Mengapa hasil tanam paksa tidak dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat sepenuhnya

Dalam pendahuluan tulisan ini, R.E. Elson mengungkapkan bahwa makalah ini dimaksudkan untuk menyelidiki dampak sistem tanam paksa terhadap kesejahteraan fisik kaum petani Jawa. Ada beragam pendapat mengenai dampak sistem tanam paksa di Jawa. Secara umum bagi sebagian besar penduduk, cultuurstelsel kurang membawa manfaat. Oleh Van Niel dinyatakan bahwa dalam kurun 1837-1851 banyak terdapat pemindahan penduduk, tatkala kaum penduduk desa berikhtiar menghindari beban kerja berat yang kurang membawa keuntungan, dengan berpindah dari daerah pertanian menuju ke kota-kota besar dan kecil, serta dari daerah pedalaman menuju daerah pesisir. Keadaan ini membawa manfaat juga bagi penduduk yang tetap tinggaldi desa; keluarga di desa rata-rata menguasai lahan yang rata-rata lebih luas dan hewan ternak lebih banyak. Sementara itu persediaan dan harga bahan pangan membaik pula. Namun manfaat itu kurang merata pembagiannya. Golongan penduduk yang menjadi makmur di bawah sistem tanam paksa itu penduduk yang memiliki tanah (atau yang memiliki saham dalam tanah milik desa), namun yang menerima manfaat itu terutama kaum usahawan bangsa Cina, serta golongan punggawa dan pejabat yang, selain menerima persentase dari hasil bumi juga mempunyai tanah bengkok (tanah jabatan) atas dasar jabatannya. Sekalipun di beberapa daerah tertentu terdapat bukti tentang meluasnya pemilikan tanah dengan tujuan meratakan beban, di daerah lain ternyata pemilikan tanah semakin terpusat di dalam tangan kaum elite desa yang lebih mampu. Penduduk lainnya tidak mendapatkan tambahan rezeki, dan banyak penduduk yang melaksanakan pilihan tradisional dengan meninggalkan desa untuk menghindari beban yang berat itu.

Mengenai dampak sistem tersebut terhadap kehidupan petani, G. R. Van Soest seorang liberal yang menentang sistem itu berseru bahwa “bukannya membina kesejahteraan orang jawa (sistem tanam paksa itu) malah terus menerus menyebabkan kesengsaraan mereka” dan setelah sistem itu berlaku selama 20 tahun, ditegaskannya: “Pulau Jawa yang indah permai itu menyajikan pemandangan tentang kesusahan dan kesengsaraan yang tiada taranya”. Sebaliknya Reinsma satu abad kemudian mengajukan pandangan bahwa oleh sistem tanam paksa itu “bukan saja membangkitkan kebutuhan di kalangan penduduk terhadap barang impor, melainkan juga dibangkitkannya hasrat memiliki harta benda dan meningkatkan taraf kehidupan pada umumnya.

