Mengapa kita perlu menerapkan asas asas Islam dalam transaksi ekonomi?

Oleh : Agustianto

Kajian mengenai  asas-asas akad (perjanjian)  memiliki peranan penting untuk memahami berbagai macam kontrak perjanjian, regulasi dan undang-undang, terutama  kaitannya dengan sahnya perjanjian. Perkembangan yang terjadi dalam akad-akad bisnis kontemporer dan ketentuan undang-undang akan lebih mudah dipahami setelah mengetahui asas-asas yang berkaitan dengan perjanjian  tersebut.

Islam sebagai agama yang lengkap dan komprehensif, banyak mengajarkan asas-asas perjanjian. Asas sangat berpengaruh pada suatu akad perjanjian. Ketika suatu asas tidak dipenuhi maka akan mengakibtakan batal atau tidak sahnya akad perjanjian yang dibuat.  Asas-asas hukum kontrak berfungsi sebagai pembangun sistem perjanjian. Asas-asas itu tidak hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi juga dalam banyak hal menciptakan suatu sistem hukum kontrak yang yang adil, menjamin kepastian, dan menciptakan kemaslahahan.

Asas-asas akad ini bersumber dari Alquran, hadits dan ijtihad para ulama sepanjang sejarah selama berabad-abad silam. Namun harus dicatat, bahwa asas-asas akad ini  tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait antara satu asas dengan asas lainnya.

1 Asas Kebebasan Berkontrak (al-hurriyah)

 Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang dalam hukum syariah dikenal dengan istilah al-hurriyah,  merupakan prinsip dasar dan utama dalam hukum Islam. Sejumlah hadits dan kaedah fiqh menunjukkan secara jelas prinsip kebebasam berkontrak ini.

Hadits Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:

اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

“Perjanjian boleh dan bebas  dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

الآصل في المعاملة الابا حة  حتى يدل الدليل على تحريمها

Pada dasarnya dalam akad muamalah itu hukumnya boleh dan bebas,  kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Selanjutnya Ibnu Taymiyah, ulama terkemuka di abad pertengahan merumuskan kaedah fikih muamalah dalam pembuatan kontrak sebagai berikut :

الأصـل فى العـقود والشروط : الجواز والصـحة ،  ولا يحرم منها ويـبطـل إلا ما دل الشـرع  على تحريـمه وإبـطاله ( ابن التيمية ، القواعد النورانية الفقهية ، ص131

Artinya: Menurut ketentuan asal bahwa akad-akad dan syarat-syarat adalah boleh dan bebas  dan karena itu hukumnya sah ; tidak ada yang diharamkan atau dianggap batal kecuali apa-apa yang dinyatakan haram dan batal oleh Syariah.” (Ibnu Taymiyah, Qaidah Nuranniyah,131)

Yang dimaksudkan dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang mengajarkan bahwa dalam suatu kontrak para pihak bebas untuk membuat perjanjian, baik isi dan materi perjanjian, menentukan persyaratan-persyaratan, menentukan pelaksanaan, melakukan perjanjian dengan siapapun, membuat perjanjian tertulis atau lisan termasuk menetapkan cara –cara penyelesaian bila terjadi sengketa. Kebabasan membuat perjanian ini dibenarkan selama  tidak bertentangan dengan ketentuan syariah Islam.

Dengan asas kebebasan berkontrak, dapat diciptakan akad-akad perjanjian baru yang bentuknya di luar akad-akad musamma (perjanjian bernama) seperti musyarakah mutanaqishah, multi level marketing, franchising, perjanjian line facility, Margin During Contruction, bay wafa’,gabungan bay wafa dengan syirkah,   bay istighlal,  bay’ tawarruq,  Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT), Ijarah Maushufah fiz Zimmah, sewa beli, mudharabah bil wadi’ah, mudharabah muntahiyah bit tamlik,  dsb.

Asas kebebasan berkontrak ini juga menjadi dasar pengembangan hybrid contracts (al-‘ukud al-murakkabah) dalam produk perbankan dan keuangan syariah. Dr Mabid Al-Jarhi, mantan direktur IRTI IDB pernah mengatakan, kombinasi akad di zaman sekarang adalah sebuah keniscayaan. Bentuk akad tunggal sudah tidak mampu lagi meresponi transaksi keuangan kontemporer. Saat ini metode hybrid contracts menjadi unggulan dalam inovasi produk  perbankan dan keuangan syariah

Asas al-hurriyyah (kebebasan) berkontrak merupakan pilar  dari sistem hukum kontrak ekonomi syariah. Asas ini juga berlaku pada hukum perdata, khususnya hukum perikatan yang diatur Buku III KUHPerdata. Bahkan menurut Rutten, hukum perdata, khususnya hukum perjanjian, seluruhnya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.[7]. 

