Mengapa program pelatihan kerja mampu mendukung kesiapan tenaga kerja Indonesia menghadapi mea

Mengapa program pelatihan kerja mampu mendukung kesiapan tenaga kerja Indonesia menghadapi mea
Selasa, 28 Oktober 2014 - 12:51:44 WIB
Persiapan Indonesia Dalam Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)
Diposting oleh : Ida Pujiani, SE.
Kategori: Bag. Kemahasiswaan - Dibaca: 1266198 kali

Mengapa program pelatihan kerja mampu mendukung kesiapan tenaga kerja Indonesia menghadapi mea

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) / AEC (Asean Economic Community) 2015 adalah proyek yang telah lama disiapkan seluruh anggota ASEAN yang bertujuan untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN dan membentuk kawasan ekonomi antar negara ASEAN yang kuat. Dengan diberlakukannya MEA pada akhir 2015, negara anggota ASEAN akan mengalami aliran bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terdidik dari dan ke masing-masing negara. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan oleh Indonesia adalah bagaimana Indonesia sebagai bagian dari komunitas ASEAN berusaha untuk mempersiapkan kualitas diri dan memanfaatkan peluang MEA 2015, serta harus meningkatkan kapabilitas untuk dapat bersaing dengan Negara anggota ASEAN lainnya sehingga ketakutan akan kalah saing di negeri sendiri akibat terimplementasinya MEA 2015 tidak terjadi.

Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru MEA dalam upaya persiapan menghadapi pasar bebas ASEAN. Dalam cetak biru MEA, terdapat 12 sektor prioritas yang akan diintegrasikan oleh pemerintah. Sektor tersebut terdiri dari tujuh sektor barang yaitu industri agro, otomotif, elektronik, perikanan, industri berbasis karet, industri berbasis kayu, dan tekstil. Kemudian sisanya berasal dari lima sektor jasa yaitu transportasi udara, kesehatan, pariwisata, logistik, dan teknologi informasi. Sektor-sektor tersebut pada era MEA akan terimplementasi dalam bentuk pembebasan arus barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja.

Sejauh ini, langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Indonesia berdasarkan rencana strategis pemerintah untuk menghadapi MEA / AEC, antara lain :

1.    Penguatan Daya Saing Ekonomi

Pada 27 Mei 2011, Pemerintah meluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI merupakan perwujudan transformasi ekonomi nasional dengan orientasi yang berbasis pada pertumbuhan ekonomi yang kuat, inklusif, berkualitas, dan berkelanjutan. Sejak MP3EI diluncurkan sampai akhir Desember 2011 telah dilaksanakan Groundbreaking sebanyak 94 proyek investasi sektor riil dan pembangunan infrastruktur.

2.    Program ACI (Aku Cinta Indonesia)

ACI (Aku Cinta Indonesia) merupakan salah satu gerakan ‘Nation Branding’ bagian dari pengembangan ekonomi kreatif yang termasuk dalam Inpres No.6 Tahun 2009 yang berisikan Program Ekonomi Kreatif bagi 27 Kementrian Negara dan Pemda. Gerakan ini sendiri masih berjalan sampai sekarang dalam bentuk kampanye nasional yang terus berjalan dalam berbagai produk dalam negeri seperti busana, aksesoris, entertainment, pariwisata dan lain sebagainya. (dalam Kemendag RI : 2009:17).

3.    Penguatan Sektor UMKM

Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan UMKM di Indonesia, pihak Kadin mengadakan mengadakan beberapa program, antara lainnya adalah ‘Pameran Koperasi dan UKM Festival’ pada 5 Juni 2013 lalu yang diikuti oleh 463 KUKM. Acara ini bertujuan untuk memperkenalkan produk-produk UKM yang ada di Indonesia dan juga sebagai stimulan bagi masyarakat untuk lebih kreatif lagi dalam mengembangkan usaha kecil serta menengah.

Selain itu, persiapan Indonesia dari sektor Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) untuk menghadapi MEA 2015 adalah pembentukan Komite Nasional Persiapan MEA 2015, yang berfungsi merumuskan langkah antisipasi serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan KUKM mengenai pemberlakuan MEA pada akhir 2015.

Adapun langkah-langkah antisipasi yang telah disusun Kementerian Koperasi dan UKM untuk membantu pelaku KUKM menyongsong era pasar bebas ASEAN itu, antara lain peningkatan wawasan pelaku KUKM terhadap MEA, peningkatan efisiensi produksi dan manajemen usaha, peningkatan daya serap pasar produk KUKM lokal, penciptaan iklim usaha yang kondusif.

Namun, salah satu faktor hambatan utama bagi sektor Koperasi dan UKM untuk bersaing dalam era pasar bebas adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) pelaku KUKM yang secara umum masih rendah. Oleh karena itu, pihak Kementrian Koperasi dan UKM melakukan pembinaan dan pemberdayaan KUKM yang diarahkan pada peningkatan kualitas dan standar produk, agar mampu meningkatkan kinerja KUKM untuk menghasilkan produk-produk yang berdaya saing tinggi.

Pihak Kementerian Perindustrian juga tengah melaksanakan pembinaan dan pemberdayaan terhadap sektor industri kecil menengah (IKM) yang merupakan bagian dari sektor UMKM. Penguatan IKM berperan penting dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja dan menghasilkan barang atau jasa untuk dieskpor. Selain itu, koordinasi dan konsolidasi antar lembaga dan kementerian pun terus ditingkatkan sehingga faktor penghambat dapat dieliminir.

