Mengapa sebuah negara perlu mempunyai wirausahawan minimal 2% dari jumlah penduduk ?

Merdeka.com - Pemerintah terus menggenjot pertumbuhan wirausaha Indonesia sehingga bisa menjadi seperti negara maju yang pertumbuhan ekonominya dimotori oleh wiraswasta. Menteri Koperasi dan UKM, Syarif Hasan, mengatakan sebuah negara maju ialah negara yang memiliki 2 persen wirausaha dari jumlah penduduk. Maka dari itu pemerintah berusaha mencapai target tersebut.

Saat ini Indonesia hanya memiliki 1,56 persen wirausaha dari total penduduknya. "Amerika saja sekitar 12 persen, Jepang 10 persen, Singapura 7 persen. Kita masih jauh," tuturnya.

Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim juga mendorong mahasiswa untuk bercita-cita menjadi wirausahawan. Bukan hanya berambisi menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Menurutnya, sebagai PNS akan lebih sulit untuk bisa mencapai posisi puncak. Semisal Walikota, Gubernur, Menteri, bahkan Presiden. "Cita-cita saya seluruh mahasiswa Indonesia tidak lagi sebagai pencari kerja. Harusnya mereka jadi pengusaha. Program ini yang harus dimulai ketika mereka mahasiswa," ungkap Musliar.

Pemikiran bahwa menjadi PNS akan aman dari sisi finansial, menurutnya tidak benar. Justru sebaliknya, dengan menjadi pengusaha akan membawa hidup lebih aman dari sisi finansial untuk kehidupan di masa yang akan datang.

Namun, besarnya dorongan dari pemerintah berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Pertumbuhan jumlah wirausahawan nasional sangat kecil.

Apa sebetulnya hambatan dari pertumbuhan jumlah wirausaha? Tentu kita ingin mengetahui agar Indonesia bisa segera menjadi negara maju. Berikut merdeka.com mencoba merangkumnya.

2 dari 5 halaman

Mengapa sebuah negara perlu mempunyai wirausahawan minimal 2% dari jumlah penduduk ?
Try Out mahasiswa. ©2013 Merdeka.com/imam buchori

Wakil Rektor Universitas Indonesia Bambang Wibawarta mengakui, sistem pendidikan di Indonesia kurang sukses menanamkan kesadaran berwirausaha. Dampaknya, jumlah masyarakat berminat menjadi pengusaha sampai sekarang masih minim."Ada tidak di sistem pendidikan kita untuk menanamkan sifat berwirausaha sejak dini, di SD, di SMP, SMA. Jadi ini masih minim," ujarnya.Persoalannya, kurikulum 2013 dirancang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tak juga memasukkan materi kewirausahaan secara terpadu di pelbagai tingkat pendidikan."Wirausaha itu harus dibangun melalui budaya kita, hal itu kemudian didampingi dengan ilmu pengetahuan, sayangnya kurikulum 2013 yang baru ini masih belum jelas, kacau, apalagi mengenai ilmu kesenian dan budayanya," kata Bambang.

Akibat dari minimnya kesadaran berwirausaha, lulusan sekolah di negara ini, menurut Bambang kurang bermental baja dalam pekerjaan. "Lebih cenderung melahirkan orang-orang yang pandai membuat perencanaan dibandingkan orang yang tipe pekerja."

3 dari 5 halaman

Mengapa sebuah negara perlu mempunyai wirausahawan minimal 2% dari jumlah penduduk ?
ilustrasi orang kaya. shutterstock.com

Menteri BUMN Dahlan Iskan bercerita mengenai bagaimana menjadi seorang pengusaha sejati. Menjadi pengusaha harus siap mental dan tahan banting. Menurut Dahlan, para pengusaha pemula akan menemukan hambatan yang luar biasa di awal usahanya."Pengusaha pemula harus tahan banting yang luar biasa. Yang terbaik adalah tumbuh wajar kemudian ditekuni," kata dia.Menurut Dahlan, penyakit pengusaha pemula adalah ingin membesarkan usahanya secara instan. Menurut Dahlan, membesarkan usaha dengan instan akan membuat jatuh lebih sakit ketika dihantam suatu masalah."Penyakit yang terbesar adalah ingin cepat-cepat banyak bisnis dan cerita kepada temannya. Tidak boleh begitu, usaha itu harus tetap fokus," jelasnya.

