Keterampilan menulis apa saja yang harus dimiliki penulis dalam kegiatan menulis sebagai proses

MENULIS SEBAGAI PROSES

Pengertian Menulis

            Saudara, apakah yang Anda bayangkan ketika mendengar kata menulis? Ya, menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Pesan adalah isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan. Tulisan merupakan sebuah symbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati pemakainya. Dengan demikian, dalam komunikasi tulis paling tidak terdapat empat unsure yang terlibat: penulis sebagai penyampai pesan (penulis), pasan atau isi tulisan, saluran atau media berupa tulisan, dan pembaca sebagai penerima pesan.

            Menulis sendiri sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. Artikel, esai, laporan, resensi, karya sastra, buku, komik, dan cerita adalah contoh bentuk dan produk bahasa tulis yang akrab dengan kehidupan kita. Tulisan-tulisan itu menyajikan secara runtut dan menarik, ide, gagasan, dan perasaan penulisnya.

            Sayangnya, aktivitas menulis atau kadang orang menyebutnya mengarang, tidak banyak diantara kita yang menyukainya. Dari survey yang pernah penulis lakukan terhadap guru bahasa Indonesia, umumnya responden menyatakan bahwa aswpek pelajaran bahasa yang paling tidak disukai murid dan gurunya adalah menulis atau mengarang. Nah, kalau guru bahasa Indonesia sendiri tidak menyukai dan tidak pernah menulis, bagaimana dengan muridnya? Bagaimana pula sang guru dapat mengajarkan kepada siswa? Anda sendiri, bagaimana?

            Saudara, sebenarnya begitu banyak manfaat yang dapat dipetik dari menulis. Kemanfaatan itu di antaranya dalam hal:

  1. peningkatan kecerdasan;
  2. pengembangan daya inisiatif dan kreativitas;
  3. penumbuhan keberanian; dan
  4. pendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi.

Menurut Graves (1978), seseorang enggan menulis karena tidak tahu untuk apa dia menulis, merasa tidak berbakat menulis, dan merasa tidak tahu bagaimana harus menulis. Ketidaksukaan tak lepas dari pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakatnya, sertya pengalaman pembelajaran menulis atau mengarang di sekolah yang kurang memotivasi atau merangsang minat.

Smith (1981) mengatakan bahwa pengalaman belajar menulis yang dialami siswa di sekolah tidak terlepas dari kondisi gurunya sendiri. Umumnya guru tidak dipersiapkan untuk terampil menulis dan mengajarkannya. Karena itu, untuk menutupi keadaan yang sesungguhnya muncullah berbagai mitos atau pendapat yang keliru tentang menulis dan pembelajarannya.

Di antara mitos yang perlu kita perhatikan adalah sebagai berikut.

1.      Menulis itu Mudah

Teori menulis atau mengarang, memang mudah. Gampang dihafal. Tetapi, menulis atau mengarang bukanlah sekedar teori, melainkan keterampilan. Bahkan ada seni atau art di dalamnya. Teori hanyalah alat untuk mempercepat pemilikan kemampuan seseorang dalam mengarang.

Sebagai analog, kita rasakan sepakat bahwa menyopir kendaraan itu bukan hanya teori. Sehebat apa pun penguasaan teorinya tak akan dapat menjadi pengendara yang baik. Dia akan pandai menyopir setelah berlatih, beruji coba, serta mengesah keberanian dan kepekaan.

Begiti pula dengan menulis. Tanpa dilibatkan langsung dalam kegiatan dan latihan menulis, seseorang tidak akan pernah mampu menulis dengan baik. Dia harus mencoba dan berlatih berulang kali: memilih topic, menentukan tujuan, menyusun kerangka karangan, serta menata dan menuangkan ide-idenya secara runtut dan tuntas dalam racikan bahasa yang terpahami.

2.      Kemampuan Menggunakan Unsur Mekanik Tulisan merupakan Inti dari Menulis

Dalam mengarang seseorang perlu memiliki keterampilan mekanik seperti penggunaan ejaan, pemilihan kata, pengkalimatan, pengalineaan, dan pewacanaan. Namun, kemampuan mekanik saja tidaklah cukup. Karangan harus mengandung sesuatu atau isi yang akan disampaikan. Isi itu berupa ide, gagasan, perasaan atau informasi yang akan diungkapkan oleh penulis kepada orang lain. Unsure mekanik hanyalah sebagai salah satu alat yang digunakan untuk mengemas dan menyajikan isi karangan agar dapat dipahami dengan baik oleh pembacanya.

3.      Menulis itu Harus Sekali Jadi

Pernahkah Anda dalam mengarang sekali tulis langsung jadi atau bagus? Kemungkinan besar jawabnya tidak! Berapa kali kita harus meremas kertas dan membuangnya karena tidak puas. Padahal tulisan itu jadi pun belum, atau katakanlah sudah selesai ditulis. Kita menulis, memperbaiki, mencoba menulis lagi, hingga kita anggap selesai. Hati-hati, mitos ini dapat memfrustasikan seseorang dalam menulis, terutama penulis pemula.

Tidak banyak orang yang dapat menulis sekali jadi. Bahkan, penulis professional sekalipun. Menulis merupakan sebuah proses. Proses yang melibatkan tahap prapenulisan, penulisan, serta penyuntingan, perbaikan, dan penyempurnaan.

4.      Orang yang Tidak Menyukai dan Tidak Pernah Menulis Dapat Mengajarkan Menulis

Kembali kepada analog di atas, mungkinkah orang yang tidak suka dan tidak pernah menyopir dapat mengajarkan menyopir kepada orang lain? Jawabnya, tidak! Sama halnya dengan mengarang, siapa pun yang mengajar mengarang dia harus menyukai dan memiliki pengalaman dan keterampilan mengarang. Mengapa? Dia harus dapat menunjukan kepada muridnya manfaat dan nikmatnya menulis. Dia pun harus mampu mendemonstrasikan apa dan bagaimana mengarang. Sulit membayangkan seorang guru yang takut dan tidak suka menulis dapat melakukan hal itu. Padahal minat dan kemauan siswa belajar menulis tak terlepas dari apa yang terjadi pada diri guru dan bagaimana dia mengajarkannya.

Begitulah saudara, uraian singkat tentang pengertian menulis. Mudah-mudahan Anda tidak kesulitan memahami uraian di atas. Kalau merasa masih ada yang belum mengerti cobalah baca sekali lagi, atau diskusikan dengan teman sejawat.

Hubungan Menulis dengan Ketrampilan Berbahasa yang lain

            Saudara, kita semua tahu bahwa ketrampilan berbahasa itu mencakup empat komponen (mode). Kempat komponen itu adalah menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat komponen itu memiliki keterkaitan yang sangat erat. Mari kita simak keempatnya komponen tersebut yang diberikan melalui matrik berikut.

Table 1.1

Hubungan Antaraspek Keterampilan Berbahasa

Keterampilan Berbahasa

Lisan dan Langsung

Tertulis dan Tidak Langsung

Aktif Reseptif (menerima pesan)

Menyimak

Membaca

Aktif Produktif (menyanpaikan pesan)

Berbicara

Menulis

Berdasarkan table di atas, cobalah Anda jelaskan hubungan antarkeempat aspek keterampilan berbahasa tersebut!

  1. Hubungan Menulis dengan Membaca

Menulis dan membaca adalah kegiatan berbahasa tulis. Pesan yang disampaikan penulis dan diterima oleh pembaca dijembatani melalui lambang bahasa yang dituliskan. Menurut Goodman dkk. (1987) dan Tierney (1983 dalam Tompskin dan Hoskisson, 1995), baca-tulis merupakan suatu kegiatan yang menjadikan penulis sebagai pembaca dan pembaca sebagai penulis.

Penulis sebagai pambaca. Artinya, ketika aktivitas menulis berlangsung si penulis membaca karangannya. Ia membayangkan dirinya sebagai pembaca untuk melihat dan menilai apakah tulisannya telah menyajikan sesuatu yang berarti, apakah ada yang tidak layak saji, serta apakah tulisannya menarik dan enak dibaca.

Penulis pun melakukan berbagai kegiatan membaca lainnya. Dia membaca karya penulis lain untuk memperoleh ide dan informasi, menemukan, memperjelas dan memecahkan masalah, juga mempelajari bagaimana pengarang menyajikan dan mengemas tulisannya. Kualitas pengalaman membaca ini akan sangat mempengaruhi kesuksesannya dalam menulis. Itu terjadi, demikian Frank Smith (1982), karena ketika membaca secara tidak sadar pembaca “membaca seperti penulis” (1982). Tidaklah berlebihan jika kita nyatakan bahwa penulis yang baik adalah pembaca yang baik pula.

Pembaca sebagai penulis. Artinya, ketika berlangsung kegiatan membaca, pembaca melakukan aktivitas seperti yang dilakukan penulis. Pembaca menemukan topic dan tujuan tulisan, gagasan dan kaitan antar gagasan, dan kejelasan uraian, serta mengorganisasikan bacaan, menganalisis atau merekonstruksi bacaan dengan membayangkan apa yang dimaksudkan dan diinginkan penulisnya sehingga pesan yang penulis sampaikan dapat ditangkap dengan baik.

  1. Hubungan Menulis dengan menyimak

Sewaktu menulis, seseorang butuh inspirasi, ide, atau informasi untuk tulisannya. Hal itu dapat diperolehnya dari berbagai sumber: sumber cetak seperti buku, majalah, surat kabar, jurnal, atau laporan, dan juga sumber tak tercetak seperti radio, televise, ceramah, pidato, wawancara, diskusi, dan obrolan. Jika sumber tercetak informasi itu diperoleh dengan membaca, maka dari sumber tak tercetak perolehan informasi itu dilakukan dengan menyimak.

Melalui menyimak ini penulis tidak hanya memperoleh ide atau informasi untuk tulisannya, tetapi juga menginspirasi tata saji dan struktur penyampaian lisan yang menarik hatinya, yang akan berguna untuk aktivitas menulisnya.

  1. Hubungan Menulis dengan Berbicara

Saudara, mengacu pada Gambar 1.1 di muka, antara menulis dan berbicara keduanya merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat aktif-produktif. Artinya, penulis dan pembicara berperan sebagai penyampai atau pengirim pesan kepada orang lain. Keduanya harus mengambil sejumlah keputusan berkaitan dengan topic, tujuan, jenis informasi yang akan disampaikan, serta cara penyampaiannya sesuai dengan kondisi sasaran (pembaca atau pendengar) dan corak teksnya (eksposisi, deskripsi, narasi, argumentasi, dan persuasi). Kalaupun ada perbedaan, hal itu lebih disebabkan kerena perbedaan kecaraan dan medianya. Untuk lebih jelasnya mari kita simak perian dalam matrik berikut.

Table 1.2.