4.    Perbaikan Infrastruktur

Dalam rangka mendukung peningkatan daya saing sektor riil, selama tahun 2010 telah berhasil dicapai peningkatan kapasitas dan kualitas infrastruktur seperti prasarana jalan, perkeretaapian, transportasi darat, transportasi laut, transportasi udara, komunikasi dan informatika, serta ketenagalistrikan :

  1. Perbaikan Akses Jalan dan Transportasi
  2. Perbaikan dan Pengembangan Jalur TIK
  3. Perbaikan dan Pengembangan Bidang Energi Listrik.

5.    Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)

Salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas SDM adalah melalui jalur pendidikan. Selain itu, dalam rangka memberikan layanan pendidikan yang bermutu, pemerintah telah membangun sarana dan prasarana pendidikan secara memadai, termasuk rehabilitasi ruang kelas rusak berat. Data Kemdikbud tahun 2011 menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 173.344 ruang kelas jenjang SD dan SMP dalam kondisi rusak berat. (dalam Bappenas RI Buku I, 2011:36).

6.    Reformasi Kelembagaan dan Pemerintahan

Dalam rangka mendorong Percepatan Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, telah ditetapkan strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi jangka panjang 2012-2025 dan menengah 2012-2014 sebagai acuan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk pelaksanaan aksi setiap tahunnya. Upaya penindakan terhadap Tindak Pidana Korupsi (TPK) ditingkatkan melalui koordinasi dan supervisi yang dilakukan oleh KPK kepada Kejaksaan dan Kepolisian.

Sementara itu, sebagian pendapat menyatakan bahwa Indonesia Belum Siap akan MEA 2015. Salah satunya, Direktur Eksekutif Core Indonesia (Hendri Saparini) menilai persiapan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 masih belum optimal. Pemerintah baru melakukan sosialisasi tentang “Apa Itu MEA” belum pada sosialisasi apa yang harus dilakukan untuk memenangi MEA. Sosialisasi “Apa itu MEA" yang telah dilakukan pemerintah pun ternyata masih belum 100% karena sosialisasi baru dilaksanakan di 205 kabupaten dari jumlah 410 kabupaten yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Hendri menjelaskan besarnya komitmen pemerintah terhadap kesepakatan MEA ternyata bertolak belakang dengan kesiapan dunia usaha. Menurutnya dari hasil in-depth interview Core dengan para pengusaha ternyata para pelaku usaha bahkan banyak yang belum mengerti adanya kesepakatan MEA. Dia mengatakan salah satu strategi yang dipersiapkan pemerintah menjelang MEA adalah Indonesia harus menyusun strategi industri, perdagangan dan investasi secara terintegrasi karena dengan adanya implementasi MEA beban defisit neraca perdagangan akan semakin besar maka dari itu membuat strategi industri harus menjadi prioritas pemerintah.

Strategi dan persiapan yang selama ini telah dilakukan oleh para stake holder yang ada di Indonesia dalam rangka menghadapi sistem liberalisasi yang diterapkan oleh ASEAN, terutama dalam kerangka integrasi ekonomi memang dirasakan masih kurang optimal. Namun hal tersebut memang dilandaskan isu-isu dalam negeri yang membutuhkan penanganan yang lebih intensif. Diperlukan kedisiplinan dari pihak pemerintah, terutama yang berkaitan dengan wacana persiapan menghadapi realisasi AEC ditahun 2015, yaitu dengan peningkatan pengawasan terhadap perkembangan implementasi sistem yang terdapat dalam Blue Print AEC.

Sumber :

http://www.antaranews.com/berita/436319/kesiapan-koperasi-ukm-indonesia-menatap-era-mea-2015.

Investor Daily.

Kementrian Perdagangan Republik Indonesia.2009, “Menuju ASEAN Economic Community 2015”, Jakarta.

KPPN/Bappenas.2012.”Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013”.Buku I.

KPPN/Bappenas.2013.”Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013”.Buku II.

Sholeh. 2013. “Persiapan Indonesia Dalam Menghadapi AEC (Asean Economic Community) 2015”. eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (2): 509-522.


Mengapa program pelatihan kerja mampu mendukung kesiapan tenaga kerja Indonesia menghadapi mea

Oleh : Evi Septiana Pane

Waktu pelaksanaan Asean Economic Community atau di Indonesia disebut dengan Masyarakat Ekonomi Asean yang akan mulai berlaku pada Desember 2015 sudah tidak dapat ditawar kembali. Dalam waktu yang tersisa satu setengah tahun ini , pemerintah melalui beberapa Kementerian terkait terus melakukan sosialisasi dan upaya penyusunan strategi baik offensive maupun defensif terhadap pemberlakuan MEA di tahun 2015.

Pada hakikatnya MEA bertujuan positif, yakni untuk mengintegrasikan kekuatan ekonomi di wilayah ASEAN supaya mampu bersaing di tataran global dengan kekuatan ekonomi lainnya. Dalam kesepakatan MEA, yang menjadi 4 (empat) pilarpada blueprint AEC yakni ;

  1. Menuju Single market and production basedyakni arus perdagangan bebas untuk sektor barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan modal
  2. Menuju penciptaaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing tinggi (regional competition policy, IPRs action plan, infrastructure development, ICT, energy cooperation, taxation, dan pengembangan UKM);
  3. Menuju suatu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata (region of equitable economic development) melalui pengembangan UKM dan program-program Initiative for ASEAN Integration (IAI); dan
  4. Menuju integrasi penuh pada ekonomi global (pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi eksternal serta mendorong keikutsertaan dalam global supply network).