Sutan Remy Sjahdeini menyimpulkan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak sebagai berikut.[i]

1. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

2. kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian;

3. kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya;

4. kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian;

5. kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian

6. kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional).

Asas kebebasan berkontrak ini bersifat universal, artinya berlaku juga dalam berbagai sistem huk perjanjian di negara-negara lain dan memiliki ruang lingkup yang sama.

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengakui asas kebebasan berkontrak dengan menyatakan, bahwa semua perjanjian yang dimuat secara sah mengikat para pihak sebagai undang-undang.

Menurut sejarahnya, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mencerminkan tipe perjanjian pada waktu itu yang berpijak pada Revolusi Perancis, bahwa individu sebagai dasar dari semua kekuasaan. Pendapat ini menimbulkan konsekuensi, bahwa orang juga bebas untuk mengikat diri dengan orang lain, kapan dan bagaimana yang diinginkan kontrak terjadi berdasarkan kehendak yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

Hukum Romawi sendiri tidak mengenal adanya kebebasan berkontrak. Menurut Hukum Romawi, untuk membuat suatu perjanjian yang sempurna tidak cukup dengan persesuaian kehendak saja, kecuali dalam empat hal, yaitu: perjanjian jual beli, sewa-menyewa, persekutuan perdata, dan memberi beban atau perintah (lastgeving). Selain keempat jenis perjanjian itu semua perjanjian harus dilakukan dengan syarat-syarat tertentu yang disebut causa civilis oligandi, yaitu untuk mencapai kesepakatan harus disertai dengan kata-kata suci (verbis) disertai dengan tulisan tertentu (literis) dan disertai pula penyerahan suatu benda (re)

Dalam hukum syariah dan hukum perdata, asas  kebebasan berkontrak  tidak  berlaku mutlak (absulot), akan tetapi bersifat relatif karena selalu dikaitkan dengan kepentingan umum (maslahah ‘ammah). Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan sebebas-bebasnya kepada para pihak,  namun perlu memperhatikan nilai-nilai syariah Islam.

Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak/perjanjian.

Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh rambu-rambu hukum.  Pasal 1320 KUHPerdata sendiri sebenarnya membatasi asas kebebasan berkontrak melalui pengaturan persyaratan sahnya perjanjian yang harus memenuhi kondisi:

1. adanya persetujuan atau kata sepakat para pihak;

2. kecakapan untuk membuat perjanjian;

3. adanya objek tertentu; dan

4. ada kausa hukum yang halal.

Rambu-rambu hukum yang membatasi pembuatan kontrak sebagai berikut :

1.   harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak

2.   tidak dilarang oleh undang-undang

3.   tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku

4.   harus dilaksanakan dengan itikad baik

5.   Tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal

Dalam hukum Islam terdapat suatu asas, bahwa setiap akad perjanjian adalah mengikat para pihak (ilzam / binding), Ketentuan ini disokong oleh doktrin Islam yang tertuang dalam Alquran Al-Maidah ayat 1 :  

قال تعالى: يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود (المائدة 5/1)  

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.

Ayat Alquran ini dengan tegas memerintahkan setiap pelaku kontrak untuk melaksanakan dan memenuhi apa yang dijanjikan dalam kontrak. Janji-janji  yang telah diucapkan harus  dilaksanakan. Dengan demikian kebebasan berkontrak bukanlah  asas yang hanya terdapat dalam hukum Kanonik Barat, karena ajaran Islam yang bersumberkan wahyu sejak 14 abad yang lalu telah merumuskan asas ini.[13]

Dalam perkembangannya, terkadang asas kebebasan berkontrak dapat menimbulkan ketidakadilan, karena untuk mencapai asas kebebasan berkontrak harus didasarkan pada posisi tawar (bargaining position) para pihak yang seimbang (al-musawah)

