Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

MEMAHAMI HUKUM NIKAH MUT AH

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

BAB II TINJAUAN TENTANG NIKAH MUT AH

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

POLEMIK HADIS TENTANG NIKAH MUT AH

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

AKIBAT HUKUM NIKAH MUT AH (KAWIN KONTRAK) DAN PENCEGAHANNYA

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

MARAKNYA NIKAH MUT AH DI INDONESIA SEBUAH PENOMENA HUKUM

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

HADIS TENTANG NIKAH MUT AH. (Studi Aplikatif Isnad cum Matn)

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

KUALITAS H}ADĪTH-H}ADĪTH TENTANG NIKAH MUT AH

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

Nikah Mut ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG NIKAH MUT AH

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

PENDEKATAN EPISTEMOLOGI DAN INTERSUBJEKTIF ATAS HADIS-HADIS NIKAH MUT AH

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

NIKAH MUT AH. Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, setelah :

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

Post Fatwa Imam Mahdi Mengenai Larangan Nikah Mut ah Dan Nikah Sirri

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

STUDI KOMPARASI TENTANG NIKAH MUT AH PERSPEKTIF ULAMA SUNNI DAN SYI AH

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

NIKAH MUT AH MENURUT M. QURAISH SHIHAB DALAM TAFSIR AL-MISHBAH TESIS

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

PERKAWINAN MUT AH. Zaitun Abdullah, S.H., M.H

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

Elastisitas Hukum Nikah dalam Perspektif Hadits

Kata jujur berasal dari bahasa Arab yaitu الصّدق lawan dari الصّدق adalah

B A B I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Haji adalah ziarah paling utama dalam Islam dan dilaksanakan di Ka’bah, atau rumah Tuhan, di Mekkah. Ibadah haji dikumandangkan oleh Ibrahim a.s. sekitar 3.600 tahun lalu. Sesudah masa beliau, praktek-prakteknya sedikit atau banyak telah mengalami perubahan, namun kemudian diluruskan oleh Nabi Muhammad Saw. Ibadah haji diterima sebagai rukun Islam yang kelima. Haji atau ziarah kadangkala disebut sebagai ziarah agung, untuk membedakan dengan umrah atau ziarah yang lebih kecil. Umrah secara mendasar merupakan bagian dari haji yang dilaksanakan di Mekkah, bisa dilaksanakan secara terpisah di bulan lain sepanjang tahun. Haji ditunaikan selama bulan berdasarkan penanggalan Kamariah Islam, Dzul Hijjah, dan merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam paling tidak sekali dalam hidupnya, baik laki-laki maupun perempuan, yang memiliki prasarana finansial dan kemampuan fisik yang harus dipenuhi. Setelah melaksanakan ritual ibadah haji, para jemaah melakukan ziarah ke makam Rasulullah Saw.Yang terletak di masjid Nabawi Madinah. Banyak Hadits yang menjelaskan tentang keutamaan shalat di masjid Nabawi, salah satunya adalah apabila melaksanakan shalat di masjid Nabawi akan memperoleh pahala 1.000 kali dibandingkan masjid lain, kecuali masjidil Haram dengan pahala 100.000 kali. Dalam Hadits lain juga dijelaskan apabila melaksanakan shalat di masjid Nabawi sebanyak empat puluh kali tanpa ada yang tertinggal satu shalatpun akan dibebaskan dari api neraka dan selamat dari azab, serta terhindar dari sifat munafik. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dan al-Thabarānī, melalui sahabat Anas bin Mālik, berikut ini adalah bunyi Hadits tersebut: Nabi Saw. bersabda: مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِيْنَ صَلاةً لا تَفُوْتُهُ صَلاةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ. “Barangsiapa yang shalat di masjidku (Nabawi) empat puluh kali shalat, tidak tertinggal satu shalatpun, maka baginya pembebasan dari api neraka dan selamat dari azab, serta terhindar dari nifak (sifat munafik)”. Dari Hadits di atas, para jemaah haji sangat antusias untuk melaksanakan shalat arba’īn, demi mendapatkan shalat ini secara berjamaah mereka rela terbangun