Kesuksesan orang lain seharusnya dapat kita jadikan sebagai brainly

Kesuksesan orang lain seharusnya dapat kita jadikan sebagai brainly
Bersikap Seimbang untuk Dunia dan Akhirat

Oleh : Sofwan Hadikusuma, Lc, M.E

Jika ada yang bertanya, untuk apa sebenarnya manusia diciptakan di dunia ini? Sebagai seorang muslim, tentu akan mudah menjawabnya: untuk beribadah. Demikian karena tujuan penciptaan memang telah jelas dititahkan oleh Allah swt. yaitu dalam firman-Nya pada surat adz-dzariyat ayat 56 yang artinya berbunyi: “Tiadalah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (menyembahku)”. Ayat ini berlaku umum  menjelaskan bahwa tugas pokok kita sebagai manusia pada dasarnya adalah untuk beribadah semata. Namun demikian, apakah yang dimaksud dengan ibadah di sini hanya seperti yang kita bayangkan yaitu melaksanakan rukun Islam semata? Atau hanya berdiam di masjid berdzikir kepada Allah tanpa henti tanpa melakukan kegiatan apapun selainnya? Tentu tidak. Ketentuan bahwa satu-satunya tugas kita sebagai makhluk ciptaan Allah adalah untuk beribadah memang tidak dapat didustakan. Namun kenyataan bahwa kita hidup di dunia juga tidak dapat dikesampingkan.

Setiap manusia di dunia memiliki jalan takdir hidupnya masing-masing. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah saw. menerangkan bahwa nasib manusia pada hakikatnya sudah ditentukan, termasuk rezeki, ajal, amal, kesedihan, dan kebahagiaannya. Hal ini seharusnya meniscayakan adanya iman kepada Allah bahwa Dia lah satu-satunya yang berkuasa dan tiadalah manusia melakukan sesuatu apapun kecuali ditujukan untuk menggapai ridha-Nya.

Manusia memang diciptakan dengan berbagai macam watak dan karakter. Berdasarkan tingkat kesadarannya, aktivitas yang dilakukan tentu juga akan berbeda-beda. Seseorang dengan kesadaran bahwa kehidupan di dunia hanya sementara, akan bisa menyeimbangkan kebutuhan duniawi dengan akhiratnya. Sementara seseorang dengan tingkat kesadaran tidak berimbang, akan lebih condong memprioritaskan salah satu dari keduanya.

Dari Anas ra. ia berkata, Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi saw. untuk bertanya tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan, mereka menganggap ibadah mereka sedikit sekali. Mereka berkata, “Kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan Nabi saw., padahal beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang.” Salah seorang dari mereka mengatakan, “Aku akan melakukan shalat malam seterusnya.” Lainnya berkata, “Aku akan berpuasa seterunya tanpa berbuka.”  Kemudian yang lain juga berkata, “Sedangkan aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah.”

Melihat kepada potongan hadis di atas, tentu ada rasa kagum bagaimana semangat ibadah para sahabat yang sangat tinggi. Namun ternyata, setelah kabar ketiga sahabat tersebut sampai kepada Nabi saw., beliau memiliki tanggapan yang berbeda. Beliau menegaskan bahwa telah berlebih-lebihan dalam melakukan ibadah sehingga melupakan aspek kehidupan dunia, padahal amalan yang demikian tidak dicontohkannya. Pada lanjutan hadis dijelaskan bahwa Rasulullah saw. mendatangi mereka seraya bersabda, “Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertaqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang tidak menyukai sunahku, ia tidak termasuk golonganku.”

Sebaliknya, terlalu memperhatikan dunia hingga melupakan akhirat tentu juga tidak baik. Manusia memang diciptakan dengan akal dan dihiasi dengan keinginan (syahwat) pada keindahan-keindahan duniawi. Allah swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 14 yang artinya adalah, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa wanita, anak, harta, kendaraan, termasuk sawah ladang adalah keindahan dunia yang wajar jika manusia condong kepadanya. Kecintaan terhadap beberapa hal tersebut pada dasarnya adalah sah karena fitrah manusia memang diciptakan demikian. Namun kemudian menjadi tidak wajar jika kecintaan yang timbul menjadi berlebihan, apalagi menjadikan kesemuanya itu hanya sebagai tujuan hidup tanpa memperhatikan urusan akhirat.