Perbedaan Berbicara dan Menulis

Aspek pembeda

Berbicara

Menulis

Kecaraan

  1. Komunikasi terjadi secara langsung, pembicara dan penyimak bersemuka (berhadapan)
  2. Pembicara tampil langsung dengan segala kelebihan dan kekurangannya
  3. Tanggapan penyimak (paham/tidak paham, suka/tidak suka) dapat ditangkap secara langsung, saat itu juga
  4. Berdasarkan tanggapan itu, pembicara langsung dapat segera mengubah atau memperbaiki pembicaranya  
  1. Komunikasi terjadi tidak  lansung, penulis dan pembaca tersekat ruang dan waktu
  2. Penulis tampil setelah tulisannya dianggap siap. Dia memiliki waktu yang cukup leluasa untuk menyiapkan tulisan sebaik-baiknya
  3. Tanggapan pembaca terhadap tulisannya tidak dapat diperoleh seketika
  4. Penulis tidak dapat memperbaiki kekurangan atau kesalahan tulisan yang dipublikasikan dengan cepat

Media

  1. Pembicara mengungkapkan pesannya secara lisan
  2. Dalam berbicara, unsure nonverbal seperti suara, mimic, pandangan, dan gerak, dapat secara langsung digunakan untuk memper-jelas, mempertegas, dan menarik perhatian penyimak.
  1. Penulis menyampaikan pasannya secara tertulis
  2. Dalam menulis, penulis hanya dapat menggunakan gambar atau ilustrasi, gaya dan racikan bahasa, serta kaidah penulisan untuk memperjelas, mempertegas, dan menarik perhatian pembaca

            Nah, perbedaan kecaraan dan median tersebut berdampak peda perbedaan ragam bahasa yang digunakan. T.S. Eliot (dalam Tarigan, 1986), seorang penyiar dan kritikus terkenal, mengatakan “jika kita menulis seperti kita berbicara, maka tidak seorang pun yang mau membacanya. Begitu pula sebaliknya, kalau kita berbicara seperti kita menulis, maka tak ada yang mau mendengarkannya.” Lalu, di manakah perbedaan ragam bahasa lisan dan tulis? Silakan Anda jawab dulu!

            Perbedaan utama antara kedua ragam bahasa itu terletak pada tiga hal. Pertama, berkaitan dengan suasana bahasa. Dalam berbahasa tulis, orang yang diajak berbahasa tidak hajir di depan kita. Implikasinya, bahasa yang kita gunakan harus lebih jelas karena penyampaian kita satu arah dan tidak dapat disertai dengan unsure-unsur nonverbal. Itulah sebabnya, penggunaan ragam bahasa tulis harus lebih cermat. Fungsi gramatik seperti subjek, predikat, dan objek, serta hubungan di antara masing-masing fungsi itu harus nyata. Di dalam ragam bahasa lisan, karena biasanya pembicara dan penyimak berada dalam konteks yang bersemuka (face to face communication), unsure-unsur itu kadang-kadang dapat ditanggalkan (Moeliono, 1989:145-147).

            Kedua, perbedaan kedua terletak pada unsure-unsur nonverbal (nonbahasa) --- seperti tinggi rendah, panjang pendek, dan lembut kerasnya suara, serta irama kalimat --- yang menyertai pembicaraan, yang sulit dilambangkan secara tertulis. Kita memang memiliki ejaan dan pungtuasi. Tetapi, kedua hal itu sangat terbatas untuk dapat mewakili unsure-unsur nonverbal dalam berbahasa lisan. Dapatkah Anda merasakan hal itu?

            Jadi, wajarlah jika penulis acap kali perlu merumuskan kalimatnya jika ingin menyampaikan makna yang sama lengkapnya atau ungkapan perasaan yang sama telitinya. Dia harus mencari cara dan pola pengungkapan yang pas agar dapat menyampaikan maksudnya dengan tepat.

            Perbedaan lain keduanya terletak pada sajian ide atau gagasan. Dalam ragam lisan, sajian ide itu tidak sejelas dalam tulisan. Kita hanya dapat merasakannya. Sebaliknya, dalam ragam tulis, ide atau gagasan-gagasan itu disajikan secara khas dan sangat jelas. Subjudul, rincian, peragraf, dan kalimat transisi, adalah unsure-unsur yang dapat menandai perpindahan dan hubungan antargagasan, menandai perpindahan dan hubungan antargagasan.

            Kalau begitu, manakah yang lebih baik apakah ragam lisan atau ragam tulis? Dua-duanya baik, asal tepat pemakaiannya. Ragam lisan untuk wacana lisan, dan ragam tulis tentu lebih cocok untuk wacana tulis. Anda jangan sampai keliru dalam  memilih dan menggunakan ragam itu.

Ragam Wacana

            Suatu tulisan atau karangan secara umum mengandung dua hal, yaitu isi dan cara pengungkapan atau penyajian. Keduanya saling mempengaruhi. Subtansi sebuah tulisan dan tujuan penulisan akan menentukan cara pengungkapan --- apakah lebih bersifat formal atau informal --- dan ragam wacana yang akan digunakan --- apakah akan lebih bersifat naratif, ekspositoris, argumentative, atau persuasive. Begitu pula, ragam wacana yang dipilih akan mempengaruhi isi --- jenis informasi dan pengorganisasian --- pengungkapan, dan tata saji tulisan.

            Saudara, seperti yang kita ketahui, karangan dapat disajikan dalam lim bentuk atau ragam wacana: deskripsi, narasi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi. Kenyataannya, masing-masing bentuk itu tidak selalu dapat berdiri sendiri. Misalnya, dalam sebuah karangan narasi mungkin saja terdapat bentuk deskripsi atau eksposisi. Dalam karngan eksposisi bias saja terkandung bentuk deskripsi dan narasi. Dan begitulah seterusnya. Penanaman ragam suatu karangan lebih didasarkan atas corak yang paling dominant pada karangan tersebut.

            Mari kita bahas secara singkat ragam karangan di atas satu per satu.

Deskripsi adalah ragam wacana yang melukiskan atau mengambarkan sesuatu berdasarkan kesan-kesan dari pengamatan, pengalaman, dan perasaan penulisnya. Sasarannya adalah menciptakan atau memungkinkan terciptanya imajinasi (daya khayal) pembaca sehingga dia seolah-olah melihat, mengalami, dan merasakan sendiri apa yang dialami penulisnya.

  1. Narasi (Penceritaan atau Pengisahan)

Narasi adalah ragam wacana yang menceritakan proses kejadian suatu peristiwa. Sasarannya adalah memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya kepada pembaca mengenai fase, langkah, urutan, atau rangkaian terjadinya sesuatu hal. Bentuk karangan ini dapat kita temukan misalnya pada karya prosa atau drama, biografi atau autobiografi, laporan peristiwa, serta resep atau cara membuat dan melakukan sesuatu hal. Sebagai contoh simaklah kutipan berikut, dan jelaskan mengapa disebut wacana narasi!

Contoh 1

Myrna masuk kedalam mobil. Dan Bu Purwo yang berdiri di depan rumah, melihat dengan panas hati. Setelah mobil itu hilang di ujung jalan sana, Bu Purwo berbalik kearah pintu yang sedang ditutup pelan-pelan oleh Satria.

Menulis sebagai Proses

            Saudara, bagaimanakah kebiasaan Anda dalam mengajarkan menulis? Mari, kita simak beberapa pendekatan yang kerap muncul dalam pembelajaran menulis (Proett dan Gill, 1986).

  1. Pendekatan frekuensi menyatakan bahwa banyaknya latihan mengarang, sekalipun tidak tidak dikoreksi (seperti buku harian atau surat), akan membantu meningkatkan keterampilan mernulis seseorang.
  2. Pendekatan gramatikal berpendapat bahwa pengetahuan orang mengenai struktur bahasa akan mempercepat kemahiran orang dalam menulis.
  3. Pendekatan koreksi berkata bahwa seseorang menjadi penulis karena dia menerima banyak koreksi atau masukan yang diperoleh atas tulisannya.
  4. Pendekatan formal mengungkapkan bahwa ketrampilan menulis akan diperoleh bila pengetahuan bahasa, pengalineaan, pewacanaan, serta konvensi atau aturan penulisan dikuasai dengan baik.

Dari berbagai pendapat di atas, pendapat manakah yang paling sesuai dengan keyakinan dan kebiasaan Anda? Coba Anda jawab sebelum melanjutkan membaca uraian berikutnya!

Saudara, kalau kita cermati, masing-masing pendekatan itu secara relative memiliki sisi kebenaran. Hanya, ada satu hal yang luput, yaitu aktivitas menulisnya sendiri. Menulis sebagai suatu aktivitas yang berproses, tidak tercukup dalam berbagai pendekatan di atas.

Sebagai proses, menulis merupakan serangkaian aktuvitas yang terjadi dan melibatkan beberapa fase yaitu fase prapenulisan (persiapan), penulisan (pengembangan isi karangan), dan pascapenulisan (telaah dan revisi atau penyempurnaan tulisan).

Menurut Barrs (1983:829-831), pendekatan proses dalam menulis, terutama bagi penulis pemula, mudah diikuti. Dia akan dapat memahami dan melakukan dengan cepat hal-hal yang harus dipersiapkan dan dilakukan dalam menulis. Pendekatan ini pun sangat membantu pemahaman dan sikap, baik guru menulis atau pun penulis itu sendiri, bahwa penulis merupakan suatu proses yang kemampuan, pelaksanaan, dan hasilnya diperoleh secara bertahap. Artinya, untuk menghasilkan tulisan yang baik umumnya orang melakukannya berkali-kali. Sangat sedikit penulis yang dapat menghasilkan karangan yang benar-benar memuaskan dengan hanya sekali tulis.

Hal itu terbukti dengan hasil penelitian yang dilakukan terhadap para penulis professional serta penulis pemula yang digunakan sebagai salah satu dasar diturunkannya pendekatan proses ini. Seorang penulis terkemuka, Ernest Hemingway, mengatakan, “Saya menulis halaman terakhir buku Farewell to Arms sebanyak 39 kali sebelum saya benar-benar puas”.

Meskipun demikian, masing-masing fase dari ketiga tahap penulisan di atas tidaklah dipandang secara kaku, selalu berurut, dan terpisah-pisah. Ketiganya harus dipahami sebagai komponen yang memang ada dan dilalui oleh seorang penulis dalam preses tulis-menulis. Urutan dan batas antarfase itu sangatlah luwes, bahjan dapat tumpang tindih. Sewaktu menulis sangat mungkin kita melakukan aktivitas yang terdapat pada setiap fase secara bersamaan. Dalam tahap prapenulisan dan penulisan, misalnya, kita dapat melakuka sekaligus kegiatan telaah dan revisi. Atau, ketika sedang berlangsung kegiatan pada tahap penulisan, ternyata kerangka karangan yang kita buat terlalu sempit, terlalu luas, atau kurang sistematis sehingga kita pun kembali memperbaiki kerangka karangan.

Pemahaman fase-fase seperti itu perlu digarisbawahi agar tidak membelenggu kita sendiri dalam menulis. Bahkan harus sebaliknya, membantu mempermudah kegiaan menulis yang dilakukan.

