Kondisi perekonomian yang menjadi titik tolak reformasi 1998 adalah


Page 2

perdagangan dan distribusi yang ada sehingga menyebabkan perbedaan harga yang cukup besar antara harga di tingkat produsen dan di tingkat konsumen. Masih sering terjadinya goncangan harga sebagai akibat pengaruh faktor-faktor eksternal maupun internal. Hal ini telah mempengaruhi dengan sangat nyata pada sisi pasokan dan distribusi, serta pada gilirannya harga. Belum dapat dikuranginya secara nyata iklim konglomerasi usaha serta masih lemahnya dunia usaha dari ancaman produk-produk luar negeri sebagai akibat masuknya Indonesia dalam arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan Semakin besarnya tantangan yang harus dihadapi dalam kualitas tenaga kerja untuk menyongsong era perdagangan bebas yang ditandai dengan persaingan yang semakin ketat.

bunga yang tinggi serta tidak dapat memenuhi ketentuan tentang pengelolaan bank secara hati-hati seperti kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio - CAR) dan Batas Maksimum Pemberian Kredit

(Legal Lending Limit - 3L). 3) Fasilitas penjamin ekspor yang disediakan

belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena tingginya suku bunga dan naiknya kurs valuta asing terutama US Dolar terhadap rupiah sehingga perusahaan kekurangan modal kerja dan

modal investasi untuk ekspor. 4) Belum adanya bank khusus untuk

pendanaan ekspor. Belum dimanfaatkannya secara optimal lembaga asuransi

dan penjaminan ekspor. Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar 1) Berdasarkan Undang-undang Nomor 32

Tahun 1964 ditetapkan keharusan bagi para eksportir untuk menjual devisa hasil ekspor ke Bank Indonesia. Namun, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 1982 telah meniadakan kewajiban eksportir tersebut. Bahkan mewajibkan Bank Indonesia untuk menjual dolar kepada importir untuk keperluan impor. Peraturan Pemerintah itu semula memang dimaksudkan sebagai insentif bagi eksportir untuk memacu kegiatan ekspor. Akan tetapi, PP itu terutama di masa krisis ekonomi ini telah menimbulkan dampak negatif. Salah satunya berupa kesulitan yang dialami oleh eksportir Indonesia karena tidak tersedianya valuta asing yang cukup untuk mengimpor bahan baku untuk produk ekspor. Oleh karena nilai valuta asing terutama US Dollar terhadap rupiah naik lebih dari tiga kali dibanding sebelum Indonesia mengalami krisis

moneter. 2) Banyak pengusaha Indonesia menyimpan

valuta asing yang dimilikinya di luar negeri.

Peningkatan Ekspor dan Perolehan Devisa

Pendanaan Ekspor (Trade Financing)
1) Memburuknya kondisi perbankan

nasional menyebabkan menurunnya kredibilitas bank nasional dalam hubungan perbankan internasional. Hal ini lebih lanjut mengakibatkan terjadinya gangguan di dalam sistem pembiayaan

perdagangan internasional, khususnya L/


C impor. Kondisi ini berdampak terhadap menurunnya impor, baik dalam penye- diaan bahan baku/penolong maupun fasilitas penunjang seperti penyediaan peti kemas, sehingga terganggunya

kegiatan ekspor. 2) Kalangan perbankan tidak dapat

menyalurkan dananya kepada eksportir karena terjadinya kredit macet, suku

c.

Produk Ekspor Kenaikan kurs valuta asing seharusnya

menjadi pendorong peningkatan ekspor,

tetapi tidak seluruhnya terwujud. Antara lain disebabkan oleh: 1) Struktur industri kurang mendukung.

* Sebagian besar industri yang tidak


berbasis sumberdaya alam (non re-
source-based industry), dan kan- dungan impornya tinggi sehingga kurang dapat memanfaatkan ke-

unggulan komparatif menjadi

keunggulan kompetitif sehingga net

exportnya rendah. * Banyaknya industri padat modal yang

kurang menyerap tenaga kerja, sehingga kurang mampu menampung

transformasi struktur ekonomi. * Kurangnya pemerataan industri

terutama ke luar Jawa. 2) Kurangnya modal kerja yang menimpa

resource-based industry seperti agroindustri, sehingga nilai ekspor yang pada awalnya meningkat pada akhirnya juga

terhambat. 3) Kurangnya PMA/PMDN berorientasi

ekspor yang bermitra dengan UKM lokal. 4) Gangguan keamanan terhadap kegiatan

produksi dan distribusi barang/jasa menimbulkan turunnya kepercayaan para investor dan kemampuan pasok industri

dalam negeri untuk ekspor 5) Krisis ekonomi yang melanda beberapa

negara pasar ekspor Indonesia, sehingga Indonesia kehilangan kesempatan dan

permintaan pasar internasional. d. Pariwisata

1) Gejolak sosial politik yang melanda

Indonesia menurunkan citra Indonesia di dunia internasional, sehingga berdampak pada berkurangnya jumlah wisatawan mancanegara (wisman).

2) Dengan meningkatnya nilai tukar dolar

terhadap rupiah serta menurunnya jumlah wisman, berpengaruh pula terhadap penggunaan kapal udara dalam negeri, sehingga mempercepat banyaknya perusahaan penerbangan yang tutup. Berkurangnya sarana angkutan ke daerahdaerah tujuan wisata, disebabkan karena kenaikan tarif sebagai akibat meningkat

nya biaya perawatan dan biaya operasi. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri 1) Masalah ketenagakerjaan diwarnai oleh

pertumbuhan angkatan kerja yang cukup tinggi, rendahnya kualitas angkatan kerja, terbatasnya lapangan kerja, dan meningkatnya jumlah pengangguran sebagai dampak krisis ekonomi yang

berkepanjangan. 2) Dalam penempatan Tenaga Kerja Indo

nesia (TKI) ke luar negeri menghadapi beberapa permasalahan yaitu pemasaran di luar negeri belum ditangani secara optimal dan profesional, perlindungan terhadap TKI masih kurang memadai, institusi/lembaga/pelaku yang melayani proses penempatan belum terkoordinasi secara baik, serta penyiapan calon TKI

belum ditangani dengan benar. Prosedur dan Fasilitas Kemudahan Ekspor 1) Dalam upaya peningkatan ekspor dan

dalam rangka pemulihan ekonomi ter- dapat beberapa faktor eksternal utama sebagai kendala. * Penurunan tarip Bea Masuk (BM) dan

Pungutan Ekspor (PE) serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kurang berpihak kepada produk primer (industri hulu), sehingga lebih dinikmati oleh perusahaan eksportir (industri hilir). Fasilitas Kawasan Berikat (KB) belum dimanfaatkan optimal dalam men-

dorong berkembangnya industri

komponen lokal. * Lamanya pengembalian (restitusi)

PPN kepada pengusaha mengakibatkan terganggunya likuiditas

perusahaan. 2) Sulitnya penyediaan peti kemas,

terbatasnya pengapalan, serta kurang efisiennya prosedur dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mengakibatkan pelaksanaan ekspor tidak terjadual dengan baik. Pada akhirnya meningkatkan kehilangan pasar di luar

negeri. Data Ekspor Dokumen PEB dan PIB yang diterima oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak lengkap karena belum memiliki verifikasi lebih lanjut, seperti informasi tentang propinsi tempat barang diproduksi atau asal barang. Pengolahan data yang masih menggu-nakan sistem carry-over dan prosedur pengumpulan data oleh Kantor Pelayanan Bea dan Cukai (KPBC) yang kurang efisien menjadi salah satu penyebab terjadinya kendala waktu penyajian ekspor-impor (time-lag 3 bulan).

Arus modal ke luar negeri yang besar serta berkurangnya arus modal masuk dalam bentuk investasi langsung mengindikasikan bahwa tingkat kepercayaan penanaman modal di Indonesia semakin berkurang. Ini disebabkan karena situasi politik yang kurang mendukung pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi. Dengan adanya krisis ekonomi, hal ini juga sangat mempengaruhi kinerja pelaku ekonomi terutama koperasi, usaha kecil dan menengah. Skim kredit yang telah disediakan oleh Pemerintah yaitu melalui pengembangan 17 skim kredit program yang meliputi 14 skim yang berasal dari KLBI dan sisanya berasal dari Program Pengentasan Kemiskinan telah dimanfaatkan secara optimal dan menjadi andalan bagi dunia usaha untuk mendapatkan modal kerja bagi kelangsungan usahanya. Namun disadari sepenuhnya bahwa dana yang disediakan melalui skim kredit program untuk pengembangan koperasi dan dunia usaha masih jauh dari memadai. Hal ini diperburuk dengan situasi penyaluran kredit umum yang juga mengalami gangguan akibat tingkat suku bunga tinggi dan Perbankan nasional masih dalam tahap restrukturisasi. Dengan de-mikian terjadi kelangkaan modal investasi dan modal kerja yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku pembangunan. Krisis ekonomi yang telah berlangsung sejak tahun 1997 telah mengubah tatanan dan

perilaku Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (KUKM) di Indonesia dan sekaligus memberikan tantangan dan peluang bagi KUKM. Sebelum krisis ekonomi, KUKM masih menghadapi berbagai hambatan struktural seperti proses perijinan, keterbatasan akses pendanaan dan informasi tentang peluang pasar, serta tata niaga bahan baku yang mengakibatkan distorsi harga di pasar. Di masa krisis, tantangan yang dihadapi semakin berat karena akses untuk pendanaan semakin sempit seiring dengan peningkatan suku bunga yang relatif masih tinggi, serta bahan baku untuk produksi pun semakin sulit diperoleh karena harga yang tinggi serta daya beli masyarakat yang turun sehingga mengurangi permintaan produk dan jasa KUKM.

seluruhnya ditujukan untuk memperjuangkan dan menunjang kepentingan dan pembangunan nasional. Dalam kaitan ini, upaya peningkatan hubungan dan kerjasama luar negeri dilaksanakan melalui forum kerjasama ASEAN, APEC, ASEM, WTO, Kerjasama Selatan-Selatan, Kerjasama Ekonomi Subregional (KESR), dan kerjasama dengan lembaga keuangan internasional lainnya.

Kondisi awal yang menjadi titik tolak dan melandasi pelaksanaan program kerja di bidang hubungan ekonomi internasional untuk masingmasing forum tersebut di atas adalah sebagai berikut :

Sektor Hubungan Ekonomi Internasional

Krisis ekonomi di Asia telah membawa pengaruh terhadap kinerja perekonomian dunia. Sebelum terjadi krisis, rata-rata pertumbuhan ekonomi Asia dalam tahun 1994 - 1996 mencapai 9% per tahun, tahun 1997 hanya mencapai 6,7% dan tahun 1998 diperkirakan melambat menjadi 4,4%. Khusus negara-negara ASEAN pertumbuhan ekonomi tahun 1997 adalah 3,9% berarti lebih lambat dibandingkan dengan tahun 1996 sebesar 7,1%. Pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN makin menurun hingga 2,7%. Akibat krisis ekonomi Asia tersebut, pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 1998 diperkirakan melambat menjadi 2,4%.

Program Kerja Kabinet Reformasi Pembangunan di bidang kerjasama ekonomi luar negeri pada pokoknya tetap melanjutkan kebijakan yang telah ditempuh pada masa sebelumnya, namun dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian nasional, khususnya yang berkaitan dengan krisis ekonomi. Program ini mencakup berbagai kegiatan dalam forum bilateral, regional, dan multilateral, yang

Kerjasama Bilateral Indonesia-Australia dan Kerjasama AIDA Indonesia telah mengembangkan kerjasama bilateral dengan Australia melalui pertemuan periodik (dua tahun sekali) Indonesia-Australia Ministerial Forum (IAMF). Pertemuan pertama Indonesia-Australia Ministerial Forum (IAMF-I) dilangsungkan pada tanggal 16-17 November 1992 di Jakarta. Pertemuan kedua Indonesia-Australia Ministerial Forum. Indonesia-Australia Ministerial Forum II (IAMF-II) diselenggarakan pada tanggal 23-24 Agustus 1994 di Canberra, Australia, dan diikuti dengan pertemuan IndonesiaAustralia Ministerial Forum III (IAMF-III) di Jakarta, 24-25 Oktober 1996. Pada pertemuan ketiga tersebut, para Menteri dari kedua belah pihak menyepakati pembentukan Australia-Indonesia Development Area (AIDA), yang ditujukan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat dicapai secara bersama-sama melalui upaya sinergi yang didasarkan pada pemanfaatan keunggulan komplementer dari kedua wilayah yang berdekatan secara geografis. Pada setiap pertemuan Indonesia-Australia Ministerial Forum selalu dilakukan pembahasan-pembahasan atas berbagai isu yang berkembang di tingkat nasional, regional maupun global baik di bidang politik maupun ekonomi. Namun demikian, titik


Page 3

sebagai tujuan investasi, dan meningkatkan daya saing produk ASEAN. Kesepakatan para Pemimpin ASEAN tersebut telah ditindak lanjuti dengan penyiapan naskah kerangkakerja kesepakatan Area Investasi ASEAN (Framework Agreement on ASEAN Investment Area). Selanjutnya dalam rangka mempersiapkan diri manghadapi abad 21 dimana perekonomian dunai telah semakin terintegrasi, pada KTT informal ke-2 yang telah dilangsungkan di Kuala Lumpur pada tanggal 14-15 Desember 1997, para Pemimpin ASEAN telah menyepakati Visi ASEAN 2020 yang dimaksudkan sebagai arahan bagi peningkatan hubungan kerjasama ASEAN selanjutnya. Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) Dalam forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), keikutsertaan Indonesia sudah dimulai sejak dalam pembahasan pembentukan APEC pada Pertemuan Tingkat Menteri APEC yang Pertama di Canbera, Australia, November 1989. Sedangkan keanggotaannya secara resmi baru dimulai pada Pertemuan Para Pemimpin APEC yang pertama di Seattle Amerika Serikat, bulan Nopember 1993. Forum kerjasama APEC melibatkan bidangbidang atau sektor yang menjadi tanggungjawab berbagai Departemen/Instansi teknis terkait, maka pelaksanaan dari kerjasama ini memerlukan koordinasi di tingkat nasional. Dalam hal ini Kantor Menko EKUIN bertindak sebagai koordinator dalam setiap perumusan kebijakan dan komitmen yang akan diajukan ke forum tersebut. Pada masa sebelum terbentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan, penanganan kerjasama ini dikoordinir bersama oleh Kantor Menko Prodis dan Kantor Menko Ekku dan Wasbang dan kemudian dilanjutkan oleh Kantor Menko Prodis. Sedangkan pada


Page 4

jangka panjang yang akan menjadi pertimbangan bagi arah proses ASEM menuju abad 21.

adanya perubahan dari Kabinet Pembangunan VI menjadi Kabinet Pembangunan VII dan kemudian menjadi Kabinet Reformasi Pembangunan, maka penanganan selanjutnya dilimpahkan kepada Kantor Menko Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri.

Para Pemimpin juga mengukuhkan rencana Pertemuan ASEM III yang akan diadakan di Korea pada tahun 2000, dan Pertemuan ASEM IV di Eropa pada tahun 2002. Pertemuan para Menteri Luar Negeri, Ekonomi dan Keuangan akan diadakan sebelum penyelenggaraan ASEM III. Para Pemimpin pada pertemuan puncak ke 2 tersebut juga menyoroti situasi ekonomi dan keuangan di Asia. Dalam kaitan dengan hal tersebut, untuk membantu negara-negara Asia yang sedang terkena krisis, maka dalam kerangka ASEM telah dibentuk ASEM Trust Fund pada Bank Dunia. Melalui langkah-langkah yang telah dilaksanakan diharapkan arus investasi dan perdagangan dari kedua kawasan akan semakin meningkat, demikian pula diharapkan kerjasama teknik akan menjadi semakin erat.

Sasaran pembentukan KESR adalah ditujukan untuk : * Mendorong pembangunan wilayah,

khususnya wilayah-wilayah di luar Pulau

Jawa; * Memberi peran yang lebih besar kepada

dunia usaha (swasta) untuk mengembangkan perekonomian Indonesia; Mempersiapkan kawasan KESR untuk menghadapi liberalisasi perdagangan dan ekonomi yang lebih luas cakupannya

(AFTA, APEC, ASEM. WTO). Sejak terbentuknya KESR, keterlibatan Indonesia dengan negara-negara anggota ASEAN dan dengan Australia dalam KESR adalah melalui: * Wilayah Pertumbuhan Indonesia

Malaysia-Thailand (IMT-GT); Wilayah Pertumbuhan Indonesia- Malaysia-Singapura (IMS-GT); Kerjasama Pariwisata Indonesia-

Singapura (ISTC); * Wilayah Pertumbuhan Brunei Darus

salam-Indonesia-Malaysia-Philippina (BIMP-EAGA); Wilayah Pengembangan Australia-Indo-

nesia (AIDA). * Kerjasama Pengembangan Propinsi Riau. Kegiatan Kerjasama Ekonomi Sub Regional selama masa Kabinet Pembangunan VII praktis kurang dapat berjalan dengan baik, hal ini disebabkan pelimpahan tugas KESR belum dapat dijalankan sebagaimana yang diharapkan, di samping juga karena krisis ekonomi dan moneter yang berkepanjangan,

Dalam kaitannya dengan peran dunia usaha dalam kerjasama ASEM, Asia Europe Business Forum (AEBF) yang dibentuk berdasar kesepakatan para Pemimpin ASEM pada Pertemuan Puncak ASEM yang pertama, telah melangsungkan tiga kali pertemuan. Hasil pertgemuan AEBF tersebut telah ikut mewarnai perkembangan proses ASEM, dan mendorong kerjasama antar dunia usaha dari kedua kawasan.

sehingga beberapa kegiatan KESR belum dapat dilaksanakan. Sampai saat terbentuknya Kabinet Reormasi Pembangunan, hanya sebagian kecil kegiatan KESR yang dapat dilaksanakan yaitu beberapa Working Group dari BIMP-EAGA, dan AIDA.

Mekanisme dan pengaturan KESR diselenggarakan dalam beberapa tingkat kegiatan yaitu :

Pertemuan Tingkat Menteri (Ministerial
Meeting/MM) sebagai forum penentu

kebijakan tertinggi; * Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi (Senior

Official Meeting/SOM) sebagai forum perencanaan dan pengendali terhadap pelaksanaan kebijakan KESR; Pertemuan Kelompok Kerja (Working

Group/WG) sebagai forum untuk

membahas dan mengoperasionalkan kerjasama, memiliki peran penting yaitu menampung komunikasi dua arah (inter- facing) antara dunia usaha dan pemerintah; Joint Business Council (JBC) sebagai fo- rum bagi dunia usaha untuk merea- lisasikan kerjasama dan memberi usulan, pemecahan masalah dan pengem-

bangannya. Dalam rangka meningkatkan intensitas pelaksanaan program Kerja KESR, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 184 Tahun 1998 tentang Tim Koordinasi dan Sub Tim Koordinasi Kerjasama Ekonomi Sub Regional, yang antara lain menetapkan tugas-tugas dari seluruh jajaran yang terkait sebagai berikut:

Menyusun dan merumuskan kebijaksanaan guna memdorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka KESR; Melakukan pertemuan, pembicaraan dan perundingan baik bilateral maupun multilateral dengan Pemerintah Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Philippina,

Sebagai akibat krisis keuangan yang melanda kawasan Asia, sejak pertengahan tahun 1997 neraca pembayaran mengalami tekanan yang cukup berat. Meskipun terjadinya depresiasi rupiah yang tajam dapat memperbaiki defisit transaksi berjalan, namun krisis keuangan telah mengakibatkan merosotnya kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia, sehingga lalu lintas modal bersih, yang sejak Repelita I selalu surplus, menjadi defisit yang cukup besar. Demikian pula, cadangan devisa menurun cukup besar. Ekspor migas menurun tajam oleh melemahnya permintaan dunia dan menurunnya harga minyak bumi di pasar internasional, namun dapat diimbangi oleh ekspor nonmigas, khususnya komoditas pertanian dan pertambangan, yang meningkat sebagai dampak positif adanya depresiasi rupiah. Sementara itu, depresiasi rupiah dan penolakan L/C oleh perbankan luar negeri telah menyebabkan menurunnya impor secara tajam. Secara keseluruhan, pada awal Kabinet Reformasi Pembangunan, defisit transaksi berjalan menurun dibanding tahun sebelumnya. Di sisi neraca modal, beban pembayaran hutang luar negeri Indonesia cukup besar. Posisi pinjaman luar negeri Indonesia pada saat itu adalah sekitar US$ 138 miliar, yang terdiri dari 60,8 persen hutang swasta dan 39,2 persen hutang pemerintah. Perlu dicatat, sebagian besar hutang luar negeri swasta itu berjangka pendek dan digunakan untuk pembiayaan usaha jangka menengah dan

yang dibubarkan pada Maret 1992. Pada awal Kabinet Reformasi Pembangunan, CGI telah menyelenggarakan 6 kali pertemuan terakhir CGI Ke-6 di Tokyo, 16-17 Juli 1997. Gambaran posisi persetujuan pinjaman luar negeri pemerintah sebelum Kabinaet Reformasi Pembangunan adalah sebagai berikut: pada awal Repelita VI (1994/95) adalah sebesar US$ 8,5 milyar, meningkat menjadi US$ 8,7 milyar dalam tahun 1995/ 96, kemudian menurun menjadi US$ 8,5 milyar dalam tahun 1996/97, dan menurun lagi menjadi US$ 6,0 milyar pada tahun 1997/ 98. Dari komposisinya, hutang luar negeri pemerintah sebagian besar terdiri dari pinjaman lunak, dan selebihnya merupakan pinjaman setengah lunak dan pinjaman tunai.

panjang yang kurang produktif. Beban menjadi terasa lebih berat lagi oleh karena melemahnya nilai tukar rupiah, sementara hutang luar negeri tersebut tidak dilindungi terhadap gejolak nilai tukar (unhedged). Di samping itu, arus modal masuk swasta neto menurun drastis, sehingga menjadi negatif cukup besar. Jadi, arus lalu lintas modal bersih mengalami defisit yang cukup besar. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, pada tahun 1997 telah ditempuh program stabilisasi dan reformasi yang mendapat dukungan teknis dan bantuan keuangan dari lembaga-lembaga internasional dan negaranegara sahabat, yang dikoordinasikan oleh International Monetary Funds (IMF). Pemerintah menandatangani Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) pada tanggal 15 Januari 1998. MEFP ini dikajiulang secara berkala. Menjelang Kabinet Reformasi Pembangunan, telah dilaksanakan dua kali kajiulang yaitu bulan April dan Juni 1998, untuk menyesuaikan dengan perkembangan terakhir. Pada waktu itu, IMF sepakat memberikan pinjaman siaga sekitar US$ 10 milyar, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) masing-masing memberikan komitmen sebesar US$ 4,5 milyar dan US$ 3,5 milyar. Di luar paket tersebut, dukungan bantuan keuangan sebagai second line of defence diperoleh pula dari negara-negara sahabat seperti Jepang, Singapura, Amerika Serikat, Malaysia, Brunei Darussalam, Australia, Cina dan Hong Kong Di samping dukungan teknis dan bantuan keuangan dari lembaga-lembaga internasional dan negara-negara sahabat yang dikoordinasikan oleh IMF tersebut, pemerintah juga mengusahakan pinjaman luar negeri, khususnya melalui forum kerjasama Consultative Group for Indonesia (CGI), yang menggantikan forum InterGovernmental Group on Indonesia (IGGI)

Program penyehatan ekonomi yang telah diluncurkan sesuai dengan MEFP meliputi bidang fiskal, moneter, restrukturisasi sektor keuangan, reformasi struktural, jaring pengaman sosial, serta pinjaman swasta. Untuk memantau seluruh pelaksanaan program telah dibentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEKU). Untuk mengatasi masalah hutang swasta, telah dibentuk Tim Penyelesaian Hutang Luar Negeri Swasta (TPHLNS), Contact Committee yang mewakili kelompok debitur Indonesia dan Steering Committee yang mewakili kreditur bank-bank asing luar negeri, serta Lembaga Penyelesaian Penjadwalan Hutang Indonesia (Indonesian Debt Restructuring Agency-INDRA) yang mengacu model “Ficorca" yang diterapkan di Meksiko. Di dalam MEFP 15 Januari 1998, juga disepakati pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) guna memulihkan kepercayaan dan melaksanakan restrukturisasi sektor perbankan. Untuk program ini, Pemerintah telah memberikan penjaminan atas simpanan masyarakat dan kewajiban lainnya pada bank-bank berbadan hukum.

Tujuan, Sasaran Dan Program Kegiatar:

Menyadari bahwa krisis ekonomi telah berakibat buruk terhadap perkembangan perekonomian nasional, maka penanggulangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya melalui serangkaian langkah reformasi ekonomi merupakan keputusan penting yang perlu segera dilaksanakan. Pengaruh buruk yang sangat menonjol dari krisis tersebut adalah terjadinya ketidakstabilan ekonomi yang ditandai oleh tingginya inflasi dan merosotnya nilai tukar rupiah tehadap mata uang asing, serta melambatnya pertumbuhan ekonomi bahkan terjadi kontraksi ekonomi. Oleh sebab itu sasaran penanggulangannya harus diarahkan kepada terciptanya kestabilan ekonomi, agar pada gilirannya dapat terbuka peluang bagi upaya pemulihan ekonomi. Dalam jangka pendek dua sasaran strategis yang dituju adalah (1) mengurangi dampak negatif krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dan rentan, serta (2) memulihkan pembangunan ekonomi ke jalan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sekaligus memperhatikan aspek keadilan.