Bila di tinjau dari poin karakteristik ke- 1 yang menjadi pokok bahasan dalam artikel ini adalah tentang bebasnya aliran dari tenaga kerja ahli. Tenaga kerja ahli yang dapat dengan bebas dipertukarkan pada AEC di tahun 2015 mengacu pada persetujuan MRA (mutual recognition agreement) yang telah disepakati oleh negara-negara anggota asean. MRA merupakan kesempatan yang diakui bersama oleh seluruh negara ASEAN untuk saling mengakui atau menerima beberapa atau semua aspek hasil penilaian seperti hasil tes atau berupa sertifikat kompetensi. Setidaknya ada 7 bidang pekerjaan yang telah disetujui untuk dibebaskan di antara negara- negara asean, bidang tersebut antara lain seperti terlihat pada gambar berikut :

Source : http://www.phuketgazette.net/phuket-business/Phuket-In-Focus-AEC-is-coming-are-you-ready/21958#ad-image-1

Dari segi SDM tenaga kerja, Indonesia memiliki beberapa pekerjaan rumah yang belum dapat diselesaikan hingga saat ini, diantaranya :

  1. Produktifitas tenaga kerja yang dinilai masih rendah
  2. Ketidakpastian upah tenaga kerja
  3. Rata- rata pendidikan dan kemampuan berbahasa asing yang rendah
  4. Tingkat pengangguran masih tinggi (dari data tahun 2013, indonesia menempati posisi ke-2 dengan tingkat pengangguran tertinggi di ASEAN setelah Filipina)

Permasalahan – permasalahan tersebut sedang diupayakan penyelesaianya oleh kementerian dan instansi terkait melalui berbagai program kegiatan.

Kementerian Perindustrian, melalui unit Pusat Pendidikan dan Pelatihan memiliki salah satu peranan dalam pengembangan SDM yang bekerja di bidang Industri. Pengembangan SDM Industri ini diterjemahkan oleh pusdiklat melalui perumusan program reposisi bagi seluruh sekolah menengah dan kejuruan, perguruan tinggi dan akademik serta balai diklat industri yang memiliki satu tujuan untuk menghasilkan SDM tenaga kerja yang selain unggul tapi juga sesuai dengan harapan dari pihak industri.

Selain upaya reposisi, pusdiklat industri juga turut memfasilitasi penyusunan SKKNI, Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di beberapa bidang seperti kelapa sawit, logam , kewirausahaan, dll. SKKNI memiliki salah satu peranan sebagai perisai pasar tenaga kerja dalam negeri dari serbuan tenaga kerja asing (dalam hal ini asean). Oleh karena itu semua pendidikan dan pelatihan bagi calon pencari tenaga kerja maupun SDM yang telah berada di Industri sebisa mungkin harus berbasis kompetensi. Pihak lembaga pendidikan dan pelatihan secara aktif perlu melakukan pendekatan dan kunjungan langsung di Industri untuk menengok apa sebenarnya kualifikasi kompetensi pekerja yang diharapkan oleh industri.

Perbaikan terhadap kualitas SDM tenaga kerja di Indonesia juga menjadi salah satu fokus pembenahan dalam rangka meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar ASEAN. Tidak hanya dari segi kemampuan pendidikan, keahlian, dan produktifitas namun yang tidak kalah penting adlaah pembekalan kemampuan penguasaan bahasa asing bagi tenaga kerja Indonesia. Seperti sudah banyak diberitakan bahwa negara – negara di ASEAN seperti Thailand bahkan Australia sudah mengadakan pelajaran Bahasa Indonesia pada pendidikanya. Hal tersebut dapat menjadi ancaman bagi pasar tenaga kerja lokal dari serbuan tenaga kerja asing.

Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak se-ASEAN selayaknya menjadi juara dalam pertarungan free flow of skilled labour, meskipun banyak pihak masih merasa pesimis Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negara sendiri. Berbekal keyakinan, berbagai strategi yang tertuang dalam kebijakan, program- program kegiatan serta didukung pelaksanaan yang serius melalui kerjasama triple helix antara Pemerintah, Akademisi, dan dunia usaha (industri) Indonesia telah bersiap sedemikian rupa dalam menghadapi MEA di tahun 2015.


Page 2

PERANAN TECHNOPRENEUR DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING NASIONAL

Oleh

Zya Labiba, MT

Widyaiswara Muda BDI Surabaya

Beberapa tahun terakhir, istilah technoprenuership kerap sekali kita jumpai dan dengar di berbagai media baik media cetak maupun media elektronik. Buku-buku yang menggunakan istilah ini sebagai bagian dari judulnya sudah banyak bermunculan. Bahkan, ada beberapa universitas yang mulai menawarkan technoprenuership sebagai program studi dan membuka program master. Salah satu universitas di Asia yang menawarkan Master Degree Program Technopreneurship adalah Universitas Teknologi Nanyang (Nanyang Technological University – NTU) Singapura. NTU bahkan memiliki pusat studi khusus untuk bidang ini yang dikenal dengan nama Nanyang Technopreneurship Center (NTC).

Apakah Technopreneurship Itu? Ditilik dari asal katanya, Technopreneurship merupakan istilah bentukan dari dua kata, yakni ‘teknologi’ dan ‘enterpreneurship’. Secara umum, kata Teknologi digunakan untuk merujuk pada penerapan praktis ilmu pengetahuan ke dunia industri atau sebagai kerangka pengetahuan yang digunakan untuk menciptakan alat-alat, untuk mengembangkan keahlian dan mengekstraksi materi guna memecahkan persoalan yang ada. Sedangkan kata entrepreneurship berasal dari kata entrepreneur yang merujuk pada seseorang atau agen yang menciptakan bisnis/usaha dengan keberanian menanggung resiko dan ketidakpastian untuk mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang yang ada (Zimmerer dan Scarborough, 2008).

