Kegiatan mendoakan orang yang meninggal 7 hari setelah kematian dinamakan

Kegiatan mendoakan orang yang meninggal 7 hari setelah kematian dinamakan

Show

Sudah menjadi sebuah tradisi di kalangan masyarakat Muslim, ketika ada sanak saudara atau keluarga yang meninggal dunia, selalu diadakan acara tahlilan yang bertujuan untuk mendoakan si mayit, agar amal solihnya diterima dan diampuni semua kesalahan yang pernah diperbuat. Oleh karena itu ahlulbaitnya mengadakan perkumpulan yang dimana isinya membaca kalimah toyyibah dan tahlil. Kalau di masyarakat kita biasa disebut dengan Tahlilan, ada juga yang menyebut dengan Fida’an. 

Acara tersebut dilaksanakan biasanya selama 7 hari sejak kematian, kemudian diteruskan sampai 40 hari maupun setiap tahun (haul). Dalam acara tersebut berisi doa bersama yang didahului dengan membaca tawassul, kemudian surat-surat pendek dst dengan ditutup membaca tahlil (Lailaha Illallah) yang jumlahnya berbeda-beda setiap daerah, dan juga tergantung Imamnya.

Pada acara tersebut juga bentuk shodaqoh (dalam wujud selamatannya) dan bersilaturrahim (dalam wujud kumpul bersama di rumah duka). Hal-hal tersebut juga sesuai dengan hadis Nabi:

1) Hadits riwayat Imam Ahmad, yaitu:

Dari ‘Amr bin ‘Abasah, beliau berkata: aku mendatangi Rosulullah SAW, lalu aku bertanya: Ya Rosulallah, apakah islam Itu..?. beliau menjawab: Bertutur tata yang baik dan menyuguhkan suatu makanan. (HR. Ahmad)

2) Hadits riwayat Imam Turmudzi, yaitu:

Dari Ibnu Abbas sesungguhnya ada seorang lelaki bertanya kepada Rosulullah SAW, Wahai Rosulallah, sesungguhnya ibuku sudah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya..?. beliau menjawab Iya, lalu lelaki berkata, Aku memilki sebidang tanah, maka aku persaksikan kepadamu bahwa aku akan mensedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku. (HR Turmudzi)

Dari beberapa hadits tersebut menggambarkan bahwa hukum shodaqoh yang pahala dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia hukumnya adalah boleh. Begitu juga hukum memperingati hari ke 3, 7, 40, 100 dan haul orang yang sudah meninggal diperbolehkan, seperti yang telah dikatakan para ulama dalam kitab mereka, antara lain:

1) Kitab al-Hawi, yaitu:

الحاوي للفتاوي (2/ 216)

ذَكَرَ الرِّوَايَةَ الْمُسْنَدَةَ عَنْ طَاوُسٍ: قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي ” كِتَابِ الزُّهْدِ ” لَهُ: حَدَّثَنَا هاشم بن القاسم قَالَ: ثَنَا L-1 الأشجعي، عَنْ سفيان قَالَ: قَالَ طَاوُسٌ: إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَيَّامَ.

قَالَ الحافظ أبو نعيم فِي ” الْحِلْيَةِ “: حَدَّثَنَا أبو بكر بن مالك، ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، ثَنَا أَبِي، ثَنَا هاشم، ثَنَا L-1 الأشجعي، عَنْ سفيان قَالَ: قَالَ طَاوُسٌ: إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَيَّامَ.