malam, tergopoh-gopoh dan berebut mendatangi masjid Nabawi. Setiap tahun antara tanggal 8-12 Dzul Hijjah sekitar 3 juta jemaah haji dari berbagai dunia menunaikan ibadah haji. Meski ibadah haji dapat diselesaikan dalam waktu 5 hari, namun umumnya jemaah haji tinggal di Arab Saudi (kota Jeddah, Mekkah, dan Madinah) dalam waktu antara 14 hari (ONH Plus) hingga 40 hari menunggu antrian keberangkatan dan kepulangan. Setelah tanggal 13 Dzul Hijjah umumnya, jamaah haji melakukan program arba’īn yakni shalat 40 kali di masjid Nabawi (shalat 5 waktu selama 8 hari), jadi antara tanggal 14-22 Dzul Hijjah mereka tinggal di Madinah.Setiap masuk waktu shalat, mereka shalat jamaah di masjid Nabawi. Jika di ambil hikmahnya maka arba’īn sebetulnya mendidik jamaah haji untuk selalu melakukan shalat 5 waktu dimasjid secara berjamaah. Biasanya jamaah sudah antri dan ketika pintu dibuka para jama’ah lari sprint 50 m untukmendapatkan tempat yang strategis (tidak terganggu dan berdesakan).Dibutuhkan kesabaran yang tinggi di Raudhah, karena sudah biasa ketika shalatjamaah lain berdiri didepan sehingga tidak bisa ruku’ dan sujud. Dudukberdempetan, tetapi masih ada saja jamaah lain memaksakan diri untuk mintaduduk. Kepala atau bahu dilangkahi atau tertendang, tangan terinjak dan perlu hati-hatidisaat sujud karena sangat berbahaya ketika lehernya terinjak jamaah lain. Carapaling aman adalah bersama teman, shalat bergantian dan saling menjaga (denganmenjulurkan tangan) ketika sedang shalat.Kadang-kadang antarjamaah saling melotot dan emosi, disinilah kesabaran diuji, tidak selayaknyaberkelahi disaat beribadah ditempat yang sangat mulia ini.Tempat mulia seperti Raudhah ini salah satu saja dari sekian banyak tempat muliaditanah suci seperti masjidil Haram dengan Ka’bah, multazam, hijir Isma’il, saatwuquf di Arafah, dan lain-lain, sayang sekali ketika kesempatan, keuangan dan kesehatan adatetapi tidak dimanfaatkan. Akan tetapi, di lain pihak masalah shalat arba’īn ini masih menjadi bahan diskusi di kalangan jemaah haji. Adapun persoalan tersebut adalah mengenai dalil atau Hadits yang kurang berdasar karena kualitas nya dho’īf (lemah), sehingga shalat sunah semacam ini kurang dapat dipertanggungjawabkan dan mengada-ada. Lain halnya, menurut Direktur Pembinaan Haji Departemen Agama, K.H. Muchtar Ilyas, dalam suatu acara di televisi swasta (Indosiar) di Jakarta beberapa waktu yang lalu menganjurkan kepada segenap umat Islam (Indonesia) agar tidak memperdulikan orang-orang yang berpendapat miring terhadap shalat arba’īn. Menurutnya, menunaikan shalat arba’īn itu sangat baik dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah Saw. Boleh-boleh saja dalil shalat arba’īn dianggap lemah tetapi apa salahnya kalau para jemaah haji melaksanakan shalat berjemaah, di masjid Nabawi, selagi masih diberikan kesempatan beribadah marilah beribadah sebaik-baiknya di kota Nabi. Sesungguhnya dalam ibadah haji itu tentu ada hikmah yang terkandung didalamnya. Allah mempersatukan jutaan umat Islam di satu tempat pada waktu yang sama bukan hanya untuk bertemu, tapi juga bersilaturrahim, membentuk ukhuwah Islamiyah dan persaudaraan Muslim. Suara-suara yang cennderung “menggugat” apakah program shalat arba’īn bagi para jemaah haji perlu dilaksanakan, sama saja mengajak jemaah haji agar tidak mengerjakan ibadah shalat sebanyak-banyaknya di masjid Nabawi. Ini sama saja dengan ‘’nyanyian setan’’ yang tidak perlu didengar. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengungkap bagaimana kualitas Hadits di atas, dan apakah Hadits tersebut berasal dari Nabi atau tidak? Dengan demikian, penelitian ini berjudul, “Takhrīj Hadīts Tentang Shalat Arba’īn”. B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui keberadaan (otentisitas) teks Hadits tentang shalat arba’īn. 2. Untuk mengetahui kehujjahan Hadits tersebut hubungannya dengan kualitas dan ta’amul. 3. Untuk mengetahui hukum yang dapat diistinbath dan hikmah yang dapat di ambil dari Hadits tersebut. 4. Untuk mengetahui problematika pemahaman Hadits tersebut dikalangan para ulama.