Dalam kaitan tersebut, agenda pokok program kegiatan yang disusun oleh Kantor Menko Bidang Ekuin untuk pemulihan ekonomi adalah : 1. Menggerakkan kembali roda perekonomian:

Menyusun program-program Jaring Pengaman Sosial, meliputi penyediaan kebutuhan pokok pangan dan obat-obatan,

serta padat karya/lapangan kerja pro

duktif: * Memperbaiki sistem distribusi; * Memperkuat usaha kecil dan menengah

serta koperasi; Mendorong ekspor dan perolehan devisa dengan menghilangkan hambatan-

hambatannya dan menciptakan iklim yang

kondusif; Membangun kembali sektor-sektor produksi pertanian, terutama pangan, termasuk perkebunan, kehutanan, dan

peternakan; industri dengan titik berat


pada sumber daya yang kita miliki (re-
source base) seperti agrobisnis/agro industri; serta pariwisata;

Menggairahkan kembali iklim investasi. 2. Menyehatkan perbankan. 3. Menyelesaikan hutang swasta (hutang luar

negeri dan dalam negeri). 4. Meningkatkan pengelolaan anggaran, dengan

cara mengamankan penerimaan, serta mengefektifkan pengeluaran rutin dan

pembangunan. 5. Melanjutkan dan meningkatkan reformasi

struktural/pembangunan kelembagaan, termasuk berbagai peraturan perundangan yang mendasar di bidang ekonomi, keuangan dan industri.

Pelaksanaan Dan Hasil-Hasil Yang Dicapai

Menghadapi situasi tersebut Pemerintah telah melakukan berbagai langkah-langkah menyelesaikan hutang yang ada baik hutanghutang Pemerintah maupun hutang-hutang swasta. Khususnya mengenai hutang-hutang pe-merintah telah disepakati restrukturisasi sebagian hutang-hutang Pemerintah dengan kelompok-kelompok negara dan lembagalembaga donor yang tergabung dalam kelompok CGI pada pertemuan tahun 1998 dan tahun 1999. Untuk menyelesaikan hutang-hutang swasta Pemerintah telah membentuk INDRA, Prakarsa Jakarta dan Pengadilan Niaga yang dimaksudkan untuk dapat membantu penyelesaian hutang-hutang luar negeri kelompok swasta dan para kreditur mereka di luar negeri. Selain mengusahakan solusi terhadap pinjaman luar negeri yang sudah sangat besar jumlahnya, Pemerintah juga berupaya membatasi pinjaman-pinjaman baru.

Sektor Keuangan dan Moneter

Mengendalikan ekspansi moneter yang bersumber dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) melalui operasi pasar terbuka dengan sistem lelang SBI. Kebijaksanaan ini akan berdampak menaikkan suku bunga, yang pada gilirannya dapat meningkatkan tabungan dan sekaligus mencegah terjadinya spekulasi pembelian valuta asing, walaupun di sisi lain disadari akan berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi. Itulah sebabnya secara bertahap tingkat bunga dan pengetatan ekspansi moneter dilonggarkan seiring dengan turunnya laju inflasi dan menguatnya

nilai tukar rupiah. b. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) disesuaikan dengan perkiraan jumlah pinjaman luar negeri. Pemasukan dana luar negeri dalam bentuk bantuan program tidak saja berperan menutup defisit, tetapi juga dapat menambah

suplai valuta asing, yang akan berdampak

positif terhadap upaya memperkuat nilai tukar rupiah.

Sasaran utamanya adalah tersedianya

anggaran bagi perluasan kesempatan kerja, pemenuhan kebutuhan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan serta penyediaan subsidi barang kebutuhan pokok untuk memperkuat Jaring Pengaman Sosial (JPS).

Di samping untuk mendukung reformasi dan

stabilisasi di bidang ekonomi, kebijaksanaan ini juga merupakan upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat (dalam dan luar

negeri) terhadap perekonomian nasional,


sehingga upaya pemulihan kondisi per- ekonomian dapat dilaksanakan sesuai dengan

yang direncanakan.


Secara fungsional, pelaksanaan tugas pokok adalah melakukan koordinasi kebijakan dalam bidang industri dan jasa yang mencakup sektor perindustrian, investasi, pariwisata, transportasi, energi, pekerjaan umum, dan partisipasi sektor swasta dalam kerjasama ekonomi sub-regional Indonesia dan Australia (AIDA).

Di sektor industri, pelaksanaan koordinasi meliputi penetapan kebijakan pemberian kemudahan perpajakan pada beberapa jenis industri terutama bagi kegiatan industri yang mampu menciptakan lapangan kerja. Guna mendorong kegiatan para investor, telah diupayakan penerbitan Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1999 yang mengatur pemberian


Page 5

UNESIA EX 1 - 7 Maret 2000 Jakarta Fairgrounds Kema

TEMA : MASAAN EKONOMI IND REKAPITA' SL & RESTRUKTU

1999, Hotel Borobud

Menerima Duta Besar Jerman


Page 6

dikembangkan kerjasama ekonomi sub re

gional (KESR). d. Sejalan dengan langkah reformasi ekonomi,

upaya-upaya untuk mempercepat pemulihan ekonomi ditempuh melalui konsultasi yang erat dengan lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.

badan usaha lainnya. Kebijaksanaan tersebut juga dilaksanakan di daerah tertinggal untuk meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan kelompok masyarakat yang berada di bawah kemiskinan melalui pengembangan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Sebagai tindak lanjut dari PP No.44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, terus diupayakan langkah-langkah nyata untuk mewujudkan kemitraan KUKM dengan Usaha Besar, termasuk BUMN. Untuk itu Pemerintah telah mengeluarkan skim kredit baru yaitu kredit modal kerja usaha kecil dan menengah (KMK-UKM) dengan sumber utama keuangannya berasal dari dana BUMN. Skim kredit ini ditujukan untuk mengembangkan kegiatan usahü yang bersifat padat karya, berorientasi pada komoditas unggulan ekspor, dan usaha distribusi bahan pokok dan bahan baku industri.

Sektor Hubungan Ekonomi Internasional

Sektor Keuangan dan Moneter

Disadari bahwa waktu satu tahun relatif sangat pendek untuk menanggulangi persoalan ekonomi yang multidimensi dan sangat berat. Meskipun demikian telah dapat dicapai beberapa keberhasilan yang cukup menonjol, yang kiranya dapat memberi harapan bagi pulihnya kembali perekonomian Indonesia di masa datang. Hasilhasil tersebut antara lain :

Laju inflasi tahun 1998/1999 sebesar 45,44% memang masih lebih tinggi dari tahun 1997/ 1998 (36,80%), namun sebenarnya sudah lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan inflasi dalam APBN 1998/1999 (66%). Bahkan laju inflasi selama 8 bulan pertama tahun 1999 sebesar 0,71% jauh lebih rendah dari periode yang sama, baik pada tahun 1998 (69,12%) maupun tahun 1997 (4,97%). Hal yang sama juga terjadi pada 5 bulan pertama tahun anggaran 1999/2000 (April - Agustus 1999) sebesar minus 3,24% dibandingkan periode yang sama tahun 1998/1999 (33,15%) dan tahun 1997 (2,42%). Rendahnya inflasi selama 8 bulan pertama 1999 tersebut selain karena angka-angka inflasi yang rendah setiap bulannya, juga terdapat kecenderungan perkembangan inflasi yang terus menurun bahkan mengalami deflasi sejak Maret 1999 hingga Agustus 1999. Dilihat dari penyebabnya, rendahnya inflasi (0,71%) tersebut terutama disebabkan oleh terjadinya deflasi pada harga kelompok bahan makanan sebesar 11,76%,

makanan jadi 0,47% dan sandang 3,47%. Sedangkan harga kelompok perumahan, kesehatan, pendidikan dan transport terjadi inflasi masing-masing sebesar 1,81%, 2,40%, 2,73% dan 0,31%.

Kecenderungan terus menurunnya laju inflasi tersebut kiranya dapat dijadikan salah satu tolok ukur kemajuan dalam pengendalian stabilitas ekonomi, yang pada gilirannya berdampak positif terhadap upaya menurunkan suku bunga agar tercipta iklim yang kondusif bagi bangkitnya kembali sektor riil.

Rendahnya realisasi penerimaan terutama terjadi pada penerimaan pembangunan yang hanya mencapai Rp62.320,1 miliar (54,4%), meskipun pada penerimaan dalam negeri yang didukung oleh penerimaan non-migas mampu mencapai Rp 152.809,5 miliar (102,3%). Sedangkan rendahnya realisasi pengeluaran terjadi pada pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, masingmasing sebesar Rp 147.717,2 miliar (86,3%) dan Rp 67.869,1 miliar (73,2%) Realisasi penerimaan dalam negeri yang lebih besar dari yang direncanakan terutama disebabkan oleh peningkatan yang cukup besar atas realisasi penerimaan pajak penghasilan berkenaan dengan naiknya suku bunga deposito yang cukup tinggi dan realisasi pajak ekspor berkaitan dengan kenaikan tarif pajak ekspor yang ditujukan untuk menciptakan stabilitas harga minyak goreng dalam negeri.

Realisasi penerimaan rutin yang lebih kecil dari yang direncanakan terutama disebabkan oleh membaiknya kurs rupiah terhadap US$ yahg pada gilirannya berakibat pada menurunnya realisasi pembayaran hutang luar negeri, belanja barang luar negeri dan subsidi.

Suku bunga SBI dan deposito berjangka secara bertahap sudah bergerak semakin rerdah tanpa diikuti gejolak spekulatif nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Suku bunga SBI 28 hari telah jauh menurun dari 70,73% pada bulan Agustus 1998 menjadi 12.97% pada akhir Agustus 1999. Suku bunga deposito berjangka 1 bulan juga menurun dari 61,76% pada bulan September 1998 menjadi 15,00% pada akhir Agustus 1999. Penurunan suku bunga secara drastis dan relatif stabilnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing berhasil mendorong naiknya indeks harga saham (IHSG) di Bursa Efek Jakarta hingga mencapai 565,196 pada akhir Agustus 1999, Meskipun angka tersebut belum mampu menyamai kondisi sebelum krisis terjadi, tetapi sudah berada jauh di atas titik terendah yang pernah terjadi pada bulan September 1998 yaitu 276,15. Pencapaian realisasi APBN 1998/1999 menunjukkan gambaran yang lebih rendah dari yang dianggarkan. Pada sisi penerimaan mencapai Rp215.129,6 miliar (81,5%) dan sisi pengeluaran mencapai Rp215.586,3 miliar (81,7%). Meskipun demikian ada perkembangan positif bahwa defisit dalam realisasi APBN 1998/1999 sebesar 2,9% dari PDB jauh lebih rendah dari angka defisit 8.5%

Dengan adanya peningkatan realisasi penerimaan dalam negeri dan penurunan realisasi pengeluaran rutin, maka realisasi penerimaan dalam negeri tahun 1998/ 1999 cukup untuk membiayai pengeluaran rutin, bahkan tercipta tabungan pemerintah sebesar Rp 5.092,3 miliar.

Rendahnya realisasi pengeluaran pembangunan dipengaruhi oleh faktor internal antara lain adanya revisi anggaran yang dilakukan pada bulan Juli 1998 sehingga terjadi penundaan pelaksanaan berbagai proyek, dan karena faktor eksternal diantaranya berupa keterlambatan pencairan bantuan luar negeri dan fluktuasi nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing terutama US$.

triwulan I tahun 1998 menjadi minus 10,57% pada triwulan II, positif 4,12% pada triwulan III, dan minus 3,93% pada triwulan IV, kemudian menjadi positif 1,31% pada triwulan I tahun 1999 dan positif 0,47% pada triwulan II tahun 1999.

Khusus terhadap pelaksanaan APBN 1999/ 2000, selama triwulan (s.d. Juni 1999) telah mencapai Rp53.012,6 milyar atau 24,1% dari APBN, yang berarti lebih baik dibandingkan realisasi triwulan I APBN 1998/1999 yang hanya mencapai 12,4% atau sebesar 32.755,4

milyar d. Kredit ekspor yang diterima oleh Pemerintah

pada bulan Mei 1999 mecapai USD15,1 milyar, sedangkan posisi pada triwulan II

1998 sebesar USD13,3 milyar. Kenaikan ini

terjadi karena penarikan atas komitmen tahun-tahun sebelumnya.

Selama kurun waktu Kabinet Reformasi

Pembangunan telah disetujui kredit ekspor dan pinjaman komersial luar negeri sebesar USD 1,107.6 juta terdiri dari USD 798.1 juta kredit ekspor untuk 5 proyek dan USD 309.5 juta pinjaman komersial luar negeri untuk 2 proyek. Persetujuan kredit ekspor USD 798,1 juta tersebut termasuk perpanjangan alokasi untuk 3 proyek sebesar USD 545,1 juta. Meskipun harga komoditi ekspor terpenting baik migas maupun non-migas di pasaran internasional mengalami penurunan, namun realisasi surplus dalam transaksi berjalan dan meningkatnya cadangan devisa pada tahun

1998/1999 yang masing-masing diperkirakan

sebesar US$4,4 miliar dan US$9,2 miliar

jauh lebih baik dari yang diperkirakan dalam


APBN 1998/1999 (US$1,4 miliar dan

US$5,3 miliar), f. Meskipun kontraksi dalam PDB baik pada

tahun 1998 (13,68%) maupun tahun 1998/ 1999 (-15,27%) adalah lebih tinggi dari yang diperkirakan, namun jika diamati perkembangan dalam triwulanannya menunjukkan bahwa proses kontraksi sudah melampaui titik terendah. Tegasnya kontraksi dalam PDB atas dasar harga konstan tahun 1993 berkembang dari minus 8,03% pada

Pelaksanaan koordinasi kebijakan di bidang industri dan jasa selama kurun waktu 19981999 telah menghasilkan beberapa kebijaksanaan, antara lain: a. Diterbitkannya Keputusan Presiden RI

No.7 tahun 1999 tanggal 4 Januari 1999 tentang Kriteria Penilaian Pemberian Fasilitas Perpajakan di Bidang Usaha

Industri Tertentu. b. Telah terbitnya kebijaksanaan Pem

baharuan Pengelolaan Irigasi melalui Inpres Nomor 3/1999 tanggal 26 April

1999. c. Telah disusun konsep kebijaksanaan

restrukturisasi sektor ketenagalistrikan dan konsep rancangan undang-undang ketenagalistrikan sebagai perbaikan dari Undang-Undang Nomor 15 tahun 1985 tentang ketenagalistrikan yang hingga saat

ini masih dalam pembahasan lebih lanjut. d. Di sektor transportasi, hasil-hasil yang

telah dicapai antara lain adalah realisasi penambahan armada pesawat Garuda dan realisasi kredit program untuk pembelian suku cadang angkutan umum perkotaan. Sedang hasil tak langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat adalah terciptanya keseimbangan antara permintaan dan pelayanan jasa transportasi pada tingkat tarif yang terjangkau, serta tersedianya alternatif pilihan moda transportasi khususnya untuk penumpang, yaitu kereta api untuk daerah Pulau Sumatera dan Pulau Jawa serta angkutan laut untuk angkutan antar

pulau. Di samping itu untuk mempertahankan kelangsungan pelayanan jasa trasportasi antara lain, mempertahankan aset prasarana dan sarana transportasi yang dimiliki oleh pemerintah melalui penyediaan biaya operasi dan pemeliharaan, serta menunda investasi baru yang menyerap dana cukup besar. Sedang untuk kegiatan usaha transportasi yang dilakukan oleh swasta, pemerintah lebih

banyak berperan sebagai fasilitator. e. Telah diterbitkannya Ke-putusan Presiden

RI No. 184 tahun 1998 tanggal 20 Oktober
1998 tentang Tim Koordinasi dan Sub Tim Koordinasi Kerjasama Ekonomi Sub

Regional yang juga mengatur kerjasama


sub-regional AIDA. f. Di bidang perwilayahan industri dan jasa

antara lain telah dilakukannya kerjasama 14 Pemerintah Daerah di Kawasan Timur Indonesia dengan negara-negara bagian di Australia, serta telah ditetapkannya 7 bandara, pelabuhan, dan perlintasan darat sebagai pintu gerbang internasional yang diizinkan menerima wisatawan asing dengan fasilitas bebas visa kunjungan

singkat. g. Di bidang investasi, telah dikeluarkan:

Keppres No.96 Tahun 1998 tentang Daftar Negatif Investasi;

Keppres No.99 Tahun 1998 tentang


Jenis Usaha yang dicadangkan untuk
usaha kecil dan jenis usaha yang terbuka untuk usaha menengah atau usaha besar dengan kemitraan.

Keppres No.113 Tahun 1998 tentang

Perubahan Atas Keppres No.33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal

Keppres No.114 Tahun 1998 tentang

Perubahan Atas Keppres No.25 Tahun 1991 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, dan Susunan Organisasi BKPM.

.

Keppres No.115 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Keppres No.97 Tahun 1993 Tentang Tatacara Penanaman

Modal. * Keppres No.116 Tahun 1998 tentang

Perubahan Atas Keppres No.26 Tahun 1980 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal

Daerah. * Inpres No. 22 Tahun 1998 tentang

Penghapusan Kewajiban Memiliki Rekomendasi Instansi Teknis Dalam Permohonan Persetujuan Penanaman

Modal. * Inpres No.23 Tahun 1998 tentang

Penghapusan Ketentuan Kewajiban Memiliki Surat Persetujuan Prinsip Dalam Pelaksanaan Realisasi Pe- nanaman Modal di Daerah.

Keputusan Meninves/Kepala BKPM


No. 21/SK/1998 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan dan Fasilitas Serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal

Dalam Negeri kepada Gubernur/

Kepala Daerah Tingkat I.

Keputusan Meninves/Kepala BKPM


No. 30/ SK/1998 tentang Pedoman
dan Tatacara Penanaman Modal yang didirikan dalam rangka PMDN dan PMA.

Keputusan Meninves/Kepala BKPM

tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan dan Pengen- dalian Penanaman Modal di Dalam Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET).

Keputusan Meninves/Kepala BKPM

No.12/ SK/1999 tentang Penyertaan Modal Dalam Perusahaan Induk (Holding)

Keputusan Meninves/Kepala BKPM

dan Menteri Koperasi, Pengusaha

Kecil dan Menengah No.22/SK/1998
dan 071 SKB/M/VII/1998 tentang Pemberdayaan Usaha Kecil Melalui Kemitraan Dalam Rangka Penanaman Modal. Keputusan Meninves/Kepala BKPM dengan Menteri Luar Negeri

No.KB.076/OT/V/1999/01 dan

No.10/SK/1999 tanggal 18 Mei 1999 sebagai pengganti dan penyempurnaan

SKB No. 17/SK/1992 dan SKB No.

KP/SK. 126/ 1992/01 untuk mem- berikan peran kepada Kantor Per- wakilan di luar negeri tidak hanya di bidang promosi namun juga mencakup penyuluhan dan penerimaan aplikasi

investasi. h. Di samping itu saat ini telah disusun

Agenda Reformasi Investasi dalam suatu perumusan Rencana Aksi Pengembangan Investasi Nasional guna menjadikan Indonesia sebagai tempat yang nyaman dan

menguntungkan bagi para investor. Sumber Daya Alam Dengan upaya yang terus menerus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa sumber daya alam sangat terbatas dan tidak dapat diperbaharui, dan dengan mengedepankan pentingnya pengembangan sektor-sektor ekonomi lain yang menjamin kelangsungan wilayah, maka hasil yang dapat dicapai adalah sebagai berikut: a. Telah dilakukan pengkajian SDA agar

pengelolaan SDA dapat menciptakan keseimbangan pembangunan yang berkelanjutan, serta menciptakan keseimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah sehingga tercipta pembagian hasil yang proporsional. Usulan yang ditawarkan untuk itu adalah memberikan royalti kepada daerah dengan pembagian

prosentasi yang proporsional. b. Telah diberikan peningkatan plafon

Kredit Usaha Tani guna mendorong

terwujudnya “Gerakan Mandiri Palagung” sehingga diharapkan pada tahun 2000-2001 Indonesia sudah dapat berswasembada beras, kedelai dan

jagung c. Telah dilakukan reformasi sistem HPH

oleh Departemen Kehutanan melalui perubahan kebijakan antara lain mengubah PP No. 21 1970 menjadi PP No. 6 1999, yang pada prinsipnya HPH satu grup yang pemegang saham mayoritasnya di tangan satu orang hanya boleh mempunyai HPH sebanyakbanyaknya 100 ribu hektar per propinsi dan 400 ribu hektar seluruh Indonesia. Di samping itu, Menhutbun telah mengeluarkan SK No.732/ Kpts-II/1998 tentang kompensasi saham untuk koperasi sebesar

20% atau lebih di perusahaan HPH. d. Telah disiapkan Rancangan Keputusan

Presiden tentang Penyediaan dan Pelayanan Pelumas. Mengingat pelumas

merupakan komoditi yang konsumennya

sangat luas dan strategis, dan saat ini Pertamina memperoleh hak monopoli impor, maka tata niaga seperti ini akan dihapuskan. Sedangkan bea masuk impor

diusulkan tetap 5% sebagaimana fee yang

diterima Pertamina. Dengan tarif ini dimaksudkan untuk melindungi produsen dalam negeri. Dalam hal aspal Buton telah ada beberapa

calon investor yang berminat mengolah


dengan teknologi yang handal, sehingga
dapat menghasilkan Aspal Alam yang
bermutu dan harga yang kompetitif. Aspal ini kecuali untuk membuat jalan, juga dapat untuk membuat coating, anti karat, adhesive, dan lain-lain. Agar kekayaan alam ini dapat dikelola secara ekonomis maka telah disusun suatu Rekomendasi Peningkatan Pemanfaatan Aspal Buton,

suatu arahan bagi calon investor yang

akan menanam investasi mengelola Aspal Alam Buton.


Page 7

c. Menghilangkan berbagai praktek

monopoli yang masih ada dan mengembangkan sistem insentif yang mendorong efisiensi dan inovasi; serta meningkatkan keterbukaan dan transparansi dalam bidang pemerintahan dan dalam pengelolaan usaha serta mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi dunia usaha untuk dapat berkembang dan mempunyai keterkaitan usaha yang semakin kuat antara pelakupelakunya yaitu usaha usaha kecil dan

menengah, koperasi serta usaha besar. d. Membentuk suatu lembaga keuangan baru

yaitu PT (Persero) Permodalan Nasional Madani (P.T PNM) melalui penyertaan modal awal sebesar Rp. 300 milyar ditambah pengalihan kredit program dari Bank Indonesia. Persero ini bertujuan untuk memberikan jasa pembiayaan termasuk kredit program dan jasa manajemen serta kegiatan lainnya untuk pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah untuk mengantisipasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, khususnya pasal 74, dimana Bank Indonesia tidak diperkenankan memberikan kredit program serta diharapkan akan dapat lebih mendorong pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi melalui penyediaan modal usaha dan modal kerja dengan tingkat pengembalian yang diharapkan dapat di-jangkau oleh

pengusaha. e. Dengan telah diundangkannya Undang

Undang Bank Indonesia yang baru, maka Bank Indonesia sebagai bank sentral yang melaksanakan kebijaksanaan moneter secara penuh dan independen. Bank Indonesia bertanggung jawab atas terpeliharanya nilai Rupiah yang kuat dan sistem keuangan yang sehat dan sekaligus dapat memberikan jaminan bagi terciptanya ekonomi nasional dengan

kemampuan yang terus meningkat, berdaya saing dan produktivitas yang tinggi. Dengan adanya Undang-Undang ini maka demokrasi bidang ekonomi dapat diwujudkan yaitu adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara dan pelaku ekonomi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi

pasar secara wajar. f. Sehubungan dengan ditetapkannya PP

No. 23 tentang Bank Indonesia, perlu dikembangkan suatu pola dasar pendanaan kredit yang semula berasal dari pendanaan KLBI menjadi pendanaan yang bersumber dari pasar. Untuk itu perlu persiapan yang matang dan saat ini sedang diambil langkah-langkah penyesuaian antara lain menunjuk pengelola kredit. BRI ditugasi mengkoodinasikan pengelolaan dana yang telah tersalur dalam KUT dengan jumlah outstanding sebesar Rp. 4,76 trilyun. BTN ditugaskan mengkoordinasikan pengelolaan dana yang telah tersalur dalam rangka KPR RS/RSS dengan nilai outstanding sebesar Rp. 2,93 milyar. PT PNM ditugasi mengkoordinasikan pengelolaan dana yang telah tersalur dalam rangka kredit program lainnya, dengan jumlah outstanding

Rp. 4,15 trilyun. g. Dalam rangka lebih memberdayakan

KUKM, selain melakukan upaya penyesuaian pola penyaluran, Pemerintah tetap konsisten dengan upaya-upaya pengembangannya, antara lain telah memberikan plafon baru untuk TA 1999/ 2000 sebesar Rp 15,19 trilyun untuk 17 skim kredit. Dana sebesar itu akan disalurkan untuk skim kredit KUT sebesar Rp. 5,53 trilyun; KKOP sebesar Rp. 2,8 trilyun; KKPA sebesar Rp. 1,34 trilyun; KMK-UKM yang baru dimulai sejak


Page 8

bahwa pada tahun 2000, minimum 90 % dari total pos tarif yang ada, tarifnya

sudah pada tingkat 0-5 %. * Kesepakatan untuk mempercepat

jadual pembentukan ASEAN Invest-
ment Area. Jika sesuai Framework
Agreement on ASEAN Investment
Area, bidang usaha yang dimasukkan
dalam kategori Temporary Exclussion
List (untuk sementara ditutup) harus segera dibuka pada tahun 2010, maka

sesuai Bold Measures ini, bidang


usaha yang masuk dalam kategori
Temporary Exclussion List tersebut harus harus dibuka lebih awal, yaitu pada tahun 2003. Kesepakatan untuk memulai lagi putaran baru perundingan di bidang

jasa, yang akan dimulai tahun 1999,

dan berakhir pada tahun 2001.

persiapkan Pertemuan Tingkat Menteri dan Pertemuan Para pemimpin APEC. Pada setiap per- temuan SOM, Kantor Menko EKUIN bersama Departemen Luar Negeri mengkoordininasikan persiapan materi dan pembahasan substantif dengan departemen terkait.