ذَكَرَ الرِّوَايَةَ الْمُسْنَدَةَ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ: قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مُصَنَّفِهِ، عَنِ الحارث بن أبي الحارث، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ: يُفْتَنُ رَجُلَانِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ، فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا، وَأَمَّا الْمُنَافِقُ فَيُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا. الْكَلَامُ عَلَى هَذَا مِنْ وُجُوهٍ:

Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut. (al-Hawiy li Fatawa li as-Suyuthi, Juz II)

2) Kitab al-Hawi Juz 2, yaitu

الحاوي للفتاوي (2/ 234)

وَلْنَخْتِمِ الْكِتَابَ بِلَطَائِفَ: الْأُولَى: أَنَّ سُنَّةَ الْإِطْعَامِ سَبْعَةُ أَيَّامٍ، بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى الْآنَ بِمَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ، فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا لَمْ تُتْرَكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى الْآنَ، وَأَنَّهُمْ أَخَذُوهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ الْأَوَّلِ. [وَرَأَيْتُ] فِي التَّوَارِيخِ كَثِيرًا فِي تَرَاجِمِ الْأَئِمَّةِ يَقُولُونَ: وَأَقَامَ النَّاسُ عَلَى قَبْرِهِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ،

Kesunatan memberikan sedekah makanan selama 7 hari merupakan perbuatan yang tetap saja berlaku sampai sekarang (yaitu masa al-Suyuthi abad ke-IX H) di Makkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama.

3) Kitab Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in, yaitu:

Dan shodaqoh untuk mayit dengan cara syar’I itu diperlukan dan tidak dibatasi harus tujuh hari atau lebih sedikit dan tidak dibatasi dengan beberapa hari dari hari-hari kematiannya. Sebagaimana sayyid Ahmad Dahlan berfatwa “telah menjadi kebiasaaan manusia shodaqoh untuk mayit pada hari ke tiga dari kematian, hari ke tujuh, hari ke dua puluh, hari ke empat puluh, hari ke seratus dan setelah itu setiap tahun pada hari kematian. Sebagaimana juga didukung oleh syekh Sunbulawaini.

Demikian penjelasan singkat tentang tahlilan 3, 7, 40, 100 hari kematian dalam Islam. Semoga dapat menjadi tambahan bacaan.

Hampir semua orang keluar rumah. Mereka berpesta kembang api. Mereka beramai rayakan malam dengan teman dan keluarga. Sesaat setelah senja, bersepakat pula mereka tentang masa bermula pesta. Jalanan penuh kendaraan bermacam merek. Lalu lintas macet menjadi pemandangan yang hampir sama di sepanjang jalanan besar. Maklum malam itu ialah malam tahun baru. Namun, suasana demikian hanya didapati di kota. Jauh di pelosok perkampungan di wilayah Kabupaten Jombang, Jawa Timur, suasana demikian sayup. Biasanya warga penduduk Desa Rejoagung merayakan malam tahun baru dengan doa bersama.

Mereka berkumpul di sebuah sekolah dasar untuk melakukan istighosah. Namun, malam itu berbeda meski mereka tetap juga berkumpul dan mendirikan tenda. Sebab doa yang mereka baca adalah doa untuk orang meninggal. Ya, malam itu masyarakat kampung tengah kehilangan salah satu warga. Lazimnya ketika terjadi sripahan (kematian), mereka berbondong-bondong mendatangi rumah keluarga yang ditinggal. Rumah tempat jenazah disemayamkan.

Mereka menghibur dan menguatkan keluarga yang tinggal mati. Tak lupa, para perempuan membawa beras atau mi instan untuk sekadar membantu keluarga duka. Para pria melakukan tugas untuk mempersiapkan prosesi penguburan, sedangkan yang lain membaca bacaan surat Al-Ikhlas. Terus-menerus mereka membaca bergantian, sampai jenazah dikuburkan.
Setelah jenazah dikuburkan, prosesi tidak berhenti. Mereka akan berkumpul lagi di rumah duka keluarga jenazah guna membaca doa. Mereka biasa menyebutnya dengan ikhlasan.