5. Untuk mengetahui implikasi dari Hadits tersebut terhadap pelaksanaan ibadah haji.

B A B II
METODOLOGI PENELITIAN

A. Paradigma Penelitian Hadits adalah sesuatu yang diidhafahkankepada Nabi Muhammad Saw., berupa perkataan, perbuatan, taqrīr, dan sebagainya . Dari segi jāmi’ māni’-nya, definisitersebut tidak jāmi’, sebab dalam pembahasan ilmu Hadits, yang idhafah kepada selain Nabi pun, yakni kepada sahabat, tabi’in, bahkan yang idhafah kepada Allah Swt. Yang bukan al-Qur’an disebut Hadits. Hanya saja namanya berbeda, yang idhafah kepada Nabi disebut Hadīts Marfū’, kepada sahabat Hadīts Mauqūf, kepada tabi’in Hadīts Maqthū’, dan yang idhafah kepada Allah Swt. Yang bukan al-Qur’an, disebut Hadīts Qudsi. Yang mudhaf kepada Nabi sebagai yang dideskripsi dengan “au nahwahā” (dan sebagainya) selain perkataan, perbuatan, dan taqrīr, adalah sifat, keadaan, akhlaq, peri hidup, sirah, silsilah, bahkan himmah, keseluruhannya baik sebelum diangkat jadi Rasul atau sesudahnya. Esensi dan hakikat Hadits tidak bisa dipahami hanya dengan ta’rif terminologis, namun mesti diketahui secara nyata dengan ta’rif penunjukkan atau ostensife. Yang dimaksud dengan Hadits secara riil adalah semua Hadits yang termaktub pada kitab Hadits, yakni diwan hasil dari proses riwāyah dan tadwīn yang ditekuni oleh para Muhadditsīn sampai abad keempat dan kelima Hijriyah. Kitab-kitab tersebut adalah: (1) kitab Mushannaf (awal abad kedua Hijriyah),yaitu kitab al-Muwatha’ karya Imam Mālik; (2) kitab Musnad (pertengahan abad dua sampai abad tiga Hijriyah),yaitu Musnad Hanafī, Syāfi’ī, Ahmad, Ya’qūb, ‘Ubaidillāh, Khumaidī, Musaddad, dan al-Thayūlisī; (3) kitab Sunan (abad ketiga, keempat, dan kelima Hijriyah),yaitu Sunan Abū Dāwud, al-Tirmidzī, al-Nasā’ī, Ibn Mājah, al-Dārimī, al-Dailamī, al-Daruquthnī, dan al-Baihaqī; (4) kitab Shahīh(abad ketiga dan keempat Hijriyah), yaitu Shahīh al-Bukhārī, Muslim, Ibn Hibbān, Ibn Khuzaimah, Ibn Jārud, Abū ‘Awanah, dan Mustadrak al-Hākim. Melalui periwayatan, Hadits Nabi Muhammad Saw. yang diterima (naql / tahammul) sahabat dengan mendengar apa yang disabdakan dan melihat perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad Saw., kemudian dipelihara (dhabth) dalam hafalan, amalan, dan tulisan, untuk kemudian disampaikan (al-tahrīr/al-ada) kepada sahabat yang lain, atau kepada tabi’in, selanjutnya tabi’in mengestafetkan kepada tabi’ al-tabi’in melalui proses tahammul wa al-ada, sejak thabaqah ini riwayat diisi dengan tadwin resmi sampai terkoleksinya Hadits pada kitab-kitab Hadits di atas. Melalui teori sistem dari riwayah, maka esensi Hadits dipahami dari unsur-unsurnya, yakni rawi, sanad, dan matan.Ketiga unsur ini merupakan arkan yang menunjukkan