tirto.id - Era pendudukan Jepang menjadi salah satu fase kelam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Penjajahan Dai Nippon di Indonesia yang berlangsung sekitar 3,5 tahun menimbulkan berbagai dampak di segala bidang, termasuk dalam sistem pendidikan dan kebudayaan. Show Suhartono dalam Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945 (2001) menyebutkan, tanggal 8 Maret 1942 dilakukan Perundingan Kalijati di dekat Subang, Jawa Barat, antara Belanda dengan Jepang. Perjanjian tersebut merupakan tanda menyerahnya Belanda tanpa syarat kepada Jepang setelah kalah di Perang Dunia II. Sejak saat itu, Dai Nippon mengambil-alih wilayah Indonesia dari Belanda. Demi mengambil simpati rakyat, Jepang memposisikan diri sebagai saudara tua dengan menyerukan berbagai propoganda, seperti Semboyan 3A, yaitu Nippon pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia, dan Nippon cahaya Asia.
Selama 3,5 tahun menjajah Indonesia, pendudukan militer Jepang memberikan dampak dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk dalam bidang sistem pendidikan dan kebudayaan.
Baca juga:
Sistem Pendidikan Indonesia Masa Penjajahan JepangDemi menarik simpati masyarakat Indonesia, Jepang pada mulanya memberlakukan sistem pendidikan yang cukup baik. Akses pendidikan sedikit lebih mudah untuk didapatkan, tidak ada pembedaan atau diskriminasi dalam pendidikan untuk kaum pria maupun perempuan.
Soepriyanto dan Moh. Yatim dalam Perjuangan Meraih Kemerdekaan (2018) mengungkapkan, Dai Nippon menerapkan jenjang pendidikan formal di Indonesia seperti sistem di Jepang, yaitu Sekolah Dasar (SD)selama 6 tahun, Sekolah Menengah Pertama (SMP) selama 3 tahun, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) selama 3 tahun. Namun, lantaran Jepang sedang menghadapi Perang Asia Timur Raya yang menjadi bagian dari Perang Dunia II melawan Sekutu, seluruh sendi kehidupan di Indonesia disesuaikan dengan kebutuhan perang, termasuk pendidikan.
Baca juga:
Kebijakan tersebut membuat terjadinya kemerosotan pendidikan di Indonesia. Tercatat, jumlah SD menurun dari 21.500 menjadi 13.500 unit. Sekolah lanjutan menurun dari 850 menjadi 20 buah. Jumlah murid sekolah dasar menurun 30% dan jumlah siswa sekolah lanjutan merosot sampai 90%. Kegiatan perguruan tinggi boleh dikatakan macet. Salah satu dampak negatif yang disebabkan oleh situasi ini adalah angka buta huruf di Indonesia meningkat. Mata pelajaran yang diajarkan pun mengalami pembatasan. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Bahasa Jepang dan sejarah Jepang menjadi mata pelajaran wajib di sekolah. Pemerintah militer Dai Nippon juga melatih kaum guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahan Jepang. Akibatnya, tenaga pendidik mengalami penurunan secara signifikan. Dikutip dari buku Sejarah Kelas XI (2020) yang disusun olehIrma Samrotul Fuadah, pemerintah Jepang di Indonesia menerapkan materi-materi pokok untuk pelatihan guru, yaitu:
Baca juga:
Kehidupan Kebudayaan Indonesia Era Pendudukan JepangKehidupan budaya masyarakat Indonesia pada masa peendudukan Jepang juga mengalami banyak perubahan. Salah satu yang paling kontroversial adalah kewajiban melakukan seikerei. Seikerei merupakan penghormatan kepada Tenno Heika (Kaisar Jepang) yang diyakini sebagai keturunan dewa matahari dengan cara membungkukkan badan menghadap ke arah matahari terbit. Kebiasaan penghormatan tersebut ditentang oleh kaum ulama. Salah satu aksi penentangan tersebut berupa perlawanan antara K.H. Zainal Mustafa terhadap tentara Jepang yang dikenal dengan Peristiwa Singaparna. Pemerintah Jepang juga mendirikan pusat kebudayaan yang diberi nama Keimin Bunkei Shidoso. Lembaga ini yang kemudian digunakan Jepang untuk mengawasi dan mengarahkan kegiatan para seniman agar karya-karyanya tidak menyimpang dari kepentingan Jepang.