Jika kedua kata diatas digabungkan, maka kata teknologi disini mengalami penyempitan arti, karena Teknologi dalam “technopreneurship” mengacu padaTeknologi Informasi, yakni teknologi yang menggunakan komputer sebagai alat pemrosesan. Menurut Posadas (2007), istilah technopreneurship dalam cakupan yang lebih luas, yakni sebagai wirausaha di bidang teknologi yang mencakup teknologi semikonduktor sampai ke asesoris komputer pribadi (PC). Sebagai contoh adalah bagaimana Steven Wozniak dan Steve Job mengembangkan hobi mereka hingga mereka mampu merakit dan menjual 50 komputer apple yang pertama, atau juga bagaimana Larry Page dan Sergey Brin mengembangkan karya mereka yang kemudian dikenal sebagai mesin pencari google. Mereka inilah yang disebut sebagai para technopreneur dalam definisi ini.

Dalam wacana nasional, istilah technopreneurship lebih mengacu pada pemanfaatan teknologi informasi untuk pengembangan wirausaha. Berbeda dengan pengertian pertama diatas, jenis wirausaha dalam pengertian technopreneurship disini tidak dibatasi pada wirausaha teknologi informasi, namun segala jenis usaha, seperti usaha mebel, restoran, super market ataupun kerajinan tangan, batik dan perak. Penggunaan teknologi informasi yang dimaksudkan disini adalah pemakaian internet untuk memasarkan produk mereka seperti dalam perdagangan online (e-Commerce), pemanfaatan perangkat lunak khusus untuk memotong biaya produksi, atau pemanfaatan teknologi web 2.0 sebagaisarana iklan untuk wirausaha. Dalam pengertian kedua ini, tidaklah jelas pihak mana yang bisa disebut sebagai technopreneur. Dalam hal ini, kedua pengertian ini akan digunakan secara bersama-sama.

Data yang ada jumlah entrepreneur di Indonesia baru mencapai 0.2 % dari jumlahpenduduk. Masih rendah dibandingkan dengan negara tetangga. Sebagai perbandingan entrepreneur di Malaysia berjumlah 3 %, Singapura 7,2 %, Cina 10 % bahkan AS sudahmencapai 11 %. Dalam menghadapi tantangan global seperti demikian maka dituntut bekerja lebih keras dan cerdas untuk meningkatkan jumlah dan kualitas entrepreneur yang memadai sekitar 2-3 % dari jumlah penduduk. Pertumbuhanekonomi Negara tidakterlepasdariaktivitas sector riil yang digerakkanoleh para pengusaha.

Menurut data World Economic Forum (WEF) menyatakan daya saing Indonesia menempati peringkat ke-44 pada tahun2010, menurun menjadi peringkat ke-46 pada tahun2011 dan pada tahun 2012 anjlok menjadi peringkat ke-50. Namun pada 2013 naik ke peringkat 38. Hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian Indonesia belum stabil.Pelaku utama technopreneur di Indonesia masih ditumpukan pada pemuda sebagai agent of change yang diharapkan mampu mendongkrak daya saing nasional dengan cara menggali potensi sumberdaya yang ada di seluruh nusantara dengan mengangkat kearifan local kedaerahan dipadukan dengan inovasi teknologi dan sentuhan bisnis yang menguntungkan dapat diselaraskan dengan program MP3EI. Sehingga akan merangsang tumbuhnya kegiatan-kegiatan technopreneur di daerah – daerah, sehingga akan tercapainya program nasional tentang penumbuhan technopreneur. Hal ini akan berdampak terhadap meningkatnya jumlah technopreneur di Indonesia yang akan secara tidak langsung meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Agar peran technopreneur dapat meningkatkan perekonomian nasional secara maksimal, maka perlu adanya kolaborasi antara semua pihak, mahasiswa, peneliti, pemerintah, masyarakat. Pemerintah sebagai pihak birokrasi, pengambil kebijakan, legalitas, perlindungan dan penjaminan terhadap HAKI, penyedia fasilitas dalam mengembangkan technopreneurship di Indonesia. Masyarakat sebagai mitra akan menjadi support dukungan moral, berpartisipasi dengan kapasitas masing-masing. Peran Peguruan Tinggi tidak kalah penting dalam mencetak generasi muda yang peduli dengan lingkungan dan idealisme tinggi. Institusi mengembangkan technopreneurship di Indonesia.

Dengan demikian ada hubungan timbal balik, ada feedback yang saling berkolaborasi untuk meningkatkan daya saing bangsa, memperbaiki ekonomi rakyat dan mewujudkan apa yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, yakni dengan menggabungkan penerapan teknologi dan ketrampilan kewirausahaan, menyatukan ide, memanfaatkan teknologi untuk menghasilkan inovasi yang mempunyai dampak social ekonomi.

Tumbuhnya enterprenuer muda yang berbasis pemanfaatan dan penerapan IPTEK dengan maksimal akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan. Dimana salahsatu pilar dalam menentukan daya saing nasional ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi.