Pertemuan SOM APEC yang

berlangsung selama periode Kabinet

Reformasi Pembangunan adalah

sebagai berikut : * SOM II di Kuching, Sarawak,

Malaysia, tanggal 18-20 Juni 1998 SOM III di Kuantan, Malaysia, 13-

15 September 1998 * Informal SOM APEC di Kuala

Lumpur tanggal 12-13 November

1998 * SOM I APEC di Wellington,

Selandia Baru, tanggal 7-9 Pebruari 1999

Pertemuan ke-31 Menteri-Menteri Ekonomi ASEAN akan diselenggarakan pada tanggal 28 Agustus - 2 September 1999 di Singapore. Sedangkan KTT Informal akan diselenggarakan pada tanggal 28 November 1999, didahului dengan pertemuan gabungan Menteri-menteri Ekonomi dan Menteri-menteri Luar

negeri ASEAN b. Kerjasama Ekonomi Asia - Pasifik

(APEC)

SOM II APEC di Christchurch, Selandia Baru, tanggal 29 April - 7

May 1999 * Informal SOM APEC, di

Auckland, Selandia Baru, 27 Juni

Selama Kabinet Reformasi Pembangunan, Indonesia secara aktif berpartisipasi dalam semua forum kerjasama APEC. Berbagai pertemuan yang persiapan dan keikutertaan Indonesia dikoordinasikan oleh Kantor Menko EKUIN selama Kabinet Reformasi Pembangunan adalah sebagai berikut : 1) Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi

Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi (Senior Officials Meeting/SOM APEC) dimaksudkan untuk mem

* SOM III APEC, di Rotorua,

Selandia Baru, 10-13 Agustus 1999 Hasil yang dicapai dari setiap pertemuan SOM umumnya merupakan kesepakatan mengenai bahan atau materi yang akan dibahas lebih lanjut pada pertemuan tingkat menteri. Dengan demikian maka hasil pertemuan SOM merupakan pedoman bagi para pejabat senior untuk mempersiapkan pertemuan tingkat

menteri di bidangnya masing-masing. 2) Pertemuan Tingkat Menteri

Pada intinya, Pertemuan Tingkat Menteri sektoral membahas masalah-

Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) ke10 APEC di Kuala Lumpur, 14-15 Nopember 1998 dihadiri oleh Menko EKUIN dan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan antara lain sebagai berikut:

masalah ekonomi yang berkembang di kawasan Asia Pasifik. Sedangkan Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) yang dihadiri Menteri Luar Negeri dan Menteri Ekonomi di samping membahas masalah yang berkembang, juga sekaligus membahas persiapan untuk Pertemuan Para Pemimpin Ekonomi. Dalam pertemuan ini, Kantor Menko EKUIN bertanggungjawab mensinkronisasikan posisi Indonesia yang masukannya bersumber dari berbagai departemen terkait, sehingga masukan yang disampaikan dalam pertemuan dapat mencerminkan adanya kesatuan bahasa dan tidak saling bertentangan satu sama lain. Pertemuan Tingkat Menteri yang berlangsung selama masa Kabinet Reformasi Pembangunan adalah sebagai berikut:

* Telah berhasil disusun Blue Print

for Action on Electronic Commerce yang merupakan pedoman bagi upaya-upaya untuk mengembangkan perdagangan melalui

elektronika. * Telah berhasil dikembangkan a

Virtual Electronic Commercel Multimedia Resource Network" yang berfungsi sebagai penyedia informasi mengenai perdagangan melalui elektronika. Sarana ini bermanfaat bagi Indonesia untuk meningkatkan penyebarluasan informasi mengenai perdagangan melalui elektronika yang sekarang sedang tumbuh dan ber-kembang. Telah berhasil disusun paket program percepatan liberalisasi perdagangan (Early Voluntary Sectoral Liberalization/EVSL) meliputi 9 sektor komoditi. Dengan Paket percepatan liberalissi ini tujuan perdagangan bebas dapat dicapai dalam waktu yang lebih awal, sehingga memberikan kesempatan dan peluang bagi perluasan ekspor Indonesia ke

anggota APEC lainnya. Pertemuan Menteri-Menteri Perdagangan APEC yang berlangsung pada tanggal 29-30 Juni 1999 di Auckland, Selandia Baru, Pertemuan ini membahas tiga hal pokok, yaitu: (i) Expanding the Opportunities for Business Throughout the Region, (ii) Streng-thening Markets, dan (iii) Broadening Support for APEC.

* Pertemuan Menteri-Menteri

Perdagangan APEC di Kuching,
Malaysia tanggal 22-23 Juni 1998. Pertemuan Menteri Energy APEC di Oki-nawa, Jepang, tanggal 9-10

Oktober 1998

Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) ke-10 APEC di Kuala Lumpur, 14-

15 Nopember 1998

Pertemuan Menteri-menteri Usaha kecil dan Menengah APEC, Kuala

Lumpur, 7-8 September 1998

Pertemuan Menteri-menteri Peranan Wanita APEC, Manila, 15-

16 Oktober 1998

Pertemuan Menteri Keuangan APEC di Langkawi, 15-16 Mei 1999 Pertemuan Menteri-Menteri perdagangan APEC di Auckland, 29-30 Juni 1999.

3) Pertemuan Para Pemimpin Ekonomi

APEC Pertemuan Para Pemimpin Ekonomi

APEC (APEC Economic Leaders'


Meeting/AELM) merupakan per- temuan puncak dari seluruh pertemuan

yang berlangsung pada tahun yang

bersangkutan. Di samping membahas

masalah-masalah ekonomi yang

berkembang di kawasan Asia Pasifik, pertemuan ini juga merupakan arahan bagi para menteri dan pejabat senior dalam melaksanakan program kerja sama di bidang ekonomi di kawasan Asia Pasifik.

Selama masa Kabinet Reformasi Pembangunan, telah berlangsung Pertemuan AELM ke-6 di Kuala Lumpur pada tanggal 17-18 Nopember 1998. Pertemuan ini membahas mengenai krisis keuangan yang terjadi di Asia, kerjasama ekonomi dan teknik untuk pembangunan, perdagangan melalui elektronika, dan upayaupaya untuk memperkuat sistem perdagangan multilateral. Pada kesempatan ini Bapak Presiden dengan disertai beberapa Menteri Kabinet Reformasi Pembangunan termasuk Bpk. Menko Ekuin, hadir dan memberikan berbagai masukan yang sangat penting, khususnya menyangkut upaya-upaya yang dilakukan Indonesia dalam mengatasi krisis ekonomi.

oleh krisis ekonomi di Asia, khususnya dalam meningkatkan kepercayaan investor untuk

kembali menanamkan modalnya. * Perlunya meningkatkan arsitektur

sistem keuangan internasional yang mampu mendukung per-tumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik dan daya tangkal terhadap potensi timbulnya krisis ekonomi serupa di

masa yang akan datang. * Perlunya melanjutkan upaya-upaya

APEC untuk memperkuat program Jaring Pengaman Sosial, terutama dalam rangka membantu mengatasi dampak sosial dari krisis ekonomi. Telah berhasil disu-sun kerangka dasar bagi pengembangan skill untuk memperkuat pembangunan yang berkelanjutan serta mengurangi disparitas dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Secara keseluruhan, hasil yang dicapai dalam kerangka kerjasama APEC adalah sebagai berikut : * Melalui program liberalisasi

perdagangan dan investasi yang dituangkan ke dalam rencana aksi individual (RAI), masing-masing anggota dapat saling mengetahui kerangka kebijakan anggota APEC lainnya mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh di berbagai sektor, baik menyangkut kebijakan perdagangan maupun investasi. Dengan mengetahui RAI anggota APEC lainnya, maka Indonesia dapat menyusun langkah-langkah dan kebijakan yang ditujukan untuk memanfaatkan setiap peluang perdagangan dan investasi. Jika Indonesia dapat mengantisipasi peluang ini, maka berbagai hambatan perdagangan yang selama ini dihadapi dapat dihadapi dan pada

Hasil dari pertemuan AELM ini dituangkan dalam Leaders' Declaration dengan tema Strengthening the Fondation for Growth. Pada intinya dalam deklarasi tersebut telah dicapai beberapa kesepakatan mengenai : * Perlunya meningkatkan kerjasama

yang lebih erat di antara para anggota APEC dalam menyelesaikan masalah yang ditimbulkan

gilirannya dapat membantu

peningkatan ekspor. * Melalui program fasilitasi

perdagangan dan investasi yang dituangkan dalam RAK, maka semua anggota APEC akan merasakan manfaat bersama dalam memperlancar arus perdagangan dan investasi, sehingga secara keseluruhan manfaat kerjasama APEC dapat dinikmati oleh seluruh anggota APEC. Dalam kaitan ini, maka Indonesia dapat memanfaatkan setiap peluang bagi

masuknya investasi asing. * Melalui program kerjasama

ekonomi dan teknik, maka Indonesia juga dapat memanfaatkan program kerja sama di bidang ini untuk mendorong upaya-upaya bersama dalam menyelesaikan dan mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi.

Fasilitasi Perdagangan (Trade Facilitation Action Plan/T FAP) telah dilaksanakan berbagai aktivitas berupa seminar dan workshop di berbagai

bidang prioritas 2) Dalam kaitan dengan program ASEM

di bidang investasi, telah dicapai kemajuan sebagai berikut:

* Telah dibuat suatu Virtual Informa-


tion Exchange (VIE) Homepage
yang memuat informasi-informasi
yang terkait dengan investasi
termasuk kebijaksanaan-kebijak- sanaan di masing-masing negara ASEM. VIE Home-page tersebut akan secara formal diluncurkan pada Pertemuan Para Menteri Ekonomi bulan Oktober 1999.

c. ASEM (Asia Europe Meeting)

Untuk menindak lanjuti arahan dan inisitatif-inisiatif para Pemimpin sesuai hasil KTT ASEM ke-2 di London 3-4

April 1998, serta untuk menindak lanjuti

pertemuan pertama Para Menteri

Ekonomi ASEM yang telah diseleng-

garakan di Makuhari, Jepang pada tanggal 27-28 September 1997 telah diseleng- garakan pertemuan-pertemuan Pejabat Senior ASEM Bidang Perdagangan dan

Investasi (Senior Officials Meeting on


Trade and Investment -SOMTI). Hal-hal penting dan kemajuan-kemajuan

yang telah dicapai di bidang ekonomi

sejak Pertemuan Pertama Para Menteri Ekonomi dan KTT ASEM diantaranya

adalah sebagai berikut :

1) Dalam kaitan dengan program ASEM

di bidang perdagangan, sejalan dengan Kerangka Kerja Rencana Aksi

Telah dikembangkan ASEM Connect yang merupakan jaringan sumber informasi dan business matching, terutama untuk membantu usaha kecil, menengah dan

koperasi. * Telah disusun daftar kebijak

sanaan-kebijaksanaan yang berdasarkan pengalaman masingmasing negara anggota ASEM dianggap paling efektif dapat menarik investor. Daftar ini disusun berdasar pengalaman masing-masing negara anggota ASEM. Sehingga dengan demikian akan dapat ikut secara lebih efektif

menyampaikan berbagai masukan. * Akan dilangsungkan Asia-Europe

Business Forum yang ke -4 di Seoul pada tanggal 29 September1 Oktober 1999. Pertemuan ini akan dilangsungkan secara backto-back dengan pertemuan ASEM Decision-makers Roundtable. Pada pertemuan AEBI ke-4 ini In


Page 9

kawasan yang terkait dalam KESR menjadi terhambat. Dari berbagai pertemuan dengan negara anggota KESR dicapai kesepakatan bahwa kerjasama KESR perlu terus dilanjutkan di masa yang akan datang.

4. Kerjasama dengan Lembaga-lembaga

Internasional

donesia diberikan kesempatan

untuk menjadi Co-chair Country. 3) Beberapa negara Asia termasuk Indo

nesia telah dapat memanfaatkan dana

dari ASEM Trust Fund. 4) Dalam setiap pertemuan selalu

dilaksanakan diskusi tentang perkembangan terakhir tentang keadaan

perekonomian global. 5) Tampak adanya dorongan agar

kerjasama ASEM di bidang ekonomi lebih diperdalam dan diperluas. Hal ini tampak dari pembahasan-pembahasan selama pertemuan pada tingkat pejabat senior yang sudah dilangsungkan, dan dari rekomendasi-rekomendasi yang dikemukakan oleh Vision Group ASEM yang telah menyelesaikan tugasnya. Di antara rekomendasi yang diajukan oleh Vision Group tersebut adalah agar ASEM mengambil kesepakatan liberalisasi perdagangan dan investasi paling lambat tahun 2025.

Kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional mengandung dua aspek penting: dialog kebijakan pembangunan dan upaya mendapatkan sumber dana eksternal, baik untuk mengatasi defisit anggaran maupun untuk mempertahankan cadangan devisa dan menjaga keseimbangan necara pembayaran. Di samping kerjasama bilateral, terdapat dua forum yang menonjol, yaitu: Consultative Group for Indonesia (CGI) dan Kajiulang kinerja kebijakan ekonomi dan keuangan bersama International Monetary Fund (IMF).

3. Kerjasama Sub Regional

Telah terjalin Kerjasama Ekonomi Sub
Regional (KESR), yang teridiri dari: * Kerjasama Pariwisata Indonesia -

Singapura (ISTC); * Segitiga Pertumbuhan Indonesia - Malay-

sia - Thailand (IMT-GT); * Segitiga Pertumbuhan Indonesia - Malay

sia - Singapura (IMS-GT); * Wilayah Pertumbuhan Brunei Darus-

salam-Indonesia-Philipina (BIMP- EAGA),dan Kawasan Pengembangan Indonesia - Aus- tralia.

Donor yang memberikan bantuan/ pinjaman kepada Indonesia, pada umumnya tergabung dalam forum CGI. Anggota CGI terdiri dari 20 negara dan 14 badan internasional. Negara-negara dan badan-badan internasional tersebut

adalah sebagai berikut :

1) Negara-negara :

Amerika Serikat, Australia, Austria, Belanda, Belgia, Denmark, Finlandia, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Republik Korea, Norwegia, Perancis, Selandia Baru,

Spanyol, Swedia, dan Swiss. 2) Badan-badan internasional :

Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Dana Moneter Internasional (IMF), Uni Eropa (UE), UNDP, UNICEF, IFAD, IFC, OECD, Islamic Development Bank (IsDB), Saudi Fund, Kuwait Fund, European Invest-

Akibat terjadinya krisis ekonomi, telah menyebabkan beberapa kegiatan KESR tertunda, sehingga upaya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di kawasan


Page 10

Kabinet Reformasi Pembangunan memulai

Dalam bidang fiskal, pada bulan Juli 1998 baktinya dalam masa-masa sulit yang diwarnai telah dilakukan penyesuaian kebijakan yang oleh aneka ragam krisis sebagai kelanjutan dari mendasar, yaitu dengan melakukan revisi APBN krisis nilai tukar yang terjadi pada pertengahan 1998/1999 yang telah disetujui oleh DPR. tahun 1997. Rupiah mendapat tekanan yang berat Kebijakan tersebut dimaksudkan agar sasaran dan dalam waktu cukup lama berfluktuasi dengan yang ditetapkan dapat sejalan dengan perubahan cepat. Kesulitan semakin bertambah karena keadaan serta mendukung progam reformasi dan dampak domestik krisis nilai tukar rupiah tersebut stabilisasi ekonomi. Dalam nuansa yang lebih demikian dahsyat. Inflasi dan pengangguran luas dan dengan perspektif waktu yang lebih meningkat dengan cepat dan PDB terkontraksi panjang, reformasi fiskal dilaksanakan baik pada sebesar 13,7 persen dalam tahun 1998. Sistem sisi pengeluaran maupun pada sisi penerimaan perbankan nasional juga mengalami kerusakan negara. yang parah akibat suku bunga yang tinggi dan

Dari sisi penerimaan, perhatian lebih banyak membengkaknya kredit macet. Kondisi ini dipusatkan pada upaya peningkatan efisiensi kemudian diperburuk lagi oleh merebaknya penerimaan dalam negeri, yaitu, penerimaan keresahan sosial, kerusakan jaringan distribusi migas dan penerimaan nonmigas. Berbagai barang yang berat dan mengakibatkan keper- kebijakan perpajakan mulai diluncurkan melalui cayaan dunia usaha

penyempurnaan sistem menurun drastis. Selain APBN & APBN PERUBAHAN

pengelola a n itu, Kabinet Reformasi

perpajakan, baik yang

1998-1999 Pembangunan juga

menyangkut peraturan berkewajiban untuk

perundang-undangan, segera melaksanakan APBN

sistem administrasi pemilihan umum.

kebijakan penetapan APBN-P

REVISI Dihadapkan pada

Nomor Pokok Wajib kondisi lingkungan

Pajak tunggal yang yang berat tersebut,

mulai berlaku tanggal 1 Departemen Keuangan

263.888,1 215.129,6

215.129,6 Juni 1998—, maupun yang mempunyai tugas

sumber daya manusiapokok dan fungsi dalam *dalam triliun

nya. bidang Keuangan

Animasi APBN Negara, Moneter dan Perbankan selalu mengacu

Berbagai perhatian yang lebih khusus juga pada amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan diberikan dalam upaya meningkatkan penerimaan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998 cukai dan pajak ekspor tanpa menimbulkan tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan konsekuensi distorsi yang signifikan. Dalam hal dalam rangka Penyelematan dan Normalisasi penerimaan negara bukan pajak, kebijakan pokok Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. yang diterapkan mencakup restrukturisasi, Langkah dan arah tindakannya diwujudkan dalam profitisasi dan privatisasi Badan usaha Milik berbagai kebijakan fiskal (Anggaran Pendapatan Negara (BUMN). Sedangkan upaya peningkatan dan Belanja Negara / APBN), moneter, serta penerimaan luar negeri lebih ditekankan untuk restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan. melindungi masyarakat miskin melalui berbagai


Page 11

keuangan pusat dan daerah, pengembangan ekonomi rakyat yang sebagian besar berbasis di daerah; dan mempercepat terciptanya pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air.

Sejalan dengan jiwa dan semangat reformasi di bidang pemerintahan daerah, maka prinsip otonomi yang memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri harus diterapkan bersama-sama dengan upaya penegakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) tranparansi, partisipasi, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Jiwa dan semangat reformasi di bidang pemerintahan daerah ditransformasikan melalui pelaksanaan program yang panjang dan melelahkan tetapi kemudian berhasil diwujudkan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah, yang pada pokoknya bertujuan agar penyediaan dan pelayanan pemerintah daerah atas berbagai aspek pelayanan publik dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Tujuan penting yang lain dari undangundang ini adalah agar kegiatan perekonomian dan investasi di daerah-daerah dapat berkembang dengan lebih baik dan lebih cepat.

Dalam rangka menciptakan iklim yang mendukung upaya menurunkan laju inflasi dan memungkinkan terjadinya apresiasi dan stabilitas nilai tukar rupiah, telah dilaksanakan kebijakan pengetatan likuiditas melalui instrumen operasi pasar terbuka. Kebijakan ini telah membuahkan hasil yang menggembirakan karena selain rupiah telah menguat dan bergerak dalam kisaran yang cukup realistis sekitar Rp 6.800 per US$, dan pada saat yang sama inflasi juga dapat diturunkan dengan tajam.

Dalam rangka restrukturisasi perbankan, lima strategi diterapkan oleh pemerintah, meliputi : (i) mendorong dilakukannya rekapitalisasi terhadap bank-bank yang layak hidup; (ii) menyelesaikan kelanjutan status bank Bank Take Over dan Bank Beku Operasi; (iii) menyepakati dengan pemilik bank atas langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah; (iv) memantapkan penggabungan empat bank pemerintah (Bank Bumi Daya, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Dagang Negara dan Bank Ekspor Impor Indonesia) ke dalam Bank Mandiri; dan (v) meluncurkan berbagai peraturan yang menjamin kehati-hatian.

Krisis nilai tukar di Asia bermula dari krisis mata uang Thailand, yang kemudian merambat ke Philipina, Malaysia, Indonesia dan Korea Selatan. Nilai mata uang lima negara tersebut telah mengalami depresiasi yang cukup besar terhadap dolar Amerika Serikat dan diantara lima negara tersebut, rupiah mengalami depresiasi paling berat. Pada bulan Juni 1997 kurs rata-rata rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih berada pada tingkat Rp.2.450, tetapi pada bulan Juni 1998 telah mencapai Rp.10.525 atau rupiah mengalami depresiasi sekitar 76,70 persen (US$ apresiasi sekitar 329,60 persen). Krisis nilai tukar tersebut telah membawa akibat yang sangat serius

terhadap perekonomian nasional, dimana tingkat pengangguran meningkat tajam dan harga-harga bergerak dengan cepat. Selain itu, keresahan sosial terjadi dimana-mana dan kondisi politik menjadi sangat tidak stabil.

Nilai tukar rupiah yang terdepresiasi berat dan berfluktuasi cepat, berpengaruh negatif terhadap kinerja pasar modal. Sebelum terjadi krisis, kinerja pasar modal cukup mantap dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai 721,27 pada bulan Juli 1997 dan kemudian setelah krisis terjadi IHSG menurun menjadi 493,96 pada bulan Agustus 1997 dan mencapai titik terendah pada bulan September 1998 pada

tingkat 276,15. Ketidakstabilan yang serupa juga terjadi di pasar barang dan jasa yang ditunjukkan oleh pergerakan harga barang dan jasa (inflasi) yang cukup tajam. Sebelum terjadinya krisis nilai tukar rupiah, tingkat inflasi periode Januari-Juni 1997 hanya sebesar 2,54 persen, tetapi sejak Juli 1997 tekanan inflasi mulai terasa dan meningkat dari minus 0,17 persen pada bulan Juni 1997 menjadi 0,66 persen pada bulan Juli 1997. Bulanbulan berikutnya tekanan inflasi semakin berat, karena selain tekanan dari depresiasi rupiah juga diperberat oleh musim kemarau yang berkepanjangan, yang mengakibatkan terganggunya pasokan dan sistem distribusi hasil pertanian. Tekanan inflasi mencapai puncaknya pada bulan Februari 1998. yaitu mencapai 12.76 persen. Dengan demikian, apabila inflasi pada semester pertama tahun 1997 hanya 2.54 persen, maka dalam semester kedua tahun 1997 telah mencapai 8.51 persen, sehingga untuk seluruh tahun 1997 mencapai 11,05 persen, suatu kenaikan yang cukup besar bila dibandingkan dengan inflasi tahun 1996 yang hanya 6,47 persen. Dalam tahun 1998 malah inflasi mencapai 77,63 persen.

Gejolak nilai tukar rupiah juga mempengaruhi kinerja neraca pembayaran Indonesia. Defisit transaksi berjalan yang merupakan selisih negatif antara nilai ekspor dengan nilai impor barang dan jasa, mengalami perbaikan kinerja. Defisit US$8.069 juta (3,4 persen PDB) dalam Tahun Anggaran 1996/1997 menjadi hanya US$1.699,0 juta (1,2 persen PDB) dalam Tahun

Anggaran 1997/1998. Penurunan defisit terjadi terutama karena penurunan nilai impor barang sebagai akibat depresiasi rupiah yang cukup besar, serta peningkatan nilai ekspor barang yang cukup tinggi sebagai dampak positif depresiasi rupiah.

Tidak seperti transaksi berjalan, transaksi modal justru mengalami tekanan berat, yang terutama disebabkan oleh kuatnya arus modal keluar dari sektor swasta. Bila dalam Tahun Anggaran 1996/1997 aliran masuk modal bersih sektor swasta mencapai US$13.488,0 juta, maka dalam Tahun Anggaran 1997/1998 keadaan berbalik menjadi aliran ke luar modal bersih sebesar US$11.827,0 juta. Aliran modal ke luar ini terjadi terutama karena merosotnya kepercayaan asing terhadap prospek perekonomian nasional, meningkatnya pembayaran utang luar negeri swasta yang jatuh tempo, serta akibat ditundanya realisasi penanaman modal asing (PMA) yang telah disetujui. Dengan adanya defisit lalu lintas modal bersih swasta, surplus lalu lintas modal bersih pemerintah dan defisit transaksi berjalan serta selisih yang belum dapat diperhitungkan mencapai US$694,0 juta, maka neraca pembayaran secara keseluruhan dalam Tahun Anggaran 1997/1998 mengalami defisit sebesar US$10.022,0 juta. Dengan demikian cadangan devisa kotor mengalami penurunan menjadi US$16.509,0 juta dalam Tahun Anggaran 1997/1998 atau setara dengan 4,6 bulan impor non migas.