Lalu, apa saja aktivitas pada setiap fase tersebut? Mari simak uraian berikut dengan cermat. Untuk mempermudah pemahaman, kaitkanlah uraian di bawah ini dengan pangalaman Anda dalam pangalaman Anda dalam mengarang.

Tahap ini merupakan fase persiapan menulis, seperti halnya pemanasan (warming up) bagi orang yang berolahraga. Apakah mengarang itu perlu persiapan? Apa saja yang harus dipersiapkan? Pengalaman Anda sendiri bagaimana?

Sebenarnya, hamper semua orang mengalami fase ini dalam mengarang. Persoalannya adalah apakah keberadaannya disadari atau tidak. Untuk menulis yang sederhana seperti surat, buku harian, atau memo, keberadaan fase persiapan ini tidaklah terasa. Tetapi, kita menulis sesuatu yang relative kompleks dan serius ----baik yang bersifat ilmiah, populer, fiksi, atau dinas ---- persiapan itu sangat terasa dn perlu. Mengapa demikian?

Umpamanya penulis ---- apalagi penulis pemula seperti kita----hampir tidak pernah memiliki pengetahuan atau ide yang benar-benar lengkap, siap, dan tersusun secara sistematis mengenai topic yang akan ditulisnya. Kita perlu mencari tambahan informasi, memilih dan mengolahnya, serta mensistematiskannya, agar tulisan kita kejam, tidak dangkal, kaya, tidak kering, teratur, dan enak dibaca.

Menurut Proett dan Gill (1986), tahap ini merupakan fase mencari, menemukan, dan mengingat kembali pengetahuan atau pengalaman yang diperoleh dan diperlukan penulis. Tujuannya adalah untuk mengembangkan isi serta mencari kemungkinan-kemungkinan lain dalam menulis sehingga apa yang ingin ditulis dapat disjkan dengan baik.

Saudara, kegiatan pada prapenulisan ini tampaknya sepele. Tidak aneh bila banyak orang mengabaikannya. Padahal, fase ini sangat menentukan aktivitas dan hasil menulis berikutnya. Persiapan yang baik sangat memungkinkan bagi kita untuk mengumpulkan bahan secara terarah, mengaitpadukan antar gagasan secara runtut, serta membahasny secara kaya, luas, dan dalam. Sebaliknya, tanpa persiapan yang memadai, banyak kesulitan yang akn kita temukan sewaktu menulis. Kalau pun dipaksakan selesai, maka kita mungkin akan kecewa atau tertawa geli melihat hasil tulisan yang kita buat.

Mari bercermin dari pengalaman kita dalam mengarang. Ketika akan mulai menulis, rasanya kita mempunyai banyak ide. Tetapi, beberapa saat ketika sedang menulis, kita berhenti. Mengapa? Kerena tidak tahu lagi apa yang akan ditulis. Ide-ide yang semula terasa berjubel di benak kita, saling berebut keluar atau malah habis entah ke mana. Tulisan pun akhirnya jauh dari harapan. Mungkin isinya terlalu luas, terlalu sempit, atau terlalu kering. Alur penulisannya pun tidak jelas ujung pangkalnya: berputar, lompat-lompat, dan tumpang tindih. Mengapa ini terjadi? Salah satu penyebabnya, persiapan kita untuk menulis kurang.

Pada fase prapenulisan ini terdapat aktivitas memilih topic, menetapan tujuan dan sasaran, mengumpulkan bahan atau informasi yang diperlukan, serta mengorganisasikan ide atau gagasan dalam bentuk kerangka karangan. Mari kita simak satu per satu!

Menentukan topic

            Topic adalah pokok persoalan atau permasalahan yang menjiwai seluruh karangan. Ada pertanyaan pemicu yang dapat digunakan untuk mencari, misalnya: “saya mau menulis apa? Apa yang akan saya tulis? Tulisan saya akan berbicara tentang apa?” Nah, jawab atas pertanyaan itu berisi topic karangan.

            Ada orang yang memang mudah menemukan dan menentukan topic. Tetapi, tidak sedikit----terutama penulis pemula----yang mengalami kesukaran untuk mendapatkan topic yang pas. Masalah yang sering muncul dalam memilih atau menentukan topic di antaranya seperti berikut ini.

  1. Sangat banyak topic yang dapat dipilih, semua topic menarik dan cukup dikenali. Untuk mengatasi hal itu, pilihlah topic yang paling sesuai dengan maksud dan tujuan kita menulis. Atau sebaliknya, banyak topic pilihan dan semuanya topic menarik, tetapi pengetahuan tentang topic-topik itu serba sedikit. Untuk mengatasinya, pilihlah topic yang paling dikuasai, paling mudah dicari informasi pendukungnya, serta paling sesuai dengan tujuan kita menulis.
  2. Tidak memiliki ide sama sekali tentang topic yang menarik hati kita. Sebenarnya, kasus seperti ini jarang terjadi karena kalau kita ingin menulis lazimnya kita telah memiliki ide tentang tulisan kita. Persoalnya, wawasan kita tentang topic itu terlalu umum atau terlalu sempit sehingga kita kesulitan mencari arah atau focus dari ide kita itu. Untuk mengatasi hal ini, kita dapat berdiskusi atau meminta saran dari orang lain, membac referensi (buku, artikel, laporan penelitian, dan sebagainya), melakukan refleksi atau pengamatan.
  3. Terlalu ambisius sehingga jangkauan topic yang dipilih terlalu luas. “penyakit” ini kerap menghinggapi penulis pemula. Begitu banyak hal yang ingin dicakup dan dikupas dalam tulisannya, sedangkan waktu, pengetahuan, dan referensi yang dimilikinya sangat terbatas. Di sini penulis dituntut untuk pandai-pandai mengendalikan diri. Kalau tidak, maka tulisan yang dihasilkannya akan cenderung dangkal.

Begitu pentingkah topic? Ya! Topic merupakan inti persoalan yang menjiwai isi karangan, yang mempertautkan seluruh bagian atau ide karangan menjadi satu keutuhan. Tanpa topic yang jelas, maka isi karangan pun akan kabur fokusnya.

Mempertimbangkan maksud atau tujuan penulisan

            Setelah mendapatkan topic yang baik, langkah selanjutnya adalah menentukan maksud atau tujuan penulisan. Untuk membantu kita merumuskan tujuan, kita dapat bertanya pada diri sendiri, “Apakah tujuan saya menulis topic karangan ini? Mengapa saya menulis karangan dengan topic ini? Dalam rangka apa saya menulis karangan ini?”

            Saudara, ketika merumuskan tujuan kita harus hati-hati jngan sampai tertukar, dengan harapan kita sebagai penulis atau manfaat yang dapat diperoleh pembaca melalui tulisan kita. Contoh, seorang mahasiswa yang akan mengarang menentukan topiknya Dampak negative sajian televisi dan cara mengatasinya. Ketika ditanya apa tujuan mengarang dengan topic tersebut dia mengatakan, “ Agar anak-anak terhindar dari dampak negative program-progam yang ditayangkan televise.”

            Rumusan tujuan karangan tersebut terasa aneh. Mustahil sebuah karangan dapat menjaga anak-anak dari dampak negative tayangan televise. Iya, kan? Munculnya rumusan tujuan seperti itu karena si mahasiswa kebingungan dalam membedakan harapan atau manfaat karangan dengan tujuan mengarangnya.

            Jadi, yang dimaksud dengan tujuan dalam konteks ini adalah tujuan mengarang, seperti menghibur, memberi tahu atau menginformasikan, mengklarifikasi atau membuktikan, atau membujuk. Nah, kalau topic dan latar belakang mengarangnya seperti di atas, maka kemingkinan tujuannya adalah menunjukkan atau menginformasikan kepada pembaca mangenai dampak negative tayangan televise terhadap prilaku anak-anak. Bagaimana, jelas?

            Tujuan menulis ini perlu diperhatikan selama penulisan berlangsung agar misi karangan dapat tersampaikan dengan baik. Mengapa? Tujuan akan mempengaruhi corak (genre) dan bentuk karangan, gaya penyampaian, serta timgkat kerincian isi karangan. Kalau tujuan mengarangnya seperti di atas, maka corak karangan yang sesuai adalah eksposisi dengan gaya pemaparan. Kalau tujuannya ingin menyakinkan kepada pembaca bahwa dampak negative televise itu benar-benar ada dan bias mempengaruhi prilaku anak-anak, maka corak karangan yang sesuai adalah argumentasi. Dalam sajiannya kita akan mencari bukti-bukti apakah itu hasil pengamatan, penelitian, pendapat para pakar, atau wawancara dengan para orang tua. Bukti-bukti ini kita sajikan untuk men-dukung pandapat kita. Sementara itu, kalau kita ingin menghibur orang lain, maka corak karangan yang sesuai adalah narasi dan deskripsi dan disajikan dalam bentuk cerita, anekdot, atau puisi. Begitu seterusnya.

Memperhatika sasaran karangan (pembaca)

            Kalau kita menulis surat, misalnya, kita pasti berharap pembaca surat dapat membaca, memahami, dan merespon tulisan kita. Agar isi tulisan itu sampai kepada pembaca, kita harus memperhatikan siapa yang akan membaca karangan kita, bagaimana level pendidikan dan status sosialnya, serta apa yang diperlukannya. Dengan kata lain, kita harus memperhatikan dan menyasuaikan tulisan kita dengan level social, tingkat pengalaman, pengetahuan, kemampuan, dan kebutuhan pembaca. Jangan sebaliknya!

            Britton (1975 dalam Tompkins dan Hoskisson, 1995) menyatakan bahwa keberhasilan menulis dipengaruhi oleh ketepatan pemahaman penulis terhadap pembaca tulisannya. Kemampuan ini memungkinkan kita sebagai penulis untuk memilih informasi serta cara penyajian yang sesuai.

            Alas an ini pula yang kerap mendorong kita selaku penulis berulang-ulang membaca atau meminta orang lain membaca tulisan kita, dan memperbaikinya. Mengapa? Karena yang kita sampaikan itu belum tentu dipahami dan diperlukan oleh pembaca.

Mengumpulkan informasi pendukung

            Ketika akan menulis, kita tidak selalu memiliki bahan dan informasi yang benar-benar siap dan lengkap. Itulah sebabnya, sebelum menulis kita perlu mencari, mengumpulkan, dan memilih informasi yang dapat mendukung, memperluas, memperdalam, dan memperkaya isi tulisan kita. Sumbernya dari mana? Banyak! Bias dari bacaan, pengamatan, wawancara, serta pengetahuan dan pengalaman sendiri atau orang lain.

            Tanpa pengetahuan dan wawasan yang memadahi, maka tulisan kita akan dangkal dan kurang bermakna. Jangan-jangan yang kita sampaikan hanya informasi umum, bahkan usang, yang telah diketahui lebih diketahui lebih banyak dari apa yang kita sajikan. Karena itulah, penulusaran dan pengumpulan informasi sebagai bahan tulisan sangat diperlukan.