Page 3

PUSDIKLAT INDUSTRI, SAATNYA DIKLAT JARAK JAUH

oleh Randy Ariyanto W

Widyaiswara Muda pada Kementerian Perindustrian

Dalam program reposisi Pusdiklat Industri yang tertuang dalam buku Reposisi Pengembangan Unit Pendidikan dan Balai Diklat Industri disebutkan bahwa Pusdiklat Industri sebagai holding dalam peningkatan kualitas SDM Industri. Selain itu juga terjadi reposisi fungsi pada Balai Diklat Industri. Balai Diklat Industri yang pada awalnya menyelenggarakan diklat-diklat untuk PNS daerah bergeser menjadi penyelenggaraan diklat untuk Industri Kecil dan Menengah (IKM). Balai Diklat Industri sebagai pusat pelatihan IKM berbasis kompetensi dan spesialisasi. Jika dilihat dari proyeksi perkembangan IKM program reposisi ini sangatlah tepat. Data dan proyeksi perkembangan IKM di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa pada tahun 2010-2014 dapat dilihat di tabel berikut:

Tabel

Proyeksi Perkembangan IKM Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa Tahun 2010 - 2014

No

Uraian

Tahun

2010

2011

2012

2013

2014

1.

Pulau Jawa (Unit)

2.548.634

2.549.487

2.555.973

2.568.010

2.594.514

2.

Luar P. Jawa (Unit)

1.257.932

1.359.859

1.470.651

1.591.292

1.729.676

Jumlah

3.806.566

3.909.343

4.026.624

4.159.502

4.324.190

Sumber : Reposisi Pengembangan Unit Pendidikan dan Balai Diklat Industri (2012)

Dilihat dari jumlah tenaga kerja industri menurut proyeksi tahun 2014 berjumlah 15.215.153 orang. Sedangkan kebutuhan rata-rata tiap tahunnya sebesar 400.000 orang. Jika melihat data di atas bahwa ada lebih dari empat juta unit IKM serta lebih dari lima belas juta tenaga kerja di sektor industri serta rata-rata empat ratus ribu orang kebutuhan tenaga kerja industri, maka Pusdiklat Industri perlu merintis pengembangan diklat jarak jauh.

Pendidikan Jarak Jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi informasi dan komunikasi dan media lain (Permendikbud No. 24/2012) sedangkan dalam pengertian lainnya Pendidikan Jarak Jauh adalah pendidikan formal berbasiskan lembaga dimana kelompok belajar terpisah dan sistem telekomunikasi digunakan untuk menghubungkan peserta belajar, sumber belajar dan instruktur (Smaldino, dkk, 2008) dalam Uwes A. Chaeruman (2013). Gagasan pengembangan diklat jarak jauh di Kementerian Perindustrian di dasarkan pada hal-hal sebagai berikut:

  1. Masih banyak tenaga kerja industri yang jarang bahkan belum pernah mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan.
  2. Pemberlakuan pasar bebas tenaga kerja dalam wadah Asean Economic Community (AEC) di akhir tahun 2015.
  3. Geografis Indonesia yang sangat luas dan berbentuk kepulauan.
  4. Sudah tersedia infrastruktur ICT (Information and Communication Technology) yang semakin mudah diakses.

Urgensi pengembangan diklat jarak jauh adalah sebagai salah satu alternatif media peningkatan kompetensi SDM Industri yang selain efektif juga efisien karena dapat mengatasi berbagai keterbatasan Diklat yaitu:

  1. Keterbatasan Waktu.
  2. Keterbatasan Tempat Belajar.
  3. Keterbatasan Jarak (Geografis).
  4. Keterbatasan Biaya.
  5. Keinginan PNS/tenaga kerja Industri untuk belajar tanpa meninggalkan daerahnya/pekerjaannya.

Pusdiklat Industri, hendaknya mulai merintis pengembangan diklat jarak jauh bagi internal PNS Kementerian Perindustrian maupun bagi tenaga kerja industri. Berikut ini tahapan-tahapan rintisan pengembangan diklat jarak jauh yang dapat diterapkan di Pusdiklat Industri.

  1. Menyiapkan struktur dan fungsi pengembangan diklat jarak jauh.

Mengapa program pelatihan kerja mampu mendukung kesiapan tenaga kerja Indonesia menghadapi mea

Fungsi dari struktur tersebut adalah sebagai berikut :

  1. a.            Fungsi Pengelolaan dan Administrasi.

Tugas/Tanggung Jawab : Melakukan perencanaan, penganggaran, pengadministrasian, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi program pendidikan dan atau pelatihan jarak jauh

  1. b.            Fungsi Pengembangan kurikulum dan Pembelajaran

Tugas/tanggung jawab : Melakukan perencanaan, perancangan, pengembangan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi kurikulum, silabus, evaluasi, dan sistem pembelajaran pendidikan dan/atau pelatihan jarak jauh

  1. c.            Fungsi Pengembangan Bahan Ajar.

Tugas/tanggung jawab : Melakukan perencanaan, perancangan, pengembangan /produksi, pengendalian, dan evaluasi aneka ragam jenis dan bentuk bahan ajar (cetak/non cetak) untuk pendidikan dan atau pelatihan jarak jauh

  1. d.            Fungsi Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Jaringan dan Aplikasi.

Tugas/tanggung jawab : Melakukan perencanaan, perancangan, pengembangan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi sistem jaringan, aplikasi dan sarana pembelajaran pendidikan dan atau pelatihan jarak jauh

  1. e.            Fungsi Penelitian dan Pengembangan.