Perkembangan penerimaan negara yang tercermin pada penerimaan pajak, bea masuk, cukai dan penerimaan bukan pajak menunjukkan kondisi yang cukup menggembirakan. Dalam Tahun Anggaran 1998/1999 penerimaan pajak telah dapat melampaui target yang ditetapkan dalam APBN, yaitu 107 persen dari target. Selanjutnya untuk Tahun Anggaran 1999/2000, upaya pencapaian target telah dilakukan dengan mengintensifkan penerimaan yang sudah ada serta mengembangkan peluang-peluang baru dalam rangka meningkatkan penerimaan negara (ekstensifikasi) melalui pengkajian yang mendalam.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memberikan gambaran mengenai peranan sektor pemerintah dalam pembiayaan investasi nasional dan sekaligus mencerminkan strategi kebijakan fiskal dalam rangka : (i) mempengaruhi alokasi sumberdaya ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, perluasan kesempatan berusaha dan berbagai program pembangunan lainnya; (ii) memperbaiki pemerataan distribusi pendapatan, serta; (iii) menunjang program stabilisasi, termasuk program penyelamatan (rescue) dan pemulihan (recovery) kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut, pada bulan Juli 1998 telah dilakukan penyesuaian kebijakan fiskal yang mendasar, yaitu dengan melakukan revisi APBN 1998/1999 yang telah disetujui oleh DPR dan disahkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 3 Tahun 1998 tentang APBN Tahun Anggaran 1998/1999. Kebijakan tersebut dimaksudkan agar sasaran yang ditetapkan dapat sejalan dengan perubahan keadaan serta mendukung progam reformasi dan stabilisasi ekonomi. Dalam nuansa yang lebih luas dan dengan perspektif waktu yang lebih panjang, reformasi fiskal dilaksanakan baik pada sisi pengeluaran maupun pada sisi penerimaan negara.

Penerimaan Dalam Negeri
Perpajakan

Kebijaksanaan yang terus dilakukan dalam upaya peningkatan penerimaan pajak adalah sebagai berikut:

Ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak melalui penjaringan wajib pajak baru, memperluas objek pajak, serta meningkatkan ketaatan wajib pajak dalam membayar pajak. Pencabutan serta penghapusan fasilitas di bidang perpajakan atas barang dan jasa kena pajak tertentu, seperti impor mobil untuk taksi dan impor barang modal untuk usaha listrik swasta.

Pemberian fasilitas PPN dan PPnBM yang

berkaitan dengan kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET), berupa pem- berian fasilitas keringanan PPh bagi para

pengusaha yang melakukan investasi di

kawasan Timur Indonesia. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendukung pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Kebijakan penetapan Nomor Pokok Wajib

Pajak Tunggal yang mulai berlaku tanggal 1


Juni 1998.

Sisi Penerimaan

Dari sisi penerimaan, perhatian lebih banyak dipusatkan pada upaya peningkatan efisiensi penerimaan dalam negeri, yaitu penerimaan migas dan nonmigas. Upaya tersebut dilaksanakan dengan menetapkan berbagai kebijakan perpajakan, kepabeanan, dan penerimaan bukan pajak.

untuk Tahun Anggaran 1999/2000 Rp. 2.594,5 milyar.

Penerimaan pajak untuk Tahun Anggaran 1998/1999 adalah sebesar Rp. 87,61 triliun dan untuk Tahun Anggaran 1999/2000 adalah sebesar Rp. 79,03 triliun.

Kebijakan-kebijakan yang telah ditempuh di bidang kepabeanan dan cukai adalah sebagai berikut :

Dalam rangka menjalankan fungsi fasilitasi perdagangan dan investasi, DJBC mem- berikan fasilitas pembebasan bea masuk

kepada perusahaan-perusahaan yang

memenuhi persyaratan sesuai ketentuan

yang berlaku.

Penyesuaian harga dasar cukai khusus hasil tembakau melalui Keputusan Menteri

Keuangan Nomor 445 Tahun 1998. Dengan

diberlakukannya keputusan tersebut, maka tarif sigaret putih mesin (SPM) mengalami kenaikan sebesar dua persen untuk setiap kenaikan satu tingkat golongan tarif cukai

yang lebih tinggi. Kebijakan ini dimaksudkan

untuk menghindari adanya penurunan penerimaan cukai tembakau dalam rangka

restrukturisasi perekonomian nasional serta

ditujukan juga untuk menghindari terham- batnya produksi hasil tembakau dan meng-

hindari terjadinya persaingan yang kurang

sehat.

Pemberantasan pita cukai palsu yang di-

maksudkan untuk mengurangi kebocoran penerimaan cukai akibat beredarnya pita cukai palsu.

Pajak Ekspor

Kebijakan yang terus dilakukan dalam upaya peningkatan penerimaan pajak ekspor adalah sebagai berikut:

Menaikkan tarif rata-rata pajak ekspor untuk minyak sawit mentah dan produk turunannya melalui Keputusan Menteri Keuangan

Nomor 334 Tahun 1998. Tujuan penetapan

ini selain dimaksudkan untuk peningkatan penerimaan negara juga ditujukan untuk stabilisasi harga minyak goreng dalam negeri, sehingga tidak membebani masya- rakat dalam mengkonsumsi minyak goreng

dalam kondisi perekonomian yang ber-

gejolak Seiring dengan membaiknya keadaan

perekonomian, kemudian, tarif pajak ekpor

tersebut diturunkan kembali melalui Kepu- tusan Menteri Keuangan Nomor 189 Tahun

1999. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah

untuk mendorong pertumbuhan ekspor dan meningkatkan penerimaan devisa serta

menciptakan efisiensi perekonomian nasio-

nal.

Penerimaan pajak ekspor dalam Tahun Anggaran 1998/1999 adalah Rp. 942,8 milyar dan


Page 12

Penyederhanaan tatalaksana pengawasan pabean dan cukai dengan cara penerapan risk management dan pemberdayaan post clearance control (verifikasi dan audit) secara optimal. Diterbitkan surat keputusan pemberian fasilitas penundaan pembayaran cukai atas pemesanan pita cukai. Penerimaan dibidang kepabeanan dan cukai adalah sebagai berikut : Dalam Tahun Anggaran 1998/1999 penerimaan pabean Rp. 2.328,4 milyar, penerimaan cukai Rp. 7.677,9 milyar dan penerimaan pajak dalam rangka impor dalam Tahun Anggaran 1998/1999 tercatat sebesar Rp. 10.965,2 milyar. Dalam Tahun Anggaran 1998/1999 realisasi penerimaan cukai Rp. 7.677,9 miliar, kalau dilihat secara rinci penerimaan cukai telah didominasi oleh penerimaan cukai

hasil tembakau sebesar Rp. 7.425 miliar, cukai minuman yang mengandung etil alkohol Rp. 209,3 miliar, cukai etil alohol Rp. 23,1 miliar dan penerimaan lain-lain Rp. 19,5 miliar, sedang penerimaan cukai mencapai 3,29 kali lebih besar daripada pene-rimaan Pabean. Rendahnya penerimaan pabean antara lain disebabkan karena banyaknya impor bebas bea masuk sebagai akibat diberikannya fasilitas pembebasan (baik melalui Bapeksta maupun BKPM) dan pembebasan lainnya. Selama periode April 1998 sampai dengan Maret 1999 telah diberikan fasilitas pembebasan bea masuk sebanyak 1754 surat keputusan dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri dengan nilai devisa US$ 16.921,6 juta pada Sektor Pertanian (US$ 501,8 juta), Sektor Manufaktur (US$ 12.578,6 juta) dan Sektor Jasa (US$ 3.841,1

Bea Cukai di Bandara Sukata

juta). Dengan perkiraan nilai tukar US$ rata- rata selama satu tahun terakhir sebesar Rp 8.000,00 dengan tarip rata-rata sebesar 5

persen, maka bea masuk yang dibebaskan

sebesar Rp 6.768,6 milyar. Selama periode satu tahun terakhir ini telah dilakukan verifikasi dokumen impor, ekspor dan cukai sebanyak 146.480 set dan 11.094. Dari hasil verifikasi tersebut diterbitkan pemberitahuan tambah bayar sebesar Rp. 142,9 milyar dan restitusi sebesar Rp. 2,0 milyar. Sedangkan tagihan sebagai hasil dari

verifikasi dokumen cukai adalah sebesar Rp.


21,5 juta. Untuk periode yang sama telah dilakukan audit terhadap 310 perusahaan

yang bergerak dibidang kepabeanan dan

cukai diseluruh Indonesia. Jumlah tagihan berupa bea masuk, cukai dan pajak-pajak

lainnya adalah sebesar Rp. 37,8 milyar. Penerimaan Negara Bukan Pajak

Kebijakan yang diarahkan untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencakup restrukturisasi, profitisasi dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Secara lebih umum, peningkatan penertiban, penagihan dan penyetoran serta pengawasan penerimaan negara bukan pajak terus dilanjutkan.

Penerimaan negara bukan pajak dalam APBN Tahun Anggaran 1998/1999 adalah sebesar Rp. 26,66 triliun dan untuk Tahun Anggaran 1999/2000 adalah sebesar Rp. 25,80 triliun.

dalam Tahun Anggaran 1998/1999 dan 1999/ 2000. Dalam dua tahun anggaran tersebut, pinjaman program dan pinjaman proyek yang berhasil diperoleh cukup besar, yaitu mencapai sekitar enam persen terhadap PDB. Sisi Pengeluaran Pengeluaran Rutin

Kebijakan pengeluaran rutin senantiasa ditujukan untuk mendukung tercapainya kelancaran kegiatan operasional pemerintahan dan pembangunan, serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Langkah-langkah pengendalian dan penghematan pengeluaran rutin yang selama ini dijalankan tetap dipertahankan tanpa mengorbankan efektivitas pelaksanaan administrasi dan roda pemerintahan. Pengendalian biaya operasional dan pemeliharaan serta pengurangan secara bertahap berbagai macam subsidi merupakan beberapa bentuk efisiensi yang dilaksanakan. Walaupun demikian, dalam dua tahun terakhir, pengeluaran rutin yang cukup besar tidak dapat dihindari terutama karena melemahnya nilai tukar rupiah, tingginya laju inflasi serta diperlukannya berbagai pos pembiayaan baru untuk mendukung program Jaring Pengaman Sosial (JPS).

Salah satu alokasi pengeluaran rutin yang besar digunakan untuk belanja pegawai, yang merupakan sarana bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri sipil, anggota TNI dan pensiunan. Kebijakan belanja

Penerimaan Luar Negeri

Dalam upaya mengantisipasi penurunan penerimaan dalam negeri di satu sisi dan adanya tuntutan untuk melindungi masyarakat miskin melalui berbagai jenis subsidi dan berbagai pengeluaran untuk social safety net, maka ditempuh kebijakan untuk meningkatkan penerimaan luar negeri. Pinjaman program yang sejak tahun 1993/1994 hingga 1997/1998 sudah tidak dimanfaatkan lagi, pinjaman ini digunakan lagi untuk menopang kegiatan ekonomi nasional

nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

pegawai diberikan dalam bentuk finansial dan nonfinansial. Kebijakan finansial berupa kenaikan gaji, sedangkan kebijakan nonfinansial dilaksanakan melalui penyempurnaan aspek ketatalaksanaan yang dapat meningkatkan efisiensi pelayanan administrasi kepegawaian. Selain itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengadaaan dan pendistribusian anggaran rutin daerah dilakukan perubahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi.

Beberapa kebijakan penting yang ditempuh selama Tahun Anggaran 1998/1999 dan 1999/ 2000 meliputi:

Memberikan Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) sebesar 15 persen dari gaji pokok dan tunjangan keluarga bagi pegawai negeri sipil, anggota TNI dan pensiunan, yang dilaksanakan dalam Tahun Anggaran 1998/1999. Kemudian, dalam Tahun Anggaran 1999/2000, pemerintah menetapkan kenaikan gaji sebesar Rp 155.250 untuk setiap pegawai negeri terhitung sejak 1 April 1999.

Pada Tahun Anggaran 1998/1999 pemerintah melakukan penundaan (rescheduling) atas sebagian pembayaran pokok pinjaman luar negeri, terutama pinjaman bilateral dan fasilitas kredit ekspor. Penundaan tersebut dilakukan atas persetujuan negara-negara donor yang tergabung dalam Paris Club pada bulan September 1998 dan dimaksudkan untuk mengurangi beban anggaran berkaitan dengan depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang besar. Rescheduling mencakup penundaan hutang pokok pinjaman bilateral dan kredit ekspor Tahun Anggaran 1998/99 sebesar US$ 1.775,4 juta dan Tahun Anggaran 1999/2000 sebesar US$ 2.730,7 juta. Jumlah yang direscheduling tersebut dapat diangsur ratarata dalam 15 angsuran selama delapan tahun mulai tahun 2002. Pengeluaran rutin juga dialokasikan untuk beberapa jenis subsidi untuk menjamin ketersediaan bahan pokok dan stabilitas harga yang dapat dijangkau masyarakat serta dalam rangka memperkuat progam Jaring Pengaman Sosial. Beberapa jenis subsidi baru yang dialokasikan dalam Tahun Anggaran 1998/1999 adalah subsidi beras, gula pasir, kedelai, gandum, jagung, bungkil kedelai, pakan ternak, serta obat-obatan. Walaupun demikian dan dengan pertimbangan bahwa subsidi dapat menimbulkan inefisiensi perekonomian serta merupakan beban bagi keuangan negara, maka sejak September 1998 pemerintah menghapuskan subsidi gandum, gula pasir, dan kedelai. Pemerintah juga meniadakan subsidi BBM jenis avtur dan avigas sejak Februari 1999. Selama puluhan tahun, penyusunan anggaran rutin dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab kantor pusat departemen/lembag bersama Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan (sentralisasi).

Dalam memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah sejalan dengan era reformasi, alokasi dana rutin daerah untuk belanja non pegawai yang disalurkan melalui penibiayaan desentralisasi pada Taliun Anggaran 1999/2000 telah ditingkatkan menjadi 81.48 persen dari tahun anggaran sebelumnya hanya sebesar 64.71 persen.

daerah. Sejalan dengan itu, pada Tahun Anggaran 1999/2000 sebagian besar penyusunan anggaran pembangunan telah dilaksanakan di daerah.

Di awal pelaksanaan Kabinet Reformasi Pembangunan, fungsi anggaran belanja pembangunan mengalami perubahan peran dan orientasi ditekankan pada rescue dan recovery kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Selain itu, dilakukan pengelompokan kembali (reklasifikasi) dana pembangunan daerah bagi proyek-proyek yang bersifat khusus (specific grant) menjadi dana pembangunan yang bersifat umum (block grant) atau yang bersifat specific block grant. Kebijakan anggaran belanja pembangunan diarahkan untuk mendukung program pembenahan dan restrukturisasi perbankan dalam rangka memulihkan kembali sistem perbankan nasional agar secepatnya mampu melaksanakan fungsinya sebagai pendukung kegiatan ekonomi. Anggaran belanja pembangunan diarahkan kepada upaya mempercepat terciptanya pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air diantaranya, melalui program Jaring Pengaman Sosial pada sektor pembangunan daerah dan transmigrasi, sektor pertanian dan kehutanan, sektor transportasi, meterologi dan geofisika, sektor pendidikan, sektor perdagangan, pengembangan usaha nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga, sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja, serta sektor perumahan dan pemukiman.

Beberapa kebijakan penting yang ditempuh selama Tahun Anggaran 1998/1999 dan 1999/ 2000 meliputi:

Prioritas alokasi seluruh proyek-proyek.
Anggaran yang dapat disisihkan dari hasil kaji ulang proyek-proyek tersebut direalo- kasikan untuk membantu meringankan beban masyarakat akibat krisis atau digunakan

untuk kegiatan-kegiatan lebih produktif yang


secara langsung dapat memulihkan kondisi
perekonomian nasional.
Selanjutnya kebijakan reformasi pem- bangunan ditekankan pada tercapainya pelaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan pengembangan ekonomi

rakyat yang sebagian besar berbasis di


Monitoring dan Evaluasi Program Jaring Pengaman Sosial

Mengingat anggaran negara untuk keperluan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) cukup besar, maka pelaksanaan program tersebut perlu dimonitor dan dievaluasi. Tujuan dari monitoring dan evaluasi program JPS yang dilakukan Badan Analisa Keuangan dan Moneter (BAKM) Departmen Keuangan, adalah mengukur efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program JPS maupun dampak ekonomi yang ditimbulkan, baik kepada masyarakat maupun pereknomian daerah setempat. Pendekatan untuk mengukur efisiensi pelaksanaan program dilakukan dengan memperhitungkan besarnya kebocoran dana program dan untuk mengukur efektivitas didekati dengan memperhitungkan kesalahan sasaran (tergetting error) yang terjadi. Di samping itu, dalam kerangka pengukuran efisiensi dan efektivitas, juga dilakukan evaluasi terhadap kemampuan lembaga (institutional capacity) pelaksana di tingkat dati II untuk melaksanakan program JPS. Ada enam program JPS yang dimonitor, yaitu: (i) Operasi Pasar Khusus (Opsus) Beras, (ii) Penyaluran Dana Bantuan Operasional (DBO) untuk SD hingga SMU, (111) Pemberian Beasiswa bagi murid SD hingga SMU, (iv) Penanggulangan Pengangguran Pekerja Terampil (P3T), (v) Penanggulangan Dampak Kekeringan dan Masalah Ketenagakerjaan (PDKMK), dan (vi) Padat Karya Sektor Kehutanan (PKSK). Pemi

lihan keenam program tersebut didasarkan pada kondisi bahwa hingga bulan Oktober 1998, hanya enam program ini yang dananya sudah direalisasikan dan beberapa data pendukungnya diperoleh dari instansi pelaksana teknis.

Metode yang dipergunakan untuk memperoleh data yang menggambarkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program JPS adalah dengan melakukan survey, baik kepada instansi pelaksana program maupun kepada kelompok sasaran. Instansi pelaksana tidak berarti selalu lembaga pemerintah, mengingat untuk program tertentu (misalnya P3T) juga melibatkan LSM sebagai pelaksana. Dengan pertimbangan bahwa pengaruh krisis lebih berat dirasakan oleh penduduk di pulau Jawa dan terbatasnya anggaran, maka survey dibatasi hanya pada 14 Dati II di Pulau Jawa. Sedangkan pelaksanaan survey dilakukan dalam dua tahap, dimana pada tahap pertama bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang pelaksanaan program JPS dilapangan (yang berkaitan dengan aspek efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program), dan dalam tahap kedua bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan dampak pelaksanaan program. Khusus untuk program Beasiswa & DBO, dan program Opsus Beras,

dalam tahap kedua masing-masing bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap peran Komite dalam menentukan alokasi dan seleksi penerima Program DBO & Beasiswa, dan melakukan evaluasi terhadap perubahan kebijakan pemeritah dalam penyediaan beras bagi keluarga Pra Sejahtera dari 10kg/KPS/bulan menjadi 20 kg/KPS/bulan. Jika dalam tahap pertama dilakukan survey pada 14 lokasi sampel, maka dalam survey tahap kedua hanya dilakukan terhadap 10 lokasi Dati II (masing-masing 2 lokasi untuk 5 program) yang sebelumnya juga telah menjadi lokasi sampel tahap pertama. Pelaksanaan survey tahap pertama dilakukan pada bulan Oktober 1998 dan untuk tahap kedua dilaksanakan pada bulan Februari 1999.

Secara umum hasil monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan enam program JPS dalam


Page 13

tahap pertama menunjukkan bahwa: (i) kesalahan sasaran terjadi di seluruh program JPS yang dievaluasi, dengan tingkat kesalahan bervariasi antar program, (ii) kebocoran juga ditemui diseluruh program JPS yang dievaluasi dengan tingkat kebocoran tertinggi pada pelaksanaan program P3T dan yang terendah pada program PDKMK, (iii) terjadinya kebocoran dana dan kesalahan sasaran dalam pelaksanaan program JPS sangat terkait erat dengan kapasitas dari instansi pelaksana, baik dalam pemahaman terhadap disain program, meningkatnya dana dengan jumlah yang fantastis yang harus dikelola dibandingkan dengan dana yang dikelola sebelum melaksanakan program JPS, dan terbatasnya sumberdaya manusia yang ada di instansi pelaksana sejak tahapan perencanaan hingga tahapan monitoring. Hasil dari kegiatan monitoring dan evaluasi pada tahap pertama kemudian disusun dalam bentuk laporan hasil monitoring dan evaluasi, kemudian dikirimkan kepada (i) Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, (ii) Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, (iii) Ketua dan Wakil Ketua BAPPENAS, (iv) Ketua Tim Pengendali Program JPS, (v) World Bank, dan (vi) Asian Development Bank.

Hasil monitoring dan evaluasi tahap kedua menunjukkan fakta, antara lain: (i) adanya perubahan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan program Opsus beras ternyata mengakibatkan subsidi yang tidak diterima kelompok sasaran (KPS) meningkat, (ii) akibat anggota komite tidak berperan aktif dan indikator yang ditetapkan pusat sering tidak relevan dengan kondisi di daerah, maka dalam pelaksanaan pro

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Sampai dengan tahun 1998, belum ada sistem yang jelas tentang tata cara pembiayaan berdasarkan tiga asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pembiayaan atas pelaksanaan kewenangan pemerintahan menurut ketiga asas tersebut masih sering terdapat kerancuan. Tugas daerah otonom dalam rangka desentralisasi ada yang dibiayai dari dana DIP/APBN padahal semestinya dibiayai dari dana APBD. Sebaliknya ada pula tugas-tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang tidak disediakan dana yang cukup dari APBN, sehingga memerlukan pembiayaan dari APBD.

Guna memenuhi kebutuhan pembiayaan bagi Pemerintah Daerah disediakan subsidi/bantuan dari Pemerintah Pusat berupa Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan beberapa jenis Bantuan Pembangunan Daerah (Bantuan Inpres). SDO mencakup dana untuk membiayai pelaksanaan baik desentralisasi, dekonsentrasi, maupun tugas pembantuan tanpa mengadakan pembedaan antara ketiga jenis asas tersebut. Sebagian besar SDO diberikan untuk membiayai gaji pegawai Pemda. Pembiayaan pegawai melalui sistem SDO tersebut cenderung mendorong Pemda untuk mengisi semua jabatan yang diserahkan Pusat tanpa mempertimbangkan apakah jabatan tersebut memang perlu atau tidak; mendorong Pemda untuk mengabaikan biaya pegawai dalam perencanaan kegiatan, seperti pemungutan pajak dan retribusi; dan tidak memungkinkan fleksibilitas dalam pemilihan tata cara penyelesaian tugas, misalnya dalam hal pemborongan pelayanan tertentu kepada perusahaan swasta sebagai alternatif dari pelaksanaan oleh aparatur Pemda sendiri.

Sistem subsidi/bantuan tersebut tidak mengandung unsur insentif yang efektif guna mendorong Pemda untuk meningkatkan hasil PAD. Dasar pembagian subsidi/bantuan kepada Pemda tidak memperhatikan perbedaan ke

Penerapan otonomi daerah yang menjamin terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan efisien perlu berlandaskan pada pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang jelas di antara berbagai tingkat pemerintahan (Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota). Pembagian kewenangan dan tanggung jawab tersebut sangat penting dikaitkan dengan penentuan dasardasar hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Pembagian kewenangan dan tanggung jawab harus menjadi dasar pembagian sumbersumber keuangan antara Pusat dan Daerah. Dalam menentukan dasar-dasar pembagian sumber keuangan antara Pusat dan Daerah, harus dipertimbangkan keadaan yang berbeda dalam hal potensi ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Perbedaan tingkat kemakmuran antar daerah juga harus diperhitungkan sehingga perbedaan antara daerah yang berkembang dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil.

mampuan antar Pemda untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang sebagian pembiayaannya telah tersedia dari PAD serta bagi hasil pajak dan bukan pajak. Selain itu, kepastian tentang jumlah dana subsidi/bantuan yang diberikan selama ini kurang memadai sehingga menyulitkan Pemda dalam penyusunan rencana dan program jangka menengah.

Berdasarkan pada hal-hal tersebut di atas dan dengan didorong oleh tuntutan masyarakat sebagaimana tertuang dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfataan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka ditetapkan program untuk menyusun peraturan perundang-undangan mengenai Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Peraturan perundang-undangan dimaksud adalah Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang diharapkan dapat :

memberdayakan dan meningkatkan
kemampuan perekonomian Daerah; menciptakan sistem pembiayaan Daerah

yang adil, proporsional, rasional, transparan,


partisipatif, bertanggungjawab (account-
able), dan pasti; mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, men-

dukung pelaksanaan otonomi daerah dengan


penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang transparan, memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat, mengurangi kesenjangan antar daerah dalam kemampuannya untuk mem- biayai tanggung jawab otonominya, dan memberikan kepastian sumber keuangan

daerah yang berasal dari wilayah daerah yang

bersangkutan;

menjadi acuan dalam alokasi penerimaan

negara bagi daerah; mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan oleh Pemerintah Daerah; dan

menjadi pedoman pokok tentang keuangan

daerah.

Peraturan perundang-undangan tersebut dapat menciptakan sistem perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang rasional, logis, mantap, dan dinamis yang didasarkan pada pembagian tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pelaksanaan pembangunan oleh daerah dalam rangka desentralisasi; memberikan kepastian bagi daerah mengenai sumber-sumber keuangan serta penggunaannya; mendorong prakarsa Pemda dan

bunga yang tajam. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang berjangka satu bulan, misalnya, meningkat tajam menjadi 70,44 persen dalam bulan Agustus 1998. Suku bunga SBI ini dalam keadaan normal, sebelumnya terjadinya krisis bulan Juni 1997 hanya sebesar 10,50 persen. Konsekuensinya, sektor perbankan menderita spread negatif, yaitu biaya dana (suku bunga simpanan) jauh lebih besar dari pendapatan (suku bunga pinjaman) dan sektor riil (sektor usaha) mendapat pukulan yang berat, karena biaya dana yang meningkat tajam dan penyaluran kredit yang tidak lancar dari sektor perbankan.

