teknik "lab kering" yang menggunakan strip kering. Walaupun sampelnya merupakan cairan, analisisnya tetaplah kering. Contohnya adalah seperti menggunakan reflektometri.[14] Sebagai kadar heterogen, ELISA membagi beberapa komponen dari campuran reaksi analitis dengan mengadsorpsi beberapa komponen reaksi menjadi fase padat yang secara fisik terimobilisasi.[15] Pada ELISA, sampel cair ditambahkan ke dalam fase padat stasioner dengan sifat ikatan khusus dan dilanjutkan dengan ditambahkannya beberapa reagen cair, lalu diinkubasi, dan dicuci, sehingga dapat diamati perubahan optis (misalnya perubahan warna).[16] Perubahan warna inilah yang nantinya akan dianalisis.[17] Analisis kuantitatif biasanya mendeteksi intesitas cahaya yang tembus oleh spektrofotometri. Sensitivitas dari deteksi ini biasanya tergantung dari amplifikasi sinyal selama reaksi. Karena reaksi enzim diketahui mengamplifikasi sinyal dengan baik, sinyal yang dihasilkan oleh enzim ini akan memungkinkan kuantifikasi yang akurat.[18] Hal inilah yang memberi nama "taut enzim" atau enzyme linked pada ELISA. Konsentrasi warna ini akan berbanding lurus dengan konsentrasi analit. [19] Analit ini juga biasa disebut sebagai ligan karena akan mengikat secara spesifik pada reagen detektor, sehingga ELISA masuk ke dalam kategori kadar pengikatan ligan. Karena ELISA dapat digunakan untuk melihat adanya antigen atau antibodi dalam sampel, metode ini berguna untuk menentukan konsentrasi antibodi (seperti pada Tes HIV [20] atau pada skrining COVID-19 [21]). Selain itu, ELISA juga digunakan untuk mendeteksi alergen makanan yang potensial seperti susu, kacang, dan telur.[22] ELISA juga digunakan sebagai tes darah serologis untuk medeteksi penyakit seliak.[23] ELISA juga bisa digunakan pada toksikologi seabgai skrining awal untuk mendeteksi beberapa jenis obat-obatan.[24] ELISA adalah tes skrining pertama yang digunakan secara luas untuk HIV karena CDC mengatakan ELISA memiliki sensitivitas yang tinggi.[25] Selain itu, ELISA memiliki sensitifitas 84.2% untuk mendeteksi antibodi yang melawan SARS-CoV-2 pada populasi yang bergejala.[26] Metode ELISA untuk mendeteksi antibodi yang melawan COVID-19 Dalam ELISA, serum seseorang diencerkan 400 kali dan dioleskan ke pelat yang ditempeli antigen virus.[27] Jika antibodi terhadap virus ada di dalam serum, mereka mungkin mengikat antigen virus ini. [28] Pelat kemudian dicuci untuk menghilangkan semua komponen serum lainnya untuk mengurangi kemungkinan reaksi silang dengan komponen lain. Selanjutnya, sebuah "antibodi sekunder" yang disiapkan secara khusus — antibodi yang mengikat antibodi lain — kemudian dioleskan ke pelat, diikuti dengan pencucian .[29] Antibodi sekunder ini secara kimiawi terlebih dahulu dikaitkan dengan enzim.[30] Dengan demikian, pelat akan mengandung enzim dengan jumlah yang sebanding dengan antibodi sekunder. Enzim pada antibodi sekunder ini akan mengkatalisis perubahan warna atau flouoresensi yang nantinya akan diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Hasil ELISA dilaporkan sebagai angka; aspek paling kontroversial dari tes ini adalah menentukan titik "batas" antara hasil positif dan negatif.[31] Sebuah titik potong dapat ditentukan dengan membandingkannya dengan standar yang diketahui. Salah satunya adalah dengan membandingkan hasil ELISA suatu sampel yang sudah diketahui negatif dan yang sudah diketahui positif. [32]
|