Tugas/Tanggung Jawab : Melakukan penelitian dan pengembangan inovasi-inovasi penerapan sistem pendidikan jarak jauh dan publikasi

  1. Menyiapkan Model Diklat Jarak Jauh.

Dalam melaksanakan diklat jarak jauh terdapat dua model. Kedua model tersebut perlu disesuaikan dengan karakteristik diklat yang diadakan. Kedua model tersebut adalah :

Diagram yang menggambarkan diklat jarak jauh model penuh adalah sebagai berikut:

Mengapa program pelatihan kerja mampu mendukung kesiapan tenaga kerja Indonesia menghadapi mea

  1. Model kombinasi (hybrid/blended) yaitu kombinasi antara model online penuh dan model konvensional intensif.

Sedangkan Diagram yang menggambarkan Diklat Jarak Jauh Model Kombinasi (hybrid/Blended) yaitu kombinasi antara model online penuh dengan model konvensional intensif adalah sebagai berikut:

Mengapa program pelatihan kerja mampu mendukung kesiapan tenaga kerja Indonesia menghadapi mea

Pembimbingan Pelaksanaan Diklat jarak jauh.

  1. 3. Pembimbingan Pelaksanaan Diklat jarak jauh.

Sebagai pilot project, Pusdiklat Industri perlu bimbingan intensif dari praktisi dalam pelaksanaan pengembangan diklat jarak jauh. Bimbingan dalam hal ini termasuk juga bimbingan dalam Pengelolaan dan Administrasi, Pengembangan kurikulum dan Pembelajaran, Pengembangan Bahan Ajar, Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Jaringan dan Aplikasi dan Penelitian dan Pengembangan. Namun proses pembibingan ini perlu ada batasnya. Pada waktu tertentu Pusdiklat harus mampu mengelola diklat jarak jauh secara mandiri.

DAFTAR PUSTAKA

Uwes A. Chaeruman. (2013). Presentasi: Sistem Pelatihan Jakar Jauh Asisten Epidemi Lapangan. Kementerian Kesehatan.

Tim Pusdiklat Industri. (2012). Reposisi Pengembangan Unit Pendidikan dan Balai Diklat Industri. Jakarta. Pusdiklat Industri Kementerian Perindustrian.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 24 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh pada Pendidikan Tinggi.


Page 4

Oleh: Desiana Trisnanti

Istilah spesialis dan generalis pada umumnya kita kenal dalam bidang karir.Istilah tersebut merujuk pada sumber daya manusia (SDM) di sebuah industri/organisasi, entah bidang pendidikan, keuangan, manufaktur, maupun di bidang-bidang lainnya. Dari kedua istilah tersebut sebenarnya sudah nampak apa perbedaannya secara umum. Generalis merujuk pada kemampuan seseorang yang memahami banyak bidang, tetapi pengetahuannya terhadap bidang-bidang tersebut tidak begitu mendalam.Sebaliknya, spesialis adalah mereka yang memiliki pengetahuan pada bidang tertentu saja, tetapi seseorang tersebut menguasai bidang tertentu tersebut secara mendalam.

Dengan kata lain bisa diibaratkan seorang spesialis adalah seseorang yang membuat salah satu kepingan jigsaw puzzle sampai pada detail kepingan yang terkecil; sementara generalis adalah orang yang mengumpulkan kepingan jigsaw puzzle buatan para spesialis lalu menyatukannya. Walaupun tentunya seorang generalis biasanya tetap memiliki kompetensi dan pengetahuan dasar di bidang tertentu, namun memiliki pengetahuan lain yang sangat luas dan beragam selain dari kompetensinya. Pola spesialis-generalis ini sangat bermanfaat dalam kompetensi profesi dan masing-masing memiliki positif dan negatifnya.

Terkait dengan kedua kata tersebut, tren industri saat ini berbeda dengan dahulu.Kalau dahulu fenomenanya adalah orang yang tahu banyak tentang sesuatu dianggap keren, memiliki prestise, dan dianggap memiliki intelektual tinggi.Walaupun memang hal tersebut ada benarnya.Namun, era tersebut sudah terganti karena fenomena saat ini orang lebih menghargai spesialisasi atau kemampuan khusus.Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Handry Satriago (CEO of General Electric Indonesia). Menurut Handry, kini setiap orang dituntut untuk memiliki expertise masing-masing. Yang dicari perusahaan saat ini adalah orang-orang yang benar-benar menguasai suatu bidang, benar-benar mempunyai pengalaman, setidaknya 3-4 tahun dalam mengerjakan sesuatu, sehingga dia menjadi orang yang dapat mengambil keputusan yang tepat mengenai hal tersebut.

Jika memang spesialisasi yang sangat dibutuhkan di era industri saat ini, di sisi lain muncul pertanyaan bagaimana caranya kita bisa meraih keahlian khusus jika situasi dan kondisi tidak memungkinkan untuk meraih itu.Untuk menjawab hal tersebut dapat kita lihat dari sudut pandang pendidikan dan pengalaman. Menjadi seseorang yang memiliki kompetensi spesialis tidak perlu dipandang harus dari segi pendidikan formal, kita dapat memperoleh spesialisasi dari pengalaman, pelatihan, belajar dari ahlinya, dan juga minat kita untuk mendalami kompetensi yang ingin kita capai.