Untuk menindaklanjuti Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah tersebut kini sedang dipersiapkan peraturan pelaksanaannya yaitu :

Peraturan Pemerintah tentang Dana Per- imbangan; Peraturan Pemerintah tentang Pinjaman Daerah; Peraturan Pemerintah tentang Pembiayaan Dekonsentrasi; Peraturan Pemerintah tentang Pembiayaan Tugas Pembantuan; Peraturan Pemerintah tentang Pokok-pokok Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah; Peraturan Pemerintah tentang Informasi Keuangan Daerah; Keputusan Presiden tentang Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Kebijakan Moneter

Dalam rangka menciptakan iklim yang mendukung upaya menurunkan laju inflasi dan memungkinkan terjadinya apresiasi dan stabilitas nilai tukar rupiah, telah dilaksanakan kebijakan pengetatan likuiditas melalui instrumen operasi pasar terbuka. Hasil dari pelaksanaan kebijakan tersebut tercermin pada menurunnya pertumbuhan uang beredar (MI) yaitu dari 6,0 persen dalam periode April-Oktober 1997 menjadi 1,4 persen dalam periode yang sama tahun 1998. Sementara itu, dalam bulan April-Oktober 1998 pertumbuhan likuiditas perekonomian (M2) mencapai 18,3 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang sama tahun 1997 yang hanya mencapai 15,7 persen.

Dilema dari pelaksanaan kebijakan moneter ketat tersebut adalah terjadinya eskalasi suku

Walaupun demikian, nilai rupiah telah menguat dan bergerak dalam kisaran yang cukup realistis. Hingga Juni 1999 nilai tukar rupiah telah mengalami penguatan sekitar 8.000 poin dan bergerak stabil pada level Rp 6.800-an, dibandingkan dengan posisi nilai tukar pada bulan Juli 1998 yang berada pada titik terendah Rp 14.700 per dolar AS serta dengan kisaran fluktuasi yang demikian tajam dan cepat.

Seiring dengan menguatnya nilai tukar rupiah, inflasi juga dapat diturunkan dengan tajam. Dalam bulan Maret hingga Mei 1999 bahkan terjadi deflasi (penurunan tingkat harga rata-rata), yang masing-masing adalah minus 0,18, minus 0,68 dan minus 0,28 persen, sehingga inflasi dalam tahun 1999 diperkirakan akan jauh lebih rendah dari inflasi tahun 1998. Selanjutnya, penguatan nilai tukar rupiah dan penurunan inflasi juga telah menghasilkan penurunan suku bunga SBI dari level tertinggi 70,6 persen pada lelang tanggal 2 September 1998 menjadi 18,84 persen pada lelang tanggal 30 Juni 1999. Demikin juga halnya dengan suku bunga bank-bank umum yang menunjukkan kecenderungan penurunan serta spread antara suku bunga deposito dan suku bunga pinjaman telah mulai bergerak ke arah normal kembali. Seiring dengan itu, kegiatan pasar modal telah bangkit kembali seperti yang ditunjukkan oleh IHSG yang telah mencapai angka sekitar 700-an, mendekati tingkat IHSG sebelum krisis.

NILAI TUKAR RUPIAH

1998 - 1999

0

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul

Restrukturisasi Dan Rekapitalisasi Perbankan

Rentannya perbankan nasional terhadap gejolak nilai tukar rupiah disebabkan oleh berbagai faktor sebagai berikut. Pertama, terbukanya perbankan nasional terhadap resiko pergerakan kurs yang dikarenakan besarnya kewajiban perbankan nasional dan sektor swasta non perbankan dalam valuta asing. Dalam tiga tahun terakhir (1995-1997) kewajiban perbankan nasional dalam valuta asing meningkat tajam, yang tercermin dari memburuknya posisi devisa netto dan semakin besarnya rekening administratif dalam valuta asing. Kedua, kredit bermasalah pada beberapa bank nasional cenderung meningkat, sementara efisiensi usaha memburuk. Ketiga, kondisi internal perbankan yang lemah, yang ditandai oleh lemahnya manajemen, konsentrasi kredit yang berlebihan, terbatas dan kurang transparannya informasi kondisi keuangan bank, dan belum efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.

Dengan kondisi perbankan nasional tersebut, gejolak nilai tukar rupiah telah menyebabkan beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas yang sangat besar, yang pada akhirnya telah memicu terjadinya krisis perbankan nasional. Dalam perkembangannya, krisis perbankan semakin dalam dan berat, karena diperburuk oleh merosotnya kepercayaan masyarakat, baik dalam maupun luar negeri terhadap perbankan nasional, yang ditandai dengan penarikan tunai dana perbankan dan pemindahan dana secara besarbesaran dari bank-bank yang dianggap lemah ke bank-bank yang dinilai kuat.

Untuk memulihkan kepercayaan para deposan dan kreditor dalam dan luar negeri pada sistem perbankan Indonesia, dan dalam rangka membangun kembali sistem perbankan yang sehat, Pemerintah menetapkan kebijaksanaan : (a) memberikan jaminan penuh kepada seluruh


Page 14

nasabah deposan dan kreditor bank-bank umum nasional, yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 dan (b) sebagai bagian dari usaha pemulihan perbankan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999. Pemerintah menjamin bahwa tagihan-tagihan dari para nasabah deposan dan kreditor bank-bank yang berbadan hukum Indonesia akan dipenuhi dengan segera. Jaminan berlaku atas kewajiban baik dalam rupiah maupun valuta asing. Pengecualian terhadap jaminan ini adalah pada hutang pemegang saham dan hutang subordinasi. Penerapan jaminan berlaku sama untuk bank swasta maupun bank pemerintah, termasuk bank yang sedang dalam proses restrukturisasi (merger, akuisisi, konsolidasi, dan lain sebagainya). Jaminan diberlakukan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu dua tahun. Adapun tugas utama BPPN yaitu : (a) melakukan penyehatan bank yang diserahkan oleh Bank Indonesia, (b) menangani penyelesaian aset bank baik fisik maupun kewajiban debitur melalui Unit Pengelolaan Aset (Asset Management Unit = AMU). dan (c) mengupayakan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank. Dengan adanya program penjaminan maka kepercayaan masyarakat kepada sistem perbankan nasional dapat tetap dipertahankan.

nesia) ke dalam Bank Mandiri; dan (vi) meluncurkan berbagai peraturan yang menjamin kehati-hatian.

Program Rehabilitasi dan Hasil yang Dicapai

Dalam rangka restrukturisasi perbankan, enam strategi diterapkan oleh pemerintah, yaitu: (i) melakukan program penjaminan bagi nasabah dan deposan (ii) mendorong dilakukannya rekapitalisasi terhadap bank-bank yang layak hidup: (111) menyelesaikan kelanjutan status bank Bank Take Over dan bank Beku Operasi; (iv) menyepakati dengan pemilik bank atas langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah; (v) memantapkan penggabungan empat bank pemerintah (Bank Bumi Daya, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Dagang Negara dan Bank Ekspor Impor Indo

Bank-bank yang mengalami masalah dan telah menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) lebih dari 500 persen modal sendiri dialihkan pengelolaannya dibawah BPPN. Mengingat besarnya anggaran yang diperlukan, maka proses rekapitalisasi perlu dilakukan secara transparan dan obyektif. Untuk itu, prosesnya selalu diumumkan Pemerintah, yakni:

due dilligence
pengelompokan bank atas dasar kondisi modal penilaian rencana kerja

fit and proper test


pengikatan perjanjian bagi bank-bank yang memenuhi persyaratan penyetoran modal

Program rekapitalisasi dilaksanakan dengan mewajibkan bank-bank menyusun rencana kerja yang jelas dan disetujui Bank Indonesia, serta menyetor sekurang-kurangnya 20 persen dari jumlah kebutuhan rekapitalisasi, sedangkan pemerintah menyediakan 80 persen. Sifat pendanaan pemerintah tersebut adalah penyertaan modal, yang dapat dilepas kembali pada harga yang memberikan peluang untuk mendapatkan nilai tambah. Penyertaan dilakukan dengan konversi BLBI menjadi penyertaan (equity)

pemerintah serta dengan obligasi, sehingga yang dibebankan adalah bunganya. Pada waktu bersamaan pemerintah akan memperoleh penerimaan dari penjualan aset (yang dikuasai BPPN), para pemilik lama bank-bank Bank Take Over (BTO) dan Bank Beku Operasi (BBO) yang dapat digunakan untuk mendukung pembayaran beban bunga. Dari due dilligence yang dilakukan diketahui bahwa (i) 54 bank mempunyai capital adequacy ratio (CAR) 4 persen atau lebih (kategori A), (ii) 56 bank mempunyai CAR antara minus 25 persen sampai plus 4 persen (kategori B), dan (iii) 40 bank mempunyai CAR kurang dari minus 25 persen (kategori C). Bank yang dapat dipertimbangkan ikut serta dalam program rekapitalisasi adalah bank dalam kelompok kategori B. Sedangkan, bank-bank kategori C diberi kesempatan untuk segera (dalam waktu 30 hari sejak panggilan Bank Indonesia) menambah modal sendiri, agar dapat masuk kategori B.

Adapun contoh ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank-bank kategori B untuk dapat turut serta dalam program rekapitalisasi adalah : pertama, menyusun suatu rencana kerja yang berisi langkah-langkah yang akan diambil sampai dengan akhir tahun 2001 yang menunjukkan bahwa akan mampu beroperasi dengan baik. Langkah-langkah ini mencakup jadwal penyelesaian semua kredit bermasalah dan pinjaman kepada grup untuk properti di luar kredit pemilikan rumah sederhana (KPPRS) dan rumah sangat sederhana (KPRSS) dan jadwal untuk mencapai CAR delapan persen dalam waktu selambat-lambatnya tiga tahun. Kedua, menyelesaikan kredit kepada kelompok sendiri yang melebihi ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Ketiga, menyerahkan. 20 persen dari kekurangan modal dalam waktu 4 (empat) minggu setelah rencana kerjanya disetujui Bank Indonesia.

Selanjutnya, pemerintah telah menerbitkan obligasi senilai Rp 157,61 triliun dengan perincian Rp 103,831 triliun akan digunakan untuk membiayai program rekapitalisasi perbankan

(delapan bank swasta, 12 BPD, Bank BCA, Bank Danamon, Bank PDFCI dan Bank Tiara), dan sisanya Rp 53,779 triliun untuk menjamin penutupan kewajiban bank-bank yang sudah ditutup pemerintah tahun 1998 dan tahun 1999.

Berdasarkan tingkat bunganya, obligasi pemerintah dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis, yaitu:

Obligasi dengan tingkat bunga mengambang (floating rate bond) senilai Rp 95,149 triliun, dengan pembayaran bunga dilakukan 3 bulan sekali dan masa jatuh tempo selama-lamanya 15 tahun sejak tanggal penerbitan. Obligasi ini diterbitkan untuk menutup modal negatif sehingga rasio kecukupan modal mencapai 0 (nol) persen. Sampai saat ini telah diterbitkan 16 seri dengan masa jatuh tempo 3

sampai 10 tahun. b. Obligasi dengan tingkat bunga tetap (fixed

rate bond) senilai Rp 8,682 triliun yang dipakai untuk meningkatkan CAR sehingga mencapai 4 persen. Bunga obligasi dibayar 6 bulan sekali dengan masa jatuh tempo selama-lamanya 15 tahun. Sampai saat ini telah terbit dua seri dengan masa jatuh tempo 5 sampai 10 tahun dengan tingkat bunga masing-masing 12 persen dan 14 persen. Obligasi yang diindeksasi (indexed bond) senilai Rp 53,779 triliun yang akan digunakan untuk menutup kewajiban pemerintah kepada BI karena program pen

pertama dalam proses restrukturisasi yang telah diselesaikan adalah klasifikasi debitur kedalam kelompok A, B, C dan D yang terkait dengan itikad baik debitur serta prospek dari bisnis yang ada.

jaminan. Obligasi mempunyai bunga sebesar 3 persen dan akan dibayar setiap 6 bulan sekali dengan masa jatuh tempo 20 tahun.

BPPN menempuh berbagai macam cara dalam upaya dalam rangka mengembalikan dana pemerintah yang telah dikeluarkan dalam proses restrukturisasi perbankan ini. Hal ini dilakukan antara lain dengan pengalihan aset Pemegang Saham Bank, pengalihan saham bank, maupun pengalihan aset bank yang bermasalah. Selanjutnya juga dilakukan restrukturisasi atas hutang-hutang debitur pada bank yang bermasalah tadi.

Salah satu kunci utama penyehatan perbankan nasional adalah bangkitnya kembali perusahaan-perusahaan domestik yang terpukul akibat krisis ekonomi. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah debitur bank-bank yang pelunasan kreditnya sebagian besar mengalami kemacetan (nonperforming loan). Untuk membangun kembali perusahaan-perusahaan tersebut, pemerintah membantu mereka dalam merestrukturisasi hutang-hutang baik hutang dalam negeri maupun luar negeri melalui Indonesian Debt Restucturing Agency (INDRA) dan Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative). Selain itu, pemerintah juga telah menyempurnakan undang-undang kepailitan (bankruptcy law) serta membenahi ketentuan mengenai corporate governance dan financial disclosure.

Salah satu upaya yang ditempuh untuk mengembalikan dana yang telah dikeluarkan oleh pemerintah adalah pengembalian dana dari Bank yang dipinjamkan pada pemilik bank yang telah melanggar ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BPMK). Pemerintah telah meminta kepada para pemilik bank untuk membayar kembali dana yang dipinjamkan tersebut. Sejumlah pemilik bank telah mengembalikan dana dimaksud dalam bentuk aset perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan. Untuk tiap kelompok perusahaan yang diserahkan oleh pemilik bank, maka dibentuk Perusahaan Induk (holding company) yang akan mengelola perusahaan-perusahaan tersebut. Sampai saat ini jumlah perusahaan yang sudah dan akan diserahkan kepada BPPN adalah 153 perusahaan yang terdiri dari lima Perusahaan Induk

Total aset-aset yang telah dialihkan ke BPPN, sampai dengan akhir Juni 1999 telah mencapai Rp. 326,6 triliun. Nilai ini berasal dari aset-aset di bawah pengelolaan Aset Manajemen Kredit, sebesar Rp. 214,6 triliun; serta yang berasal dari aset-aset di bawah pengelolaan Aset Manajemen Investmen senilai Rp. 112,0 triliun.

Sejalan dengan proses restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan, maka saat ini BPPN tengah menangani sekitar 1600 debitur yang hutangnya macet dan perlu ditindaklanjuti. Tahap

Penjualan kredit/hak tagih

Penyelesaian secara hukum Pemilihan alternatif ditentukan dengan memperhatikan potensi keberhasilan melalui penilaian terhadap itikad dan prospek debitur.

asuransian yang tadinya dalam dua tahap (izin prinsip dan izin usaha) menjadi hanya satu tahap (izin usaha) dan ditetapkannya deregulasi ketentuan investasi yang memberikan keleluasaan bagi perusahaan asuransi dalam mengelola kekayaan (investasi) dengan tetap mempertimbangkan keamanan dana tertanggung dan keuntungan bagi perusahaan.

d. Berkaitan dengan aspek itikad dan prospek

debitur, pemerintah membagi debitur men- jadi empat, yaitu:

Debitur A: itikad baik, prospek usaha ada Debitur B: itikad baik, prospek usahanya tidak cukup Debitur C: itikad kurang, prospek usaha ada Debitur D: itikad kurang, prospek usaha-

nya tidak cukup e. Setelah penilaian kategori debitur, dilakukan penyelesaian:

Debitur A dilakukan negosiasi guna
mencari cara restrukturisasi yang dapat disepakati untuk penyelesaian kredit bermasalah. Debitur B dilakukan penyelesaian secara komersial, misalnya pengambilalihan agunan. Debitur C dilakukan langkah-langkah

melalui proses agar menjadi kooperatif.

Apabila debitur tetap tidak kooperatif, maka proses hukum dilanjutkan antara lain dengan penyitaan kepailitan. Debitur D dilakukan langkah-langkah melalui proses hukum, termasuk penyi- taan dan kepailitan.

Perasuransian dan Dana Pensiun

Di bidang Perasuransian telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang merupakan perubahan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992, yang dimaksudkan antara lain untuk melakukan penyesuaian atas kebutuhan ketentuan yang dapat meningkatkan perlindungan terhadap tertanggung asuransi (masyarakat) sekaligus mendorong terciptanya iklim usaha yang baik bagi penanggung (perusahaan asuransi). Adapun materi perubahan antara lain berupa penyederhanaan tahap perizinan usaha bagi perusahaan per

Di bidang Dana Pensiun telah dilakukan penyederhanaan persyaratan untuk mendapatkan pengesahan Menteri Keuangan atas pembentukan Dana Pensiun. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 344/KMK.017/1998 menghapus syarat berupa nomor pokok wajib pajak, neraca awal (sepanjang Dana Pensiun yang akan dibentuk tidak memiliki dana awal), dan riwayat hidup pengurus dan dewan pengawas, yang sebelumnya harus disertakan pada setiap permohonan pengesahan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan sebelumnya.

Penghapusan batas maksimum penghasilan dasar pensiun yang digunakan untuk menentukan besar iuran dan atau manfaat pensiun tidak lagi ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998. Dengan demikian, setiap peserta Dana Pensiun secara teoritis dapat menabung sebanyak-banyaknya untuk menjamin kesinambungan penghasilannya di hari tua.

Perkembangan Pasar Modal

Perkembangan Pasar Modal Indonesia ditandai dengan berbagai gejolak ekonomi maupun politik di samping masih berlanjutnya krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia. Tidak sedikit Emiten dan Perusahaan Publik yang juga terkena dampak dari krisis ekonomi mengalami masalah keuangan, terutama disebabkan oleh kerugian valuta asing. Sebagai akibat kerugian tersebut Emiten dalam penyusunan laporan keuangannya perlu melakukan penyesuaian akuntansi transaksi yang dilakukan dalam mata uang asing.

Berkaitan dengan dampak krisis ekonomi, telah diambil beberapa kebijaksanaan yang dapat meringankan para pelaku pasar modal antara lain :

Menunda berlakunya kewajiban pemenuhan Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD)

bagi Perusahaan Efek termasuk mengenai kewajiban anggota direksi Perusahaan Efek untuk memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Perusahaan Efek. Menerbitkan peraturan tentang pembelian kembali saham dan penambahan modal dengan melakukan penawaran umum tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu serta diperpendeknya masa penawaran umum tersebut. Menetapkan peraturan yang mengatur tentang persyaratan komisaris dan direktur bursa efek. Menerbitkan izin usaha Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek izin orang perseorangan kepada Wakil Perusahaan Efek, serta memberikan pernyataan efektif kepada Emiten dalam rangka melakukan


Page 15

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 berangsur-angsur sudah mulai membaik, sebagaimana terlihat dalam indikator ekonomi makro seperti nilai tukar rupiah, tingkat inflasi, dan tingkat suku bunga. Ketika krisis ekonomi sedang berlangsung, pada tanggal 21 Mei 1998, terjadi perubahan kabinet yaitu dari Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi Pembangunan. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu tugas utama dari Kabinet Reformasi Pembangunan adalah memulihkan perekonomian nasional dengan mengutamakan ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan dan kebutuhan pokok masyarakat.

Dalam masa bhakti Kabinet Reformasi Pembangunan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan telah melakukan berbagai upaya untuk memulihkan kondisi sektor industri dan perdagangan, melalui program reformasi pembangunan baik dalam bidang produksi, distribusi maupun dalam bidang peraturan perundang-undangan di sektor industri dan perdagangan. Hasil dari program tersebut, banyak kemajuan yang telah dicapai, namun juga masih ada yang belum dapat diatasi dengan baik, misalnya penurunan tingkat pertumbuhan nilai ekspor non migas.

Melalui Buku ini mudah-mudahan para pembaca dapat memperoleh gambaran secara garis besar mengenai program yang telah dilakukan dan hasil yang dicapai oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam mengupayakan pemulihan sektor industri dan perdagangan khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya dalam Masa Bhakti Kabinet Reformasi Pembangunan.


Page 16

Krisis ekonomi yang dimulai dengan terjadinya krisis moneter pada saat memasuki paruh kedua tahun 1997, telah menimbulkan dampak yang sangat buruk berupa kemundurankemunduran yang dialami oleh sektor industri dan sektor perdagangan. Secara makro dampak dari terjadinya krisis ekonomi tersebut dapat dilihat dalam perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB).

Perkembangan nilai PDB triwulanan tahun 1998 berdasarkan harga konstan tahun 1993, PDB sektor Industri Pengolahan Bukan Migas selama triwulan I masih sedikit mengalami peningkatan sebesar 1,46% dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 1997 namun mengalami penurunan sebesar 14,40% dibanding dengan triwulan IV tahun 1997. Kemudian selama triwulan II tahun 1998 telah mengalami penurunan sebesar 13,67% dibanding dengan triwulan yang sama tahun 1997, demikian juga semakin mengecil dibanding dengan triwulan I tahun 1998 atau turun 11,51%. Di sini tampak bahwa perkembangan nilai produk sektor industri selama semester I tahun 1998 mengalami kemunduran dibanding dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang cenderung berlangsung terus sehingga selama tahun 1998, PDB sektor Industri pengolahan Bukan Migas mengalami penurunan 13,35% dibanding dengan tahun sebelumnya. Adanya penurunan nilai produk ini menggambarkan bahwa telah terjadi penurunan kegiatan produksi akibat terkena dampak krisis ekonomi.

Di antara sektor Industri Pengolahan Bukan Migas ini terdapat industri yang masih sedikit dapat bertahan karena lebih banyak mengandalkan bahan baku dan penolong yang berasal dari dalam negeri dan selain itu, sebagian produknya diekspor. Sebaliknya industri yang banyak mengandalkan bahan baku dan penolong yang diimpor dan produknya hanya dijual di pasar domestik, banyak mengalami penurunan kegiatan yang sangat drastis. Industri Makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku dan penolong yang sebagian besar berasal dari dalam negeri dan produknya sebagian diekspor, selama triwulan I dan triwulan II tahun 1998 PDB industri ini meningkat masing-masing sebesar 28,37% dan 8,40% dibanding dengan periode yang sama tahun 1997, baru kemudian pada triwulan III dan IV menurun masing-masing sebesar 13,24% dan 18,93%. Di lain pihak, industri Alat Angkut, Mesin dan Peralatannya yang banyak menggunakan bahan baku dan penolong dari impor dan hanya mengandalkan pasar dalam negeri, selama triwulan I dan II tahun 1998 PDB industri ini telah mengalami penurunan masing-masing sebesar 37,94% dan 55,44% dan terus berlanjut selama triwulan III dan IV tahun 1998, bahkan semakin tinggi laju penurunannya yakni masing-masing sebesar 59% dan 57,14%. Tingginya penurunan nilai tukar Rupiah menyebabkan harga jual produk dari dalam negeri meningkat pesat, di lain pihak daya beli masyarakat merosot drastis, sehingga praktis jumlah penjualan kendaraan bermotor, mesinmesin, dan perlengkapannya menurun yang pada akhirnya memukul kegiatan produksi industri ini.

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO
SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN TANPA MIGAS TRIWULANAN TAHUN 1998

(Dalam persen)

: Dihitung berdasarkan nilai PDB menurut harga konstan tahun 1993

dari suatu triwulanan tahun 1998 terhadap triwulanan yang sama tahun 1997

Secara lebih mikro gambaran dari terjadinya kemunduran kegiatan di sektor industri dapat dilihat dari perkembangan tingkat pemanfaatan

kapasitas terpasang sektor industri pada periode


Januari - Juni 1998 dibanding dengan keadaan

pada saat normal (tahun 1996) sebelum terjadinya
krisis ekonomi yang tercantum pada tabel berikut.
Gambaran ini diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan oleh Departemen Perindustrian dan

Perdagangan pada bulan Juli 1998.


PERKEMBANGAN PEMANFAATAN KAPASITAS TERPASANG INDUSTRI

TAHUN 1996 DAN SEMESTER I TAHUN 1998

sebesar 80,2%. Kedua industri ini adalah industri yang menggunakan sumber daya alam di dalam negeri, sehingga terjadinya kemerosotan nilai tukar Rupiah tidak terlalu memukul kegiatan produksinya, bahkan mampu memanfaatkan situasi ini untuk meningkatkan daya saing di pasar internasional.

Melemahnya nilai tukar Rupiah membawa dampak negatif bagi seluruh kegiatan ekonomi termasuk di sektor industri. Dampak tersebut antara lain berupa kenaikan biaya produksi industri secara keseluruhan. Biaya-biaya yang meningkat dan membebani kegiatan produksi, selain kenaikan harga bahan baku dan penolong juga biaya tenaga kerja, biaya energi dan biaya pelabuhan serta transportasi. Tarif listrik per KVA per bulan untuk biaya beban di atas 201 KVA (Kategori 1-3 dan 1-4) pada tanggal 5 Mei 1998 dinaikkan dari Rp. 5.060,- menjadi Rp. 16.000,- atau meningkat sebesar 216%. Hal ini pada akhirnya menyebabkan harga produknya meningkat dan apabila daya serap pasar menurun karena daya beli masyarakat merosot, maka hal ini mengakibatkan industri- industri tersebut mengurangi produksi, bahkan menutup kegiatan usahanya.

berlaku masih mengenakan tarif yang tinggi terhadap bahan baku dan setengah jadi yang sangat diperlukan bagi industri-industri hilir, sehingga industri hilir baik yang berorientasi ekspor maupun pasar dalam negeri kurang dapat berkembang dengan baik. Sebagai contoh adalah industri kimia yang menghasilkan bahan kimia yang diperlukan oleh berbagai industri hilir seperti tekstil, plastik, sabun, pembungkus (packaging), serta ban kendaraan, sehingga produkproduk hilir ini kurang dapat bersaing di pasar domestik terhadap barang impor maupun di pasar ekspor.