eksistensi Hadits, dan keseluruhan Hadits pada kitab Hadits tersurat lengkap meliputi unsur-unsur tersebut, dan dinamakan al-mashīdir al-ashliyyah. Dari kedua sistem diatas, maka akan diketahui mengenai kehujjahan suatu Hadits yang merupakan kapasitas sebagai manhaj atau panduan amaliah ajaran Islam, sebagai bayan terhadap al-Qur’an dan sebagai dalil yang diistinbathi. Kehujjahan Hadits ditentukan oleh kapasitas kualitasnya dan kapasitas ta’amul atau tathbiqnya.Kapasitas kualitas terbagi kedalam maqbūl dan mardūd nya suatu Hadits. Sebutan Hadits maqbūl terdiri dari Hadits Shahīh dan Hasan, sedangkan yang mardūd disebut Hadits Dho’īf. Sementara kapasitas ta’amul atau tathbiq terbagi kedalam ma’mūl bih dan ghair ma’mūl bih.Adapun Hadits yang ma’mul bih adalah Hadits yang Muhkam, Mukhtalif, Rājih, dan Nāsikh.Sedangkan Hadits yang ghair ma’mūl bih adalah Hadits yang Mutasyābih, Marjūh, Mansūkh, dan Mutawwaqaf fīh. Untuk mengetahui keberadaan atau otentisitas suatu Hadits, apakah Hadits tersebut berasal dari Nabi atau tidak, maka dapat menggunakan suatu metode yang dikenal dengan metode takhrīj al-Hadīts.Sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Mahmūd al-Thahan, takhrīj adalah penunjukkan Hadits pada tempatnya dalam kitab al-mashādir al-ashliyah, yang mengoleksinya lengkap dengan sanadnya, kemudian menerangkan kualitas dan pensyarahannya sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan definisi di atas, maka tahkrīj meliputi tiga teknik, yaitu al-Tautsiq, al-Naql, dan al-Akhdz yakni penelusuran, penukilan, dan pengutipan Hadits dari al-mashādir al-ashliyah, baik dari kitab Mushanaf, Musnad, Sunan, shahīh dan lain-lain, kemudian dihimpun lengkap dengan matn, sanad, dan rawinya. Setelah itu, dilakukan Tashhīh dan I’tibār.Tashhīh adalah menentukan kualitas Hadits dengan menilai rawi, sanad, dan matan menurut kriteria keshahihan dengan menggunakan kaidah ilmu dirayah.Untuk melengkapi, pembanding atau substitusi dari tashhīh digunakan i’tibār, dalam makna penentuan kualitis Hadits atas dasar petunjuk (qarīnah), baik i’tibār diwan, syarah atau fan. Selanjutnya, melakukan pembahasan dan pensyarahan untuk memahami kandungan makna, kapasitas ta’amul implementasinya, asbāb al-wurūd (konteks), peran bayan terhadap al-Qur’an, istinbāth ahkām, ikhtilaf dan problematika pemahaman dan pengamalannya, baik menurut pensyarah sendiri maupun sepanjang yang telah diungkapkan para ulama terdahulu. B. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode content analysis yaitu menganalisis isi dengan pendekatan Takhrīj al-Hadīts yaitu menunjukkan tempat Hadits pada sumber-sumber aslinya, di mana Hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan.

C. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan studi kepustakaan yang datanya di peroleh melalui sumber literatur (library research), yaitu kajian literatur melalui riset kepustakaan, yang bersifat kualitatif dan data yang deskriptif.

B A B III LANDASAN TEORITIS A. Takhrīj Al-Hadīts 1. Pengertian Takhrīj Takhrīj menurut arti bahasa ialah: إجتماع أمرين متضادين في شيء واحد “Kumpulan dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah” Hal ini, sebagaimana tersebut dalam kamus: 1) وعام فيه تخريج, yang berarti حصبdan جد ب: subur dan menarik 2) وارض مخرجة (seperti bentuk kata منقشة ), yang berarti tanaman bumi yang terpisah-pisah. 3) وخرج اللوح تخريجا, yang berarti menulis sebagian dan meninggalkan yang lain. 4) الخرجyang berarti dua warna putih dan hitam. Takhrīj ini dapat diartikan juga dalam beberapa arti, dan yang paling populer di antaranya adalah: 1) الاستنباط: mengeluarkan, sebagaimana kata-kata dalam kamus: الاستخراج danالاختراجyang berarti mengeluarkan. 2) التدريب : meneliti, sebagaimana kata-kata dalam kamus: خرّجه في الادب فتخرّج, yang berarti: خريجdengan bentuk isim maf’ūl (seperti bentuk kata: عنين) artinya sesuatu yang dikeluarkan. 3) التوجيه: menerangkan sebagaimana perkataan: خرّج المسئلة, yang berartiوجّههاartinya menjelaskan masalah dari satu segi. Dan kata :المخرج, berarti tempat keluar, seperti perkataan: خرج مخرجا حسناartinya, keluar pada tempat ke luar yang baik, dan perkataan:هذا مخرجهartinya, inilah tempat keluarnya. Menurut Mahmūd al-Thahan, termasuk pengertian takhrīj adalah perkataan muhadditsīn: هَذَا حَدِيْثٌ عُرِفَ مَخْرَجُهُ اي الخُرُوْجُ نَقِيْضُ الدُّخُوْلِ وَقَدْ أَخْرَجَهُ وَخَرَّجَ بِهِ Arti kalimat tersebut ialah inilah hadits yang telah diketahui tempat keluarnya, yaitupara rawi di mana sanad Hadits ini keluar dari jalan mereka. Dalam kamus Lisān al-‘Arab disebutkan kata-kata: “الاخراج”. Al-Khurūj adalah lawan ad-dukhūl, dan ia telah mengeluarkannya dan keluar dengannya, maka makna kata الابراز dan الاظهارartinya menjelaskan, sebagaimana makna firman Allah: كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُartinya, “Sebagaimana tanaman yang menampakan anak buahnya.” Menurut Mahmūd al-Thahan, termasuk pengertian takhrīj adalah perkataan muhadditsīn tentang suatu hadits: أَخْرَجَهُ البُخَارِيُّ artinya Al-Bukhārī telah mengeluarkannya. Maksudnya, menjelaskan kepada orang lain tentang tempat keluarnya. Demikian ini, dengan menyebutkan para perawi dalam sanad sebagai jalan keluarnya hadits itu. Demikian juga, perkataan mereka: خَرَّجَهُ البُخَارِيُّ, yang berarti: أَخْرَجَهُartinya mengeluarkannya. Maksudnya, menyebutkan tempat keluarnya. Kata-kata inilah yang merupakan dasar pembentukan (isytiqaq) para ahli Hadits terhadap kata: التَّخْرِيْجُ yang berarti menjelaskan tempat keluarnya Hadits dengan menyebutkan para perawi dalam Hadits. Menurut istilah Muhadditsīn, takhrīj diartikan dalam beberapa pengertian: 1) Dalam arti al-ikhrāj yang semaksud dengan al-riwāyah, yakni proses penerimaan, pemeliharaan, dan penyampaian hadits, sampai ditadwin dalam kitab Hadits. 2) Dalam arti al-istikhrāj yang semaksud dengan penukilan atau pengutipan Hadits dari suatu kitab dipindahkan dan dihimpun dalam kitab lain. Takhrīj dalam cara ini antara lain dilakukan oleh para Muhadditsīn muta’akhirīn yang menghimpun Hadits dalam tema tertentu yang dikutip dari kitab-kitab Hadits, seperti kitab Riyādh al-Shālihīn oleh al-Nawawī, kitab Bulūgh al-Marām oleh al-‘Asqalānī, kitab al-Lu’lu wa al-Marjān oleh Fuad ‘Abd al-Bāqī. Kitab takhrīj juga mengutip dan menghimpun Hadits-hadits dari kitab tafsir dan lainnya. 