Dalam kenyataannya hal tersebut sulit dijumpai adanya kedudukan posisi tawar yang benar-benar seimbang atau sejajar. Pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi seringkali memaksakan kehendaknya. Dengan posisi yang demikian itu, ia dapat mendikte pihak lainnya untuk mengikuti kehendaknya dalam perumusan isi perjanjian. Dalam keadaan demikian, pemerintah atau negara seringkali melakukan intervensi atau pembatasan kebebasan berkontrak dengan tujuan untuk melindungi pihak yang lemah. Pembatasan tersebut dapat dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Di negara-negara dengan sistem common law, kebebasan berkontrak juga dibatasi melalui peraturan perundang-undangan dan public policy. Hukum perjanjian di Indonesia juga membatasi kebebasan berkontrak dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Pembatasan ini dikaitkan dengan kausa yang halal dalam perjanjian. Berdasar Pasal 1337 KUHPerdata suatu kausa dapat menjadi terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Selain pembatasan tersebut di atas, Ridwan Khaiarandy mencatat beberapa hal yang menyebabkan makin berkurangnya asas kebebasan berkontrak, yakni:[14]

1. Makin berpengaruhnya ajaran iktikad baik di mana iktikad baik tidak hanya ada pada saat perjanjian dilaksanakan juga telah harus ada pada saat perjanjian dibuat; dan

2. Makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan  keadaan dalam kontrak (misbruik van omstandigheden, undue influence).

Selain kedua hal di atas, Setiawan mencatat dua hal lagi yang dapat membatasi kebebasan berkontrak. Makin banyaknya perjanjian yang dibuat dalam bentuk baku yang disodorkan pihak kreditor atas dasar take it or leave it. Di sini tidak ada kesempatan bagi debitor untuk turut serta menentukan isi perjanjian. Juga makin berkembang peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi turut membatasi kebebasan berkontrak. Peraturan yang demikian itu merupakan mandatory rules of a public nature. Peraturan-peraturan ini bahkan membuat ancaman kebatalan perjanjian di luar adanya paksaan, kesesatan, dan penipuan yang sudah dikenal dalam hukum perjanjian.[15] Contoh dari peraturan perundang-undangan di bidang hukum ekonomi yang membatasi kebebasan berkontrak adalah Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.

2.Asas Konsensualisme (ittifaq)

Konsensuil secara sederhana diartikan sebagai kesepakatan (ittifaq). Dalam hukum syariah suatu akad baru lahir  setelah dilaksanakan ijab dan kabul. Ijab adalah pernyataan kehendak melakukan ikatan, sedangkan kabul adalah pernyataan penerimaan ikatan. Dengan tercapainya kesepakatan antara para pihak (‘aqidain)  yang diwujudkan dengan ijab dan qabul lahirlah kontrak (akad). Dengan tercapainya kesepakatan para pihak maka hal itu  menimbulkan hak dan kewajiban  bagi mereka yang membuatnya (atau dengan kata lain perjanjian itu bersifat obligatoir atau ilzam).  

Dalam hukum positif, asas konsensualisme dapat dilihat  dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme (ittifaq)  muncul dari ajaran syariah melalui konsep ‘an taradhin (sama-sama ridha dan berkehendak) sebagaimana yang terdapat dalam Alquran surat An-Nisak : 29.  Dengan demikian, asas  konsensualisme bukanlah berasal dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Alquran memerintahkan agar kontrak  hutang piutang dibuat secara tertulis (2: 282), bahkan Alquran menyebutkan peran dan kedudukan notaris yang sangat panting dalam pembuatan kontrak hutang-piutang.( Alquran Surah Albaqarah : 282).

Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian (akad).

Perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau persesuaian kehendak di antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut.[16]

Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) antara para pihak dalam bentuk ijab dan qabul, atau konsensus para pihak yang membuat kontrak. Sehubungan dengan itu, semua ulama syariah sepakat bahwa rukun akad adalah adanya dua pihak yang berakad (‘aqidain) atau lebih yang melakukan kesepakatan (kontrak) [17]

3.Asas Kerelaan (Al-Ridhaiyyah)

Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing- masing pihak yang bertransaksi. Segala transaksi harus didasarkan pada kesepakatan bebas dari para pihak dan tidak boleh ada unsur  paksaan, tekanan, penipuan dan mis-statemen.

Konsep Alquran  mengenai asas kerelaan dalam pembuatan perjanjian diungkapkan dengan kalimat antaradhin minkum (saling rela di antara kalian).