Organization (WTO). Kebijakan tersebut adalah Kebijakan Otomotip tahun 1993 tentang pemberian insentip perpajakan bagi pencapaian kandungan lokal dan kebijakan tahun 1996 tentang mobil nasional yang berdasarkan ketentuan WTO kedua kebijakan tersebut harus dihapus paling lambat tanggal 22 Juli 1999.

Perdagangan Dalam Negeri

Setelah terjadi peristiwa kerusuhan pada tanggal 14-15 Mei 1998 yang kemudian diikuti dengan rusaknya lokasi-lokasi kegiatan ekonomi termasuk beberapa pasar dan pertokoan serta munculnya masalah keamanan di beberapa daerah, maka kebanyakan jalur-jalur distribusi mengalami gangguan, bahkan beberapa di antaranya sudah tidak berfungsi lagi. Sebagai

Permasalahan kelembagaan juga dijumpai di bidang industri, seperti adanya kebijakan otomotip yang tidak sesuai dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia-World Trade

PERKEMBANGAN LAJU INFLASI PERIODE SEMESTER I TAHUN 1996-1998


Page 17

akibatnya arus distribusi barang antar daerah menjadi tidak lancar, sehingga terjadi kelangkaan barang terutama kebutuhan pokok masyarakat yang pada akhirnya menimbulkan kenaikan harga yang tinggi. Gambaran ini dapat dilihat pada perkembangan laju inflasi yang diukur dengan perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang selama periode Januari-Juni (Semester I) 1998 telah mencapai 46,55%, sedangkan pada periode yang sama tahun 1996 dan 1997 masing-masing hanya sebesar 4,06% dan 2,56%. Selain akibat terjadinya peristiwa kerusuhan pada bulan Mei 1998, dampak dari krisis ekonomi juga telah mendorong harga-harga seluruh barang konsumsi masyarakat meningkat pesat dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya, sehingga laju inflasi selama tahun 1998 mencapai 77,63% sedangkan pada tahun 1996 dan 1997 masing-masing hanya sebesar 5,17% dan 11,05%.

Kelompok Bahan Makanan mengalami peningkatan harga yang tertinggi setelah kelompok Sandang selama semester I tahun 1998 dengan perubahan IHK sebesar 62,93%. Pengaruh kemarau panjang yang terjadi pada tahun 1997 membawa dampak pada merosotnya produksi hasil pertanian, kemudian ditambah lagi merosotnya nilai tukar Rupiah mendorong kenaikan harga hasil pertanian yang diimpor. Sehingga dengan terganggunya sistem distribusi barang yang menyebabkan kelangkaan barang di pasar, maka kenaikan harga bahan makanan yang sangat tinggi merupakan cerminan dari akumulasi dari segala permasalahan tersebut.

Kelompok Sandang mengalami kenaikan harga tertinggi yakni sebesar 76,61%, karena terbawa oleh adanya kenaikan harga bahan baku terutama kapas dan serat buatan karena terdorong oleh melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing.

hilangnyakepercayaan luar negeri juga berpengaruh besar, sehingga pengusaha sulit melakukan impor bahan baku dan penolong serta banyak pelanggan mereka mengalihkan pesanan ke negara-negara lain.

Guna dapat meredam laju inflasi, pemerintah berusaha untuk mengupayakan ketersediaan barang di pasar dalam jumlah cukup dengan tingkat harga yang wajar dan tidak bergejolak. Upaya ini selain diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, juga untuk menyehatkan perekonomian makro. Perdagangan Luar Negeri

Terjadinya kemerosotan nilai tukar Rupiah seharusnya dapat meningkatkan daya saing produk yang diekspor. Namun pengaruh kemerosotan nilai tukar Rupiah tersebut dapat dikalahkan oleh masalah-masalah lain yang menghambat ekspor yang justru lebih kuat pengaruhnya, sehingga laju pertumbuhan ekspor non migas selama tahun 1998 menjadi semakin melemah.

Selama semester I tahun 1998, kemerosotan nilai tukar Rupiah membawa dampak positif terhadap ekspor Hasil Pertanian ditambah lagi harganya di pasar internasional cukup baik, sehingga nilainya meningkat sebesar 29,05% dibanding dengan ekspor selama periode yang sama tahun 1997, dimana pada tahun sebelumnya hanya meningkat 1,12%. Sebaliknya, ekspor Hasil Pertambangan mengalami penurunan sebesar 24,10% sehubungan dengan permintaan dunia melemah karena terjadinya krisis ekonomi terutama yang melanda di kawasan Asia Timur dan Tenggara dan harganya di pasar dunia turun. Sedangkan ekspor Hasil Industri selama semester I tahun 1998 relatif masih bertahan dengan laju pertumbuhan yang relatif sama dengan laju pertumbuhan selama tahun 1997, yakni 7,68%, berkat dukungan dari peningkatan ekspor Pulp

Faktor keamanan setelah terjadi kerusuhan pada bulan Mei 1998 merupakan salah satu masalah utama, sehingga kegiatan produksi dan pengangkutan barang, termasuk barang yang diekspor menjadi terganggu. Selain itu,

PERKEMBANGAN EKSPOR SEMESTER I TAHUN 1996, 1997 dan 1998

(Dalam US$ Juta)

Selain permasalahan yang dihadapi oleh industri sebagai produsen barang ekspor yang telah disebutkan dimuka, permasalahan lain di bidang ekspor adalah belum tersedianya lembaga pembiayaan ekspor. Sehingga ketika timbul ketidak-percayaan dari pihak luar negeri khususnya terhadap letter of credit (L/C) yang diterbitkan oleh kalangan perbankan di Indonesia, sekalipun Bank Indonesia telah menyediakan fasilitas penjaminan L/C atau fasilitas pembiayaan L/C dengan penerapan berbagai skema yang didanai oleh beberapa negara donor dan disalurkan melalui perbankan umum, maka tetap belum dapat memulihkan kepercayaan. Di samping itu, pembiayaan ekspor yang dilakukan oleh perbankan umum akan sangat mahal karena tingkat suku bunganya yang tinggi. Semula Bank Ekspor-Impor Indonesia ditugasi untuk mendanai kegiatan ekspor dan impor yang terkait dengan keperluan ekspor, namun dalam perkembangannya telah berubah fungsinya menjadi bank umum biasa.

dan Kertas dan produk Hasil Pengolahan Emas dan Perak, Logam Mulia dan Perhiasan terutama karena meningkatnya harga emas di pasar internasional. Komoditi utama ekspor Hasil Industri lainnya yang cukup menonjol peningkatan ekspornya adalah Besi Baja sehingga karena laju pertumbuhan ekspornya sangat cepat akhirnya terkena tuduhan dumping di negara tujuan utama ekspor yakni Amerika Serikat.

Secara keseluruhan, ekspor selama semester I tahun 1998 turun 5,38% sehubungan dengan adanya penurunan ekspor migas karena harganya di pasar internasional menurun, akibat stok yang berlimpah. Di lain pihak, laju pertumbuhan ekspor non migas tidak mampu mengkompensasi penurunan ekspor inigas tersebut, bahkan laju pertumbuhan pada semester I tahun 1998 sudah lebih kecil dibandingkan dengan periode yang sama tahun 1997.

Kemerosotan total ekspor yang terjadi pada semester I terus berlanjut sepanjang tahun 1998. Pada tahun 1998 total ekspor menurun 8,60% dan ekspor non migas mengalami penurunan 2.02%. Penurunan ekspor non migas merupakan kejadian yang pertama kali terjadi setidak-tidaknya selama periode tahun 1990-an. Ekspor Hasil Pertanian yang selama semester I meningkat pesat, ketika memasuki semester II mulai mengalami penurunan laju peningkatan, sehingga selama tahun 1998 meningkat lebih lambat yakni 11.73%. Hal ini berkaitan dengan adanya kecenderungan penurunan harga komoditi primer hasil pertanian di pasar internasional akibat keberhasilan panen di beberapa negara produsen dan ditambah masih lemahnya permintaan pasar. Sehingga praktis penurunan nilai tukar Rupiah tidak memberikan dampak pada peningkatan ekspor non migas, bahkan ada beberapa produk Hasil Industri yang mendapatkan tekanan harga per satuan dari para importirnya di luar negeri, sehingga nilai ekspornya hanya meningkat tipis sekalipun volumenya meningkat pesat, misalnya Tekstil dan Produk Tekstil yang selama tahun 1998 hanya meningkat sebesar 0,01%.

Permasalahan tidak diakuinya L/C yang diterbitkan perbankan Indonesia oleh perbankan di luar negeri, menimbulkan kesulitan impor bahan baku dan penolong yang diperlukan oleh industri, sehingga kegiatan produksi menjadi terhenti. Di samping itu, kegiatan impor barang konsumi juga terganggu sehingga terjadi kelangkaan barang kebutuhan konsumsi masyarakat.

Perkembangan penurunan impor selama semester I tahun 1998 dibanding dengan periode yang sama dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya menggambarkan bahwa adanya penurunan kegiatan produksi, penurunan tingkat konsumsi masyarakat yang berkaitan dengan penurunan tingkat pendapatan, dan penurunan kegiatan penanaman modal. Penurunan impor akan terhenti, apabila terjadi pemulihan ekonomi yang ditandai antara lain dengan mulainya terjadi peningkatan ekspor, khususnya ekspor non migas hasil industri.

Tujuan, Sasaran dan Program Kegiatan

Tujuan

Program kegiatan Departemen Perindustrian dan Perdagangan ditujukan untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan yakni pada tahun 2020 Indonesia diharapkan telah menjadi negara industri baru sekaligus bangsa niaga yang tangguh. Sebagai negara industri baru nantinya memiliki industri yang kuat dan maju, berdaya saing tinggi, bertumpu pada sumber daya manusia industrial yang berkualitas serta semakin mampu memanfaatkan dan mengembangkan teknologi tinggi. Sebagai bangsa niaga yang tangguh akan dicirikan oleh mampu bersaing secara andal di pasar dalam dan luar negeri dengan perekonomian nasional yang semakin berorientasi ke pasar global. Sasaran Pokok

Dalam mengatasi krisis ekonomi, program kegiatan di sektor industri dan perdagangan diarahkan kepada upaya pencapaian sasaran pokok yaitu ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan dan kebutuhan pokok masyarakat serta berputarnya kembali roda perekonomian nasional. Sasaran pokok tersebut hanya dapat diraih apabila Indonesia mampu mengembalikan kepercayaan internasional. Pulihnya kepercayaan yang datangnya dari lembaga-lembaga internasional dan negara-negara sahabat, akan mendorong kembali kepercayaan sektor swasta, baik domestik maupun asing. Program Kegiatan Sektor Industri

Untuk mencapai sasaran pokok tersebut, program kegiatan di sektor industri diarahkan pada pengembangan industri yang mempunyai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif, dengan mengutamakan pada industri agro serta lebih memberdayakan industri kecil dan menengah. Langkah-langkah yang diambil meliputi:

Industri Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka

Pengembangan industri logam untuk mendukung pembuatan mesin/peralatan

pabrik yang menunjang pengembangan

agroindustri. Pengembangan industri kendaraan niaga

yang saat ini telah berkembang cukup

mantap dan industri sedan kecil sebagai wahana bagi pengembangan industri

komponen yang berdaya saing global.

Namun dalam masa krisis ekonomi ini pro- gram pengembangan industri kendaraan (otomotip) difokuskan pada upaya penye- lamatan (rescue) industri akibat terjadinya krisis ekonomi dan setelah itu baru di- lanjutkan dengan pengembangan industri

otomotip jangka panjang yang efisien dan

mampu bersaing di pasar global. Peningkatan kemampuan industri komponen untuk tujuan ekspor, yaitu dengan mem- berikan kesempatan kepada industri

komponen yang telah ada agar terus

berkembang serta menarik investasi baru.

Salah satu industri komponen yang di-


kembangkan adalah industri komponen
kendaraan bermotor yang proses pengem- bangannya didukung oleh kebijakan di

bidang otomotif yang antara lain mem-


berikan tarif/bea masuk yang rendah bagi
bahan baku yang akan digunakan bagi industri tersebut dan sebaliknya memberikan

tarif/bea masuk yang lebih tinggi bagi barang

jadinya.

Pengembangan teknologi informasi yang

mendukung kebutuhan domestik antara lain untuk memfasilitasi E-Commerce. Pengembangan industri utama penghasil devisa dan menyerap tenaga kerja banyak,

Industri Agro

Pengembangan agroindustri yang diarahkan untuk meningkatkan ketahanan pangan dalam upaya menjamin ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan pangan masya- rakat

Pengembangan industri hilir yang meng-


hasilkan nilai tambah yang lebih tinggi dan menciptakan kesempatan kerja. Pengembangan industri pangan alternatif, antara lain seperti industri tepung cassava, jagung, serta komposit Pengamanan ketersediaan bahan baku dengan mencari substitusi bahan baku impor, dan pengamanan pasokan impor dan mengolah jenis bahan baku baru. Program

ini antara lain dilakukan dengan menumbuhkan industri substitusi bahan baku pakan ternak yang menggunakan bahanbahan lokal. Pelaksanaan program ini didukung oleh Kebijakan Penurunan Bea Masuk Bahan Baku Industri Kemasan Pangan. Perwujudan kemitraan antara produsen bahan baku dengan pengusaha industri hilir antara lain seperti kemitraan nelayan dengan pengusaha industri pengalengan ikan.

Program Kegiatan Sektor Perdagangan

Program kegiatan di sektor perdagangan diarahkan pada berfungsinya mekanisme pasar tanpa distorsi, sehingga tercipta iklim usaha yang kondusif. Langkah-langkah yang diambil meliputi:


Page 18

Pemberian perhatian khusus pada bahan baku obat-obatan dan peralatan kesehatan dengan memberikan kemudahan-kemudahan berupa penurunan bea masuk (tarif) dan penghapusan bea masuk tambahan.

(produk kulit, gabus, bijih logam, sisa alumunium) dan mengurangi pajak ekspor (kelompok kayu, kelompok rotan, kelompok pasir). Penerapan pajak ekspor yang diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah komoditikomoditi ekspor, dan besarnya pajak ekspor tersebut selalu disesuaikan dengan keadaan pasar di luar negeri dan tingkat produksi atau ketersediaan komoditi yang bersangkutan di dalam negeri. Pengiriman misi khusus yang dipimpin langsung oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan mengangkat “special envoy” yang berasal dari para pengusaha dalam rangka upaya menumbuhkan kembali kepercayaan internasional dan sekaligus mendorong peningkatan perdagangan dan investasi Promosi ekspor yang antara lain dilaksanakan dalam bentuk Pameran Produk Ekspor dan mengikuti pameran-pameran di luar negeri. Peningkatan peran Bursa Komoditi dengan melakukan Persiapan Pelaksanaan Perdagangan Berjangka seperti yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.

Pemberdayakan ekonomi rakyat melalui peningkatan peran UKM

Program Khusus untuk Usaha Kecil dan Menengah

Beberapa program khusus untuk Usaha Kecil dan Menengah yang diarahkan dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat melalui pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), terutama yang bergerak di sektor industri dan perdagangan. Program-program tersebut adalah:

Tranparansi dan Akuntabilitas Kegiatan Perusahaan

Pemberian bantuan pemasaran dan promosi kepada UKM dengan mendirikan Indonesia Emporium/Outlet di Batam dan menyediakan fasilitas tempat pameran secara cuma-cuma dengan berkerjasama dengan pihak swasta.

Dalam rangka terciptanya transparansi dalam kegiatan perusahaan, dan terciptanya praktik bisnis yang sehat, hati-hati (prudent) dan etis, serta terwujudnya efisiensi dan produktivitas usaha, maka dilakukan Penyelenggaraan Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan (LKTP). Kegiatan ini didasari oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar

Peningkatan Kualitas Dengan Melalui Penerapan Standard

Perusahaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1998 tentang Informasi Keuangan Tahunan Perusahaan yang ditindak-lanjuti dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 525/MPP/Kep/XI/1998 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan. Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1998 diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 1999. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mewujudkan ketersediaan data dan informasi keuangan perusahaan yang sistematis, terpadu, akurat dan dapat dipercaya (reliable) serta meningkatkan akuntabilitas perusahaan melalui keterbukaan (disclosure), terutama dalam sistem pelaporan keuangan perusahaan.

Dalam rangka mendukung upaya peningkatan efisiensi produksi dan peningkatan produktivitas di sektor industri, serta meningkatkan daya saing guna menunjang program peningkatan ekspor dilakukan beberapa program kegiatan, yakni Sertifikasi Produk Pengggunaan Tanda Standard Nasional Indonesia (SNI); Pemberdayaan Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu Nasional (Setifikasi SNI 19-9000/ ISO-9000); dan Promosi Mutu yang khususnya ditujukan kepada Industri dan Pedagang Kecil dan Menengah (IPKM); serta Identifikasi dan Perumusan Standard.

Pelaksanaan Program dan Hasil Yang Dicapai

Perkembangan Makro

Perkembangan ekonomi makro selama triwulan I dan II atau semester I tahun 1999 yang sebagian diindikasikan oleh perkembangan PDB dan laju inflasi merupakan cerminan dari sebagian hasil-hasil kebijakan dan program kegiatan yang telah dikeluarkan selama masa bakti Kabinet Reformasi Pembangunan, khususnya di sektor industri dan perdagangan.

Setelah selama tahun 1998, nilai PDB sektor Industri Pengolahan Tanpa Migas menurut harga konstan tahun 1993 mengalami penurunan sebesar 13,35%, memasuki triwulan I tahun 1999 mengalami perlambatan penurunan menjadi 12,05%, namun pada triwulan II tahun yang sama sudah meningkat sebesar 1,15%. Cabang industri yang sejak triwulan I dan II tahun 1999 memiliki

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN TANPA MIGAS TRIWULANAN

TAHUN 1999

Catatan : Dihitung berdasarkan nilai PDB menurut harga konstan tahun 1993 triwulan I dan

triwulan II tahun 1999 (angka sangat sementara) terhadap triwulan yang sama

tahun 1998. Sumber : BPS (diolah)

PDB. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan PDB tersebut sudah hampir mencapai titik terendah dan beberapa di antara cabang-cabang industri sudah mencapai titik balik (turning point), sehingga pada triwulan berikutnya kegiatan produksinya akan mulai pulih yang pada akhirnya akan menghasilkan peningkatan nilai PDB.

PDB yang sudah meningkat adalah industri Makanan. Minuman dan Tembakau sebesar 7.06% dan 9,35%; Kertas dan Barang Cetakan sebesar 1.27% dan 10,35%; dan Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet sebesar 8,95% dan 12.97% Angka-angka pertumbuhan tersebut menunjukkan bahwa laju peningkatan kegiatan produksi industri-industri tersebut dari triwulan I ke triwulan II sudah semakin cepat. Hal ini menandakan bahwa kegiatan produksinya selama tahun 1999 telah mulai pulih mendekati keadaan normal sebelum terjadinya krisis ekonomi. Sedangkan cabang-cabang industri lainnya, sekalipun memiliki nilai PDB yang mengecil namun dari triwulan I ke triwulan II tahun 1999 sudah menunjukkan adanya perbaikan yang ditandai dengan melambatnya laju penurunan

Secara lebih mikro dapat ditunjukkan melalui hasil survei yang dilakukan pada bulan Mei 1999 terhadap perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor industri, yakni perkembangan pemanfaatan kapasitas terpasang sektor industri selama 4 (empat) bulan pertama (Januari-April) tahun 1999 dibandingkan dengan perkembangan selama periode Juni-Desember 1998.


Page 19

Kegiatan penyelamatan dan pemulihan terhadap kedua belas jenis industri tersebut, berupa:

sehingga mengurangi daya saing, tidak dipercayainya perbankan nasional dalam penerbitan L/C yang diperlukan untuk mengimpor bahan baku dan penolong, masih adanya kekuatiran para importir untuk melakukan pemesanan barang dari Indonesia, dan merosotnya harga beberapa produk primer di pasar Internasional.

Peningkatan jumlah perusahaan yang telah mendapatkan Tanda Pengenal Perusahaan Eksportir Tertentu (TPPET) Produsen agar mampu melakukan terobosan ekspor. Mengupayakan terjadinya sinergi yang kuat antara industri yang masih berproduksi dengan industri yang telah hampir mati. Melakukan koordinasi dengan industriindustri agrobase yang membutuhkan barang modal terutama yang berasal dari industri permesinan dan perekayasaan. Mencari masukan dari pihak industri tentang batasan dan pengertian tentang R & D serta pelatihan yang layak untuk memperhitungkan fasilitas perpajakan dan mengupayakan landasan hukum mengenai pemberian fasilitas tersebut.

Dalam rangka menanggulangi dampak krisis ekonomi yang kini masih berlangsung, maka pengembangan industri diarahkan pada kegiatan penyelamatan (rescue) dan pemulihan (recovery) industri-industri yang diprioritaskan pada 12 industri yang masih memiliki earning capacity tinggi, seperti yang tercantum pada tabel berikut.

TINGKAT EARNING CAPACITY SUB SEKTOR INDUSTRI

LOGAM, MESIN, ELEKTRONIKA DAN ANEKA

Pakaian jadi

Kain Sepatu olah raga

Benang HRC/Plate

Baja kasar Sepatu/alas kaki lainnya Komponen KBM Batang kawat

CRC Produk tekstil lainnya

VCR

248,0 230.6 176,8 150,7 130,8 105,7


Page 20

Industri Kimia Agro dan Hasil Hutan

Seperti halnya dengan Sub Sektor Industri Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka, program penyelamatan dan pemulihan di Sub Sektor Industri, Kimia dan Hasil Hutan difokuskan pada industri- industri yang memiliki tingkat earning capacity yang besar seperti tercantum pada tabel berikut.

masyarakat dengan mengupayakan ketersediaan bahan baku dan penolongnya yang berasal dari impor dan untuk itu telah dikeluarkan SK Menkeu Nomor 467/ KMK.01/1998 tentang Pembebasan Bea Masuk atas impor bahan baku/penolong untuk industri makanan dan minuman, serta industri kemasan makanan/minuman pada tanggal 26 Oktober 1998 yang mencakup 60

TINGKAT EARNING CAPACITY SUB SEKTOR INDUSTRI

LOGAM, MESIN, ELEKTRONIKA DAN ANEKA


Page 21

yang merupakan ke 13 kalinya diselenggarakan di Jakarta dan berlangsung pada tanggal 21-25 Oktober 1998. Jumlah peserta yang mengikuti PPE '98 sebanyak 800 perusahaan dan dihadiri oleh 2.799 orang yang berasal dari 99 negara. Pengunjung terbesar berasal dari Eropa Barat 715 orang, Timur Tengah 527 orang, ASEAN 383 orang, Afrika 248 orang, Asia Timur 199 orang, Amerika Utara 139 orang, Australia 122 orang, dan Amerika Selatan 55 orang, dan sisanya dari kawasan lainnya. Produk yang ditampilkan antara lain Furniture, Handicrafts, Tekstil dan Produk Tekstil, Sepatu dan Alas Kaki lainnya, Barang dari Kulit, Travel Goods, Plasticware, Bahan Bangunan, Produk-produk Eletronik, Alat-alat Listrik, Stationeries, Makanan, Produk Pertanian dan Produk Pertambangan. Nilai transaksi yang terjadi selama pameran berlangsung mencapai US$. 71,2 juta yang terutama diperoleh dari transaksi dengan pembeli yang berasal dari

Belanda sebanyak US$ 8,4 juta (11,8%), Agen Pembelian Asing di Indonesia US$ 5,8 juta (8,2%), Saudi Arabia US$ 5,7 juta (8,1%), Spanyol US$ 4,1 juta (5,7%), Mesir US$ 3,6 juta (5,1%), dan Jerman US$ 3,3 juta (4,7%). Adapun produk-produk yang diminati adalah Furniture yang nilai transaksinya sebesar US$ 18,8 juta (26,5%), Handicrafts US$ 11,7 juta (16,5%), Glass Ware dan Produk Plastik US$. 10,5 juta (14,8%), Tekstil dan Pakaian Jadi US$ 5,3 juta (7,5%), Stationeries US$ 4,1 juta (5,7%), serta Produk Elektronik dan Alat-alat Listrik US$ 3,8 milyar (5,3%).

Selain promosi dalam bentuk penyelenggaraan pameran di Jakarta juga dilakukan pameran produk-produk ekspor di daerah-daerah yang biasanya digabungkan dengan pameran atau kegiatan lain yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan dunia usaha setempat, serta mengikuti pameran-pameran di luar negeri.

Pameran Produk Ekspor ke-13 (PPE '98), 21 - 25 Oktober 1998


Page 22

Transparansi dan Akuntabilitas Kegiatan Perusahaan

Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah Indonesia telah mengadukan masalah ini ke WTO dan organisasi ini telah membentuk panel bersama Uni Eropa yang ekspornya juga terkena hambatan. Dalam panel pihak Argentina telah dinyatakan kalah, dan sebagai konsekwensinya pemerintahnya harus segera mencabut kebijakan tersebut. Namun negara ini mengajukan banding yang keputusan akhirnya akan keluar setelah pengajuan banding tersebut. Upaya pengajuan Argentina ke panel WTO ini merupakan yang pertama kalinya dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Di lain pihak Indonesia juga pernah diajukan ke panel WTO oleh Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang dalam kasus kebijakan mobil nasional Timor dan telah dinyatakan kalah, sehingga kebijakan tersebut harus segera dicabut paling lambat tanggal 22 Juli 1999.