Bukti Mengenai Penyebab Kemiskinan Tujuan pokok sistem tanam paksa yang diterapkan pemerintah jajahan Belanda pada 1830 ialah untuk meningkatkan secra pokok kapasitas produksi pertanian orang-orang Jawademi keuntungan perbendaharaan Kerajaan Belanda. Sistem tersebut dalam menghasilkan laba, diiringi dengan kemiskinan yang sistematis dari kaum petani Jawa yang dipaksa bekerja. “Dengan demikian terdapat fenomena ganjil di Jawa, yaitu bahwa pulau itu setiap tahun menghasilkan kekayaan rata-rata 40 juta gulden, sementara penduduk pulau itu tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.” (Van Hoevell). Pelaksanaan sistem ini, misal dalam budidaya kopi, sebagai komoditi yang paling menguntungkan, pada kenyataannya tanaman ini paling subur tumbuh di kaki gunung yang langka penduduknya dan di dataran tinggi, padahal penduduk yang harus menggarapnya adalah penduduk dataran rendah yang pada umumnya menggarap sawah. Akibatnya, kaum tani yang diwajibkan menyelenggarakan budidaya kopi setiap hari harus berjalan berkilo-kilo meter menuju kebun kopi atau perkebunan di daerah hutan atau adakalanya terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka selama berbulan-bulan dengan terpaksa tinggal di gubuk-gubuk darurat dekat perkebunan kopi. Mereka diwajibkan membuka hutan dan membuat lahan perkebunan, menanam bibit dan merawatnya sampai berbuah, memetik biji-bijinya, lalu menjemurnya, dan mengupasnya hingga menyerahkan hasil panen ke salah satu gudang kopi pemerintah yang dibangun di pedalaman. Budidaya lain, berbeda dengan budidaya kopi, yaitu tebu dan nila, yang ditanam pada tanah irigasi yang selayaknya ditanam padi. Kedua jenis tanaman itu ditanam bergiliran di sekitar sawah-sawah yang tersedia. Sebagai imbalan untuk pelaksanaan budidaya itu sampai panen, penggarap tebu itu diberi upah sesuai dengan jumlah gula yang dihasilkan dari tebu yang telah mereka tanam; mereka menerima upah tambahan untuk pekerjaan penebasan tebu, mengangkutnya, dan mengerjakannya di pabrik gula, yang semua itu merupakan kerja wajib pula. Dalam hal budidaya nila, kaum tani diwajibkan tidak hanya menanam dan merawat tanaman, melainkan juga wajib mengambil hasil panen (3-4 kali setahun), mengangkut daun nila itu ke pabrik setempat, lalu mengerjakan pengolahan nila dalam proses tidak sedap sehingga menghasilkan lempengan bahan pewarna indigo. Berbeda dengan keadaan pekerja tebu, mereka hanya diberi bayaran tunggal untuk berbagai jenis tugas itu, didasarkan pada banyaknya bahan pewarna yang dihasilkan dari daun nila yang diserahkan olehnya. Sistem tanam paksa membawa dampak terhadap pertanian tanaman pangan selain kerena adanya tambahan kuota hari kerja dan kecilnya imbalan yang mereka terima. Pertama, banyak waktu yang tersisa untuk tanaman pangan. Kedua, budidaya tebu dan nila menggunakan jumlah besar dari tanah sawah petani paling baik dan bernilai paling tinggi, biasanya sampai 18 bulan lamanya. Ketiga, tanah sawah harus disediakan untuk budidaya ekspor itu pada masa tertentu dan sebagai akibatnya kaum tani harus mengorbankan panen padi atau jagung yang kedua kali atau tanaman sayuran, karena tidak tersedia waktu yang cukup untuk mematangkan dan memetik hasil tanaman itu sebelum tanahnya digunakan untuk keperluan tanaman ekspor bersangkutan. Keempat, tanaman ekspor yang ditanam pada lahan diutamakan dalam hal pembagian air irigasi. Kelima, padi yang ditanam pada lahan sebelumnya dipaksa untuk budidaya tebu atau nila acapkali memberi hasil panen yang kurang lazimnya. Keenam, sistem tanam paksa itu melipatgandakan kebutuhan terhadap hewan ternak kaum petani. Disamping itu ada permasalahan lain, yaitu banyaknya eksperimen yang diselenggarakan dengan aneka budidaya baru dan lingkungan baru.

Demi kelancaran sistem diperlukan jalan dan jembatan untuk pengangkutan hasil budidaya, penyempurnaan fasilitas pelabuhan, pembangunan gedung kantor dan kediaman para pejabat, serta untuk pabrik dan gudang untuk hasil budidayanya dan juga perluasan areal budidaya dengan membangun bendungan dan menggali saluran-saluran irigasi. Selain itu juga dibangun benteng untuk memperkuat kubu pertahanan dengan mengerahkan kaum tani.

Pandangan Penyebab Kemiskinan: Suatu Kecaman
Pandangan mengenai penyebab kemiskinan itu secara jelas mengemukakan bahwa pada berbagai waktu dan di berbagai daerah tertentu kaum tani menderita kesengsaraan fisik dan materi yang langsung dapat dipandang sebagai akibat pelaksanaan sistem itu, ataupun yang terjadi dalam rangka pelaksanaan sistem tersebut. Pertama, kaum tani diharuskan menghabiskan terlalu banyak waktunya untuk menggarap tanaman paksa untuk ekspor, mereka terpaksa melalikan tanaman pangannya. Kedua, penindasan secara paksa mutlak menyebabkan kemiskinan, kurang diberi perhatian kepada keadaan yang sebenarnya. Ketiga, alasan mengenai timbulnya kemiskinan tidak terikat pada waktu itu, ia tidak pula bergerak. Kaum tani digambarkan seolah-olah merupakan korban yang bersikap pasif di dalam suatu susunan yang berada di luar kekuasaan mereka.