Dasar asas  antaradhin minkum (saling rela di antara kalian)  terdapat dalam Alquran Surah An-Nisa’ (4): 29:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَتَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (sama-sama rela)  di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Hadits-hadits Nabi Muhammad juga banyak menyebutkan asas keridhaan ini. “Innamal bay’u ‘an taradhin”, sesungguhnya akad jual beli itu asasnya adalah sama-sama rela (ridha).

Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak. Bentuk kerelaan dari para pihak tersebut telah wujud pada saat terjadinya kata sepakat tanpa harus dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu (misalnya tertulis / kitabah). Dalam hukum Islam, secara umum perjanjian itu bersifat kerelaan. Kerelaan antara pihak-pihak yang berakad dianggap sebagai prasyarat bagi terwujudnya semua transaksi. Apabila dalam transaksi tidak terpenuhi asas ini, maka itu sama artinya dengan memakan sesuatu dengan cara yang batil (Al-Akl bil batil).  Atas dasar asas ini, maka jual beli dengan harga ghabn fahisy dapat dibatalkan,karena ghabn fahisy, dilarang bukan karena penipuan, tatapi juga mencederai keridhaan.

Dengan demikian, transaksi yang dilakukan tidak dapat dikatakan telah mencapai sebuah bentuk kegiatan yang saling rela diantara para pelaku, jika didalamnya ada tekanan, paksaan, penipuan, dan mis-statement. Tegasnya, asas ini mengharuskan tidak adanya paksaan dalam proses transaksi dari pihak manapun. Misalnya seseorang dipaksa menjual  hartanya, padahal ia  masih ingin memilikinya dan menggunakannya. Jual beli secara paksaan  seperti itu dipandang tidak sah. Contoh lain dalam kasus jual beli dimana seseorang membeli suatu barang yang pada akhirnya ia merasa teripu  karena barang yang dibelinya itu ternyata palsu. Jual beli yang mengandung unsur tipuan (khilabah) itu dapat dibatalkan oleh pembelinya. Kondisi ridho (rela) ini diimplementasikan dalam perjanjian yang dilakukan diantaranya dengan kesepakatan dalam bentuk shighat (ijab dan qabul).

Kerelaan ini terwujud secara lahiriyah dengan adanya ijab dan qabul antara para pihak yang berakad. Dapat pula dikatakan kerelaan dapat diukur secara lahiriyah dengan adanya ijab dan qabul antara para pihak yang berakad. 

4)  Asas al-‘adalah (keadilan).

Prinsip keadilan merupakan pilar penting dalam transaksi ekonomi dan keuangan Islam. Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Al quran sebagai misi utama para Nabi yang diutus  Allah (QS.57:25). Komitmen Al quran tentang penegakan keadilan terlihat dari penyebutan kata keadilan di dalamnya yang mencapai lebih dari seribu kali[1], yang berarti ; kata urutan ketiga yang banyak disebut Al quran setelah kata Allah dan ‘Ilm. Bahkan, menurut Ali Syariati dua pertiga ayat-ayat Al quran berisi tentang keharusan menegakkan keadilan dan membenci kezhaliman, dengan ungkapan kata zhulm, itsm, dhalal, dll (Kahduri, The Islamic Conception of Justice (1984):10).

Dalam Alquran perintah penegakan keadilan  secara tegas difirmankan Allahpada Alquran  surah Al-Maidah ayat : 8.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ للهِ شُهَدَآءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang selalu menegakkan kebenaran karena ALLAH, menjadi saksi dengan adil.Dan  janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuat kamu cenderung untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, kerena adil itu lebih dekat dengan takwa.Dan bertakwalah kepada ALLAH, sesungguhnya Allah  Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Pada tataran implementatif, asas keadilan  ini menuntut para pihak yang berkontrak untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya (QS. 3: 17; 2: 177 ; 23: 8; 5: 1).

Asas keadilan ini juga berarti bahwa segala bentuk transaksi yang mengundang unsur kezaliman tidak dibenarkan. Misalnya, eksekusi jaminan atas hutang dengan menghanguskan semua objek jaminan di mana  nilai  agunan (jaminan) lebih besar  daripada sisa hutang. Adalah tindakan kezaliman jika  dalam kontraknya kreditur  membuat ketentuan apabila dalam jangka waktu tertentu utang tidak dibayar, barang  tanggungan menjadi lebur, dan semuanya menjadi milik yang kreditur. Seharusnya, jika harga agunan yang dilelang lebih besar dari utang nasabah, maka sisanya dikembalikan kepada nasabah, bukan menjadi milik kreditur.  Perusahaan pembiayaan syariah dan multifinance, seharusnya menerapkan asas keadilan ini, karena dalam pembiayaan konvensional praktik  ini masih banyak berlaku.