Sejatinya, dunia memang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 29 yang artinya berbunyi, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” Dipahami dari ayat ini adalah bahwa bumi dijadikan untuk manusia, artinya manusi memiliki hak untuk memanfaatkan segala apa yang ada di dalamnya. Pemanfaatan itu tentu harus dipahami pada hal-hal yang mengandung maslahat saja, termasuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier, dalam ukuran yang diizinkan oleh syariat.

Tentu kita semua pernah mendengar atau membaca kisah viral seseorang yang memiliki kekayaan tiada bandingannya di muka bumi ini, Qarun. Dikisahkan bahwa pada awalnya Qarun adalah seseorang yang miskin. Lalu dia meminta Nabi Musa as. untuk mendoakannya agar diberikan kekayaan kepadanya. Doa itu akhirnya dikabulkan dan Qarun lantas menjadi orang yang kaya. Al-Quran menggambarkan betapa kekayaan tersebut sangat melimpah. Saking kayanya, bahkan kunci-kunci gudang hartanya sangat berat dan harus diangkat oleh beberapa orang kuat. Namun, kecintaannya yang berlebihan terhadap harta kekayaannya memunculkan perasaan sombong yang pada akhirnya mengantarkannya pada kebinasaan.

Imam Bukhari meriwayatkan satu hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. berkata, “Celaka budak dinar, dirham, dan kain (qathifah). Jika diberi dia ridha, jika tak diberi dia tak rela.” Melalui hadis tersebut, Rasulullah saw. menekankan bahwa sungguh tak elok manusia yang hatinya terpaku pada keberadaan harta. Menjadi kaya memang tidak salah, tapi menempatkan kekayaan pada hati tidaklah dianjurkan. Tercatat dalam sejarah, tidak sedikit para alim ulama yang mempunyai kekayaan yang banyak, namun kekayaan tersebut tidak menggoyahkan hati mereka dalam menyikapi kehidupan di akhirat.

Islam menganjurkan keseimbangan dalam menyikapi kehidupan dunia dan akhirat. Tidak berlebihan pada dunia, sebaliknya juga tidak berlebihan pada akhirat. Dalam surat Al-Qashash ayat 77 Allah swt. berfirman, “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa akhirat memang telah disediakan sebagai tempat kembali, namun sebelumnya manusia juga ditakdirkan hidup di dunia. Dengan begitu, sebagaimana akhirat harus dipersiapkan, dunia juga harus dijadikan tempat mempersiapkan hidup di akhirat kelak.

Dalam sebuah ungkapan dikatakan bahwa dunia adalah ladang akhirat (ad-dunya mazra’at al-akhirah). Maksudnya adalah bagaimana kita harus bersikap terhadap dunia untuk menjadikannya sebagai ladang di mana kita menanam berbagai amal baik untuk dipanen nantinya di akhirat. Jika amal yang kita tanam berasal dari bibit yang kurang baik, kita harus bersiap memanen hasil yang kurang baik. Sebaliknya jika yang kita tanam berasal dari bibit yang baik, maka kita akan bergembira dengan hasil yang baik pula di akhirat kelak. Allah berfirman, “Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun dia akan melihat (balasan)nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun dia akan melihat (balasan)nya pula.”

Dalam konteks ajaran dan nilai Islam, wacana Moderasi Beragama pada dasarnya bukan berupa spirit yang tumbuh dan hadir belakangan. Nalar dan wacana ini bukan pula karena berupa solusi baru atas persoalan toleransi dan heteregonitas, misalnya. Patut disadari, nilai dan perspektif Moderasi Beragama telah inheren pada diri Rasulullah Muhammad SAW, pada ajaran-ajarannya, terukur dalam sikapnya, dan terpancar pada tindakannya.

Rentang kesejarahan dengan periode nubuwwah telah demikian lama, namun Muhammad SAW memberi teladan perilaku dan inspirasi yang demikian nyata dalam mengelola heterogenitas dengan prinsip penghargaan terhadap hak asasi dan sikap saling memuliakan. Di luar jaminan Al Quran atas semua keutamaannya, teladan dan tindakan Muhammad SAW tersebut dengan sendirinya menempatkannya menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, baik yang beriman kepadanya maupun yang tidak.  