            Pengumpulan informasi itu sendiri dapat dilakukan sebalum, sewaktu, atau sesudah penulisan terjadi. Meskipun demikian, akan lebih baik jika informasi yang relevan telah terkumpul secukupnya sebelum menulis sehingga proses penulisan tidak banyak terganggu. Kalau pun ketika atau setelah menulis kita masih memerlukan informasi tambahan, pencariannya lebih mudah karena kita tahu persis apa yang kita perlukan.

            Anda mungkin pernah membaca artikel bagus, tulisan panjang atau buku tebal yang enak dengan kupasan yang dalam, luas, dan kaya. Anda mungkin bertanya-tanya, “Bagaimana penulis itu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, mengkaitkan begitu banyak informasi menjadi satu keutuhan yang saling mendukung dan berhubungan, serta menyajikannya dengan enak?” Ini pertanyaan yang bagus. Coba Anda cari jawabannya!

Mengorganisasikan ide dab informasi

            Setelah kita memiliki topic, menentukan tujuan dan corak wacana, mempertimbangkan kemampuan dan kebutuhan pembaca, maka langkah selanjutnya adalah mengorganisasikan atau menata ide-ide karangan agar menjadi saling bertaut, runtut, dan padu.

            Berkaitan dengan pengorganisasian ide ini, simaklah keluhan tentang masalah dalam menulis yang dihadapi beberapa penulis pemula.

“Saya bingung kalau mengarang. Saya sering tidak tahu harus mulai dari mana. Sebelum menulis, otak ini rasanya penuh ide. Tetapi, sewaktu mulai menulis beberapa anelia, ide saya habis. Saya tidak tahu apalagi yang harus saya tulis. Saya hamper frustasi. Berkali-kali saya mengulang tulisan. Tidak tahu berapa banyak kertas yang saya remas. Saya tidak pernar puas dengan tulisan saya. Ada saja kekurangannya.”

            Apakah Anda pun pernah mempunyai keluhan seperti itu? Saudara, orang-orang tersebut sebenarnya memiliki kepandaian yang cukup di bidangnya. Hanya saja jarang menulis. Ketika akan menulis mereka kebingungan harus mulai dari mana, bagaimana menjaga aliran ide yang satu dengan ide lainnya sehingga membentuk satu keutuhan.

            Saudara, dapatkah Anda jelaskan penyebab terjadinya masalah menulis seperti yang diuraikan tadi? Lalu, bagaimana mengatasinya?

            Mengatasi persoalan seperti di atas, sebenarnya tidak terlalu sukar. Semua kita pasti dapat melakukannya: Kesulitan itu muncul karena sebelum menulis menulis, ide atau informasi yang akan kita tuangkan tidak disusun atau informasi yang saling berkaitan atas bagian-bagian yang tersusun secara sistematis. Nah, hasil pengorganisasian ide-ide itu disebut kerangka karangan atau ragangan. Apakah itu?

            Kerangka karangan atau ragangan adalah suatu rencana kerja yang memuat garis-garis besar karangan yang akan ditulis (Keraf, 1984). Dengan kata lain, kerangka karangan adalah panduan seseorang dalam menulis ketika mengembangkan suatu karangan. Sebagai panduan, kerangka karangan dapat membantu penulis untuk mengumpulkan dan memilih bahan tulisan yang sesuai. Di samping itu, kerangka karangan akan mempermudah pengembangan karangan sehingga dapat terarah, teratur, dan runtut. Tidak tumpang tindih atau melompat-lompat.

            Hal yang perlu kita ingat, penyusunan kerangka karangan tidaklah selalu dapat sekali jadi. Bias berkali-kali. Ditulis, dikaji ulang, dan diperbaiki lagi. Perbaikan itu tidk hanya sebelum memulai menulis. Bahkan, bias saja sewaktu penulisan sedang berlangsung. Kalau sedang menulis kita menemukan ide yang lebih baik, kita dapat mencantumkannya dalam kerangka karanga yang sudah dibuat, mengganti atau menambahkannya.

            Secara umum kerangka karangan itu terdiri atas pendahuluan atau pengantar (berisi mengapa dan untuk apa menulis topic tertentu, serta apa yang akan disajikan), isi (butir-butir penting inti karangan), dan penutup. Masing-masing komponen tersebut dirinci lagi atas bagian-bagian yang lebih kecil, dan begitulah seterusnya. Jangan khawatir, masalah ini akan kita bahan lebih detail dalam modul selanjutnya.

            Saudara, itulah sekilas bahasan mengenai hal-hal yang terdapat pada tahap prapenulisan. Intinya, fase ini merupakan persiapan yang dilakukan penulis agar ia dapat menulis dengan baik. Setelah siap komponen pada fase ini selesai, maka sebaiknya kita memeriksa dan menilainya kembali barang kali masih ada hal yang dilakukan atau perlu diperbaiki.

            Bagaimana, apakah Anda menemukan kesulitan untuk memahami uraian di atas? Kalau dalam membaca sajian Anda mengkaitkannya dengan pengalaman mengarang, Anda tak akan kesukaran memahaminya.

Saudara, pada tahap prapenulisan kita telah menentukan topic dan tujuan karangan, mengumpulkan informasi yang relevan, serta membuat kerangka karangan. Dengan selesainya itu semua, berarti kita telah siap untuk menulis. Kita mengembangkan butir demi butir ide yang terdapat dalam kerangka karangan, dengan memanfaatkan bahan atau informasi yang telah kita pilih dan kumpulkan.

Seperti telah kita ketahui, struktur karangan terdiri atas bagian awal, isi, dan akhir. Awal karangan berfungsi untuk memperkenalkan dan sekaligus mengiring pembaca terhadap pokok tulisan kita. Bagian ini sangat menentukan pembaca untuk melanjutkan kegiatan bacanya. Ingat, kesan pertama begitu menentukan. Karena itu, upayakan awal karangan semenarik mungkin.

Isi krangan menyajikan bahasan topic atau ide utama karangan, berikut hal-hal yang memperjelas atau mendukung ide tersebut seperti contoh, ilustrasi, informasi, bukti, atau alasan. Akhir karangan berfungsi untuk menembalikan pembaca pad aide-ide inti karangan melalui parangkuman atau penekanan ide-ide penting. Bagian ini berisi simpulan, dan dapat ditambah rekomendasi atau saran bila diperlukan.

            Tatkala mengembangkan setiap ide, kita dituntut untuk mengambil keputusan: keputusan tentang kedalaman serta keluasan isi, jenis informasi yang akan disajikan, pola organisasi karangan termasuk di dalamnya teknik pengmbangan alenea, serta cara gaya dan cara pembahasan (pilihan kata, pengalimatan, dan pengalineaan). Tentu saja, keputusan itu harus diselaraskan dengan topic, tujuan, corak karangan, dan pembaca karangan.

            Sekali lagi kita perlu ingat, menulis adalah suatu proses. Jangan berharap sekali tulis langsung bagus. Masalahnya, kalau sebuah tulisan itu harus selalu dibaca ulang dan diperbaiki, kapan karangan itu selesai?

            Memang, inilah masalahnya. Sebagai penulis kita memang harus sabar. Jangan ingin sempurna hanya dengan sekali tulis. Atau, baru menulis langsung diperbaiki. Diulang lagi, dan menulis lagi. Kalau kita tetap bersikap seperti itu, percayalah tulisan tak akan perlu jadi. Bahkan, mungkin kita akan patah arang.

            Kalau apa yang kita tulis jauh menyimpang dari rencana sumula atau jauh dari harapan kita, bolehlah kita merevisi dan menulis ulang. Akan tetapi, kalau kekurangan itu tidak parah----misalnya ada yang tertinggal, belum lengkap, urutannya terbalik, redaksinya kurang enak----teruskan saja dulu kegiatan menulisnya sampai selesai. Biarkan karangan itu jadi dan utuh dulu sehingga mudah untuk menyunting dan memperbaikinya.

            Lalu, bagaimana pula kalau sewaktu menulis muncul ide-ide baru yang terasa lebih baik dan menarik daripada ide semula yang telah dituangkan dalam kerangka karangan atau tulisan kita? Sekali lagi, biarkan saja dulu karangan menjadi utuh. Jangan langsung diperbaiki atau ditulis ulang. Kalau takut lupa, sisipkan ide baru itu dengan mencatatnya pada kerangka karangan atau bagian tulisan yang diinginkan. Setelah selesai atau ketika penyuntingan, Anda dapat menambahkan ide itu sekaligus memperbaikinya.

            Kalau pengembangan karangan itu telah Anda lakukan, itu artinya Anda telah menyelesaikan buram (draft) pertama karangan. Tahap berikutnya adalah memeriksa, menilai, dan memperbaiki buram itu sehingga benar-benar menjadi karangan yang baik.

Fase ini merupakan tahap penghalusan dan penyempurnaan buram yang kita hasilkan. Kegiatannya terdiri atas penyuntingan dan perbaikan (revisi). Kegiatan ini bias terjadi beberapa kali.

            Heffernan dan Lincoln (1990:71-90) serta Tompkins dan Hosskisson (1995:216-222), membedakan pengertian penyuntingan (editing) dan perbaikan atau revisi (revision). Menurut mereka, penyuntingan adalah pemeriksaan dan perbaikan unsure mekanik karangan seperti ejaan, pungtuasi, diksi, pengkalimatan, pengalineaan, gaya bahasa, pencatatan kepustakaan, dan konvensi penulisan lainnya. Adapun revisi dan perbaikan lebih mengarah pada pemeriksaan dan perbaikan isi karangan.

            Berbeda dengan kedua tokoh di atas, Defelice (1986:67-68), Proet dan Gill (1986:21-25), serta Kemnitz, ed. (1994:130-131) menyamakan pengertian kedua istilah tersebut. Baik penyuntingan ataupun revisi mengacu kepada kegiatan pemeriksaan, membaca ulang, serta memperbaiki unsure mekanik dan isi karangan.

            Modul ini tidak terlalu membedakan kedua istilah tersebut. Penyuntingan di sini diartikan sebagai kegiatan membaca ulang suatu beram karangan dengan maksud untuk merasakan, menilai, dan memeriksa baik unsure mekanik atau pun isi karangan. Tujuannya adalah untuk menemukan atau memperoleh informasi tentang unsure-unsur karangan yang perlu disempurnakan. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh orang lain atau penulisnya sendiri.

            Berdasarkan hasil penyuntingan itulah maka kegiatan revisi atau perbaikan karangan dilakukan. Kegiatan revisi itu dapat berupa penambahan, penggantian, penghilangan, pengubahan, atau penyusunan kembali unsure-unsur karangan. Kadar revisi itu sendiri tergantung pada tingkat keperluannya. Bisa revisi berat, bias juga sedang atau ringan.

            Pada revisi ringan, seperti yang disebabkan oleh kesalahan unsure-unsur mekanik, kegiatan perbaikan itu biasanya dilakukan bersamaan dengan penyuntingan. Tetapi untuk revisi berat---misalnya karena kesalahan urutan gagasan, contoh atau ilustrasi, cara pengembangan, penyampaian penjelasan atau bukti----kegiatan perbaikan itu biasanya dilakukan setelah penyuntingan selesai. Bila perbaikan itu mendasar, maka kegiatan revisi berat ini biasanya diikuti dengan penulisan kembali karangan (rewrite).

