Mengapa pertanian di dataran rendah berbeda dengan di dataran tinggi?

Perbedaan dataran tinggi dan dataran rendah di Indonesia perlu dibahas lebih lanjut agar tidak membingungkan. Berikut rangkuman perbedaan dataran rendah dan dataran tinggi.

Dataran rendah adalah dataran aluvial, memiliki ketinggian sekitar 200 meter dari permukaan laut. Dan biasanya lebih subur, apalagi yang letaknya berdekatan dengan sungai.

Lalu untuk dataran tinggi sendiri adalah daerah yang terbentuk akibat bekas kaldera yang tertimbun oleh material dari kereng pegunungan yang ada di sekitarnya.

Dataran tinggi biasanya memiliki ketinggian di atas 700 meter dari permukaan laut.

Perbedaan Dataran Tinggi dan Dataran Rendah Dari Segi Iklim dan Cuaca

Sebelum kami informasikan tentang perbedaan petani di daerah dataran rendah dan dataran tinggi, sebaiknya ketahui terlebih dulu perbedaan antara dataran rendah dan tinggi.

Dengan begitu Anda akan lebih memahami tentang perbedaan plain dan plateu lebih jelasnya.

Kontur dan Permukaan Tanah Atau Lahan

Jika dilihat dari segi kontur dan permukaan tanahnya, dataran rendah dan tinggi ternyata memiliki sedikit perbedaan.

Daerah di dataran rendah biasanya memiliki kontur dan permukaan tanah yang lebih rata dan datar, sehingga cocok jadi lokasi bercocok tanam dan untuk mendirikan berbagai bangunan.

Beda halnya daerah di dataran tinggi, memiliki kontur dan permukaan tanah beragam, alias tidak merata.

Jenis flora dan fauna yang tinggal di daratan rendah dan tinggi tidak jauh berbeda. Karena sebagian besar flora dan fauna ditentukan iklim dari suatu daerah atau wilayah.

Bahkan ada beberapa jenis tanaman yang hidup di daratan rendah ternyata juga bisa hidup di dataran tinggi.

Baca : Tanaman Dataran Rendah : Ciri, Jenis, Contoh dan Manfaat

Potensi Pariwisata

Jika berbicara mengenai potensi pariwisatanya sendiri tentunya ada perbedaan antara daerah dataran rendah dan tinggi.

Khususnya di dataran rendah, pariwisata yang dimiliki biasanya berkaitan dengan pantai, taman bermain, tempat bersejarah, tugu, dan lain sebagainya.

Sementara itu di dataran tinggi potensi pariwisata yang ditawarkan adalah wisata alam, seperti arung jeram, pegunungan, camping, dan hiking.

Lokasi Ketinggian

Dataran rendah biasanya ada di ketinggian dibawah 200 meter dari permukaan laut. Lalu untuk dataran tinggi sendiri ada di ketinggian lebih dari 700 meter dari permukaan laut.

Iklim dan Cuaca

Jika dilihat dari sisi iklim dan cuaca, daerah di dataran rendah cenderung lebih panas, kering, dan memiliki curah hujan lebih tinggi.

Meksipun demikian, dataran rendah ternyata tetap ideal untuk dijadikan sebagai lahan bercocok tanam dan pertanian.

Berbeda dengan dataran tinggi yang tingkat kelembapan udara dan tanahnya terbilang lebih tinggi, sehingga suhu udaranya pun cenderung sejuk. Tetapi daerah di dataran tinggi memiliki curah curah yang lebih rendah.

Perbedaan Petani di Dataran Tinggi dan Rendah

Para petani di daerah dataran tinggi biasanya menanam jenis tanaman yang tahan dengan suhu dingin, contohnya saja seperti kopi, apel, teh, sayur mayur, dan berbagai jenis bumbu.

Untuk petani di daerah dataran rendah justru memilih untuk menanam tanaman yang tahan terhadap suhu panas, seperti padi, jagung, kelapa, pisang, singkong, dan lain-lain.