Tidak ditemukan dalam al-Quran seorang pun yang dijuluki dengan Rahmat, kecuali Rasulullah Muhammad SAW, dan tidak juga satu pun makhluk yang disifati dengan sifat Allah ar-Rahim, kecuali Rasulullah Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT sebagai bentuk rahmat dan rasa kasih sayang, karunia, dan nikmat yang diberikan kepada makhlukNya di seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin). Rahmatan lil alamin menunjukkan bahwa kehadiran Rasulullah di tengah kehidupan masyarakat mewujudkan rasa kedamaian dan ketentraman bagi alam semesta dan manusia tanpa membedakan agama, suku, dan ras. Rasulullah menjadi rahmat bagi semesta, termasuk di dalamnya adalah  hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Hal ini sesuai denga apa yang terkandung dalam Al Quran, Surat Al Anbiya ayat 107, yaitu :

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعاٰلَمِينَ

Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menyatakan, meski redaksi QS. Al-Anbiya’ (21) ayat 107 itu sangat singkat tetapi mengandung makna yang sangat luas. Hanya dengan 5 kata yang terdiri dari 25 huruf, termasuk huruf penghubung, ayat ini merangkum empat hal pokok, yaitu: 1) Rasul/utusan Allah, dalam hal ini Nabi Muhammad SAW; 2) yang mengutus beliau dalam hal ini Allah SWT; 3) yang diutus kepada mereka (al-alamiin); dan 4) risalah, yang kesemuanya mengisyaratkan sifat-sifatnya, yakni rahmat yang sifatnya sangat besar sebagaimana dipahami dari bentuk nakirah dari kata tersebut. 

Istimewanya, kehadiran Muhammad SAW adalah sebuah kesemestaan yang mengatasi waktu dan tempat, karena bukan saja membawa ajaran, tapi lebih jauh adalah rahmat yang dianugerahkan Allah SWT. Ayat ini tidak menyatakan bahwa: Kami tidak mengutus engkau (hai Muhammad) untuk membawa rahmat, tetapi sebagai rahmat atau menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Terdapat empat sifat ketauladanan yang dimiliki Nabi Muhammad SAW yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu Siddik (jujur), Amanah (dapat dipercaya), Tabliq (menyiarkan), dan Fathanah (cerdas). Sifat ini menjadi dasar kepribadian yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW yang menjadikannya figur utama dengan segala nilai kebaikan dan egaliter dalam bersosialisasi. 

Jalan Moderatisme

Sejarah Islam sudah mengenal Hak Asasi Manusia (HAM) sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Islam sudah lebih lama mengenal apa yang disebut dengan HAM, yaitu dengan adanya Piagam Madinah pada tahun 622 M. Para sejarawan dan aktivis HAM Islam menilai pidato terakhir Rasulullah saat Haji Wada' sebagai dokumen tertulis pertama yang berkaitan dengan HAM.  

Pidato Rasulullah yang disampaikan pada tahun 632 M dan dikenal dengan Deklarasi Arafah itu, merupakan dokumen tertulis pertama yang berisi nilai, wacana, dan konsensus HAM. Dunia internasional baru mengenal HAM ribuan tahun setelah adanya konsep HAM dalam dunia Islam yang sudah ada sejak Abad ke VII. Secara universal, dunia internasional mengenal HAM baru terjadi pada tahun 1948. Sebaliknya, Islam telah mengenalnya terlebih dahulu, lebih kurang 1316 sebelumnya. Oleh karena itu, umat Islam tidak perlu merasa asing dan ketinggalan dengan HAM yang ada saat ini. Sebab, sejatinya Islam sudah mengenal HAM sejak ribuan tahun yang lalu.

Sebelum momentum hijrah ke Madinah (nama sebelumnya Yasrib), telah banyak di antara penduduk kota ini memeluk Islam. Penduduk Madinah pada mulanya terdiri dari suku-suku bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang saling berhubungan dengan baik. Dari bangsa Yahudi tersebut suku-suku bangsa Arab sedikit banyak mengenal Tuhan, agama Ibrahim, dan sebagainya. Dasar konsep keimanan ini pada kelanjutannya turut memudahkan mereka menerima ajaran Islam. 