3) Dalam arti al-Dilālah, yakni penunjukan atau refering suatu Hadits kepada kitab Hadīts al-Mashādir al-Ashliyah dengan pembahasan seperlunya. Dari konotasi Takhrīj pada makna al-dilālah dikembangkan al-Takhrīj sebagai suatu metode studi Hadits yang jelas esensinya, teknik-tekniknya, dan proses kegiatannya atau langkah-langkahnya. Menurut M. Syuhudi Ismail, istilah yang biasa dipakai oleh ulama Hadits, kata al-takhrīj mempunyai beberapa arti yaitu: 1) Mengemukakan Hadits kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan Hadits itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh. 2) Ulama Hadits mengemukakan berbagai Hadits yang telah dikemukakan oleh para guru Hadits, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan. 3) Menunjukan asal-usul Hadits dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab Hadits yang disusun oleh para mukharrij-nya langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadits yang mereka riwayatkan) 4) Mengemukakan Hadits berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab Hadits, yang di dalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanad-nya masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas Haditsnya. 5) Menunjukan atau mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang didalamnya dikemukakan Hadits itu secara lengkap dengan sanad-nya masing-masing; kemudian, untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas Hadits yang bersangkutan. Bila kelima pengertian al-takhrīj itu diperhatikan, maka pengertian yang dikemukakan butir pertama merupakan salah satu kegiatan yang telah dilakukan oleh para periwayat Hadits yang menghimpun Hadits ke dalam kitab Hadits yang mereka susun masing-masing, misalnya Imam al-Bukhārī dengan kitab Shahīh¬-nya, Imam Muslim dengan kitab Shahīh¬-nya, dan Abū Dāwud dengan kitab Sunan-nya. Pengertian al-takhrīj yang dikemukakan pada butir kedua telah dilakukan oleh banyak ulama Hadits , misalnya oleh Imam al-Baihaqī, yang telah banyak “mengambil” Hadits dari kitab al-Sunan yang disusun oleh Abū al-Hasan al-Basrī al-Saffar, lalu al-Baihaqī mengemukakan sanad-nya sendiri. Pengertian al-takhrīj pada butir ketiga banyak dijumpai pada kitab-kitab himpunan Hadits, misalnya Bulūgh al-Marām susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalānī.Dalam melakukan pengutipan Hadits pada karya tulis ilmiah, mestinya diikuti pengertian al-takhrīj pada butir ketiga tersebut, dengan dilengkapi data kitab yang dijadikan sumber. Dengan demikian, Hadits yang dikutip tidak hanya matn-nya saja, tetapi minimal juga namamukharrij-nya dan nama periwayat pertama (sahabat Nabi) yang meriwayatkan Hadits yang bersangkutan. Pengertian istilah al-takhrīj yang dikemukakan pada butir keempat, biasanya digunakan oleh ulama Hadits untuk menjelaskan berbagai Hadits yang termuat di kitab tertentu, misalnya kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn susunan Imam al-Ghazālī (wafat 505 H./1111 M.), yang dalam penjelasannya itu dikemukakan sumber pengambilan tiap-tiap Hadits dan kualitasnya masing-masing. Zainuddīn ‘Abdurrahmān bin al-Husain al-‘Iraqī (wafat 806 H./1404 M.) telah menyusun kitab takhrīj Hadits untuk kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn dengan judul Ikhbar al- Ihyā’ bi Akhbar al- Ihyā’, sebanyak empat jilid. Adapun pengertian al-takhrīj yang digunakan untuk maksud kegiatan penelitian Hadits lebih lanjut ialah pengertian yang dikemukakan pada butir kelima. Berangkat dari pengertian itu, maka yang dimaksud dengan Takhrīj al-Hadīts dalam hal ini ialah penelusuran atau pencarian Hadits pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari Hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matn dan sanad Hadits yang bersangkutan. Sedangkan pengertian takhrīj menurut istilah, sebagaimana penjelasan yang dikemukakan oleh Mahmūd al-Thahan yaitu: ألدِّلالَةُ عَلَى مَوْضِعِ الْحَدِيْثِ فِى مَصَادِرِ الاصْلِيَّةِ الَّتِى أَخْرَجَتْهُ بِسَنَدِهِ ثُمَّ بَيَانِ مَرْتَبَتِهِ عِنْدَ الْحَاجَةِ “Menunjukan tempat Hadits pada sumber-sumber aslinya, dimana hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan” 2. Kepentingan, Kegunaan, dan KebutuhanTakhrīj Orang-orang yang mempelajari ilmu-ilmu syar’i sangat penting untuk mengetahui masalah takhrīj, kaidah, dan metodenya supaya dapat melacak suatu Hadits sampai pada sumber aslinya. Tetapi, yang lain juga—selain orang-orang yang mempelajari ilmu-ilmu syar’i—penting mempelajarinya untuk menambah wawasan dan menjaga eksistensi keilmuan Hadits, karena hari ini jarang orang yang mengetahui secara mendalam tentang keilmuan Hadits sehingga kalau kasusnya seperti itu, maka keilmuan Hadits tidak akan berkembang. Kegunaan takhrīj sangat besar, terutama