Baca : Alasan Petani di Dataran Tinggi Jarang Menanam Padi

Lalu jika dilihat dari segi jenis tanah atau lahannya sendiri, lahan pertanian yang ada di daerah dataran tinggi sifatnya kering.

Lalu untuk lahan di daerah dataran rendah biasanya bersifat basah, sehingga lebih cocok digunakan untuk bercocok tanam. Sebagian besar jenis tanaman yang ditanam di dataran tinggi juga bisa ditanam di daerah dataran rendah.

Perlu untuk diketahui juga bahwa ketika akan menanam tanaman di daerah dataran rendah, para petani biasanya terlebih dulu melakukan proses pengolahan tanah, seperti membajak tanah terlebih dulu.

Beda halnya di daerah dataran tinggi para petani sudah tidak perlu lagi mengolah tanahnya lagi.

Baca : Tanaman Dataran Tinggi di Indonesia

Selain itu, karena di daerah dataran rendah kontur tanahnya lebih rata dan landai, sehingga proses bercocok tanam pun jadi lebih mudah.

Lalu pada daerah dataran tinggi sendiri para petani harus membuat tanah tumpang sari atau berundak-undak.

Demikian informasi mengenai perbedaan dataran tinggi dan dataran rendah yang dapat dijadi referensi bacaan. Semoga bermanfaat ya.

Jakarta -

Detikers, apa kamu tinggal di dataran rendah atau tinggi? Kalau tinggal di dataran rendah pasti kamu tidak asing dengan sumber daya alam yang dimiliki. Sebelumnya, dataran rendah adalah hamparan tanah datar yang berada pada ketinggian relatif rendah. Dataran ini juga disebut dengan dataran aluvial.

Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ciri dari dataran rendah adalah ketinggiannya kurang dari 200 meter di atas permukaan laut. Ciri lainnya, suhu lingkungan di wilayah dataran rendah cenderung normal. Tidak terlalu panas seperti di wilayah pantai atau tidak terlalu dingin seperti wilayah dataran tinggi.

Dataran rendah juga memiliki ciri berada di dekat pantai dan hilir sungai, membuatnya mudah terkena banjir. Namun, karena dekat dengan sumber air, dataran rendah memiliki berbagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan.

Buku Tematik Kelas 4 dari Kemdikbud, menjelaskan sumber daya alam dataran rendah meliputi perikanan, peternakan, pertanian, dan perkebunan. Selain itu, di dataran rendah bisa didapatkan pula sumber daya alam berupa hasil pertambangan. Berikut penjelasannya:

1. Perikanan

Akibat dekat dengan sumber air, dataran rendah dapat dimanfaatkan sebagai wilayah budidaya perikanan air tawar. Ikan air tawar ini selain untuk dikonsumsi juga bisa menjadi ikan hias.

Contoh ikan yang dapat dibudidaya di dataran rendah adalah ikan mujair, ikan koi, dan ikan lele.

2. Peternakan

Tanah yang datar dan sumber makan minum yang mudah didapat menyebabkan dataran rendah menjadi tempat yang ideal bagi usaha ternak. Hewan ternak yang dapat tinggal di dataran rendah adalah sapi, ayam, kambing, dan sebagainya.

3. Pertanian

Dataran rendah memiliki tanah yang subur dan gembur. Kondisi tanah ini membuatnya cocok untuk dijadikan lahan pertanian. Pertanian yang cocok dilakukan di dataran rendah adalah sayur, umbi, dan kacang-kacangan.

4. Perkebunan

Selain pertanian, dataran rendah juga cocok dijadikan lahan perkebunan. Dataran rendah sesuai untuk dijadikan lahan perkebunan buah dan bunga.

5. Pertambangan

Sumber daya alam dataran rendah termasuk berbagai hasil tambang untuk memenuhi kebutuhan manusia serta untuk menggerakkan roda perekonomian.

Contoh hasil tambang dataran rendah adalah logam seperti emas, perak, nikel, tembaga, besi, timah, alumunium, dan perunggu. Selain itu hasil tambang bukan logam seperti minyak bumi, gas alam, batu bara, intan, granit, dan marmer.