Kedatangan Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimin Makkah disambut penduduk Madinah dengan gembira dan penuh rasa persaudaraan. Kaum muslimin mendapat lingkungan baru yang bebas dari ancaman kaum Quraisy Makkah. Akan tetapi, lingkungan baru tersebut ternyata bukanlah lingkungan yang sepenuhnya kondusif dan tidak memiliki masalah.

Secara umum, masalah dasar yang dihadapi pada momentum hijrah ke  Madinah dan setelahnya adalah perbedaan latar sosial dan tantangan penghidupan Muhajirin dan Anshar, serta problem perbedaan identitas keberagamaan di dalamnya.  Kaum Anshar memang dengan ikhlas menerima kaum Muhajirin, namun penghidupan kaum Muhajirin juga patut dikelola agar tidak menjadi beban kaum Anshar. Nabi Muhammad SAW sendiripun memerlukan tempat tinggal yang sekaligus berfungsi sebagai pusat kegiatan bersama, dalam rangka membimbing masyarakat baru di Madinah.

Nabi Muhammad SAW dan kaum Muhajirin juga menghadapi kenyataan dan tantangan baru dengan hijrah ke Madinah, yakni kenyataan untuk hidup berdampingan bersama masyarakat suku bangsa Arab yang belum masuk Islam dan kaum Yahudi yang sudah menjadi penduduk Madinah. Mereka ini, lebih-lebih kaum Yahudi, tentunya tidak merasa senang dengan terbentuknya masyarakat baru kaum muslimin. Dengan potensi disintegratif demikian, ancaman kaum Quraisy Makkah yang sewaktu-waktu dapat datang menyerbu, merupakan kenyataan lainnya yang tidak dapat diabaikan.

Menghadapi perbedaan identitas sosial kaum Muhajirin dan Anshar, Muhammad SAW memberikan solusi moderatisme yang tepat dan jitu. Muhammad SAW berusaha menyatukan potensi dan kekuatan yang ada dengan semangat menyusun suatu masyarakat baru sebagai kesatuan sosial dan politik yang terus berkembang untuk menghadapi segenap tantangan dan rintangan yang berasal dari dalam dan luar.

Jalan moderatisme Muhammad SAW jelas tidak pernah mudah. Kaum Anshar dan kaum Muhajirin disatukan dari latar yang berbeda secara geografis, keimanan, dan adat istiadat. Sebelum bersatu membentuk masyarakat Islam baru di Madinah, kaum muhajirin adalah suku bangsa yang terbiasa dan kerap berselisih. Hijrah ke Madinah, mereka berhadapan dengan masyarakat Madinah lainnya yang belum memeluk agama Islam dan bangsa Yahudi yang merupakan masyarakat lebih awal menetap. Bukan tidak mungkin, orang-orang Yahudi tersebut berusaha untuk merintangi, bahkan menghancurkan pembentukan masyarakat baru kaum muslimin.

Begitu pula dengan kaum lainnya, yaitu kaum musyrikin Makkah yang merupakan ancaman yang harus selalu dihadapi dengan kewaspadaan penuh. Adalah sangat mungkin jika kaum musyrikin Makkah bekerja sama dengan kaum musyrikin Madinah, atau dengan orang-orang Yahudi, bahkan dengan kabilah-kabilah lain di sekitar Madinah, dalam usaha menghancurkan umat Islam yang baru dibentuk itu.

Atas segala kerumitan relasi dan potensi perpecahan sosial tersebut, Nabi Muhammad SAW menulis sebuah perjanjian untuk membangun dan mengikat perpaduan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Kaum Yahudi Madinah (dari suku Aus dan Khazraj) juga turut menandatanganinya. Nabi Muhammad SAW menyetujui untuk menghormati agama dan harta mereka menurut persyaratan yang disepakati bersama. Selain itu, dokumen tersebut berisi kesepakatan untuk menghormati prinsip-prinsip nilai kebebasan, ketertiban, dan keadilan dalam kehidupan. 

Kelak, perjanjian ini seterusnya lebih masyhur dikatakan sebagai Piagam Madinah. Dengan cara ini, Yatsrib dan sekitarnya dinyatakan sebagai zona perdamaian serta merupakan tempat suci.