Pelaksanaan Penyelenggaraan Pendaftaran Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan (LKTP) dimulai dengan melakukan sosialisasi kepada Kantor Akuntan Publik (KAP) di 7 (tujuh) kota, yaitu Jakarta, Pekanbaru, Denpasar, Medan, Surabaya, Pontianak, dan Manado. Di samping itu, juga dipersiapkan sarana komputerisasi dan piranti lunaknya untuk pengolahan dan penyimpanan serta penyebaran informasi. Informasi yang telah terkumpul dapat diakses secara bebas oleh masyarakat, antara lain melalui homepage yang dikelola oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan dengan alamat: http://www.lktp.dprin.go.id.

Pada tahap awal pendaftaran LKTP, hanya diwajibkan bagi Perseroan Terbatas yang mempunyai salah satu kriteria sebagai berikut:

Merupakan Perseroan Terbuka (PT Tbk),
yaitu perseroan atau BUMN yang telah menjual sahamnya di pasar modal. Bidang usaha perseroannya berkaitan dengan pengerahan dana masyarakat. Mengeluarkan surat pengakuan hutang. Memiliki jumlah aktiva atau kekayaan paling sedikit Rp. 50 milyar.

Selanjutnya untuk meningkatkan jenis dan jumlah perusahaan yang diwajibkan untuk menyampaikan LKTP, maka Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1999 tentang PerubahanAtas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1998 tentang Informasi Keuangan Tahunan Perusahaan yang dikeluarkan pada tanggal 9 Juli 1999 dengan cakupan perubahan/tambahan ketentuan sebagai berikut:

Kesepakatan Perdagangan

Dalam rangka memperluas akses bagi ekspor non migas, sedang dipersiapkan konsep naskah kesepakatan perdagangan dengan pemerintah Papua New Guinea (PNG). Manfaat yang diharapkan dari terwujudnya kesepakatan tersebut nantinya adalah PNG dapat dijadikan Buffer Zone bagi kepentingan Indonesia, khususnya untuk produk-produk yang diekspor ke negara-negara Pasifik seperti Australia, New Zealand, Fiji, Vanuatu, Samoa Barat, dan Tonga. Sebaliknya juga digunakan untuk mendapatkan pasok untuk memenuhi kebutuhan wilayah Indonesia.

Selanjutnya dalam rangka meningkatkan diplomasi perdagangan melalui diplomasi yang lebih pro-aktif dan ofensif pada forum internasional, telah ditandatangai Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan pemerintah Australia. Penadatangan kesepakatan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kasus Holding Order terhadap komoditi ekspor non migas.

aktiva atau kekayaan minimal Rp. 25 milyar, atau merupakan debitur yang diwajibkan oleh bank untuk diaudit.

Peraturan perundang-undangan tersebut mencakup :

Perusahaan asing yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di Indonesia, termasuk agen dan kantor perwakilan. Seluruh BUMN kecuali Perjan, dan seluruh BUMD.

Ketentuan di atas akan mulai diberlakukan mulai Tahun Buku 1999. kecuali mengenai batas minimal nilai aktiva sebesar Rp. 25 milyar yang mulai diberlakukan mulai Tahun Buku 2000. Jumlah perusahaan yang menyerahkan LKTP sampai dengan tanggal 20 Juli 1999 sebanyak 1239 perusahaan yang terdiri Perseroan Terbatas Tbk sebanyak 164, Non Tbk sebanyak 940 dan BUMN sebanyak 35 perusahaan, sedangkan target yang diperkirakan selama Tahun Buku 1998 sebanyak 3000 perusahaan. Masih kecilnya jumlah perusahaan yang menyerahkan LKTP tersebut antara lain disebabkan:

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Kelahiran Undang-Undang tersebut dilatarbelakangi oleh adanya kebijakankebijakan yang kurang mendukung pembangunan nasional. Kemudahankemudahan yang diberikan pemerintah kepada para pelaku usaha tertentu yang cenderung monopolistik, kurang memperhatikan para pelaku usaha lain dan kurang mementingkan kepentingan umum. Undang-Undang ini dimaksudkan untuk mencegah adanya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dengan memberi kesempatan yang sama kepada para pelaku usaha untuk berusaha di berbagai sektor ekonomi. Selain itu untuk menjamin adanya persaingan yang sehat dan wajar serta mencegah adanya praktek monopoli dan menghindarkan konsentrasi ekonomi di satu tangan tertentu atau kelompok tertentu. Untuk mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, maka di dalam undang-undang ini diatur ketentuanketentuan antara lain sebagai berikut:

Perjanjian-perjanjian yang dilarang, yakni diatur pada pasal-pasal mengenai oligopolistik, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar negeri. Sebagian besar perjanjian ini dilarang, apabila perjanjian-perjanjian tersebut akan mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat dan sebagian dilarang sekalipun tidak mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat.

Kegiatan yang dilarang, yakni diatur pada pasal-pasal mengenai penguasaan produksi atas barang atau jasa tertentu, penerima pasokan atau pembeli tunggal, penguasaan pasar, dan persengkokolan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang akan mengawasi dan menerapkan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Dalam menangani pelanggaranpelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha, Komisi memutuskan perkara-perkara tersebut secara independen, terlepas dari pengaruh pemerintah atau pihak lain. Tata cara penanganan perkara dan penjatuhan sanksi dan pidana. Tentang pengecualian dari ketentuanketentuan undang-undang ini.

Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha berdasarkan atas Keputusan Presiden Nomor 75 tentang Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang diterbitkan pada tanggal 8 Juli 1999. Komisi ini bertugas mengawasi para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Komisi ini merupakan lembaga independen yang terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. Artinya Komisi mempunyai wewenang penuh dalam mengawasi dan menerapkan pelaksanaan undang-undang ini yang tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan dan pihak lain. Secara organisatoris, Komisi tidak berdiri di bawah salah satu Departemen tertentu, melainkan berdiri sendiri yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden.

kelemahan konsumen yakni tingkat kesadaran konsumen akan haknya yang masih rendah yang hal ini terutama disebabkan oleh masih rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, UndangUndang Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat guna melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka penegakan aturan hukum dan pemberian perlindungan terhadap konsumen dapat diberlakukan sama bagi setiap konumen maupun pelaku usaha, dengan kata lain undang-undang ini diharapkan dapat menempatkan posisi konsumen yang selama ini cenderung hanya menjadi obyek ke posisi menjadi subyek dalam kegiatan perekonomian.

Dalam rangka upaya mewujudkan perlindungan konsumen secara optimal, pemerintah menyadari perlunya partisipasi aktif dari berbagai pihak, baik dari masyarakat, pelaku usaha maupun akademisi/tenaga ahli. Untuk itu,

/

, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini nantinya dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) beranggotakan wakil-wakil dari seluruh potensi atau kekuatan yang terlibat dalam upaya perlindungan konsumen dan berkedudukan di Ibukota. Badan ini merupakan mitra pemerintah di dalam pengembangan upaya perlindungan konsumen dengan fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, khususnya dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen. Badan ini juga bertugas mendorong berkembangnya organisasi lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dan menyebarluaskan informasi tentang perlindungan konsumen serta meningkatkan sikap keberpihakan kepada konsumen yang posisinya saat ini masih lemah.

Selain BPKN, sesuai dengan UndangUndang juga akan dibentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) beranggotakan unsur konsumen, pelaku usaha dan pemerintah

komitmen terhadap kesepakatan yang tercantum dalam Letter of Intent yang dibuat oleh Pemerintah dan IMF.

yang pembentukannya dilakukan secara bertahap di seluruh daerah tingkat II (Kabupaten dan Kota Madya) dengan pertimbangan untuk memudahkan penyelesaian permasalahan konsumen yang dirugikan. Badan ini bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen, dan diharapkan penyelesaian sengketa melalui badan ini dapat dilakukan lebih cepat dan efisien.

Penghapusan Pencabutan subsidi dan Tata Niaga tersebut antara lain berupa:

Penghapusan subsidi pupuk yang sebagai gantinya para petani mendapatkan kredit dengan bunga bersubsidi dalam bentuk Kredit Usaha Tani (KUT).

Penghapusan subsidi yang diperlukan untuk


penanganan pangan yang ditangani oleh BULOG melalui KLBI sekaligus juga tata niaganya, mencakup untuk komoditi gula pasir, tepung terigu dan kedelai. Sebagai gantinya pengadaan komoditi tersebut melalui impor dapat dilakukan oleh importir

umum dengan bea masuk yang sangat rendah

atau bahkan nol persen. Subsidi terhadap gula pasir masih diberikan kepada petani tebu dengan melalui pembelian gula pasir hasil penggilingan tebu milik petani dengan

harga Rp. 2500,-/kg oleh pabrik-pabrik gula


yang harga tersebut di atas harga gula pasir impor. Namun subsidi hanya diberikan untuk selama musim giling tebu tahun 1999 dan tata niaganya bebas. Subsidi pangan khususnya beras juga masih diberikan

kepada kelompok masyarakat miskin yang

digolongkan dalam kelompok Pra-Sejahtera dalam bentuk beras sebanyak 20 kilogram (sebelumnya 10 kg) untuk setiap kepala keluarga setiap bulan dengan harga

Rp. 1.000,-/kg yang dilakukan melalui

Operasi Pasar Khusus (OPK) oleh peme- rintah daerah setempat dengan melibatkan masyarakat atau LSM secara langsung.

Pemberian subsidi dalam rangka membantu kehidupan masyarakat banyak oleh pemerintah diubah sistemnya dari pemberian subsidi kepada komoditi yang dikonsumsi menjadi pemberian subsidi kepada target kelompok masyarakat, guna menghindari kebocoran atau tidak tercapainya sasaran yang dituju. Dengan adanya penghapusan subsidi ini dapat dihemat anggaran pembiayaan untuk keperluan subsidi yang telah disediakan oleh pemerintah dalam Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN). Hal ini dilakukan bersamaan dengan dilakukannya pembebasan tata niaga beberapa komoditi pangan yang semula masih ditangani oleh BULOG, sehingga pasar terhindar dari distorsi. Sebaliknya bagi kelompok masyarakat yang dianggap memerlukan subsidi masih dapat memperolehnya, tanpa tercampur dengan kelompok masyarakat lain yang tidak membutuhkan.

Pencabutan Insentif Bagi Industri Otomotip

Penghapusan subsidi dan tata niaga beberapa jenis barang ini juga dalam rangka memenuhi

Dalam rangka melaksanakan keputusan Dispute Settlement Body (DSB)-WTO di bidang otomotip, telah dicabut berbagai kebijakan di Operasional Anti Dumping (TOAD) yang bertugas melaksanakan kegiatan operasional dalam hal menanggulangi importasi barang dumping dan atau barang mengandung subsidi.

bidang otomotip yang dikeluarkan pada tahun 1993 tentang pemberian insentif perpajakan bagi pencapaian kandungan lokal oleh industri otomotip dan tahun 1996 tentang program mobil nasional (MOBNAS). Sesuai dengan keputusan DSB-WTO, kedua kebijakan tersebut harus dihapus paling lambat 12 bulan sejak pengesahan keputusan tersebut atau tanggal 22 Juli 1999. Sebagai gantinya adalah dikeluarkan kebijakan otomotip yang baru seperti yang telah diuraikan di dalam Bab III. dan kebijakan otomotip tersebut dikeluarkan lebih cepat dibanding dengan batas akhir yang ditentukan oleh WTO.

Penerapan Standard

Dalam rangka mendukung upaya peningkatan efisiensi produksi dan peningkatan produksitivitas di sektor industri, serta meningkatkan daya saing guna menunjang program peningkatan ekspor, telah dilakukan program kegiatan sebagai berikut:

Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda Standard Nasional (SNI)

Pencabutan BULOG sebagai State Trading Enterprise

Selain itu, upaya-upaya penyesuaian kebijakan di dalam negeri dengan ketentuanketentuan yang ditetapkan WTO juga dilakukan pada bidang-bidang lain, seperti pencabutan notifikasi BULOG ke WTO sebagai State Trading Enterprise.

Pengamanan Industri Terhadap Barang Impor Dumping

Industri dalam negeri (produsen) perlu dilindungi dari barang-barang impor dengan harga dumping atau di subsidi, karena selain hal ini menimbulkan kompetisi yang tidak fair terhadap produk-produk buatan dalam negeri sehingga dapat menyebabkan kerugian, dan juga melanggar ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia-World Trade Organization (WTO). Untuk itu telah dibentuk Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan. KADI memiliki tugas pokok : melakukan penyelidikan terhdap barang-barang impor yang dituduh sebagai barang-barang dumping atau barang-barang yang mengandung subsidi.

Dalam rangka mendukung kegiatan operasional KADI, maka dibentuk Tim

Sertifikasi produk penggunaan tanda SNI diberikan kepada yang mampu menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan Standard Nasional Indonesia (SNI) secara konsisten. Dalam tahun 1998 telah diberikan kepada 125 perusahaan sejumlah 168 sertifikat dan pada semester I tahun 1999 diberikan kepada 29 perusahaan sejumlah 44

perusahaan. b. Pemberdayaan Lembaga Sertifikasi Sistem

Mutu Nasional (sertifikasi SNI 19-90001 ISO-9000) Sertifikasi ISO-9000 di Indonesia pertama kali diperoleh perusahaan industri pada akhir tahun 1992 dan sampai dengan April 1999

jumlah perusahaan yang berhasil


memperoleh sertifikast SNI 19-9000/ISO- 9000 mencapai 687 perusahaan dengan komposisi 28% dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu (LSSM) Nasional,

sedangkan sebagian besar yakni 72%

dikeluarkan oleh LSSM Asing. Pada saat ini diupayakan pemberdayaan LSSM nasional agar mampu mengejar kemampuan

yang dimiliki LSSM Asing.

Khusus untuk Industri dan Pedagang Kecil dan Menengah (IPKM) diupayakan pemberian pelatihan dan konsultasi kepada

perusahaan yang digolongkan IPKM



Page 23

sehingga perusahaan tersebut layak untuk dinilai oleh LSSM dalam rangka proses sertifikasi mutu. Pada tahun 1997/1998 telah ada 14 IPKMyang berhasil disertifikasi, kemudian pada tahun 1998/1999 dengan dukungan Gabungan Produsen Karet Indonesia (GAPKINDO) dilakukan proses sertifikasi terhadap 43 perusahaan.

Kegiatan Promosi Mutu Kegiatan promosi mutu ini ditujukan kepada IPKM dengan maksud: untuk meningkatkan pengertian dan kesadaran mutu, dan mengimplementasikan dasar-dasar mutu. Selama tahun 1997/1998 telah dilakukan kegiatan seminar kesadaran mutu yang diikuti oleh 3.163 pimpinan IPKM dan workshop dokumentasi sistem mutu ISO-9000. Pada tahun 1998/1999 telah dilakukan pelatihan dan konsultasi kepada 40 IPKM dan pada bulan Juni 1999 sejumlah 2 (dua) perusahaan telah berhasil mendapatkan sertifikat ISO-9000 sedangkan pada bulanbulan berikutnya sejumlah 38 perusahaan telah mengajukan permohonan sertifikasi. Direncanakan pada tahun 1999 dapat dibantu sejumlah 82 IPKM untuk mendapatkan sertifikat SNI-19-9000/ISO-9000 yang nantinya sebagian besar akan diberikan oleh LSSM Nasional.

Pendirian Bursa Berjangka Komoditi

Berdasarkan atas perangkat hukum yang berkaitan dengan pendirinan Bursa Berjangka Komoditi, Menteri Perindustrian dan Perdagagan menyetujui Federasi Asosiasi Minyak Nabati Indonesia (FAMNI) dan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) sebagai promotor pendirian bursa berjangka swasta. Para pengusaha kopi dan minyak kelapa sawit sangat membutuhkan instrumen kontrak berjangka kopi dan minyak kelapa sawit untuk diperdagangkan di bursa domestik, karena lindung nilai yang mereka lakukan di bursa luar negeri tidak sepenuhnya dapat mengatsi resiko harga yang dihadapi. Munculnya kebutuhan instrumen kontrak berjangka ini didasarkan atas hasil studi yang dilakukan oleh Bank Dunia dan UNCTAD serta studi mengenai analisa biaya dan manfaat yang dibiayai oleh USAID serta studi kelayakan yang dilakukan oleh AEKI dan FAMNI.

Selain itu juga sedang dipersiapkan pembentukan lembaga/badan pengawas perdagangan berjangka (BAPPEBTI) yang nantinya keberadaan lembaga tersebut diatur melalui Peraturan Pemerintah.


Page 24

Pada kesempatan ini marilah kita panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Taufiq dan Hidayah-Nya kepada kita sekalian, sehingga dalam kondisi yang penuh tantangan ini pertanian telah berperan sebagai katup pengaman dan sektor andalan dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut terutama dalam menyediakan pangan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan penciptaan kesempatan kerja di pedesaan.

Kabinet Reformasi Pembangunan memulai masa kerjanya di tengah-tengah kondisi krisis, yang dimulai dari krisis moneter yang berkelanjutan pada krisis ekonomi. Untuk sektor pertanian, permasalahan diperberat lagi dengan adanya musim kemarau yang panjang. Dalam menghadapi krisis ekonomi ini, salah satu tugas utama sektor pertanian adalah memantapkan ketahanan pangan dan memberdayakan ekonomi rakyat (petani, peternak dan nelayan).

Untuk pengemban tugas tersebut dalam tempo yang relatif singkat jajaran Departemen Pertanian kembali mencoba menajamkan kebijakan, strategi, dan program-program pembangunan pertanian. Diantaranya telah dicetuskan agenda reformasi pembangunan pertanian dan kebijakan operasional yang dituangkan dalam bentuk Gerakan Mandiri (Gema), yaitu Gema Palagung 2001, Gema Hortina 2003, Gema Proteina 2001, dan Protekan 2003. Melalui program-program tersebut alhamdulillah berbagai sasaran pembangunan pertanian dapat dicapai dengan baik.

Dalam periode masa bhakti Kabinet Reformasi Pembangunan Mei 1998 - Nopember 1999 yang singkat ini, saya beserta seluruh jajaran Departemen Pertanian di Pusat dan Daerah telah berusaha dan bekerja keras agar mandat yang diberikan dapat diemban dengan sebaik-baiknya. Pada kesempatan ini saya sampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. B.J. Habibie, Presiden Republik Indonesia atas kepercayaan dan petunjuk yang telah diberikan kepada saya selama memimpin Departemen Pertanian.

Penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya saya sampaikan kepada seluruh jajaran pertanian terutama para petani, nelayan dan dunia usaha sebagai pelaku utama pembangunan pertanian atas pengabdiannya dan kerja keras yang tidak mengenal lelah dalam membangun pertanian. Saya ucapkan terima kasih kepada semua instansi di tingkat Pusat dan Daerah, media massa dan semua pihak atas kerja sama yang sangat baik selama ini.

Akhirnya perkenankanlah saya mengajak kepada seluruh jajaran pertanian untuk bertekad terus meningkatkan upaya pembangunan pertanian agar lebih mampu memberikan sumbangan positif seperti yang didambakan oleh bangsa Indonesia.

Terima kasih dan selamat bekerja.

Prof. Dr. Ir. H. Soleh Solahuddin, MSc.

Menteri Pertanian Prof. Dr. Soleh Solahuddin, mengamati alat dan mesin pertanian untuk membuat irisan singkong, alat ini sangat membantu masyarakat dalam usaha kripik singkong

Menteri Pertanian Prof. Dr. Soleh Solahuddin, sedang panen padi pada areal Program Gerakan Mandiri Padi, Kedelai dan Jagung (Gema Palagung) 2001, sebagai upaya khusus untuk mencapai swasembada pada tahun 2001

Untuk melaksanakan Ketetapan MPR tersebut, diperlukan penjabaran ke dalam kebijakan dan langkah-langkah operasional berupa terobosan-terobosan yang sifatnya reformis sehingga tugas tersebut dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.

Bangsa Indonesia telah menyadari bahwa satu-satunya jalan keluar dari krisis ekonomi dan politik yang melanda negara saat ini ialah melaksanakan reformasi total. Reformasi yang dimaksud ialah pembaharuan, penyempurnaan dan penataan ulang seluruh pranata sosial ekonomi, politik dan hukum berdasarkan prinsip demokrasi dan transparansi untuk mewujudkan kemakmuran yang adil dan beradab. Dengan pengertian demikian, reformasi total akan berarti upaya penyempurnaan terhadap seluruh pranata pembangunan di seluruh sektor, termasuk sektor pertanian.

Seluruh komponen bangsa menyadari perlunya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengatasi krisis ini. Melalui penyelenggaraan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat 1998 telah dirumuskan acuan utama bagi penanganan masalah yang sedang dihadapi bangsa ini, antara lain dituangkan dalam Ketetapan MPRRI No. X/MPR/1998 tentang “Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara”. Ketetapan MPR ini antara lain mengamanatkan Kebijakan Reformasi Pembangunan bidang ekonomi bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi dalam waktu sesingkat-singkatnya dengan sasaran terkendalinya (1) nilai kurs rupiah pada tingkat yang wajar, (2) tersedianya kebutuhan sembilan bahan pokok dan obat-obatan dengan harga yang terjangkau, dan (3) berputarnya roda perekonomian nasional,

Pembangunan pertanian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, yang pelaksanaannya juga memerlukan reorientasi dan reformasi. Oleh karena merupakan sektor yang keragaannya sangat mempengaruhi perikehidupan penduduk Indonesia secara umum, dan penduduk pedesaan serta lapisan terbawah secara khusus, maka reformasi di sektor pertanian harus dilakukan secara bertahap namun berkelanjutan, sehingga dampaknya tidak terjadi secara mendadak dan dalam skala besar yang mungkin dapat menghambat proses reformasi pembangunan itu sendiri.

Laporan pertanggungan jawaban ini mengajukan peranan dan posisi sektor pertanian dalam pembangunan selama ini, pemahaman

, terhadap tuntutan reformasi dan penajaman strategi, visi, misi dan tujuan pembangunan pertanian dalam rangka memperkokoh sistem pertanian dan perekonomian nasional melalui pemberdayaan dan peningkatan kemandirian petani, peternak dan nelayan. Selain itu disajikan juga alternatif kebijakan sebagai bahan pertimbangan pembangunan pertanian selanjutnya.

Dinamika Lingkungan Strategis

Arus liberalisasi dan globalisasi ekonomi sebagai konsekuensi dari kesepakatan GATT/ WTO (General Agreement on Tariff and Trade/ World Trade Organization) yang ditopang oleh revolusi teknologi transportasi, telekomunikasi dan informasi telah membuat perekonomian setiap negara terintegrasi secara global. Liberalisasi ekonomi memaksa setiap negara membuka segala rintangan perdagangan dan investasi internasional serta menghapus segala proteksi dan subsidi bagi perekonomian domestiknya, namun wajib melindungi hak milik atas kekayaan material maupun hak cipta intelektual. Perpaduan antara liberalisasi ekonomi dan revolusi teknologi transportasi, telekomunikasi dan informasi telah mengaburkan batasbatas geografis antar negara sehingga setiap negara terintegrasi ke dalam suatu masyarakat dunia yang tanpa batas (borderless world). Dalam kondisi demikian, menciptakan kemandirian ekonomi adalah merupakan suatu tantangan besar, dan kemandirian ekonomi hanya dapat dipertahankan dengan memantapkan ketahanan ekonomi melalui peningkatan keunggulan kompetitif dan daya saing.

pertanian. Dalam kaitan ini sektor pertanian harus disiapkan untuk dapat bersaing secara global.

Secara umum, pertarungan global telah bergeser dari motif ekonomi ideologi ke motif penguasaan manfaat ekonomi, dari medan pertarungan angkatan perang ke persaingan pasar, dari strategi aliansi (blok) militer ke aliansi area perdagangan regional, dari ukuran ketangguhan supremasi militer ke keunggulan kompetitif. Ketahanan ekonomi dan ketahanan ideologibudaya merupakan faktor kunci dalam menghadapi tantangan global pada masa kini dan lebih-lebih pada era milenium mendatang. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia dalam dua tahun terakhir merupakan contoh yang nyata betapa besarnya kekuatan ekonomi global mampu merusak tatanan ekonomi negara-negara berkembang yang telah dibangun selama bertahun-tahun.

Selain itu, arus konvergensi budaya dan gaya hidup global mulai tampak sebagai akibat langsung dari munculnya “satu komunitas dunia”. Hilangnya batas wilayah akan membuat penduduk setiap negara berinteraksi secara langsung dan intensif, sehingga kebudayaan dan gaya hidup mereka saling beradaptasi dan berubah menuju pada pola yang homogen. Hal ini akan membuat berubahnya pola perilaku masyarakat dalam berpikir, bersikap dan bertindak, termasuk dalam perilaku permintaan untuk komoditas hasil-hasil

Di tingkat regional juga terjadi perubahan peta politik dan perekonomian yang terus berkembang secara dinamis. Dilain pihak, dalam satu kawasan regional dengan kondisi agro ekosistem yang tidak banyak berbeda, produkproduk pertanian yang dihasilkan cendrung merupakan produk substitusi yang dekat. Dengan demikian produksi pertanian dari negara tetangga merupakan potensi pesaing bagi Indonesia dalam perdagangan komoditas pertanian di pasar dunia. Persaingan tersebut semakin tajam dengan munculnya blok dan perjajian perdagangan regional seperti APEC,AFTA, MEE, NAFTA, serta blok-blok perdagangan lainnya .