Kemudian pertanyaan selanjutnya, manakah yang lebih menguntungkan, apakah menjadi seorang profesional dengan kompetensi yang bersifat generalis (berorientasi specific job area), ataukah menjadi profesional dengan kompetensi yang bersifat spesialis (berorientasi pada specific job task). Tentunya dari segi calon pegawai yang akan direkrut, memiliki spesialisasi merupakan faktor yang lebih menguntungkan, karena:

  1. Seorang spesialis akan lebih menarik di mata pihak yang melakukan rekrutmen, karena seseorang yang ahli dibidang sesuatu yang relevan dengan career path di organisasi/perusahaan akan dilihat terlebih dahulu dibandingkan seseorang yang tidak konsisten dengan jalur karirnya.
  2. Seorang spesialis akan lebih mudah untuk memiliki personal branding, yang maksudnya adalah pencitraaan terhadap diri sendiri. Hal ini mengingat banyak profesional yang memiliki kompetensi yang sama, personal branding sangat berguna untuk dapat meyakinkan pihak yang melakukan rekrutmen bahwa kita lebih menonjol dibanding yang lain.
  3. Seorang spesialis cenderung menunjukkan kinerja yang lebih baik apabila mengerjakan sesuatu sesuai dengan minatnya karena dia dapat menyusun detail sebuah struktur pelaksanaan
  4. Seorang spesialis memiliki tingkat bargaining gaji lebih tinggi dibandingkan generalis, terutama jika kompetensi yang dimiliki sangat jarang dimiliki orang lain. Tidak menutup kemungkinan jika perusahaan membutuhkan kompetensi tersebut akan berani untuk merekrut spesialis dengan gaji yang sangat tinggi.

Untuk itu, penting bagi kita untuk mengembangkan kompetensi kita serta mendalami spesialisasi kita. Di era teknologi seperti ini tentunya tidak sulit untuk kita mengembangkan diri, kita dapat menggunakan fasilitas internet seperti e-book ataupun mengikuti berbagai pelatihan. Tentunya dengan memanfaatkan peluang yang ada dan tetap fokus pada bidang yang kita minati, alhasil kita akan menjadi profesional dibidang tertentu. Dengan adanya sumber daya manusaia yang berkualitas, hal ini akan sangat membantu mewujudkan tujuan organisasi mencapai keberhasilan.


Page 5

PENINGKATAN KETERAMPILAN DAN PENGETAHUAN KARYAWAN MELALUI KEGIATAN BELAJAR BERORIENTASI DIRI SENDIRI :

Oleh: Setyoko Pramono

Widyaiswara Muda – Pusdiklat Kemenperin

PROSES PEMBELAJARAN DI BELECTRIC INTERNATIONAL

Belectric International adalah perusahaan besar yang bergerak dalam pembangunan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dan produksi komponen pendukungnya yang berskala internasional berlokasi di Wadenbrunner Str.10 97509 Kolitzheim, Jerman. Perusahaan ini memiliki sekitar 2000 karyawan yang tersebar di kantor-kantor internasional meliputi benua Amerika, Afrika, Asia dan Eropa.

Berdasarkan pengamatan dan wawancara, perusahaan ini lebih memilih untuk membiarkan karyawan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka mengacu pada filsafat "Learning by Doing ". Karyawan baru diharapkan untuk belajar keterampilan yang diperlukan dan pengetahuan dengan mengalami proses kerja nyata . Manajemen bergantung kepada karyawan untuk belajar lebih cepat dalam bisnis yang fleksibel dan dinamis tersebut. Oleh karena itu, mereka bisa memecahkan masalah mereka sendiri untuk mencapai target atau tenggat waktu dalam proyek tersebut .

Praktek pembelajaran di Belectric International ini adalah manifestasi dari apa yang telah diusulkan John Dewey dalam karyanya teori pendidikan. Filsafat Dewey tentang “learning by doing” atau “Belajar sambil melakukan” dalam pendidikan masih berlaku hari ini. Pada satu sisi , pembelajaran ini dengan melakukan kegiatan akan mempersiapkan karyawan untuk menghadapi fleksibilitas bisnis dan kedinamisan . Di sisi lain , hal itu akan berubah karyawan untuk menjadi serba bisa (multitasking).

Sistem Pendidikan Ganda (Dual System) yang diterapkan oleh Pemerintah Jerman membantu perusahaan untuk mendapatkan karyawan karena selama beberapa periode seorang siswa diharuskan melakukan kegiatan magang di sebuah perusahaan. Sistem seperti memberikan pengalaman lapangan sekaligus menjalani proses pembelajaran sesuai dengan perusahaan yang menjadi tempat magangnya. Selama proses ini, perusahaan secara tidak langsung memberikan pembelajaran tentang proses bisnis. Hal ini tentu saja menghemat waktu dan tenaga bagi perusahaan untuk merekrut karyawan jikalau nanti pada akhirnya siswa ini bisa bekerja di perusahaan tersebut. Pertanyaan berikutnya adalah apakah proses pembelajaran yang berorientasi pada diri sendiri (self directed) dengan filsafatnya “learning by doing” berkaitan erat dengan peningkatan kompetensi pegawainya?

ORIENTASI DIRI VERSUS KOMPETENSI

Kita biasanya berpikir pembelajaran sebagai sesuatu yang terjadi pada lembaga pendidikan di bawah arahan guru , dalam struktur tentu saja , didasarkan pada buku teks dan dievaluasi oleh ujian tertulis . Untuk menjadi salah satu ahli biasanya diharapkan untuk menghadiri lembaga seperti itu sampai beberapa sertifikasi keahlian diberikan . Tapi ini adalah pandangan sempit pembelajaran dan pendidikan , bahkan untuk pengembangan keahlian . Kita belajar informal serta secara formal , dan keterampilan dalam pembelajaran self-directed. Di Belectric Internasional, untuk meningkatkan kompetensi pegawainya maka mereka harus melalui proses-proses pembelajaran yang mengikuti kerangka dari “Staged Self-Directed Learning Model” yang dipopulerkan oleh Gerald O. Grow.