Contoh Dataran Rendah di Indonesia

Setiap wilayah termasuk Indonesia memiliki dataran rendah. Berikut contoh dataran rendah di Indonesia:

  • Dataran rendah Surakarta
  • Dataran rendah Madiun
  • Dataran rendah Palembang
  • Dataran rendah Banjarmasin
  • Dataran rendah Semarang
  • Dataran rendah Samarinda
  • Dataran rendah Pontianak

Mayoritas wilayah dataran rendah dimanfaatkan sebagai pusat aktivitas penduduk seperti pusat pemerintahan, pusat komunikasi, pusat pendidikan, dan pusat industri. Keanekaragaman aktivitas penduduk menunjukkan adanya heterogenitas mata pencaharian penduduk.

Berbagai potensi sumber daya alam dataran rendah yang dipaparkan di atas dapat dimanfaatkan mendorong masyarakat untuk berkreasi dan menggerakkan roda perekonomian.

Simak Video "Erick Thohir Ungkap Ada Mafia Bibit di Sektor Pertanian"



(pal/pal)

Jakarta -

Mayoritas perekonomian masyarakat Indonesia di dataran tinggi bertumpu pada sektor pertanian. Aktivitas pertanian akan turut menggeliat seiring dengan meningkatnya permintaan pangan. Namun demikian, aktivitas pertanian di dataran tinggi yang semakin intensif justru kerap menimbulkan polemik. Penyebabnya pengelolaan yang masih belum tepat.

Dataran tinggi di Indonesia yang berpotensi untuk usaha pertanian relatif luas yaitu berkisar 6,8 juta hektar(ha). Meski tak sebanding dengan luasan dataran rendah yang mencapai 87,2 juta ha, pertanian di dataran tinggi sangat strategis dalam mendukung swasembada pangan. Sekaligus juga menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat.

Sejak Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan tahun 1992, komunitas internasional sepakat untuk meningkatkan kolaborasi antarnegara dalam pembangunan pertanian di kawasan dataran tinggi. Hal ini dikarenakan pertanian di dataran tinggi di banyak negara belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Padahal tingkat kemiskinan pedesaannya tergolong tinggi, produktivitas pertanian rendah, migrasi penduduk cepat karena minim lapangan pekerjaan, hingga potensi degradasi sumber daya alam yang tinggi akibat pengelolaan yang tidak tepat.

Aktivitas pertanian di lahan dataran tinggi dihadapkan pada faktor pembatas biofisik seperti lereng yang curam, kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi, dan curah hujan yang relatif tinggi. Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya lahan di daerah ini dapat menimbulkan kerusakan yang dampaknya bersifat multiplier effects.

Sebagai contoh Dataran Tinggi Dieng yang tersohor sebagai salah satu penghasil kentang terbaik di dunia. Di balik ketenarannya, erosi kerap terjadi di daerah tersebut akibat dari lapisan tanah atas yang semakin tergerus. Aktivitas pemupukan kimia secara intensif telah memicu terjadinya penggaraman bahkan penggurunan lahan. Pemberantasan hama dengan pestisida kimia telah menimbulkan pencemaran terhadap air sampai ke daerah hilir.

Petani kerap dituding menjadi aktor yang paling bersalah atas kerusakan sumber daya alam di dataran tinggi. Padahal jika ditilik lebih lanjut, tingkat penerimaan petani relatif lebih rendah dibandingkan dengan aktor lainnya sepanjang rantai pasokan seperti pengepul, pedagang besar, hingga industri pemrosesan. Artinya meski memang petani bertindak sebagai produsen, tetapi tanggung jawab pengelolaannya melibatkan multipihak.

Pada tahun 2019, Kementerian Pertanian telah meneken program pengembangan pertanian terintegrasi di dataran tinggi bernama The Development of Integrated Farming System in Upland Areas (UPLAND). Program tersebut bertujuan untuk mengakselerasi kemajuan pertanian di dataran tinggi di Indonesia yang bersifat komprehensif dan berkelanjutan dari hulu ke hilir.