            Bertolak dari paparan di atas, maka kegiatan penyuntingan dan perbaikan karangan dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Membaca keseluruhan karangan;
  2. Menandai hal-hal yang perlu diperbaiki, atau memberikan catatan bila ada hal-hal yang harus diganti, ditambahkan, disempurnakan; serta
  3. Melakukan perbaikan sesuai dengan temuan saat penyuntingan.

Apakah setelah suntingan dan revisi selesai dilakukan berarti karangan telah benar-benar terjadi? Tergantung penilaian Anda! Kalau revisi itu telah menjadi karangan Anda seperti yang Anda inginkan, maka karangan itu telah selesai. Kalau belum, lakukan lagi penyuntingan dan perbaikan secukupnya. Tetapi, biasanya setelah direvisi penulis akan melihat sekali lagi karangan secara keseluruhan. Maksudnya, untuk memeriksa apakah revisi yang telah dilakukannya telah membuat karangannya menjadi tebih baik, atau malah sebaliknya. Untuk itu pula, kalau Anda merasa kurang puas atau khawatir tidak menemukan kelemahannya----mungkin jenuh atau lelah----mintalah pertolongan orang lain untuk membaca dan mengomentarinya.

Demikianlah, sekilas penjelasan mengenai fase-fase yang terlibat dalam proses penulisan. Tidak sulit, kan, untuk memahaminya.

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai meteri di atas, kerjakanlah latihan berikut!

1)      Apakah yang dimaksud dengan menulis atau mengarang?

2)      Bertolak dari pengalaman Anda sebagai murid atau guru, apakah Anda pernah mempunyai atau mendengar mitos tau pendapat yang keliru tentang menulis? Kalau ada, jelaskan mitos itu dan beri tanggapan Anda terhdap mitos tersebut!

3)      Bagaimanakah hubungan menulis dengan membaca?

4)      Jelaskan persamaan dan perbedaan menulis dan berbicara!

5)      Berikanlah sebuah contoh ragam bahasa lisan dan tulis!

6)      Apakah klasifikasi ragam wacana tulis dapat diterapkan untuk pengelompokan rgam wacana lisan? Jelaskan alasan Anda!

7)      Berikanlah sebuah contoh untuk masing-masing ragam wacana yang dapat Anda ambil dari majalah, surat kabar, makalah, atau buku!

8)      Berikan komentar Anda tentang kekuatan dan kelemahan yang terdapat pada pendekatan-pendekatan belajar atau mengajar menulis yang tersaji pada awal KB 1 ini!

9)      Bercermin dari berbagai aktivitas dalam tahap prapenulisan, apakah yang Anda lakukan dalam mempersiapkan karangan? Jelaskan mengapa Anda melakukan persiapan menulis seperti itu!

10)  Jelaskan kesulitan yang Anda hadapi ketika melakukan persiapan menulis dan cara mengatasinya!

11)  Berdasarkan pengalaman mengarang Anda, apakah kegiatan-kegiatan dalam tahap prapenulisan, penulisan, dan pascapenulisan itu memang benar-benar ada? Jelaskan alasan Anda!

12)  Bagaimana strategi Anda dalam mengumpulkan informasi untuk keperluan mengarang?

13)  Jelaskan kesulitan-kesulitan yang Anda rasakan sewaktu mengembangkan karangan dan cara mengatasinya dengan mengacu pada uraian meteri di atas?

14)  Dalam mengarang, apakah Anda melakukan penyuntingan dan perbaikan karangan? Kapan kegiatan itu dilakukan dan berapa kali?

15)  Mengingat mengarang itu bukan suatu aktivitas yang sekaligus jadi, bagaimanakah konsep ini akan Anda terapkan dalam pengajaran mengarang di sekolah?

Petunjuk Jawaban Latihan

1)      Menulis atau mengarang adalah penyampaian pesan(ide, gagasan, perasaan, atau informasi) secara tertulis kepada pihak lain (pembaca).

2)      Coba Anda pikirkan mengenai mitos menulis yang ada dalam bentuk Anda atau Anda mendengarnya dari orang lain. Mitos ini merupakan anggapan atau pendapat yang tidak tepat tentang menulis dan mengajarkannya. Sekilas tanpaknya benar, tapi sebenarnya salah.

3)      Membaca dan menulis adalah kegiatan berbahasa tulis. Apakah yang dibaca memberikan masukan atau mempengaruhi apa yang ditulis. Bertolak dari kedua hal itu, silahkan Abda jabarkan lebih lanjut.

4)      Menulis dan berbicara adalah kegiatan berbahasa aktif-produktuf. Perbedaan keduannya dapat Anda uraikah dari segi kecaraan, konteks, yang melingkupi kegiatan berbahasa, serta ragam bahasa yang digunakan.

5)      Silahkan Anda cari sendiri! Yang perlu Anda ingat, untuk mencapai efek tertentu, kadang-kadang penulisan memadukan ragam bahasa tulis dan lisan secara proporsional. Misalnya seperti dalam modul ini.

6)      Ragam atau corak wacana itu tidak hanya berlaku untuk wacana atau karangan tulis, tetapi juga untuk karangan/ wacana/ tejs lisan.

7)      Anda dapat mengomentari pendekatan pembelajaran menulis atau mengarang dari sudut mana pun. Asal, alasan yang Anda kemukakan itu logis. Sebagai contoh, pendekatan frekuensi ada benarnya. Sayangnya, mengabaikan koreksi atau pemberian masukan. Padahal, masukan ini sangat berharga untuk menemukan kekuatan dan kelemahan sebuah tulisan serta menentukan upaya yang perlu dilakukan penulis untuk meningkatkan kemampuan menulisnya. Penetahuan kebahasaan dan mengarang seperti yang diajukan pandekatan gramatikal dan formal memang perlu dimiliki penulis. Sayangnya, kedua pendekatan ini mengabaikan praktik atau latihan menulis.

8)      Dalam kaitannya dengan pendekatan koreksi, masukan dari orang lain memang berharga bagi seorang penulis. Kelemahannya adalah pendekatan itu kurang menekankan otokoreksi atau menemukan dan memperbaiki sendiri kesalahan dan kekurangan yang dilakukan oleh penulis.

9)      Berdasarkan komponen yang terdapat dalam prapenulisan, renungkanlah kebiasaan yang anda lakukan dalam mempersiapkan karangan. Rasakan manfaatnya dan berikan alasannya.

10)  Silahkan Anda cari dan renumgkan dari pengalaman Anda sendiri. Misalnya, ketika mempersiapkan karangan Anda selalu ragu apakah topic, tujuan, atau kerangka karangan yang anda susun sudah baik. Keraguan itu membuat Anda berkutat terus dalam fase persiapan itu. Manghadapi masalah ini, misalnya, bagaimanakah anda mengatasinya.

11)  Fase persiapan itu pasti ada. Hanya saja keberadaannya tidak selalu disadari. Silahkan anda identifikasi komponen yang ada pada setiap fase penulisan yang Anda alami.

12)  Terserah Anda jawabannya. Kalau penulis modul ini, mengumpulkan informasi karangannya dilakukan sebelum, ketika, dan bahkan sewaktu buram karangan telah selesai.

13)  Bercerminlah dari pengalaman Anda! Kalau kesulitan yang pernah dialami penulis modul ini adalah kehabisan ide (tidak tahu mau menulis apa lagi) dan mencari kata atau bentuk pengungkapan yang tepat seperti yang diinginkan. Kesulitan pertama diatasi dengan mencari informasi dan membaca referensi yang relevan sebanyak-banyaknya, meringkasnya, dan memanfaatkannya sebagai bahan penyusunan kerangka karangan. Kesulitan kedua diatasi dengan menuliskan karangan sampai selesai. Ketika buram sudah jadi, barulah dilakukan penyuntingan dan perbaikan karangan.

14)  Anda pasti melakukannya! Mungkin kegiatan itu lebih banyak dilakukan bersamaan dengan saat mengembangkan karangan itu sendiri. Atau, Anda punya pengalaman lain?

15)  Berikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan draft karangan atau buram pertama. Berikan kesempatan bagi mereka apakah sendiri, bersama teman-temannya, atau dengan bimbingan guru, untuk melihat kebaikan dan kekurangan, serta memperbaikinya. Dengan demikian, penilaian akhir dapat dilakukan setelah siswa memperbaiki buram pertama, kedua, atau sampai buram ketiga.

RANGKUMAN

            Menulis adalah kegiatan komunukasi berupa penyampaian pesan secara tertulis kepada pihak lain. Aktivitas menulis melibatkan unsure penulis sebagai penyampai pesan, pesan atau isi tulisan, saluran atau media tulisan, dan pembaca sebagai penerima pesan.

            Sebagai suatu keterampilan berbahasa, menulis merupakan kegiatan yang kompleks karena dituntut untuk dapat menyusun dan mengorganisasikan isi tulisannya serta menuangkannya dalam formulasi ragam bahasa tulis dan konvensim penulisan lainnya. Di balik kerumitannya, menulis mengandung banyak manfaat bagi pengembangan mental, intelektual, dean social seseorang. Menulis dapat meningkatkan kecerdasan, mengembangkan daya inisiatif dan kreativitas, menumbuhkan keberanian, serta merangsang kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi.

            Sayangnya, tidak banyak orang yang menyukai tulis-menulis karena mungkin merasa tidak berbakat, serta tidak tahu untuk apa dan bagaimana harus menulis. Keadaan ini tentu saja tak lepas dari lingkungan dan pengalaman belajar menulis di sekolah, dengan segala mitos atau miskonsepsi tentang menulis dan pembelajarannya.

            Menulis sebagai aktivitas berbahasa tidak dapat dilepaskan dari kegiatan berbahasa lainnya. Apa yang diperoleh melalui menyimak, membaca, dan berbicara, akan memberinya masukan berharga untuk kegiatan menulis. Meskipun demikian, menulis sebagai suatu aktivitas berbahasa tulis memiliki perbedaan, terutama dengan kegiatan berbahasa lisan. Perbadaan menyangkut kecaraan serta konteks dan hubungan antarunsur yang terlibat, yang berimplikasi pada ragam bahasa yang digunakan yang dapat menjelaskan.

            Banyak pendapat yang berkaitan dengan pembelajaran menulis seperti yang dilontarkan oleh pendekatan frekuensi, gramatikal, koreksi dan formal. Pendekatan-pendekatan itu tidak sepenuhnya salah. Namun, pelbagai pendektn itu tidak menyentuh aktivitas menulis sebagai proses.

            Sebagai proses, menulis melibatkan serangkaian kegiatan yang terbagi atas tahap prapenulisan, penulisan, dan pascapenulisan. Fase prapenulisan merupakan tahap persiapan mencakup kegaiatan pemilihan topic, penentuan tujuan, penentuan pembaca dan corak karangan, pengumpulan informasi atau bahan tulisan, serta penyusunan kerangka karangan.