bagi orang yang mempelajari Hadits dan ilmunya.Dengan takhrīj, seseorang mampu mengetahui tempat Hadits pada sumber aslinya, yang mula-mula dikarang oleh para imam ahli Hadits. Kebutuhan akan takhrīj sangat perlu, karena orang yang mempelajari ilmu tidak akan dapat membuktikan (menguatkan) dengan suatu Hadits atau tidak dapat meriwayatkannya, kecuali setelah mengetahui ulama-ulama yang telah meriwayatkan Hadits dalam kitabnya dengan dilengkapi sanadnya. Oleh sebab itu, masalah takhrīj ini sangat dibutuhkan setiap orang yang membahas atau menekuni ilmu-ilmu syar’i dan yang sehubungan dengannya. Bagi seorang peneliti Hadits, kegiatan takhrīj al-Hadīts sangat penting. Tanpa dilakukan kegiatan takhrīj al-Hadīts terlebih dahulu, maka akan sulit diketahui asal-usul riwayat Hadits yang akan diteliti, berbagai riwayat yang telah meriwayatkan Hadits itu, dan ada atau tidak adanya korroborasi(syāhid atau mutabi’) dalam sanad bagi Hadits yang ditelitinya. Dengan demikian, minimal ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrīj al-Hadīts dalam melaksanakan penelitian Hadits.Berikut ini dikemukakan ketiga hal tersebut. a. Untuk mengetahui asal-usul riwayat Hadits yang akan diteliti Suatu Hadits akan sangat sulit diteliti status dan kualitasnya bila terlebih dahulu tidak diketahui asal-usulnya. Tanpa diketahui asal-usulnya, maka sanad dan matn Hadits yang bersangkutan sulit diketahui susunannya menurut sumber pengambilannya. Tanpa diketahui susunan sanad dan matn-nya secara benar, maka Hadits yang bersangkutan akan sulit diteliti secara cermat. Untuk mengetahui bagaimana asal-usul Hadits yang akan diteliti itu, maka kegiatan takhrīj perlu dilakukan terlebih dahulu. b. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi Hadits yang akan diteliti Hadits yang akan diteliti mungkin memiliki lebih dari satu sanad. Mungkin saja, salah satu sanad Hadits itu berkualitas dha’īf, sedang yang lainnya berkualitas shahīh, maka terlebih dahulu harus diketahui seluruh riwayat Hadits yang bersangkutan. Dalam hubungannya untuk mengetahui seluruh riwayat Hadits yang sedang akan diteliti, maka kegiatan takhrīj perlu dilakukan. c. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya syāhid dan mutabi’ pada sanad yang diteliti Ketika Hadits diteliti salah satu sanad-nya, mungkin ada periwayat lain yang sanad-nya mendukung pada sanad yang sedang diteliti. Dukungan (corroboration) itu bila terletak pada bagian periwayat tingkat pertama, yakni tingkat shahabat Nabi, disebut sebagai syāhid, sedang bila terdapat di bagian bukan periwayat tingkat shahabat disebut sebagai mutabi’.Dalam penelitian sebuah sanad, syāhid yang didukung oleh sanad yang kuat dapat memperkuat sanad yang sedang diteliti.Begitu pula mutabi’ yang memiliki sanad yang kuat, maka sanad yang sedang diteliti mungkin dapat ditingkatkan kekuatannya oleh mutabi’ tersebut.Untuk mengetahui, apakah suatu sanad memiliki syāhid atau mutabi’, maka seluruh sanad Hadits itu harus dikemukakan.Itu berarti, takhrīj al-Hadīts harus dilakukan terlebih dahulu.Tanpa kegiatan takhrīj al-Hadīts, tidak dapat diketahui secara pasti seluruh sanad untuk Hadits yang sedang diteliti. 3. Sejarah Singkat Takhrīj Para ulama dan peneliti Hadits terdahulu tidak membutuhkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok takhrīj (ushūl al-takhrīj), karena pengetahuan mereka sangat luas dan ingatan mereka sangat kuat terhadap sumber-sumber sunah.Ketika mereka membutuhkan Hadits sebagai penguat, dalam waktu singkat mereka dapat menemukan tempatnya dalam kitab-kitab Hadits, bahkan juznya.Atau setidaknya mereka dapat mengetahuinya dalam kitab-kitab Hadits berdasarkan dugaan yang kuat.Disamping itu, mereka mengetahui sistematika penyusunan kitab-kitab Hadits, sehingga mudah bagi mereka untuk mempergunakan dan memeriksa kembali guna mendapatkan Hadits. Hal seperti itu juga mudah bagi orang yang membaca Hadits pada kitab-kitab selain Hadits, karena ia berkemampuan mengetahui sumbernya dan dapat sampai pada tempatnya dengan mudah. Keadaan seperti itu berlangsung sampai berabad-abad, hingga pengetahuan para ulama tentang kitab-kitab Hadits dan sumber aslinya