Istilah ini merujuk pada bacaan yang dilantunkan, yakni surat Al-Ikhlas. Upacara berlangsung selama 7 malam dihitung dari saat jenazah meninggal. Sebab itu pula, mereka juga menyebut dengan nama lain, pitungdinanan (7 harian). Prosesi pembacaan doa dimulai setelah saat senja. Mereka biasa memakai patokan waktu salat untuk menandai mula berkumpul setelah jemaah salat isya. Prosesi doa biasa dipimpin oleh seorang kiai. Sebelum prosesi doa dimulai, biasanya mereka duduk saling berhadapan.

Ini dilakukan agar terjadi suasana akrab di kalangan mereka. Mereka biasanya memanfaatkan beberapa saat sebelum prosesi dimulai dengan saling berbincang dan bercanda.
Namun begitu, prosesi dimulai, mereka bakal serentak menghadap ke arah kiblat. Salah satu dari pada jemaah ditunjuk untuk menjadi pemimpin doa. Keluarga jenazah menyediakan makanan bagi para pelayat. Keluarga meniatkan bersedekah yang pahalanya ditujukan pada arwah jenazah. Hal ini berlaku sampai 7 malam.

Selama itu pula, beberapa tetangga dekat datang lebih awal sebelum acara dimulai guna membantu proses penyiapan makanan. Jumlah surat yang dibaca pun ada hitungannya.
Mereka biasa menggenapkan jumlah bacaan sampai 100.000 kali. Jumlah tersebut secara keseluruhan dibagi sesuai jumlah peserta yang hadir. Mereka percaya bacaan surat Al-Ikhlas itu sangat berarti bagi jenazah di alam kubur. Mereka meyakini bacaan tersebut juga bakal menjadi penebus jenazah dari neraka. Prosesi itu tidak berhenti sampai malam ke-7. Prosesi kirim doa untuk orang meninggal juga akan dilaksanakan kembali pada hari ke-40, ke-100, dan ke-1.000.

Akulturasi budaya
Mahsunuddin, salah seorang pemuka agama, menyatakan bahwa tradisi tersebut juga punya landasan tersendiri dan telah berlangsung lama. "Itu ada landasannya, bahkan ada kitabnya," ujar Mahsunuddin. Tradisi kirim doa di Jawa secara umum disebut selametan. Namun dalam kejadian khusus seperti kematian ada sebutan lain yang juga bermakna sama, yakni fida'an atau ikhlasan. Tradisi selametan diduga berusia sangat tua. Telah berlangsung lama sejak masuknya agama Islam di tanah Jawa.

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Prof Sunyoto Usman menerangkan bahwa tradisi ini tidak terlepas dari kearifan para penyebar mula Islam di Jawa. Menurutnya, sejak jaman sebelum masuknya agama Islam, masyarakat Jawa sudah terbiasa dengan tradisi Selametan. Tradisi ini adalah tradisi mengirim sesaji untuk para arwah. Namun, dengan datangnya penyebar Islam yakni Wali Songo. Tradisi ini tidak diberangus, melainkan disesuaikan agar tidak melenceng dari ajaran Islam.

"Bentuknya tidak diubah, tapi diisi dengan doa-doa," tegas Sunyoto. Akulturasi budaya juga disebut Sunyoto sebagai pola yang terjadi dalam tradisi Selametan. Sebab dalam menyebarkan Islam, Wali Songo memakai metode akomodasionis, yakni mengakomodasi kebiasaan ritual masyarakat terdahulu dengan penyesuaian isi. Menurut Sunyoto, metode itu juga berlaku pada tradisi kenduren dan ambengan yang sampai saat ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa.

Pada akhirnya, akulturasi budaya macam inilah yang semakin menambah khazanah Nusantara. Nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, keguyuban, dan kerukunan akan tetap terjaga dan tersemai. Meski dapat dikata selalu, ketika terkait agama, pemasalahan menjadi lebih kompleks. Namun, apa pun itu. Perbedaan pemahaman, kepercayaan, bahkan keyakinan sekalipun bukanlah alasan untuk melakukan kekerasan. Baik kekerasan lahir maupun kekerasan batin. (M-2)