            Berdasarkan kerangka itu, maka pengembangan karangan pun dimulai. Inilah fase penulisan. Setiap butir ide yang telah direncanakan dikembangkan secara bertahap dengan memperhatikan jenis informasi yang disajikan, pola pengembangan, pembahasan, dan sebagainya. Setelah fase ini selesai, maka penulis membaca kembali, memeriksa, dan memperbaiki karangan.

PENALARAN

            Jangan terlalu mudah menerima sagala sesuatu yang kamu (baca) dan kamu dengan!” begitulah sebuah nasihat mengatakan. Mengapa? Karena, apa yang kita lihat, baca, dan dengar, belum tentu benar. Kefasihan dan kemenarikan pengungkapan belumlah menjamin kebenaran yang disampaikan. Jangan terlalu terpaku pada kehebatan tampilan tanpa memperhatikan kualitas isi. Inti nasehat ini agar dapat kita berfikir kritis. Apa yang kita baca dan dengar hendaknya kita cermati: kelogisannya, kelayakan dan kecekupan fakta, serta ketepatan penyimpulan.

            Bagi penyampai pesan ( pembicara atau penulis), nasihat itu mengingatkan agar penyampaian sesuatu (pesan) diungkapkan dengan jelas, runtut, logis, jujur, serta dapat dimengerti oleh orang lain. Untuk itu, diperlukan kemampuan bernalar dan berbahasa yang baik. Lagi-lagi, kemampuan itu hanya dapat diperoleh melalui proses belajar dan berlatih berbahasa yang sungguh-sungguh dan sistematis.

            Itulah yang akan dibahas dalam KB 2 ini. Dalam KB ini akan dikupas secara singkat pengertian penalaran, kaitan penalaran dengan menulis, corak dan proses penalaran induktif dan deduktif, serta salah nalar.

Penalaran: Pengertian dan Jenisnya

            Saudara, betulkah terdapat keterkaitan menulis dengan penalaran? Marilah kita simak kedua wacana berikut ini!

Contoh 4

“Komunikasi adalah penyampaian isi pikiran, perasaan, dan kemauan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa. Tanpa bahasa manusia tidak berkomunikasi. Kita memerlukan symbol untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain. Namun, berkomunikasi itu ternyata tidak selalu sesuai hasilnya dengan yang kita harapkan. Tidak semua orang paham dengan maksud kita yang disampaikan kepadanya. Oleh karena itu, sebelim berkomunikasi sebaiknya kita mempertimbangkan terlebih dahulu apakah orang tertentu layak dijadikan mitra komunikasi kita.”

Contoh 5

“Hasil kajian sebuah lembaga asing menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara dengan tingkat korupsi tertinggi di Asia. Berita itu menyakitkan kita. Indonesia yang terkenal sebagai bangsa yang santun dan agamis, tercoreng tinta hitam. Kita semua tahu bahwa korupsi itu memang ada. Bahkan, dapat dikatakan sudah membudaya. Tetapi, kalau itu disampaikan orang asing, apalagi disebarluaskan dengan menyandang predikat seperti itu, hati ini rasanya sedih dan sakit sekali.

            Meskipun demikian, kita berharap bahwa kita semua, terutama aparatur Negara, dapat menyikapi berita itu secara positif. Kritik itu merupakan masukan yang sangat berharga bagi kita. Hanya orang dungu yang membiarkan dirinya terperosok sampai dua kali ke lubang yang sama. Oleh karena itu pula, kritik itu hendaknya menjadi pemacu untuk segera memperbaiki berbagai keburukan atau kelemahan kita sehingga predikat memalukan itu tidak jatuh lagi kepada kita di masa mendtang.”

            Menurut Anda, di antara kedua kutipan di atas, tulisan manakah yang paling baik dilihat dri segi penalaran? Jelaskan alasanAnda!

            Bagus! Jawaban Anda banar. Tulisan pada contoh (5) lebih baik daripada contoh (4). Pada contoh (5), urutan penyajian tertata dengan runtut, tidak melompat-lompat. Maksud tulisan juga jelas. Pernyataan-pernyataan yang dikemukakannya wajar dan logis. Penulis tampaknya menguasai persoalan yang disampaikan dengan tata pikir yang sistematis.

            Lain halnya dengan tulisan pada contoh (4). Tampak kekurangcermatan penulis. Misalnya, ketidakjelasan makna bahasa yang digunakan pada kliamat 1 dan 2. Apakah yang dia maksud dengan bahasa lisan, tulis, isyarat, atau pengertian bahasa lain? Pangertian bahasa ini harus jelas sebb orang bisa berkomunikasi dengan sesamanya tanpa memakai bahsa, seperti dengan gerak tubuh, warna, gambar, atau tanda-tanda tertentu. Pada kalimat 3, tiba-tiba muncul istilah symbol. Padahal penertian symbol dan bahasa dalam teori komuniksi berbeda. Bahsa hanyalah salah stu symbol komunikasi. Bukan satu-satunya.

            Kekuranguntungan berpikir dapat pula dilihat dari keterputusan kaitan antara satu kalimat dengan yang lainnya. Kalimat 1,2, dan 3 menguraikan konsep komunikasi. Tiba-tiba pada kalimat 4 dan seterusnya, dia berbicara mengenai efektivitas komunikasi. Juga, kita temukan kesalahan penegasan (simpulan) pada kalimat terakhir atas isi dua kalimat sebelumnya. Tetapi, penegasan tersebut tampak kurang pas. Dalam konteks komunikasi, pengetahuan komunikator tentang mitra komunikasinya dimaksudkan untuk memahami kebutuhan dan kemampuannya sehingga apa yang dia kemukakan dapat ditanggapi dengan tepat. Sementara itu, penegasan penulis di atas lain. Tak ada kaitan dengan kalimat sebelumnya.

            Dari contoh di atas terlihat bahwa bagaimana seseorang menata proses berfikir, memahami sesuatu, dan menghubungkan satu hal dengan hal lain, akan sangat menentukan tulisan yang dia hasilkn.

            Lalu, apakah yang dimaksud dengan penalaran? Cobalah simak kedua petikan wacana di bahwa ini!

Contoh 6

Rasyid adalah seorang anak muda yang suka sekli membaca buku-buku sejarah, terutama yang berkenaan dengan kisah orang-orang besar. Ia telah membaca buku tentang Thomas A. Edison, Winston Churchill, Mahatma Gandhi, M. ali Jihan, Al Gazali, Shakespeare, M. Iqbal, K.H. A. Dahlan, H.O.S Cokroaminoto, K.H. Hasyim Asy’ari, Martin Luther, R.A. Kartina, Soekarno, dan B.J. Habibie. Semua buku bercerita bahwa kebesaran yang mereka raih tidak tiba-tiba, tetapi melalui ketekunan belajar, kerja keras, aktif bermasyarakat, dan berbagai ujian hidup yang berat yang mereka hadapi dengan tabah. Berdasarkan apa yang dibacanya, Rasyid menyimpulkan bahwa untuk menjadi orang besar dan sukses, seseorang harus rajin belajar, kerja keras, mau bermasyarakat, dan sabar menghadapi persoalan. Pendeknya, kesuksesan hanya bias diperoleh karena perjuangan yang gigih dan ketabahan dalam menjalaninya.

Contoh 7

            Bu Imas penasaran dengan sebuah pernyataan yang tertulis pada sebuah modul mata kuliah Teori Belajar Bahasa. Di dalam modul itu dinyatakan bahwa keterampilan menyimak diperoleh anak lebih dulu daripada keterampilan berbicara. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan itu, ia mengamati perilaku berbahasa anak-anak. Ia pun melakukan “wawancara” informal dengan beberapa ibu yang mempunyai anak kecil. Dari “penelitian kecil” yang dilakukannya ia menyimpulkan bahwa keterampilan anak dalam menyimak ternyata dikuasai lebih dulu daripada keterampilan berbicara.”

            Saudara, coba jelaskan bahwa Rasyid dan Bu Imas pada contoh di atas telah melakukan penalaran? Lalu, bandingkan proses bernalar yang dilakukan kedua orang tersebut! Selanjutnya, jelaskan apa yang dimaksud dengan penalaran!

            Rasyid membaca berbagai buku sejarah tentang orang besar. Dia menghubungkan sesuatu (pelajaran) yang sama dari buku-buku yang dia baca. Kesamaan itu ialah kesuksesan hanya dapat dicapai kerja keras dan kesabaran. Dari situ, dia berkesimpulan bahwa untuk menjadi orang besar, seseorang mesti mau bekerja keras dan tabah.

            Lalu, apakah Rasyid telah melakukan penalaran? Ya! Dia telah mendapatkan sesuatu yang penting (informasi atau pelajaran). Sesuatu itu dia kaji, cermati, dan kaitkan satu sama lain. Lalu, darinya dia mengambil kesimpulan.

            Bagaimana dengan Bu Imas ingin membuktikan kebenaran sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa keterampilan berbicara. Terdorong oleh rasa penasarannya dia pun mengumpulkan berbagai bukti yang dapatm mendukung atau menolak pernyataan itu. Dari sejumlah bukti yang ditemukannya, akhirnya dia berkesimpulan bahwa pernyataan itu benar.

            Coba kita cermati perbedaan proses penalaran yang dilakukan Rasyid dan Bu Imas. Apa yang dilakukan Rasyid berangkat dari ketidaktauan. Informasi mengenai sikap hidup orang-orang besar dia temukan setelah membaca buku demi buku, riwayat hidup tokoh demi tokoh. Dari temuan-temuan yang dia dapatkan setelah membaca buku, kemudian dia menyimpulkan. Jadi, proses bernalarnya bertolak dari hal-hal yang khusus (informasi demi informasi atau fakta demi fakta) menuju sebuah kesimpulan.

            Kalau kita gambarkan, proses penalaran yang dilakukan oleh Rasyid adalah sebagai berikut.

Keterampilan menulis apa saja yang harus dimiliki penulis dalam kegiatan menulis sebagai proses
Keterampilan menulis apa saja yang harus dimiliki penulis dalam kegiatan menulis sebagai proses
Keterampilan menulis apa saja yang harus dimiliki penulis dalam kegiatan menulis sebagai proses
Keterampilan menulis apa saja yang harus dimiliki penulis dalam kegiatan menulis sebagai proses
                       Temuan 2                                Temuan 3

Keterampilan menulis apa saja yang harus dimiliki penulis dalam kegiatan menulis sebagai proses
Temuan 1                                                                                            Temuan 4

Keterampilan menulis apa saja yang harus dimiliki penulis dalam kegiatan menulis sebagai proses
                                                                                                                 

                                                 Kesimpulan

                                                Gambar 1.3

            Sebaliknya, proses bernalar Bu Imas berangkat dari suatu pengetahuan (pernyataan, teori, atau kesimpulan). Lalu, dia mencari berbagai data yang dapat membuktikan kebenaran pengetahuannya itu. Dia mendapatkannya, dan menyimpulkan kembali hasil pembuktiannya atau penegasan atas kebenaran atau kesalahan pengetahuan pertama. Dengan demikian, proses bernalar Bu Imas bertolak dari suatu kesimpulan (penetahuan yang telah ada) menuju hal-hal yang khusus. Bila digambarkan, maka proses penalaran yang ditempuh Bu Imas adalah sebagai berikut.