Inisiasi ini sangat patut diapresiasi. Ada setidaknya 14 kabupaten tersebar di seluruh Indonesia yang dipilih sebagai pilot project. Untuk mendukung terselenggaranya program, pemerintah mengucurkan dana yang diperoleh lewat skema pinjaman dari lembaga donor luar negeri kepada setiap kabupaten terpilih.

Masing-masing kabupaten menerima hibah dana dengan nominal berbeda sesuai rencana pengembangan. Nominalnya tak tanggung-tanggung. Misalnya Kabupaten Banjarnegara yang menerima dana sebesar Rp 55,9 miliar untuk pengembangan komoditas domba dan sapi seluas 500 ha. Sedangkan Kabupaten Minahasa Selatan menerima dana berkisar Rp 128 miliar untuk pengembangan kentang seluas 1.040 ha.

Penuh TantanganMeski kabar perkembangan program UPLAND samar terdengar, kehadiran program ini memang membawa angin segar atas dilematika pertanian di dataran tinggi di Indonesia. Pengembangan pertanian berbasis agroekologi di dataran tinggi perlu dilakukan untuk mencapai usaha tani yang produktif dan berkelanjutan. Ambisi besar dari program UPLAND selama berjalan dalam kurun lima tahun ke depan yaitu mampu mendukung pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian minimal 5% per tahun.

Dengan cita-cita mulia serta gelontoran dana yang fantastis, perlu perencanaan dan implementasi strategis agar program UPLAND berjalan dan berdampak optimal. Pertama, proyeksi pengelolaan pertanian dilakukan dengan mengadopsi pertanian organik. Kesuksesan petani kecil di Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara yang beralih dari melakukan pertanian konvensional ke pertanian organik perlu dijadikan inspirasi.

Pertanian organik telah mampu meningkatkan penerimaan petani di Dataran Tinggi Karo hingga 180 persen dalam waktu tiga tahun. Praktik pertanian organik juga terbukti mengurangi tingkat degradasi lahan.

Praktik pertanian konvensional di dataran tinggi masih relatif tinggi. Akan sangat disayangkan jika program UPLAND tidak mampu untuk mendorong petani mengadopsi pertanian organik atau paling tidak semi organik. Program UPLAND harus menjadi solusi pertanian yang berkelanjutan baik secara ekonomi, sosial, dan sumber daya alam (lingkungan).

Kedua, penguatan sistem kelembagaan. Kelembagaan petani yang mapan diharapkan mampu meningkatkan nilai tawar petani, memperluas kemitraan dengan multipihak, mendukung penggunaan teknologi serta meningkatkan akses petani terhadap pasar dan permodalan. Khususnya jika produk pertanian dari program UPLAND diproyeksikan untuk masuk ke pasar ekspor, maka perlu pemetaan rantai pasokan yang jelas. Petani sebagai produsen harus mampu memiliki nilai tawar yang tinggi.

Ketiga, penyediaan sarana dan prasarana pertanian yang memadai sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Komoditas pertanian yang dipilih untuk program UPLAND mayoritas merupakan komoditas hortikultura meliputi bawang merah, bawang putih, manggis, pisang, kentang, dan kopi. Komoditas hortikultura memiliki karakteristik rentan terhadap kerusakan (perishable). Sehingga sarana dan prasarana pada proses pemanenan dan pasca panen sangat penting untuk disediakan.

Aktivitas pemanenan dan pascapanen yang tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai akan meningkatkan potensi kerusakan produk. Hal ini dapat menurunkan tingkat penerimaan petani.

Program UPLAND akan penuh tantangan dalam mengharmonisasikan ketiga aspek tersebut. Diperlukan tekad dan komitmen yang kuat dari setiap pihak agar program berjalan maksimal. Keberhasilan program UPLAND akan mampu mengakselerasi resiliensi pertanian dan swasembada pangan bangsa. Serta dapat menjadi momentum peningkatan taraf kesejahteraan petani pada situasi global yang terdistorsi oleh pandemi.

Dian Yuanita W Mahasiswa Magister Manajemen Agribisnis UGM, peneliti agribisnis, Awardee LPDP, dan Anggota Asosiasi Logistik Indonesia

(mmu/mmu)