Akibat dari sifat ini kebanyakan wirausaha gagal lalu menghilang.

4 dari 5 halaman

Mengapa sebuah negara perlu mempunyai wirausahawan minimal 2% dari jumlah penduduk ?
ilustrasi orang kaya. shutterstock.com

Menteri BUMN Dahlan Iskan, yang juga merupakan bos Jawa Pos Grup, menyarankan untuk para pengusaha pemula harus fokus menjalankan suatu usahanya dan tidak boleh bercabang dan ingin cepat kaya. "Kalau tidak fokus itu namanya musyrik wiraswasta masuk neraka juga yaitu gagal, bangkrut, macet," ucap Dahlan.Menurutnya, kelakuan seperti ini membuat wirausaha banyak mengalami kegagalan. Dahlan juga sedikit bercerita ketika dia masih muda dan menjalankan usahanya dari bawah dan harus bekerja keras. "Masih muda saya jam 3 pagi sudah di kantor lagi. Saya pulang jam 9 malam. Waktu itu saya masih muda. Habis-habisan fokus satu bidang saja," pungkasnya.

Seperti yang telah diketahui, Dahlan yang dulunya adalah wartawan majalah Tempo diberi tugas untuk menghidupkan kembali koran Jawa Pos yang telah mati. Waktu itu Dahlan baru berusia 31 tahun. Dahlan sukses menaikkan oplah surat kabar tersebut menjadi 300.000 eksemplar dalam waktu 5 tahun. Mulanya Jawa Pos hanya mempunyai oplah 6.000 eksemplar.

5 dari 5 halaman

Mengapa sebuah negara perlu mempunyai wirausahawan minimal 2% dari jumlah penduduk ?

PT Permodalan Nasional Madani menyatakan pelaku usaha mikro kecil (UMK) harus cerdik dalam melihat peluang dan mampu berinovasi mengikuti perubahan zaman. Semua itu diperlukan di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat di semua lini usaha.

"Sayangnya banyak wirausahawan UMK yang sering kali sudah merasa cukup dan tidak mau mengembangkan usahanya lebih maju lagi," ujar pemimpin PNM cabang Surabaya, Nyoman Wijana.

Menteri Koperasi & UKM, Puspayoga dan Deputi SDM, Prakoso BS sedang meninjau salah satu stand usaha mandiri pada acara Gerakan Kewirausahaan Nasional 2016

Wirausaha seakan menjadi harga mati bagi negara manapun di dunia ini yang ingin naik ke level yang lebih tinggi sebagai negara maju. Sosiolog David McClelland menetapkan batas dua persen dari total jumlah penduduk haruslah pengusaha agar suatu negara bisa disebut sebagai negara maju.

Tak melulu teori, banyak negara maju di dunia membuktikan hal tersebut. Misalnya, jumlah wirausaha di Amerika Serikat sudah mencapai 12 persen dari total jumlah penduduknya, Singapura 7 persen, Tiongkok dan Jepang 10 persen, India 7 persen, dan Malaysia 3 persen. Sedangkan Indonesia baru memiliki jumlah wirausaha sekitar 1,63 persen dari jumlah penduduk.

Deputi Bidang Pengembangan SDM Kementerian Koperasi dan UKM, Prakoso BS menyebutkan Indonesia memerlukan program khusus untuk mempercepat dan melanjutkan upaya penciptaan wirausaha baru.

"Untuk mendorong supaya jumlah wirausaha Indonesia bisa mencapai 2 persen harus ada program dukungan yang khusus dan fokus mendorong upaya ini," kata Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Kementerian Koperasi dan UKM Prakoso BS.

Menurut Prakoso, program yang telah dijalankan sebelumnya terkait dukungan terhadap wirausaha pemula bisa menjadi alternatif program untuk dilanjutkan. Pihaknya dalam beberapa tahun sebelumnya melaksanakan rangkaian Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) untuk mendongkrak jumlah wirausaha di Tanah Air, sekaligus mengajak generasi muda menjadi wirausaha.

Satu di antara rangkaian program GKN adalah mendanai start up atau bisnis rintisan wirausaha pemula.

"Start up ini memiliki prospek yang besar untuk sukses menjadi wirausaha, tetapi belum ada skema pembiayaan, terutama dari perbankan yang memungkinkan mereka mendapatkan modal awal, sehingga perlu ada skema khusus dari pemerintah untuk membantu pembiayaan mereka," katanya.

