Mengapa Presiden dan wakil Presiden RI pertama bukan dipilih oleh MPR atau oleh rakyat

Mengapa Presiden dan wakil Presiden RI pertama bukan dipilih oleh MPR atau oleh rakyat

Mengapa Presiden dan wakil Presiden RI pertama bukan dipilih oleh MPR atau oleh rakyat
Lihat Foto

ANTARA FOTO/IRFAN ANSHORI

Petugas Linmas menyemprotkan cairan disinfektan ke area Tempat Pemungutan Suara (TPS) saat simulasi pemungutan suara Pilkada serentak di Alun-Alun Kota Blitar, Jawa Timur, Kamis (3/12/2020). Simulasi pemungutan suara dengan menerapkan protokol kesehatan serta penanganan pemilih khusus disabilitas dan diduga terpapar COVID-19 tersebut bertujuan untuk menghindari penularan COVID-19 pada pelaksanaan Pilkada 2020, serta menciptakan pemilu yang aman dan sehat. ANTARA FOTO/Irfan Anshori/wsj.

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia telah beberapa kali menyelenggarakan pemilihan umum atau pemilu. Pemilu pertama digelar pada tahun 1955.

Namun, pemilu presiden atau pilpres di Tanah Air sejauh ini baru digelar sebanyak empat kali.

Pilpres pertama diselenggarakan pada tahun 2004. Saat itulah, untuk pertama kalinya dalam sejarah, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presidennya.

Baca juga: Pengertian Pemilu, Asas, Prinsip, dan Tujuannya

Sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya sendiri dipilih melalui presiden.

Namun, setelah UUD diamendemen untuk yang ketiga kalinya pada tahun 2001, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini termaktub dalam Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945.

"Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasanhan secara langsung oleh rakyat," demikian bunyi pasal tersebut.

Pemilu presiden pertama berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 5 Ayat (4) UU itu menyebutkan bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR.

Baca juga: Wanti-wanti Agar Pemilu 2024 Tak Jadi Pesta Kematian

Kemudian, pasangan calon presiden dan wakil presiden dinyatakan terpilih apabila mendapatkan suara melebihi 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 66 Ayat (2) UU Pemilu.

Apabila tidak ada pasangan calon terpilih sesuai dengan ketentuan tersebut, maka diadakan putaran kedua, yakni dua pasangan calon yang mendapat suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung melalui pilpres.

Undang-Undang ini mengatur mekanisme pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika dan moral, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik. Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam Undang-Undang ini diatur beberapa substansi penting yang signifikan antara lain mengenai persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden wajib memiliki visi, misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan selama 5 (lima) tahun ke depan. Dalam konteks penyelenggaraan sistem pemerintahan Presidensiil, menteri yang akan dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden harus mengundurkan diri pada saat didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum. Selain para Menteri, Undang-Undang ini juga mewajibkan kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mengundurkan diri apabila dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Pengunduran diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan. Untuk menjaga etika penyelenggaraan pemerintahan, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota perlu meminta izin kepada Presiden pada saat dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden.

News - Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia

29 November 2019 06:29

Jakarta, CNBC Indonesia - Wacana presiden dan wakil presiden kembali dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia kembali mencuat. Wacana itu muncul selepas pertemuan antara Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj di kantor PBNU, Jakarta, Rabu (27/11/2019)."Kami juga hari ini mendapat masukan dari PBNU berdasarkan hasil Munas PBNU sendiri di tahun 2012 di Cirebon yang intinya adalah PBNU merasa pemilihan presiden dan wapres lebih bermanfaat, bukan lebih baik, lebih tinggi kemaslahatannya lebih baik dikembalikan ke MPR ketimbang (dipilih rakyat) langsung," katanya dilansir CNN Indonesia, Kamis (28/11/2019).Tak hanya itu, Bamsoet mengatakan, PBNU mengusulkan untuk menghidupkan kembali utusan golongan di MPR ke depannya. Diketahui, utusan golongan pernah mengisi kursi di MPR sebelum amandemen UUD 1945. Utusan golongan merupakan anggota MPR yang berasal berbagai profesi. Bamsoet mengatakan utusan golongan itu perlu dihidupkan kembali untuk mengakomodasi aspirasi dari kelompok minoritas yang ada di Indonesia."Karena keterwakilan yang ada di parlemen baik DPD, DPR, belum yang mewakili aspirasi kelompok minoritas sehingga perlu dipikirkan kembali adanya keputusan golongan," kata Bamsoet menjelaskan.Terpisah, Kiai Said mengatakan ide presiden dan wakil presiden kembali dipilih oleh MPR RI itu berawal dari para kiai-kiai senior NU dalam Munas Alim Ulama Cirebon tahun 2012 lalu. Ia menyatakan para kiai-kiai senior NU menilai pemilihan presiden secara langsung menimbulkan ongkos politik dan ongkos sosial yang tinggi."Kemarin baru saja betapa keadaan kita mendidih, panas, sangat mengkhawatirkan. Ya untung tidak ada apa-apa. Tapi apakah lima tahun harus kaya gitu? Itu suara-suara para kiai pesantren yang semua demi bangsa demi persatuan. Tidak ada kepentingan politik praksis, tidak," ujar Said.Intelektual NU Ulil Abshar-Abdalla mengaku sangat sedih lantaran PBNU mendukung pemilihan presiden melalui MPR RI. Menurut dia, pemilihan presiden secara langsung merupakan salah satu capaian penting reformasi kita."Ini adalah kemunduran besar bagi demokrasi. NU tidak boleh menjadi bagian dari kekuatan "konservatif" untuk memundurkan demokrasi kita," tulis Ulil dalam akun Twitter-nya seperti dikutip, Kamis (28/11/2019).Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengkritik munculnya wacana tersebut. Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini di Jakarta, Kamis (28/11/2019), seperti dilansir detik.com."Sangat potensial mengulang kembali apa yang terjadi di era orde baru. Karena pasti wacana ini tidak akan berhenti di sini. Pasti akan ada lanjutan yang menjadi pembenaran karena pertimbangan biaya, keutuhan bangsa, dan kebutuhan pada figur yang baik," katanya."Maka diskursus selanjutnya soal perpanjangan masa jabatan, lama-lama malah penghapusan sama sekali pembatasan masa jabatan. Maka isu pilpres oleh MPR ini adalah ibarat kotak pandora kita untuk kembali pada era kegelapan orde baru," imbuhnya.Menurut Titi, pilpres yang digelar secara langsung pada periode 2004-2019 jauh lebih stabil ketimbang saat presiden dan wapres dipilih MPR RI pada kurun 1999-2004. Ia mengingatkan, ketika itu, Presiden Abdurrahmah Wahid dilengserkan oleh MPR RI."Otoritas MPR yang besar bisa menimbulkan kekisruhan dalam kehidupan politik. Sebab ketidakpuasan elite bisa dengan mudah disalurkan pada keputusan politik yang belum tentu sejalan dengan kehendak rakyat," ujar Titi.Lebih lanjut, dia mengingatkan pilpres yang digelar secara langsung harus dilihat sebagai sebuah investasi pendidikan politik yang kontributif dalam menjaga kesadaran publik untuk teribat dalam penentuan pemimpinnya."Bila masyarakat merasa jadi bagian dalam proses bernegara dan hak-haknya dijamin dengan baik untuk bersuara, maka konflik atau benturan antara rakyat dan pemerintah pun bisa dicegah dan pembangunan juga bisa berjalan dengan baik serta kondusifitas bernegara lebih terjaga. Jadi soal biaya tinggi itu indikatornya menjadi relatif," kata Titi.

[Gambas:Video CNBC]


(miq/miq)

Terpopuler

Jakarta - Usul agar presiden kembali dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kembali mencuat. Namun, usul ini dinilai bisa mengembalikan sistem politik Indonesia mundur ke zaman Orde Baru (Orba).

Sebagaimana diketahui, MPR mulanya memang dikenal sebagai lembaga tertinggi negara. Bahkan, sebelum zaman Orba. Yakni, sejak zaman Orde Lama (Orla) Sukarno. MPR dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) saat itu menyebut MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Yakni termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945:

"Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat."

Karena wewenangnya sebagai lembaga negara tertinggi inilah yang membuat MPR bisa melantik Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan, pada tahun 1963, MPR melalui Tap MPRS No III/MPRS/1963 pernah mengangkat Sukarno sebagai Presiden seumur hidup.Saat era kekuasaan beralih dari Orla ke Orba, wewenang MPR ini pun belum juga hilang. MPR masih bisa melantik Presiden dan Wakil Presiden.Saat peristiwa G 30 S/PKI pecah pada tahun 1965, Indonesia mengalami gejolak politik yang hebat. Hingga akhirnya melalui sidang istimewa MPRS (MPR Sementara) pada Maret 1967, Soeharto yang telah menerima kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden. Soeharto kemudian terus dipiih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.Misalnya, seperti dikutip dari buku 'Jejak Langkah Pak Harto' yang disusun oleh G Dwipayana, pada pemilihan Presiden tahun 1973, ada 920 anggota MPR yang terdiri dari 392 anggota dari Fraksi Karya Pembangunan (Golkar), 230 anggota Fraksi ABRI, 130 anggota Fraksi Utusan Daerah, 126 anggota Fraksi Persatuan Pembangunan (PPP), dan 42 anggota Fraksi Demokrasi Indonesia (PDI). Semuanya sepakat melantik kembali Soeharto sebagai Presiden. Untuk diketahui, saat itu Golkar dan ABRI merupakan pendukung setia Soeharto.