Sementara itu, perubahan sosial, ekonomi dan politik global saling terkait dan saling mempengaruhi. Sejak terjadinya perubahan peta politik di Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur serta kawasan Balkan, diikuti dengan pudarnya komunisme dunia, dapat diidentifikasi

dua hal kecenderungan kuat dalam tatanan pergaulan dunia, yang menunjukkan semakin dominannya peran negara-negara maju.

Pertama, ekonomi merupakan kekuatan baru yang sangat menentukan dalam politik internasional. Keterpurukan beberapa negara adidaya hampir selalu dimulai dengan memburuknya perkonomian di negara-negara tersebut. Bantuan negara-negara maju diberikan dengan syarat berdasarkan nilai-nilai yang secara dominan ditetapkan mereka. Hal ini dialami oleh negara-negara pengguna bantuan International Monetary Fund (IMF) dalam upaya pemulihan ekonomi pada saat krisis. Indonesia merasakan tekanan politik yang berat dari negara-negara maju sebagai syarat untuk memperoleh bantuan pemulihan ekonomi akibat krisis. Peran Badan dan Organisasi Dunia banyak ditentukan oleh negara-negara donor dan bias kepada kepentingan negara-negara yang perekonomiannya kuat.

Kedua, globalisasi ternyata tidak selalu menciptakan peluang tetapi juga menyebabkan kendala akses seperti yang dialami oleh negaranegara yang belum siap memasuki era globalisasi. Kondisi ini bertambah parah karena ternyata muncul bentuk proteksi baru yang legal dalam aturan perdagangan internasional, tetapi merupakan hambatan-hambatan teknis (technical barriers) bagi negara-negara sedang berkembang. Standar kualitas yang sangat tinggi yang ditetapkan oleh negara-negara pengimpor produk pertanian tidak mudah dipenuhi oleh negaranegara eksportir yang termasuk ke dalam kelompok negara berkembang.

Dinamika lingkungan strategis domestik yang diperkirakan sangat berpengaruh terhadap keragaan sektor pertanian di masa mendatang sangat banyak dan beragam intensitasnya. Pada dua tahun terakhir proses reformasi total sudah jelas akan juga berdampak pada pembangunan pertanian. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian diantaranya diuraikan berikut ini.

Pertama adalah dinamika sumberdaya manusia yang dicirikan oleh perubahan struktur demografis; ditinjau dari jumlah, komposisi umur, proporsi angkatan kerja, tingkat pendidikan dan struktur pendapatan. Dinamika tersebut akan sangat berpengaruh terhadap keragaan sektor pertanian di masa mendatang. Tiga hal utama yang merupakan dampak dari perubahan ini adalah :

Meningkatnya permintaan terhadap produk pertanian, baik dalam jumlah, kualitas maupun keragamannya. Keadaan ini merupakan suatu peluang tetapi sekaligus sebagai tantangan pembangunan pertanian. Peningkatan permintaan mengandung arti ketersediaan pasar bagi produk pertanian, sehingga dapat ditinjau sebagai suatu peluang. Di sisi lain, peningkatan permintaan produk pertanian akan menimbulkan tekanan yang lebih besar untuk memacu peningkatan produksi dan kualitasnya. Ketidakmampuan meningkatkan produksi pertanian akan menimbulkan tekanan pada harga-harga hasil pertanian yang dapat mempengaruhi inflasi dan menimbulkan peningkatan kebutuhan impor yang akan menguras devisa. Meningkatnya ketersediaan tenaga kerja. Hal ini disamping dapat dilihat sebagai aset produktif untuk mendukung pembangunan pertanian, juga dapat menimbulkan masalah karena umumnya tenaga kerja yang berumur muda dan berpendidikan lebih tinggi tidak tertarik bekerja di sektor pertanian rakyat yang berskala kecil. Apabila sektor-sektor ekonomi secara terpadu tidak mampu menyediakan kesempatan kerja produktif

Melihat situasi demikian, para pakar dan pemimpin bangsa menyadari bahwa pengembangan ekonomi harus bertumpu pada kekuatan dan keunggulan sumberdaya domestik. Dalam hal Indonesia, maka sektor pertanian yang berbasis sumberdaya domestik seyogyanya merupakan sektor andalan (leading sector) dalam pembangunan ekonomi nasional yang perlu didukung oleh sektor-sektor terkait.


Page 25

bagi mereka, maka secara potensial akan menjadi masalah sosial-ekonomi yang rawan. Meningkatnya tekanan permintaan lahan untuk pemukiman penduduk. Proses ini akan semakin mempercepat konversi lahan pertanian untuk penggunaan non pertanian. Sementara itu, terjadi pula penurunan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan. Hal ini tentu akan membuat kapasitas produksi sektor pertanian semakin menurun. Lebih dari pada itu, harga lahan pun akan meningkat sehingga harga pokok komoditas pertanian semakin tinggi, yang tentunya akan menurunkan daya saingnya di pasar domestik dan internasional. Untuk mengatasi masalah ini pengembangan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas lahan merupakan salah satu strategi untuk mengatasinya.

Kedua adalah semakin terbatasnya ketersediaan sumberdaya alam bagi pembangunan pertanian. Luas lahan pertanian terus menurun akibat konversi untuk kegiatan industri, tempat pemukiman dan kegiatan ekonomi lainnya. Laju konversi lahan pertanian di Jawa jauh lebih cepat dibandingkan di luar Jawa. Terjadinya penurunan luas lahan pertanian tersebut, terutama di Jawa yang kondisi lahan pertaniannya lebih subur dan menjadi daerah basis tanaman pangan tentu akan berpengaruh pada kemampuan meningkatkan ketahanan pangan. Di pihak lain pencegahan laju penurunan luas lahan tersebut juga tidak mudah karena desakan kebutuhan lahan untuk pemukiman, infrastruktur dan industri.

Secara umum, tingkat pemanfaatan sumberdaya perairan yang terdiri dari perairan umum, perairan payau, lahan yang potensial untuk dikembangkan menjadi kolam, perairan laut teritorial, perairan ZEE, masih belum optimal. Pada beberapa wilayah, intensitas pemanfaatan sumberdaya perairan tersebut untuk perikanan telah cukup tinggi, namun banyak wilayah perairan lain yang pemanfaatannya masih rendah. Selain itu kompetisi pemanfaatan air semakin meningkat antara kebutuhan pertanian, industri,

maupun rumah tangga sehingga kelangkaan air semakin dirasakan. Isu lain yang menyangkut air adalah berkaitan dengan kualitas air yang di beberapa tempat tercemar sehingga menjadi ancaman bagi kelangsungan proses produksi pertanian. Gerakan hemat air dan isu kualitas air semakin menjadi perhatian berbagai kalangan ilmuwan dan praktisi.

Ketiga adalah perubahan tatanan sosial, budaya dan politik yang sangat cepat dan mendasar. Arus reformasi yang dimulai pada awal tahun 1998 telah membawa perubahan yang sangat fundamental pada nilai-nilai politik, budaya, dan sosial yang dianut masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan implikasi pada pelaksanaan pembangunan dalam beberapa hal:

Makin meningkatnya tuntutan masyarakat agar pembangunan dilaksanakan secara transparan dan melibatkan secara intensif peran serta masyarakat. Sudah dimulainya desentralisasi dalam pem- bangunan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaannya. Kebijakan ini sebagai respon adanya tuntutan agar aspirasi daerah dalam pembangunan hendaknya mendapat perhatian dan bahan pertimbangan utama. Makin mendesaknya tuntutan pemerataan pembangunan antar daerah dan antar golongan masyarakat. Tuntutan ini dikaitkan

dengan pembagian pendapatan/keuangan


yang adil antara pusat dan daerah berdasarkan
kekayaan yang dimiliki daerah dan perlunya
mengembangkan perekonomian yang berpihak pada rakyat (ekonomi kerakyatan).

(1) Tantangan

Untuk memainkan perannya sebagai suatu sektor andalan dalam pembangunan ekonomi nasional, pembangunan pertanian dihadapkan pada berbagai tantangan sekaligus kendala yang sifatnya dinamis. Beberapa aspek yang penting dipahami bersama diantaranya diuraikan berikut ini.


Page 26

Program Kegiatan, Tugas, Sasaran

Dan Lain Sebagainya

Peran Pertanian Pada Era Reformasi

ketahanan pangan dan sekaligus ketahanan nasional.

Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan perekonomian nasional. dan bahkan dalam era reformasi ini diharapkan untuk berperan di garis depan dalam mengatasi krisis ekonomi. Dengan peran strategis tersebut sektor pertanian patut menjadi sektor andalan dan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi, yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Pertama, sektor pertanian merupakan tumpuan hidup bagi sebagian besar penduduk Indonesia, karena hampir setengah dari angkatan kerja di Indonesia bekerja di sektor ini. Hal ini berarti upaya menghapus kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia akan lebih efektif dilakukan melalui pembangunan pertanian. Namun demikian, pada era reformasi ini pendekatan pembangunan pertanian dalam hal ketenagakerjaan bukan lagi penciptaan lapangan kerja dari sisi kuantitas saja, tetapi diarahkan pada penciptaan lapangan kerja produktif yang mampu memberikan upah atau imbalan pendapatan yang layak dan sebanding dengan sektor-sektor lainnya.

Ketiga, sektor pertanian masih tetap menempati posisi penting sebagai penyumbang produk domestik bruto (PDB) atau pendapatan nasional. Lebih dari itu, sektor pertanian memiliki keunggulan khas dari sektor-sektor lain dalam perekonomian, antara lain: (a) produksi pertanian berbasis pada sumberdaya domestik, kandungan impornya rendah dan relatif lebih tangguh menghadapi gejolak perekonomian eksternal, dan (b) produk pertanian yang berbasis sumberdaya alam relatif lebih tangguh menghadapi gejolak ekonomi makro, seperti gejolak moneter, nilai tukar maupun fiskal. Dengan demikian, upaya mempertahankan dan meningkatkan peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan ketahanan ekonomi. Hal ini telah terbukti dari fakta empiris, di saat Indonesia menghadapi krisis dan secara nasional mengalami laju pertumbuhan ekonomi negatif, hanya sektor pertanianlah yang tumbuh positif.

Keempat, sektor pertanian merupakan penyumbang devisa yang relatif besar dan ternyata cukup lentur dalam menghadapi gejolak moneter dan krisis ekonomi. Oleh karena produksinya berbasis pada sumberdaya domestik maka ekspor produk pertanian relatif lebih tangguh yang terbukti dengan ekspor pertanian yang relatif stabil dengan penerimaan ekspor yang meningkat pesat pada saat krisis ini. Tersedianya devisa yang cukup merupakan syarat untuk dapat mengimpor barang produksi dan untuk mempertahankan stabilitas nilai tukar rupiah. Dengan demikian, melalui sumbangan devisa yang relatif besar dan stabil, sektor pertanian telah berperan positif dalam memantapkan ketahanan ekonomi nasional.

Kedua, sektor pertanian merupakan penghasil bahan makanan pokok, sementara itu ketahanan pangan merupakan prasyarat utama bagi tercapainya ketahanan ekonomi maupun ketahanan politik. Dalam kondisi perekonomian global maupun domestik yang tidak stabil maka ketahanan pangan yang paling mantap ialah melalui pencapaian swasembada. Oleh karena itu, peningkatan produksi pangan untuk mewujudkan, memulihkan, dan mempertahankan swasembada merupakan upaya strategis untuk memantapkan

Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Pertanian

3) Melestarikan sumberdaya alam dan kekayaan

yang terkandung didalamnya. 4) Memberdayakan sumberdaya manusia

pertanian agar mampu berperan dalam era global.

5) Mengembangkan teknologi pertanian

strategis dan ramah lingkungan. 6) Menyelaraskan kesaling-tergantungan

kegiatan pertanian antar wilayah dan antar sektor.

Visi pertanian memasuki abad 21 adalah pertanian moderen, tangguh dan efisien. Hal ini berarti bahwa pertanian yang dicita-citakan adalah pertanian yang responsive terhadap perubahan lingkungan strategis dengan memanfaatkan semaksimal mungkin teknologi ramah lingkungan spesifik lokasi, yang telah teruji dan dengan memanfaatkan informasi dengan benar, sehingga secara sistematik dan holistik integralistik dapat mengintegrasikan sektor pertanian kedalam sektor-sektor lainnya. Dengan pemikiran seperti tersebut maka pertanian yang akan datang diharapkan mampu menghasilkan produk-produk yang sesuai dengan permintaan pasar, baik untuk kebutuhan industri maupun untuk konsumsi, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitasnya. Dengan demikian, maka dukungan sektor pertanian kepada sektor-sektor lainnya akan semakin nyata dan kuat, dan pada saat yang bersamaan, masyarakat juga dapat memperoleh bahan pangan dengan kualitas yang baik, sehingga dapat meningkatkan kualitas sumberdya manusia Indonesia. Dengan visi pertanian seperti tersebut, maka visi misi Departemen pertanian dapat dirumuskan untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dan produktif melalui pembangunan pertaian yang selaras dengan alam.

Untuk mewujudkan visi pertanian tersebut, misi pembangunan pertanian adalah memberdayakan petani, peternak dan nelayan menuju suatu masyarakat tani yang mandiri, maju, sejahtera dan berkeadilan. Sebagai lembaga aparatur pemerinthan, misi Depatemen Pertanian dirumuskan sebagai berikut : 1) Mengamankan ketersediaan pangan dan

hasil-hasil pertanian lainnya secara

berkelanjutan. 2) Menciptakan peluang ekonomi bagi

pengembangan agribisnis dan ekonomi pedesaan.

Sejalan dengan visi dan misi tersebut, tujuan pembangunan pertanian pada era reformasi terfokus kepada upaya untuk : 1) Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup

petani, peternak dan nelayan. 2) Meningkatkan ketahanan pangan nasional. 3) Menghasilkan produk-produk pertanian yang

berdaya saing tinggi untuk mengisi pasar

domestik dan ekspor. 4) Meningkatkan lapangan kerja dengan

produktivitas tinggi dan kesempatan

berusaha yang efisien di bidang agribisnis. 5) Meningkatkan kemandirian petani-nelayan

dan pemberdayaan kelembagaan serta prasarana pertanian.

Penjabaran Ketetapan MPR 1998 Hasil Sidang Istimewa

Sebagai bagian dari pembangunan nasional, pembangunan pertanian dilaksanakan guna mewujudkan amanat rakyat untuk melaksanakan reformasi di segala bidang, yang telah dirumuskan melalui Sidang Istimewa MPR. Ketetapan MPR hasil Sidang Istimewa No. X/MPR/1998, memuat amanat untuk memulihkan kembali perekonomian nasional yang sedang terpuruk dalam jangka waktu yang singkat. Dari berbagai butir agenda kebijakan bidang ekonomi yang dirumuskan dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998, butirbutir yang langsung terkait dengan tugas dan yang luas kepada usaha kecil, menengah dan koperasi. Peningkatan kemitraan yang saling menguntungkan antara petani/ pengusaha kecil dan pelaku usaha lainnya untuk mewujudkan demokratisasi ekonomi.

Pemberian prioritas dukungan kepada pengusaha ekonomi lemah.

Tanah sebagai basis pertanian digunakan untuk memberikan kemakmuran sebesarbesarnya bagi petani-nelayan kecil.

fungsi Departemen Pertanian adalah (sesuai dengan bunyi dalam Ketetapan tersebut):

Menyediakan sembilan bahan pokok dan
obat-obatan yang cukup dan terjangkau oleh rakyat, baik melalui peningkatan produksi dalam negeri maupun impor. Golongan

miskin, khususnya yang tidak memiliki daya


beli, menjadi prioritas utama melalui
kebijakan subsidi yang terarah. Kebijakan dan program diversifikasi pangan diperluas sehingga dapat mengurangi ketergantungan pangan rakyat hanya kepada beras. Menghidupkan kembali kegiatan produksi,

terutama kegiatan-kegiatan yang berbasis

pada ekonomi rakyat dan berorientasi ekspor, sebagai dasar untuk menciptakan landasan

ekonomi yang kuat.

Mendayagunakan potensi ekonomi dari sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan termasuk pengamanannya untuk meningkatkan ekspor. Melaksanakan deregulasi ketetapan-

ketetapan yang menghambat investasi,

produksi, distribusi dan perdagangan. Melakukan penyelamatan sosial melalui

program-program khusus bagi mereka yang


putus kerja, yang mengalami hambatan usaha dan mencegah laju pengangguran terbuka serta laju kemiskinan.

Sedangkan butir-butir Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang “Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan RI”, yang terkait dengan pembangunan pertanian adalah :

Implementasi dari konsep, strategi dan kebijakan pembangunan pertanian era reformasi berupa program-program pembangunan pertanian. Kerangka program pembangunan yang berlaku saat ini (rumusan dari Repelita VI) sudah kurang cocok dengan rumusan-rumusan di atas, sehingga perlu ada konsep baru. Namun saat ini kesepakatan nasional mengenai struktur programprogram pembangunan pertanian tersebut belum ada. Sehubungan dengan itu, dengan mengkaitkan pada program-program pembangunan yang berlaku saat ini, fokus pembangunan pertanian era reformasi dalam jangka pendek sampai menengah mengacu pada 3 (tiga) hal pokok, yaitu (a) peningkatan ketahanan pangan, (b) pengembangan ekonomi rakyat (petani, peternak, nelayan) dan (c) peningkatan ekspor dan substitusi impor.

(1) Peningkatan Ketahanan Pangan

Nasional

Pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional. Pengelolaan sumberdaya alam secara efektif dan efisien dengan memberikan kesempatan

Ketahanan pangan diartikan sebagai tersedianya bahan pangan dalam jumlah yang cukup bagi setiap individu untuk menopang aktivitas sehari-harinya sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Dengan demikian, dalam pengertian kebijakan operasional, ketahanan pangan menyangkut ketersediaan, aksesibilitas (keterjangkauan) dan stabilitas pengadaannya. Peningkatan ketahanan pangan menjadi salah satu (3) Peningkatan Ekspor

Salah satu peran penting pertanian adalah dalam penerimaan dan penghematan devisa melalui penyediaan bahan baku dan bahan pangan. Peran ini perlu terus dilanjutkan dengan mengacu pada kondisi perdagangan internasional yang telah diliberalisasikan melalui berbagai kesepakatan, baik multilateral, regional maupun bilateral, seperti WTO, AFTA dan kerjasama perdagangan antar negara.

Gerakan Mandiri Peningkatan Produksi

fokus pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling dasar, kualitas pangan yang dikonsumsi akan menentukan kualitas sumberdaya manusia suatu bangsa, keterkaitan pangan kedepan dan kebelakang dalam pertumbuhan ekonomi nasional sangat tinggi dan ketahanan pangan mempunyai pengaruh yang erat dengan ketahanan nasional. (2) Pengembangan Ekonomi Petani

Nelayan

Pengembangan ekonomi rakyat di sektor pertanian, yaitu petani, peternak dan nelayan mempunyai justifikasi yang sangat kuat. Pertama, para pelaku ekonomi pertanian adalah para pengusaha skala kecil dengan basis ekonomi rakyat, yang terdiri-dari berjuta-juta usaha di seluruh Wilayah Nusantara. Usaha pertanian skala kecil ini secara individu seringkali dicirikan oleh inefisiensi dalam pengelolaan faktor produksi, lemah dalam permodalan, dan tidak mempunyai kemampuan dalam menjangkau pelayanan yang disediakan pemerintah atau dunia usaha. Di pihak lain, usaha kecil pertanian merupakan penopang ekonomi pedesaan dan sumber pendapatan bagi sebagian besar masyarakat pedesaan. Kedua, sektor pertanian Indonesia yang sebagian besar diopang usaha kecil dan menengah telah terbukti mempunyai daya tahan yang sangat lentur dalam menghadapi krisis ekonomi yang terjadi beberapa kali, pada dekade 1960-an, 1970-an dan 1990-an. Faktor utama yang menopang ketahanan pertanian ialah karena sektor ini didukung oleh kekayaan sumberdaya domestik, yang menciptakan struktur biaya produksi dengan kandungan sumberdaya domestik/lokal yang tinggi. Ketiga, pemberdayaan usaha kecil dan menengah merupakan kehendak rakyat yang diformulasikan dalam Ketetapan MPR No. XV/1998. Dalam Ketetapan MPR tersebut telah ditetapkan bahwa prioritas dukungan diberikan kepada pengusaha ekonomi lemah, dan kesempatan pengelolaan sumberdaya alam secara luas diberikan kepada usaha kecil, menengah dan koperasi.

Operasionalisasi pelaksanaan pembangunan pertanian yang difokuskan kepada ketiga program tersebut di atas, dalam rangka peningkatan produksi komoditas-komoditas unggulan diformulasikan dalam bentuk Gerakan Mandiri (Gema). Sementara itu, kegiatan pembangunan pertanian secara umum tetap dilaksanakan sesuai dengan program-program utama dan penunjang pembangunan pertanian. Konsep Gema ini disosialisasikan sebagai ciri ataupun tema dalam memobilisasi pemanfaatan seluruh sumberdaya pembangunan (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi, modal dan kelembagaan). Konsep Gema ini dipakai pula sebagai alat untuk menggalang dukungan dari berbagai fihak terkait dalam bentuk koordinasi di tingkat perencanaan di pusat sampai daerah dan pelaksanaannya di lapangan.

Sejak TA 1998/1999 telah diluncurkan tiga Gema dan satu program peningkatan ekspor, yaitu : 1) Gema Palagung 2001, yaitu Gerakan Mandiri

Peningkatan Produksi Padi, Kedelai dan Jagung untuk mencapai swasembada tahun 2001;

3) Gema Hortina 2003, yaitu Gerakan Mandiri

Peningkatan Produksi Hortikultura Tropika Nusantara dengan sasaran sampai tahun 2003;

4) Protekan 2003 yaitu Program Peningkatan

Ekpor Hasil Perikanan dengan sasaran nilai ekspor sebesar US $ 10 milyar pada tahun 2003.

Berikut adalah uraian ringkas intisari dari konsep berbagai Gema tersebut.

(1) Gema Palagung 2001

Gema Palagung 2001 adalah gerakan mandiri menuju swasembada padi, kedelai dan jagung pada tahun 2001. Sasaran Gema Palagung ini didasarkan atas prediksi permintaan atau kebutuhan terhadap ketiga komoditas pangan tersebut yang meliputi konsumsi pangan manusia, benih, pakan, bahan baku industri, serta kehilangan hasil. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui swasembada (on trend), dirumuskan sasaran produksi padi sebesar 54,3 juta ton, jagung 12,0 juta ton dan kedelai 2,2 juta ton pada tahun 2001. Untuk itu direncanakan luas panen komoditas tersebut berturut-turut 12,2 juta ha, 4,4 juta ha dan 1,7 juta ha (Lampiran Tabel 1).

rakatan penggunaan benih unggul, meningkatkan pembinaan dan pengawasan mutu, serta meningkatkan pelayanan pelepasan varietas, perijinan dan sertifikasi benih; (b) peningkatan efisiensi penggunaan sarana produksi melalui perbaikan teknologi cara tanam, pemupukan dan penggunaan air; (c) peningkatan kemampuan petani menerapkan teknologi rekomendasi melalui peningkatan ketersediaan dan keterjangkauan kredit usahatani (KUT), peningkatan kemampuan dan kemandirian petani dalam penyusunan Rencana Definitif Kerja Kelompok (RDKK), pemanfaatan kredit modal kerja dan pengembalian KUT; dan (d) pengamanan penyaluran dan mutu sarana produksi terutama pupuk dan benih melalui kegiatan koordinasi pengadaan, monitoring

penyaluran, mutu dan harganya. 2) Perluasan areal tanam melalui : peningkatan

Indeks Pertanaman (IP), dengan (a) rekayasa teknologi yang antara lain dilakukan melalui pengaturan pola tanam, penerapan alsintan pra dan pasca panen, pengaturan penyediaan air; dan rekayasa sosial/budaya dilakukan antara lain dengan gerakan dan penyuluhan, serta peningkatan ketrampilan petani; (b) perluasan lahan baru, dilakukan pada lahanlahan yang belum termanfaatkan secara optimal seperti pada lahan di daerah transmigrasi, lahan PIRBUN, area kehutanan, pengembangan pasang surut, daerah irigasi baru (Lampiran Tabel 2); (c) pengembangan penerapan alat dan mesin pertanian guna mempercepat pengolahan tanah, pompanisasi dan panen/pasca panen dilaksanakan melalui pola pengembangan kelompok Usaha Jasa Alat dan Mesin Pertanian (UPJA).

Dengan produksi padi sebesar 54,3 juta ton (34,3 juta ton setara beras), Indonesia pada tahun 2001 akan mencapai kembali swasembada beras. Pada tahun tersebut, penduduk Indonesia diperkirakan sebesar 213,6 juta jiwa dengan perkiraan konsumsi sebesar 134,44 Kg/kapita/ tahun, sehingga kebutuhan konsumsi beras nasional mencapai 28,7 juta ton. Kebutuhan lainnya terdiri atas benih, industri, dan penyusutan/kehilangan sebesar 1,7 juta ton dan sisanya berupa stok di Bulog, pedagang dan masyarakat.

Pencapaian sasaran tersebut diupayakan melalui langkah-langkah sebagai berikut : 1) Peningkatan produktivitas melalui : (a)

peningkatan ketersediaan dan pemasya

3) Pengamanan produksi tanaman pangan

melalui (a) Gerakan Tanam Serentak dengan pemantapan pola tanam sesuai dengan agroekosistem, dan penyediaan sarana produksi secara 6 tepat; mengembangkan pergiliran tanam dan varietas untuk