Oleh karena itu, pihaknya mengembangkan program wirausaha pemula (WP) yang memberikan pendampingan, pendidikan, dan pelatihan kepada wirausaha pemula.

Prakoso menambahkan, para wirausaha pemula yang mendapatkan program tersebut dari kementeriannya banyak yang telah berhasil merintis usaha, bahkan menyerap tenaga kerja dari usaha yang dijalankannya tersebut.

Sayangnya kini, program wirausaha pemula tersebut terancam tidak terlaksana optimal karena adanya kebijakan pemotongan anggaran.

Tahun lalu, pihaknya telah menyalurkan dana WP sebesar Rp 96 miliar dari sebelumnya Rp 60 miliar sampai Rp 70 miliar. Dana itu disebar di 34 provinsi melalui dana alokasi khusus (DAK).

"Kita sebar ke seluruh provinsi, kita berikan plafon, biasanya melakukan seleksi dan mereka diminta untuk membuat bisnis plan. Kami bekerja sama dengan Bank Mandiri, maksimal Rp 25 juta per orang," jelasnya.

Begitu pula pada 2013, dengan menggandeng Bank Mandiri, media, dan stakeholders lainnya, pihaknya juga menggelar program WP di Gelora Bung Karno Jakarta dengan melibatkan 80.000 peserta. Hasilnya dari jumlah tersebut sebanyak 2.200 ditetapkan sebagai pemenang program.

"Sebanyak 90 persen anggota DPR ingin itu kita lanjutkan, karena mempercepat orang berusaha. Insya Allah kalau di akhir tahun ini bisa jalan lagi, kita bisa salurkan lagi," katanya.

Wirausaha Digital
Dalam perkembangannya, penciptaan wirausaha pemula tak bisa dipisahkan dengan perkembangan teknologi. Bahkan, sebagian besar wirausaha pemula yang mulai merintis usahanya kini menggunakan teknologi, baik untuk memproduksi maupun memasarkan produknya.

Terkait hal itu, wajar jika kemudian Presiden Joko Widodo menargetkan terciptanya 1.000 wirausaha digital atau technopreneur di Indonesia pada 2020 untuk mendukung perkembangan ekonomi digital di Indonesia.

Meski dianggap sebagai target yang sangat ambisius, dalam sebuah sesi pada gelaran "Indonesia E-Commerce Summit and Expo (IESE) 2016", para pelaku industri digital mengatakan hal tersebut bukan tidak mungkin terjadi.

"Kuncinya saat ini mencari SDM. Yang dibutuhkan adalah skill, terutama di bagian pengembang atau CTO," kata Shinta W Dhanuwardoyo, CEO dan founder Bubu.com.

Shinta menyayangkan bahwa saat ini banyak sekali start up yang mendatangkan pengembang dari India atau Eropa. Dia yakin bahwa Indonesia memiliki SDM yang tidak kalah dengan luar negeri.

"Kita butuh semua pihak, pemerintah, universitas. Dengan banyaknya populasi anak muda di Indonesia, saya yakin pasti ada jalan. Sangat menantang tapi kita siap untuk itu," kata Shinta.

Senada dengan Shinta, Country Manager Intel Indonesia Corporation, Harry K Nugraha berpendapat SDM menjadi kunci membangun 1.000 technopreneur. Lebih jauh, menurut Harry, edukasi menjadi fondasi dasar untuk mewujudkannya.

Dari segi pendidikan, dosen University of Technology Sydney, Nigel Bairstow itu mengatakan institusi pendidikan perlu menyiapkan para mahasiswa untuk menjadi wirausaha digital.

Untuk itu, Harry mengatakan perlu adanya kolaborasi lintas industri, mulai dari penyediaan infrastruktur hingga dalam hal pendanaan, untuk membangun ekosistem kewirausahaan digital.

Jika ekosistem sudah terbentuk, hal utama yang diperlukan adalah pelaku wirausaha digital itu sendiri. Bagaimana mengajak anak muda berwirausaha, menurut Harry, menjadi tantangan tersendiri.

Saat ini, dia melihat, sudah banyak sekali program yang diciptakan untuk memfasilitasi para calon wirausaha digital.

Menurutnya, yang kini perlu dilakukan adalah mengubah pola pikir anak muda untuk tidak lagi menjadi konsumen, dan mendorong mereka untuk menjadi produsen.

Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini

Sumber: BeritaSatu.com