Baca juga:
Baca juga
artikel terkait
SEJARAH INDONESIA
atau
tulisan menarik lainnya
Alhidayath Parinduri
Subscribe for updates Unsubscribe from updates
Lihat Foto KOMPAS.com - Pendidikan di masa pendudukan Jepang (1942-1945), jauh leih buruk dari sebelumnya, ketika Indonesia masih di bawah penjajahan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ketika Jepang datang, Jepang menjadikan Indonesia sebagai pangkalan perangnya. Masyarakat harus hidup di bawah kondisi perang yang diterapkan jepang. Akibatnya, para pengajar harus bekerja untuk Jepang. Anak-anak bahkan turut dikerahkan membantu memenuhi kebutuhan perang. Dikutip dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (2019), jumlah sekolah dasar turun. Pada tahun ajaran 1940/1941 atau ketika Indonesia masih dijajah Belanda, jumlah sekolah dasar 17.848. Namun di akhir pendudukan Jepang (1944/1945), jumlah sekolah dasar menjadi 15.069. Baca juga: Ekonomi Perang di Masa Pendudukan Jepang Jumlah guru yang tadinya 45.415 juga berkurang menjadi 36.287. Banyak yang putus sekolah dan buta huruf karenanya. Di sisi lain, pendudukan Jepang juga berdampak positif terhadap pendidikan. Salah satu kebijakan jepang di bidang pendidikan adalah menetapkan satu macam jenjang pendidikan dasar selama enam tahun, dampak positif kebijakan ini adalah diskriminasi di bidang pendidikan yang terjadi sejak masa kolonial Belanda dihapuskan. Kebijakan pendidikanSelain itu, sejak pendudukan Jepang, beberapa kebijakan yang sebelumnya berlaku, diubah. Pertama, bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan bahasa Belanda. Artikel ini membicarakan tentang bahasa Jepang di Indonesia pada era pendudukan dan era sekarang. Omae wa mou shindeiru! Nani? Konichiwa (selamat siang), konbanwa (selamat malam), oyasuminasai (selamat tidur). Seberapa sering kamu mendengar kata-kata di atas? Kata-kata di atas adalah kata-kata dari bahasa Jepang yang mungkin tidak asing di telingamu. Entah mungkin kamu mendengarnya dari percakapan sehari-hari ataupun bisa juga dari anime yang biasanya kamu tonton itu. Bahasa Jepang tak hanya bisa kamu temui di televisi. Di sekolah dan universitas, bahasa Jepang dapat ditemui dengan bentuk yang bermacam-macam. Ada jurusan sastra Jepang di tingkat universitas. Di sekolah, bahasa Jepang dapat dijumpai sebagai sebuah ekstrakulikuler atau bahkan mata pelajaran. Belum lagi komunitas penggemar budaya Jepang yang dapat dijumpai di sudut-sudut kota. Keberadaan mereka, suka tidak suka, menjadikan kata-kata dalam bahasa Jepang menjadi tidak asing di telinga kita meski sekadar kata-kata sederhana seperti ‘ohayou’ dan ‘arigato’. Melihat jauh ke belakang, ternyata bahasa Jepang pernah menjadi bahan propaganda yang digunakan oleh Jepang saat menduduki Hindia Belanda yang pada saat itu belum resmi menggunakan nama Indonesia. Bahasa Jepang di Indonesia (Era Pendudukan)Semua bermula saat kedatangan Jepang ke bumi Hindia Belanda. Setelah Belanda menyatakan menyerah, Jepang segera bertindak cepat untuk menancapkan pengaruhnya. Salah satu hal yang menjadi concern Jepang waktu itu adalah menghilangkan pengaruh Belanda dari tanah Hindia. Gimana caranya? Salah satunya adalah dengan mengubah bahasa sehari-hari penduduk Hindia Belanda. Bahasa Belanda yang sebelumnya dipakai sebagai bahasa sehari-hari di kalangan tertentu seperti pegawai gubernermen dan sekolah disingkirkan dan digantikan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Benar, bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi salah satunya ya buat merangkul rakyat Hindia. Selain itu? Buat keuntungan Jepang juga sih. Secara kan bahasa daerah di Hindia Belanda kan ada banyak banget tuh dari bahasa Jawa, Sunda, Minang, dan bahasa-bahasa daerah lain. Bayangin aja betapa sulitnya tantangan yang dihadapi Jepang kalau harus menyesuaikan diri dengan bahasa daerah sebanyak itu. Sedangkan bahasa Jepang mulai disosialisasikan selain sebagai bahan propaganda dalam menancapkan pengaruh juga buat mempermudah koordinasi. Koordinasi seperti apa? Koordinasi antara pemerintahan pendudukan Jepang dengan tokoh-tokoh dan masyarakat Hindia. Saat itu, bahasa Jepang digunakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat mulai dari sebagai papan nama toko, surat menyurat hingga diajarkan di sekolah-sekolah. Diajarkan sebagai alat propagandaBahasa Jepang diajarkan sebagai salah satu mesin propaganda untuk menanamkan pengaruh Jepang di bumi Hindia. Saat itu, guru-guru sekolah diajari untuk menguasai bahasa Jepang. Dari guru-guru tersebut, bahasa Jepang diturunkan kepada murid-muridnya. Menariknya, bahasa Jepang tidak hanya diajarkan di sekolah-sekolah formal di kota-kota besar saja. Bahasa Jepang juga diajarkan di desa-desa dengan cara mendirikan tempat kursus. Sebegitu seriusnya Jepang dalam menanamkan pengaruhnya di Hindia Belanda. Mereka benar-benar berupaya semaksimal mungkin untuk memasyarakatkan bahasa Jepang. Tak hanya di Indonesia saja ternyata. Pengajaran bahasa Jepang di tempat pendudukan juga dilakukan oleh pemerintah Jepang di negara lain seperti Filipina. Bahasa Tagalog dijadikan bahan promosi oleh pemerintahan militer Jepang untuk merangkul orang-orang Filipina. Ya meski pada akhirnya bahasa Jepang juga ditanamkan kepada warga Filipina pada masa itu. Menariknya, bahasa yang dipilih oleh Jepang untuk digunakan di Indonesua dan Filipina hari ini menjadi bahasa resmi. Bahasa Filipina sendiri masih memiliki hubungan dengan bahasa Indonesia dan ada kata-kata yang serupa meski memiliki arti yang berbeda. Contohnya adalah ‘selamat’. Dalam bahasa Tagalog, selamat berarti terima kasih. Buat kalian yang suka main DoTA 2, harusnya kalian enggak asing dengan bahasa Tagalog macam ‘Lakad Matatag’ yang artinya berjalan dengan baik. Pada akhirnya, semua upaya Jepang dalam memasyarakatkan bahasa Jepang harus berakhir juga. Jepang menyatakan diri menyerah kepada pasukan sekutu pada tahun 1945 yang kemudian diikuti oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia. Bahasa Jepang di Indonesia hari iniJika dulu pada masa pendudukan bahasa Jepang digunakan sebagai alat propaganda dan bahkan merupakan sesuatu yang diwajibkan. Hari ini bahasa Jepang dipelajari secara sukarela. Ada banyak universitas yang memiliki jurusan sastra Jepang seperti di UI dan UGM misalnya. Selain itu, penggunaan bahasa Jepang di Indonesia bisa dibilang sebagai sesuatu yang wajar mengingat ada banyak orang Jepang yang menetap di Indonesia baik untuk bekerja maupun untuk belajar. Aku sendiri selama kuliah dulu mengenal beberapa orang Jepang yang belajar di kampusku. Kami kerap berinteraksi dan aku mempelajari beberapa kata dalam bahasa Jepang dari mereka. Belum lagi dengan banyaknya orang Indonesia yang sempat tinggal di Jepang (biasanya untuk bekerja atau belajar). Ya masa selama tinggal di Jepang ga belajar bahasa Jepang sedikitpun sama sekali sih. Tapi asli sih, belajar bahasa asing tuh asyik dan ternyata banyak manfaatnya. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
Sumber rujukan: |