 Grow mengusulkan empat gaya belajar dan empat gaya guru yang cocok . Anda hanya dapat memindahkan peserta/siswa dalam hal ini karyawan ke tingkat berikutnya jika Anda mencari tahu di mana mereka saat ini dan cocok dengan mereka terlebih dahulu. Empat tingkat diuraikan sebagai berikut:

 Proses awal adalah pengembangan pengetahuan dan keterampilan karyawan dengan masa orientasi untuk pendatang baru setelah proses rekrutmen dilakukan. Di level pertama ini karyawan baru masih sangat tergantung oleh supervisor atau kepala divisinya. Kepala Divisi sebagai Coach (pembimbing) memberikan informasi umum tentang tugas pokok dan tugas. Untuk unit teknis seperti Unit Survey, pengenalan peralatan adalah suatu keharusan.

Di level dua biasanya supervisor meningkatkan motivasi karyawan yang diposisi tertarik dengan aktifitas pekerjaan di ruang lingkup barunya. Ketertarikan pada pekerjaan dan pengalaman baru ini akan dilebur dan dikombinasikan dengan penggunaan alat dengan tentu saja pengawasan. Mereka melakukannya dan terus lagi selama sekitar satu tahun sehingga peserta didik terbiasa menggunakan peralatan .

Seiring dengan kebijakan perusahaan untuk memutar karyawan, untuk meningkatkan kerja sama tim , tahun selanjutnya dimulai dengan lebih aktualisasi pengalaman lapangan. Karyawan menampilkan keterampilan dan pengetahuan dengan bekerja bersama sebagai sebuah tim. Di sana, para peserta didik akan menginternalisasi pengalaman mereka untuk tugas-tugas tertentu . Para anggota tim akan memberikan masukan kepada karyawan tersebut. Akan ada interaksi dengan cara apa keterampilan dan pengetahuan perlu ditingkatkan. Kemudian, setelah dialog di antara rekan-rekan dan pengawas, peserta didik akan lagi menemukan cara untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan terpenuhi dengan meminta , mencari referensi dan mengalaminya. Keadaan seperti memperlihatkan bahwa karyawan tersebut terlibat dalam aktifitas pembelajaran dan atasannya pun hanya sebagai fasilitator saja.

Dari level ketiga tersebut, di tahap akhir ini, karyawan bisa dianggap “independent” atau mandiri. Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan serta kompetensi yang didapatnya dari proses pembelajaran berorientasi diri tersebut, maka karyawan tersebut sudah suap untuk menunjukkan tidak hanya performa individu namun juga berkerja dalam tim. Di Belectric, karyawan yang sudah mencapai level ini, diberikan kepercayaan untuk memimpin sebuah proyek kecil. Dan tentu saja peningkatan dan perkembangan karyawan tersebut berimplikasi pada peningkatan pendapatan.

Kompetensi di Belectric tidak melalui proses sertifikasi namun melalui proses pembelajaran. Pembuktian kompetensi secara bertahap ditunjukkan melalui kinerja dan tercapainya target yang ditetapkan. Apabila mereka berhenti dan mencari pekerjaan di tempat lain, maka proses yang dijalani akan kurang lebih sama untuk bisa mencapai level kompeten yang dipersyaratkan. Mungkinkah di Indonesia bisa seperti ini?

Referensi

, 2011. Belectric International Solarwerkkraft [online] Available at:

English: Scanned by uploader from Menand, Louis (2001), The Metaphysical Club, New York: Farrar, Straus and Giroux, p. 317, ISBN 0-374-52849-7. Original photograph from the John Dewey Photograph Collection (N3-1104, N3-1109), Special Collections, Morris Library, Southern Illinois University at Carbondale.

Maurice Gibbons, Alan Bailey, Paul Comeau Joe Schmuck, Sally Seymour, and David Wallace (2008) from the Journal of Humanistic Psychology (Spring, 1980), pp. 41-56: Toward a Theory of SDL: A Study of Experts Without Formal Training.

Grow, Gerald O. (1991/1996). ‘Teaching Learners to be Self-Directed.’ Adult Education Quarterly, 41 (3), 125-149. Expanded version available online at: http://www.longleaf.net/ggrow 


Page 6

JAKARTA--Pemberian remunerasi kepada aparatur sipil negara menurut pakar administrasi negara Sofyan Effendi tidak akan mengurangi korupsi. Contoh nyata yang terjadi di Kejaksaan Agung dan Kementerian Keuangan. Di kementerian / lembaga penerima remunerasi itu justru banyak kasus suap dan korupsi mencuat. "Remunerasi tidak bisa menghilangkan korupsi. Berapapun yang dikasi, aparaturnya akan tetap melakukan KKN, karena selalu ada celah untuk mereka melakukan pelanggaran," kata Sofyan, Minggu (5/2). Meski sulit memberantas korupsi, namun menurut dia, bisa diminimalisir dengan pelaporan harta kekayaan pejabat/penyelenggara negara(LHKPN). Pelaporannya sebelum menjadi pejabat dan setelah masa jabatan berakhir. "Nanti dari LHKPN itu akan ketahuan kalau pejabatnya korupsi atau tidak. Kalau kekayaannya lonjakannya terjalu tinggi, ini patut ditelisik," ujar ketua tim penyusun RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) ini.

Selain pelaporan LHKPN, perlu dilakukan perubahan sistem sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2004. Itu berarti perlu ada pengawas internal yang akan bertugas mengawasi para aparatur. Masing-masing instansi mesti ada pengawas internal, sehingga bisa memantau perkembangan PNS setiap saat. "Pengawas internal jangan hanya jadi pajangan saja. Kinerja harus jelas dan tidak hanya bergerak kalau sudah ada kasus," tandasnya.

Sumber : JPPN.COM, Artikel Nasional - Humaniora, minggu 5 Februari 2012.