                                                   Kesimpulan/

                                                   Penetahuan

Keterampilan menulis apa saja yang harus dimiliki penulis dalam kegiatan menulis sebagai proses
Keterampilan menulis apa saja yang harus dimiliki penulis dalam kegiatan menulis sebagai proses

       Temuan 1                                                                                         Temuan 4

Keterampilan menulis apa saja yang harus dimiliki penulis dalam kegiatan menulis sebagai proses
Keterampilan menulis apa saja yang harus dimiliki penulis dalam kegiatan menulis sebagai proses

                             Temuan 2                            Temuan 3

            Begitulah sebenarnya proses bernalar yang kita lakukan. Selnjutnya, cobalah Anda temukan contoh penalaran seperti yang dilakukan Rasyid dan Bu Imas.

            Lalu, apa yang dimaksud dengan penalaran? Penalaran (reasoning) adalah suatu proses berfikir dengan menghubung-hubungkan bukti, fakta, petunjuk atau eviden, ataupun sesuatu yang dianggap bahan bukti, menuju pada suatu kesimpulan (Keraf, 1982; Moeliono, 1989). Dengan kata lain, penalaran adalah proses berfikir yang sistematis dan logis untuk memperoleh sebuah kesimpulan (penethuan atau keyakinan). Bahan pengambilan kesimpulan itu dapat berupa fakta, informasi, pengalaman, atau pendapat para ahli (otoritas).

            Secara umum, penalaran atau pengambilan kesimpulan itu dapat dilakukan secara induktif dan deduktif. Penalaran induktif adalah suatu proses berfikir yang bertolak dari hal-hal khusus menuju sesuatu yang umum (lihat cara bernalar Rasyid dalam contoh 6). Sementara itu, penalaran deduktif adalah suatu proses berpikir yang bertolak dari sesuatu yang umum pada peristiwa yang khusus untuk mencapai sebuah kesimpulan (lihat cara bernalar Bu Imas pada contoh 7).

            Dalam praktiknya, kedua corak penalaran tersebut saling mendukung. Proses induksi, misalnya, tidak  akan banyak manfatnya tanpa diikuti proses deduksi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu pula, swalah satu atau kedua corak penalaran itu dapat kita gunakan----baik secara bergantian ataupun bersamaan-----sebagai sarana pengembangan karangan.

Penalaran Induktif dan Coraknya

            Penalaran induktif dapat dilakukan dengan tiga cara: generalisasi, analogi, atau hubungan kausal (sebab akibat).

Generalisasi atau perampatan ialah proses penalaran yang bertolak dari sejumlah gejala atau peristiwa yang serupa untuk menarik kesimpulan mengenai semua atau sebagian dari gejala-gejala khusus yang diperoleh melalui pengalaman, observasi, wawancara, atau studi dokumentasi. Sumbernya dapat berupa dokumen, statistic, kesaksian, pendapat ahli, peristiwa-peristiwa politik, social, ekonomi, atau hokum. Dari berbagai gejala atau peristiwa khusus itu, orang membentuk opini, sikap, penilaian, keyakinan, atau perasaan tertentu (Guinn dan Marder, 1987).

Sebenarnya, kita kerap melakukan generalisasidalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pengalaman, seorang ibu dapat membedakan dan menyimpulkan arti tangisan bayinya: sebagai ungkapan rasa lapar atau haus, sakit, atau tidak nyaman. Melalui pengamatannya, seorng saintis menemukan bahwa kambing, sapi, onta, kerbau, kucing, anjing, babi, harimau, gajah, rusa, dan kera, adalah binatang menyusui. Hewan-hewan itumenghasilkan turunannya mellui kelahiran. Dari temuannya itu dia membuat generalisasi bahwa semua binatang menyusui memproduksi turunannya melalui kelahiran.

Saudara, itulah contoh-contoh generalisasi. Tetapi, apakah hasil generalisasi itu sah? Gunakanlah rambu-rambu berikut untuk menguji keabsahan  hasil sebuah generalisasi!

a.       Apakah jumlah gejala atau peristiwa khusus yang dijadikan dasar generalisasi tersebut cukup memadai? Tergantung keluasan cakupan generalisasi itu. Tidak ada jawaban yang pasti mengenai jumlah gejala itu. Akan tetapi, semakin banyak data yang digunakan, akan semakin baik hasil generalisasi itu. Sebagai contoh, kita bertemu dengan 10 orang penjudi. Ternyata, mereka juga peminum. Dari temuan itu lalu kita menggeneralisasikan bahwa pejudi adalah juga peminum. Betulkan generalisasi itu? Data itu terlalu sedikit dibandingkan dengan populsi penjudi. Lalu, apa yang harus kita lakukan agar generalisasi yang kita buat diterima? Pertama, cari data tambahan agar representative. Kedua, jika data sudah memadai, maka penyimpulannya diawali dengan kata atau frase pewatas tertentu, seperti sebagian besar , dari hasil penelitian itu, bertolak dari data di atas, dan cenderung.

b.      Apakah gejala atau peristiwa yang digunakan sebagai bahan generalisasi merupakan contoh yang baik, yang dapat mewakili keseluruhan atau bagian yang dikenai generalisasi? Contoh, Anda akan meneliti anak-anak remaja pelaku criminal. Sampel yang dipilih ialah para remaja pelaku criminal dari keluarga yang orang tuanya miskin atau sangat kaya. Dari data yang terkumpul ditariklah kesimpulan bahwa para remaja perilaku criminal berasal dari keluarga yang kekurangan atau bisa jadi berlebih. Betulkah kesimpulan itu? Belum tentu! Bagaimana anak remaja yang berasal dari keluarga menengah? Apakah factor pendorong perilaku criminal anak hanya sesuatu yang bersifat materiil? Bagaimana dengan pendidikan keluarga atau keadaan lingkungan.

c.       Seberapa banyak kekecualian yang tidak sesuai dengan generalisasi yang dilakukan? Kalau jumlah kekecualian itu terlampau banyak, maka generalisasi itu haris dilakukan hati-hati. Kita harus cermat menggunakan kata atau frase semua, setiap, seluruh, selalu, biasanya, cenderung, pada umumnya, sebagian besar, rata-rata, atau kebanyakan.

d.      Apakah perumusan generalisasi itu sesuai dengan data-data yang diteliti? Kalau generalisasi itu menggunakan kata semua atau setiap misalnya, betulkah semua data yang ada telah diteliti? Jangan-jangan hanya sebagian kecil saja!

Agar lebih konkret, perhatikan corak penalaran generalisasi berikut. Lalu, berikut penjelasan Anda.

Contoh 8

“Para peneliti dari University of Minnesota melakukan kajian untuk mencari formula yang dapat mengurangi resiko kematian akibat penyakit jantung. Mereka meneliti 34.486 wanita pascamenopause. Sebagian dari mereka diminta untuk mengkonsumsi banyak kacang-kacangan, minyak sayuran, dan margarine, yang banyak mengandung vitamin E. dari studi itu ditumukan orang yang memakan makanan yang banyak mengandung vitamin E, memiliki resiko kematian akibat penyakit jantung yang lebih rendah 50% dibandingkan dengan orang yang sedikit mengkonsumsi makanan seperti itu.”

(Aura, 1997)

2. Analogi

“Hawa nafsu adalah kuda tunggangan yang akan membawamu meraih ambisi. Dan agama adalah kendali untuk mengendalikan tungganganmu agar tidak liar, mementalkan, menyeret, dan menginjak-injak dirimu.” Hawa nafsu dianalogikan dengan kuda tunggangan, dan agama adalah tali kekangnya. Analogi itu dilakukan karena antara sesuatu yang dibandingkan dengan perbandingannya memiliki kesamaan fungsi atau peran. Melalui analogi, seseorang dapat menerangkan sesuatu yang abstrak atau rumit secara konkret dan lebih mudah dicerna. Namun, bukan analogi metaforis atau analogi deklaratif (penjelas) seperti itu yang dimaksud di sini. Analogi tersebut tidak memberikan simpulan atau pengetahuan apa pun.

            Analogi yang dimaksud di sini adalah analogi induktif atau analogi logis. Analogi induktif (kias) adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwaatau gejala khusus yang satu sama lain memiliki kesamaan untuk menarik sebuah kesimpulan. Karena titik tolak penalaran ini adalah kesamaan karakteristik di antara dua hal, maka kesimpulannya akan menyiratkan “Apa yang berlaku pada satu hal akan pun berlaku untuk hal lainnya.” Dengan demikian, dasar kesimpulan yang digunakan merupakan ciri pokok atau esensial yang berhubungan erat dari dua hal yang dianalogikan.

            Dalam riset medis, misalnya, para peneliti mengamati berbagai efek dari bermacam bahan melalui eksperimen binatang seperti mencit (tikus putih) dank era, yang dalam beberapa hal memiliki kesamaan karakter anatomis dengan manusia. Dari kajian itu akan ditarik kesimpulan bahwa efek bahan-bahan uji coba yang ditemukan pada binatang juga akan terjadi pada manusia. Perhatikan contoh berikut!

Contoh 9

“Dr. Maria C. Diamond tertarik untuk meneliti pengaruh pil kontrasepsi terhadap pertumbuhan cerebral cortex wanita, sebuah bagian otak yang mengatur kecerdasan. Dia menginjeksi sejumlah tikus betina dengan sebuah hormon yang isinya serupa dengan pil. Hasilnya, tikus-tikus itu memperlihatkan pertumbuhan cerebral cortex yang sangat rendah dibandingkan dengan tikus-tikus yang tidak diberi hormon itu Berdasarkan studi itu, Dr. Diamond, seorang professor anatomi dari university of California, menyimpulkan bahwa pil kontrasepsi dapat menghambat perkembangan otak penggunanya (Salmon, 1989).

            Dalam contoh penelitian di atas, Dr. Diamond menganalogikan anatomi tikus dengan manusia. Jadi apa yang terjadi pada tikus akan terjadi pula pada manusia.

  1. Hubungan Kausal (sebab-akibat)

Saudara, menurut hukum kausalitas semua peristiwa yang terjadi di dunia ini terjalin dalam rangkaian sebab akibat. Tak ada satu gejala atau kejadiaan pun yang muncul tanpa penyebab. Cara berfikir seperti ini, sebenarnya lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya dalam dunia ilmu pengetahuan.

            Sebagai contoh, ketika seorang ibu melihat awan tebal menggantung, dia segera memunguti pakaian yang sedang dijemurnya. Tindakanya itu terdorong oleh pengalamannya bahwa mendung tebal (sebab) pertanda akan turun hujan (akibat). Hujan (sebab) akan menjadikan pakaian dijemurnya basah (akibat).