Praksis Toleransi

Toleransi yang diwujudkan dalam sikap berdiri di atas keadilan dan kebaikan tersebut oleh Nabi Muhammad SAW ditunjukkannya ketika berinteraksi dengan non-muslim yang berdamai dan tidak melakukan permusuhan. Imam Al-Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Asma binti Abi Bakar bahwa ibunya yang musyrik pernah datang kepadanya. Lalu dia meminta fatwa kepada Rasulullah. Asma bertanya, "Ibuku datang kepadaku dan dia ingin agar aku berbuat baik kepadanya. Apakah aku harus berbuat baik kepadanya?" Rasulullah menjawab, "Ya, berbuat baiklah kepadanya."

Sikap toleran Muhammad SAW tersebut semakin jelas terlihat ketika beliau memperlakukan Ahli Kitab, baik Yahudi ataupun Nasrani. Beliau sering mengunjungi mereka. Beliau juga menghormati dan memuliakan mereka. Jika ada di antara mereka yang sakit, beliau menjenguknya. Beliau pun menerima hadiah mereka dan memberi hadiah kepada mereka. 

Dalam sirahnya, Ibnu Ishaq menyebutkan, "Ketika rombongan kaum Nasrani Bani Najran datang kepada Rasulallah SAW di Madinah, mereka menemui beliau di dalam masjid selepas salat Asar. Mereka masuk masjid dan salat di sana. Orang-orang pun hendak melarang mereka, namun Nabi berkata, biarkan mereka. Lalu mereka pun salat dengan menghadap ke arah Timur." 

Atas kejadian tersebut, Ibnul Qayyim memberikan sebuah komentar yang mengandung muatan fikih. Dia menulis, "Ahli Kitab boleh memasuki masjid dan melaksanakan salat di masjid di hadapan umat Islam, dengan syarat hal tersebut dilakukan jika ada sesuatu sebab dan tidak menjadi kebiasaan.” 

Di dalam Al-Amwal Abu Ubaid menyebutkan sebuah riwayat dari Said bin Al-Musayyib, bahwa Rasulullah SAW pernah mengeluarkan shadaqah kepada keluarga orang Yahudi. Al-Bukhori meriwayatkan dari Anas, bahwa Nabi pernah menjenguk orang Yahudi. Lalu beliau mengajaknya untuk masuk Islam hingga dia masuk Islam. Setelah itu, beliau keluar dan bersabda, "Segala puji bagi Allah yang dengan perantaraku telah menyelamatkan dia dari api neraka." 

Dalam hadits lain, Al-Bukhori meriwayatkan, ketika Rasulullah SAW wafat, baju perangnya masih digadaikan kepada orang Yahudi untuk memberi nafkah keluarganya. Padahal, beliau bisa meminjam kepada para sahabat. Namun ini tidak berarti bahwa para sahabat kikir kepada beliau. Beliau hanya ingin memberikan pelajaran kepada umatnya, bahwa beliau menerima hadiah dari non-muslim, selama mereka tidak berbuat jahat dan makar, dalam keadaan damai maupun perang. 

Contoh lainnya, suatu hari jenazah seorang Yahudi lewat di depan Nabi. Lalu beliau berdiri. Para sahabat berkata, "Itu adalah jenazah Yahudi!," beliau menjawab, "Bukankah dia juga manusia?" Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang moderat, sangat menghargai semua orang walaupun berbeda suku, ras, dan agama. 

Penekanan Nabi Muhammad SAW terhadap toleransi dalam Piagam Madinah dan berbagai praktik baik tersebut mencerminkan upayanya untuk mewujudkan kedamaian dan ketenteraman masyarakat dengan segala perbedaannya. Sikap toleran mendorong sikap kasih sayang terhadap sesama umat manusia, pun sesama agama, juga mereka yang berbeda agama. 

Tentu saja, pandangan moderat Nabi Muhammad SAW diuji oleh sikap perlawanan, fitnah, dan cemoohan pihak yang tidak bersetuju. Namun demikian, terhadap semua tindakan negatif tersebut, Rasulullah Muhammad SAW tetap bersikap lemah lembut. Sikap demikian menimbulkan simpati dan keinginan golongan non muslim untuk memasuki Islam. Selain itu, sifat Rasulullah ini dapat membuat golongan non-muslim yang ada di Madinah mendengarkan seruan-seruan kebaikan dan perdamaian yang disampaikannya. Wallahu a'lam bis-shawab

Dr. Biltiser Bachtiar, Lc, MA (Pengembang Teknologi Pembelajaran Direktorat PAI Kemenag RI)