Contoh lain misalnya, seseorang menggadaikan sawahnya kepada kreditur untuk mendapatkan sejumlah uang yang jauh lebih kecil dari hasil panen sawah. Kalau hutang tidak dibayar,maka selamanya hasil panen sawah untuk kreditur. Seharusnya jika nilai panen sangat besar, maka hasil panen dibagi sesuai dengan asas keadilan dan nisbah yang wajar.

Contoh lainnya,  berjual beli barang jauh di bawah harga yang wajar  karena penjualnya amat memerlukan uang untuk menutup kebutuhan hidupnya yang primer. Demikian pula sebaliknya, menjual barang jauh di atas harga yang semestinya (ghaban fahisy) karena pembelinya amat memerlukan barang itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang primer. Kesemua transaksi ini bertentangan dengan asas keadilan (al-adalah). Asas keadilan  dalam perjanjan/akad menuntut para pihak untuk melakukan praktik yang benar dalam transaksi. Perjanjian harus senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang, serta tidak boleh mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak. 

5.Asas Pacta Sunt Servanda (asas kepastian hukum dan asas akad  itu mengikat para pihak)

Dalam hukum ekonomi syariah terdapat suatu asas, bahwa setiap akad perjanjian bersifat  mengikat para pihak (ilzam / binding), Ketentuan ini terdapat dalam Alquran Surah Al-Maidah ayat 1 : 

قال تعالى: يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود (المائدة 5/1)  

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.

Berdasarkan ayat  itu, disimpulkan bahwa setiap akad  perjanjian itu bersifat mengikat para pihak dan wajib ditepati. Dalam ayat yang lain, yakni Surah al-shaff ayat 2 dan 3, status perjanjian mengikat itu difirmankan Allah Swt.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُونَ {2} كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا مَالاَتَفْعَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu (berjanji) tetapi kamu tidak melaksanakannya. Allah sangat membenci orang-orang yang berjanji (mengatakan sesuatu) tapi tidak melaksanakan janjinya (perkataannya) itu.

Hadits Nabi Muhammad Saw dengan tegas menyebutkan bahwa janji harus ditepati. Orang yang melanggar janjinya disebut sebagai orang munafiq.

عن أبي هريرة رضي الله عنه ، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال‏:‏ ‏"‏آية المنافق ثلاث‏:‏ إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف، وإذا اؤتمن خان‏"  (رواه الشيخان)

“Ciri-ciri orang Munafik itu ada 3 perkara: apabila dia berbicara berbohong, dan apabila dia berjanji mengingkari, dan apabila dia dipercaya berkhianat” (HR. Bukhori dan Muslim).

Asas perjanjian itu bersifat ilzam (mengikat), dalam ilmu hukum  konvensional disebut dengan asas facta sunt servanda, yang  berarti bahwa akad perjanjian  itu  bersifat mengikat  secara penuh, karenanya harus ditepati.

Asas pacta sunt servanda  biasa juga disebut asas kepastian hukum (certainty). Asas ini bertujuan  agar hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas ini dapat disimpulkan dan  diambil dari Pasal 1338 ayat 1 BW yang menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.”

Hukum kontrak di Indonesia menganut prinsip ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Pasal 1338 KUH Perdata “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya.” Berdasarkan Pasal ini, daya mengikat kontrak sama seperti undang-undang bagi para pihak yang menyepakatinya.

 Asas ini  sesungguhnya berasal hukum Islam. Dalam hukum Islam  disebutkan bahwa terjadinya suatu akad (perjanjian) bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral (spiritual) dan bersifat transenden. Pemenuhan akad-akad merupakan perintah Allah dan menjadi bentuk ketaatan kepada Allah. Orang yang melanggar akad perjanjian mendapatkan dosa, orang menepatinya mendapatkan pahala.  Bahkan dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman bahwa Allah adalah pihak ketiga pada dua pihak yang bertransaksi kemitraan.

“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata :

 أنا  ثا لث الشاركين  ما لم يخن أحدهما  صا حبه  فاذا  خانه خرجت من بينهما  (رواه أبو داود)

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman : “Aku pihak ketiga dari dua orang yang bertransaksi syirkah (kemitraan) selam