Gambar 1.5

            Contoh lain, Pak Saeran menanam berbagai jenis bunga dan pohon di pekarangan rumahnya. Tanaman itu dia rawat, dia sirami dan dia beri pupuk. Anehnya, tanaman itu bukanya semakin segar, melainkan layu bahkan mati (akibat). Tanaman yang mati dia cabuti. Ia melihat ternyata akar-akarnya rusak dan dipenuhi rayap. Berdasarkan temuannya itu, Pak Saeran menyimpulkan bahwa biang keladi rusaknya tanaman (akibat) adalah rayap (sebab).

Itulah proses berfikir sebab akibat. Hal yang harus diperhatikan dalam penarikan kesimpulan adalah jangan ceroboh atau keliru menentukan sabab atau akibat suatu gejala atau peristiwa. Sebagai contoh, karena suatu hal Pak Jamal bermusuhan dengan Bu Tanti di kantor. Pak Jamal merasa dirinya kurang dipedulikan oleh pimpinnya. Dia tidak diberi kegiatan di luar kegiatan rutin seperti yang diterima oleh kawan-kawannya (akibat). Pak Jamal berfikir bahwa biang keladi ini semua adalah Bu Tanti yang pasti telah mengadu dan menjelek-jelekken dirinya dihadapan pemimpin (sebab). Menurut Anda, benarkah kesimpulan Pak Jamal tersebut?

Corak penalaran kausalitas ini dapat terwujud dalam pola: sebab ke akibat, akibat ke sebab, akibat ke akibat.

Berdasarkan paparan di atas, penalaran kausalitas memiliki karakteristik berikut. Pertama, satu atau beberapa gejala (peristiwa) yang timbul dapat berperan sebagai sebab atau akibat, atau sekaligus sebagai akibat dari gejala sebelumnya dan sebab gejala sesudahnya. Kedua, gejala atau peristiwa yang terjadi dapat ditimbulkan oleh satu sebab atau lebih, dan menghasilkan satu akibat atau lebih. Ketiga, hubungan sebab dan akibat dapat bersifat langsung dan tidak langsung.

            Lalu, bagaimana penerapan corak penalaran kausalitas ini dalam menulis? Perhatikan contoh berikut!

Contoh 10

“Di Amerika, diabetes yang tidak terkontrol menjadi penyebab utama kebutaan, dan menduduki peringkat ke-4 panyakit yang terbanyak menimbulkan kematian. Panyakit diabetes yang tak terkontrol ini juga menimbulkan resiko tinggi penyakit jantung, ginjal, dan syaraf.

Akhir-akhir ini ada kabar yang baik untuk penyembuhan diabetes. Suntikan insulin tidak lagi diperlukan untuk sebagian besar penderita diabetes. Untuk jenis diabetes tertentu, yang biasanya menyerang orang-orang lanjut usia atau orang dewasa yang kelebihan berat badan, dapat disembuhkan dengan diet dan olahraga.

            Tulisan di atas dikembangkan dengan corak penalaran sebab-akibat. Kini, cobalah Anda temukan manakah yang merupakan sebab dan mana pula yang merupakan akibat!

Penalaran Deduktif dan Coraknya

            Saudara, jika induksi bersifat generalisasi (perempatan); maka deduksi bersifat spesifikasi (pengkhususan). Dalam penalaran keduanya bekerja sama: hal-hal khusus menuntun menuju generalisasi, dan generalisasi mengiringi pada penerapan atau spesifikasi. Ketika kita menerapkan generalisasi yang dihasilkan dari penalaran induktif, maka saat itu kita juga melakukan penalaran deduktif.

            Dalam induksi, kita perlu mengumpulkan bahan atau fakta secara memadai sebelum sampai pada suatu kesimpulan. Semakin banyak dan baik kualitas fakta yang dikumpulkan, akan semakin tinggi tingkatan kebenaran kesimpulan itu. Sebaliknya, dalam deduksi kita telah mengetahui kebenaran secara umum, kemudian bergerak menuju pengetahuan baru tentang kasus-kasus atau gejala-gejala khusus atau individual.

            Pendeknya, deduksi adalah proses berfikir yang bertolak dari sesuatu yang umum (prinsip, hukum, teori, atau keyakinan) menuju hal-hal khusus. Berdasarkan sesuatu yang umum itu, ditariklah kesimpulan tentang hal-hal yang khusus yang merupakan bagian dari kasus atau peristiwa khusus itu. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut!

Contoh 11

Semua makhluk akan mati.

Manusia adalah makhluk.

Karena itu, semua manusia akan mati.

Contoh 12

Logam jika dipanaskan akan memuai.

Besi adalah logam.

Karena itu, jika dipanaskan besi akan memuai.

            Saudara, contoh di atas merupakan bentuk penalaran deduktif. Proses penalaran itu berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, generalsasi sebagai pangkal bertolak (pernyataan pertama merupakan generalisasi yang bersumber dari keyakinan atau pengetahuan yang sudah dikethui atau diakui kebenarannya). Kedua, penerapan atau perincian generalisasi melalui kasus atau kejadian tertentu, manusia dan besi. Ketiga, kesimpulan deduktif yang berlaku bagi kasus atau peristiwa khusus itu (Moeliono, 1989).

            Deduksi menggunakan silogisme atau entimem, sebagai alat penalarannya. Apakah yang dimaksud dengan silogisme dan entimem?

Silogisme adalah suatu proses penalaran yang menghubungkan dua proposisi (pernyataan) yang berlainan untuk menurunkan sebuah kesimpulan yang merupakan proposisi ketiga. Proposisi merupakan pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau dapat ditolak karena kesalahan yang terkandung di dalamnya (Keraf, 1982).

Dari penertian di atas, silogisme terdiri atas tiga bagian: premis mator, premis minor, dan kesimpulan. Yang disubut dengan premis adalah proposisi yang menjadi dasar bagi argumentasi. Pemis mayor mengandung term mayor dari silogisme, merupakan generalisasi atau proposisi yang dianggap benar bagi semua unsure atau anggota kelas tertentu. Premis minor mengandung term minor atau tengah dari silogisme, berisis proposisi yang mengidentifikasi atau menunjukan sebuah kasus atau peristiwa khusus sebagai anggota dari kelas itu. Kesimpulan adalah proposisi yang menyatakan bahwa apa yang berlaku bagi seluruh kelas, akan berlaku pula bagi anggota-anggotanya. Perhatikan contoh dibawah ini!

Contoh 13

            Premis mayor  : semua cendekiawan adalah pemikir.

            Premis minor   : Sasono adalah cendekiawan.

            Kesimpulan     : Jadi, Sasono adalah pemikir.

            Untuk mengetes keabsahan silogisme di atas, pertama kali uji kebenaran premis mayor dan minornya. Kemudian, temukan term umum yang ada di antara keduanya, yaitu cendekiawan.  Selanjutnya, term umum itu diabaikan. Dari sisa term disusun kesimpulan Sasono adalah pemikir. Silogisme tersebut sah. Tetapi, kalau ternyata ada kekecualian, maka silogisme itu tidak sah. Kalau ingin sah, kita harus menyesuaikan kata semua dengan kebanyakan, pada umumnya, atau sebgian besar, tergantung dari jumlah yang dikecualikan itu. Perhatikan silogisme berikut!

Contoh 14

            Premis Mayor  : Kebanyakan buruh adalah pekerja keras.

            Premis Minor   : Suhadi adalah buruh

            Kesimpulan     : Suhadi pekerja keras

            Perlu diketahui, term adalah suatu kata atau frase yang menempatkan fungsi subjek atau predikat. Trem predikat dari kesimpulan di atas adalah term mayor dari sebuah silogisme. Subjek dari konkulasi adalah trem minor dari silogisme tersebut. Term yang muncul pada kedua premis dan tidak muncul dalam kesimpulan disebut term tengah. Trem tengah ini menghubungkan premis mayor dan premis minor.

            Saudara, ada beberapa hal yang harus diperhatikan bila kita ingin bernalar dengan menggunakan silogisme.

    1. Sebuah silogisme hanya terdiri atas tiga proposisi: premis mayor, premis minor, dan kesimpulan.
    2. Jika sebuah silogisme mengandung semua premis yang positif dan sebuah premis negative (menggunakan kata tidak atau bukan), maka kesimpulannya harus negative.

Premis Mayor  : Semua guru SD yang telah mencapai goongan III tidak perlu mengikuti Program D II Guru SD

Premis Minor   : Razad adalah guru SD yang telah mencapai golongan III.

Kesimpulan     : Karena itu, Razad tidak perlu mengikuti Program D II guru SD.

    1. Dari dua buah premis yang negative tidak dapat ditarik kesimpulan.

Premis Mayor  : Indonesia bukanlah Negara agama.

Premis Minor   : Rocky adalah orang yang tidak beragama.

Kesimpulan     : Jadi, Rocky adalah orang Indonesia.

    1. Premis mayor yang benar belum tentu menghasilkan kesimpulan yang benar jika proses penyimpulannya keliru.

Premis Mayor  : Manusia adalah makhluk berakal budi.

Premis Minor   : Jumad bodoh.

Kesimpulan     : Jadi, Jumad bukan manusia.

            Saudara, silogisme di atas disebut silogisme kategorial. Selain, itu ada pula silogisme kondisional atau hipotesis (pengandaian), dan silogisme alternative (pilihan). Perhatikan contoh berikut!

Premis Mayor  : Kalau rupiah mengalami devaluasi, harga-harga barang akan naik.

Premis Minor   : Rupiah mengalami devaluasi.

Kesimpulan     : Harga-harga barang akan naik.

Contoh silogisme alternative

Premis Mayor  : Penyebab kegagalan panen sekarang adalah kekurangan air atau                               huma.

Premis Minor   : Penyebab kegagalan panen sekarang bukan hama.

Kasimpulan     : Sebab itu, kegagalan panen sekarang adalah kekurangan air.

Dalam kenyataan sehari-hari, kita jarang mengunakan bentuk silogisme secara lengkap. Demi kepraktisan, bagian silogisme yang dianggap telah dipahami, dihilangkan (Guinn dan Marder, 1987). Inilah yang disebut entimem. Perhatikan sebuah contoh silogisme lengkap!

Contoh 15

Premis Mayor  : Semua rentenir adalah penghisap darah orang yang sedang         kesusahan.

            Premis Minor   : Pak Jadam adalah rentenir.

Kesimpulan     : Jadi, Pak Jadam adalah pengisap darah orang yang sedang    kesusahan.

            Kalau proses berfikir diungkapkan seperti itu rasanya akan kaku dan tidak praktis. Oleh karena itu, kita akan mengatakannya dalam bentuk entimem, “Pak Jadam adalah rentenir, yang menghisap darah orang yang sedang dilanda kesusahan.”

            Untuk mengetes keabsahan sebuah entimem, kembalikanlah pada silogisme asal yang lengkap, dengan mengacu pada prinsip-prinsip silogisme di atas.

Saudara, demikianlah uraian tentang penalran dan jenis-jenisnya, serta kaitan penalaran dengan menulis. Mudah-mudahan Anda tidak kesulitan untuk memahaminya.

Salah Nalar

            Salah nalar (reasoning atau logical fallacy)



Page 2