Bukti-bukti yang Berlawanan Muncul bukti-bukti berlawanan berdasarkan keterangan atau penilaian deskriptif, kemudian bukti-bukti angka statistik, dan bukti yang mengacu pada perluasan radikal dari perekonomian dalam negeri, sebagai akibat dari dampak tanam paksa. Berdasarkan laporan-laporan para residen yang diberikan kepada Gubernur Jenderal, umumnya melukiskan kesejahteraan yang berkesinambungan dan semakin membaik, hal ini dibuktikan dengan bertambah luasnya tanah yang digarap, sangat ramainya kegiatan niaga, meningkatnya jumlah penduduk dan taraf konsumsi, perbaikan dalam sarana perumahan, bahan pangan dan sandang, dan meningkatnya jumlah produksi pangan sebagai bukti dari keterangan yang dilaporkan. Rangkuman keterangan mereka oleh Gubernur Jenderal dalam laporannya, kepada menteri urusan negara jajahan, dinyatakan bahwa “Pulau Jawa selama masa belakangan ini dalam hal kebendaan telah mengalami kemajuan dan perkembangan pada taraf yang mengesankan”. Sudah tentu seluruh bukti semacam ini perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Bukan saja segala keterangan itu seringkali bersifat samat-samar dan mencerminkan kesan belaka, namun juga lazimnya keterangan itu berasal dari kaum pejabat yang karirnya tidak akan membaik bila mereka melaporkan kegagalan. Walau bagaimanapun, laporan mereka tidak dapat diabaikan seluruhnya. Penilaian tadi diperkukuh lagi dengan pembahasan kategori pembuktian kedua yaitu bersifat statistik, disimpulkan bahwa mengenai manfaat keuangan yang diperoleh dari budidaya paksa itu bagi kaum tani yang dipaksa ikut serta, telah terbukti oleh seperangkat angka-angka statistik yang menggambarkan beberapa pola perbelanjaan dan konsumsi selama masa sistem tanam paksa tersebut dibandingkan jumlah penduduk. Angka-angka itu menunjukkan bahwa andaipun diperhitungkan pesatnya laju pertumbuhan penduduk di pulau Jawa, ternyata bahwa kaum tani dapat membelanjakan harta benda dan barang konsumsi.

Bukti mengenai perluasan ekonomi pangan. Pihak yang mengemukakan kritikterhadap kemiskinan itu, cenderung memandang dampak materi dari sistem tanam paksa dari segi pandangan yang ahistoris dan statis, kaum tani seolah-olah merupakan korban yang bersifat pasif. Namun ada beberap faktor yang diabaikan. Pertama, perubahan radikal yang berlangsung dalam perekonomian pedesaan yang telah dimungkinkandan digairahkan oleh sistem tanam paksa itu. Kedua, kemampuan dan kecakapan kaum tani untuk memberi tanggapan serta menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan kesempatan yang baru.

Kesimpulan
Dari berbagai ulasan diatas disimpulkan bahwa pembuktian penyebab alasan kemiskinan itu sungguh lemah dasar pembuktiannya sama lemahnya dengan pembuktian mengenai kemakmuran, sedangkan penopang logikanya jauh kurang mantap. Analisa terakhir disimpulkan bahwa sistem itu langsung dan tidak langsung paling tidak dalam jangka pendek, memberi peluang-peluang untuk suatu pengelolaan secara lebih mantap bagi kehidupan ekonomi pangan serta kemungkinan-kemungkinan untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat tani, yang sebelumnya amat terbatas pilihan-pilihannya.

Sumber:
R.E. Elson, ‘Kemiskinan dan kemakmuran Kaum Petani pada. Masa Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa’ dalam Anne Booth, dkk. ( eds ) dalam Anne Booth dkk (eds.), Sejaran Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1988).