menjadi sempit, maka sulitlah bagi mereka untuk mengetahui tempat-tempat Hadits yang menjadi dasar Ilmu Syar’i, seperti Fiqh, Tafsir, Sejarah, dan sebagainya. Berangkat dari kenyataan inilah, sebagian ulama bangkit untuk membela Hadits dengan cara menakhrijkannya dari kitab-kitab selain Hadits, menisbatkannya pada sumber asli, menyebutkan sanad-sanadnya, dan membicarakan keshahihan dan kedha’ifannya sebagian atau seluruhnya, maka timbullah kitab-kitab takhrīj. Kitab yang mula-mula dikarang, sejauh pengetahuan kami adalah kitab-kitab yang ditakhrijkan Haditsnya oleh al-Khathīb al-Baghdādī (463 H.). Di antaranya kitab-kitab yang populer ialah: Takhrīj al-Fawā’id al-Muntakhabah al-Shihāh wa al-Gharā’ib karya al-Syarīf Abū al-Qāsim al-Husaimī; Takhrīj al-Fawā’id al-Muntakhabah al-Shihāh wa al-Gharā’ib karya Abū al-Qāsim al-Mahrawanī, keduanya masih berupa manuskrip, serta kitab Takhrīj Ahādīts al-Muhazzab karya Muhammad bin Mūsā al-Hazimī al-Syāfi’ī (w. 584 H.) dan kitab al-Muhazzab karya Abū Ishāq al-Syirāzī. Setelah itu, kemudian berturut-turut muncul kitab-kitab takhrīj, hingga menjadi populer dan banyak sekali jumlahnya sampai berpuluh-puluh kitab.Karena itu, ulama ahli Hadits mempunyai perhatian yang besar terhadap kitab-kitab yang telah ditakhrijkan Haditsnya dan berikutnya mereka mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap Hadits Nabi, sehingga tertutuplah kesempatan yang banyak untuk menjelaskan kitab-kitab Hadits. Seandainya mereka tidak menempuh usaha yang besar ini, tentu terdapat ketimpangan yang banyak dalam mengembangkan kitab-kitab ilmu syar’i dan dewasa ini akan mengalami susah payah untuk mencari sumber-sumber Hadits. Kemudian datanglah masa yang jauh berbeda dengan masa-masa tersebut, yaitu jika seseorang yang menuntut ilmu menjumpai suatu Hadits dalam kitab yang hanya menyebutkan petunjuk singkat terhadap sumber aslinya, maka ia tidak mengetahui cara memperoleh teks Hadits tersebut pada sumber aslinya. Hal ini karena terbatasnya pengetahuan mereka tentang cara penyusunan kitab yang menjadi sumber asli tersebut dan pembagian babnya. Demikian juga, jika ia hendak menguatkan dengan Hadits dalam suatu pembahasannya, sedang ia mengetahui bahwa Hadits yang dimaksud terdapat dalam Shahīh¬al-Bukhārī, Musnad Ahmad, atau Mustadrak al-Hākim, maka ia tidak akan mendapatkannya dalam sumber asli, karena mereka tidak mengetahui sistematika penyusunannya. Pada perkembangan selanjutnya, banyak para ilmuan yang concern terhadap Hadits termotivasi untuk menulis kitab tentang metode menakhrijkan Hadits, sistematika kitab, tertibnya, pembagian bab-babnya, dan carapenggunaannya, sebagaimana dalam kitab-kitab Fahras (kamus Hadits), kitab-kitab maraji’ Hadits, yang merupakan kitab kamus Hadits dengan cara yang mudah bagi seseorang guna mendapatkan teks Hadits dalam waktu yang singkat. B. Metode Takhrīj Al-Hadīts Berdasarkan pengertian di atas, menurut Endang Soetari Ad., takhrīj meliputi tiga teknik lengkap dengan kegiatan dan langkah-langkahnya sebagai berikut: 1. Al-Tautsīq, al-Naql, dan al-Akhdz Yaitu penelusuran, penukilan, dan pengutipan hadits dari al-mashādir al-ashliyah, baik dari kitab Mushannaf, kitab Musnad, Sunan, atau Shahīh, dan lain-lain, kemudian dihimpun lengkap dengan matn, sanad, dan rawi-nya. Untuk itu dilakukan cara-cara: a. Bila diketahui nama shahabat sebagai rawi yang meriwayatkan pertama kali yang tercantum pada Hadits yang akan ditakhrij, maka penelusuran dan penukilan Hadits menggunakan kitab Musnad, kitab Mu’jam, dan kitab Athraf. b. Bila diketahui lafadz awal matn Hadits, maka pencarian Hadits menggunakan kitab Hadits yang menghimpun Hadits-hadits populer di masyarakat, seperti kitab al-Tadzkirah fī al-Ahādīts al-Musytahirah (al-Zarkasyī), al-Durar al-Muntatsirah fī al-Ahādīts al-Musytaharah (al-Suyūthī), al-La’ali al-Mansūrah fī al-Ahādīts al-Musytahirah (al-‘Asqalānī), al-maqāshid al-Hasanah fī Bayān Katsīr min al-Ahādīts Musytahirah ‘ala al-Alsinah (al-Sakhawī). Selain itu, digunakan pula kitab yang disusun secara alfabetis seperti Jāmi’ al-Shaghīr min Hadīts al-Basyīr al-Nadzīr (al-Suyūthī), dan kitab kunci (Miftāh) atau indeks kamus (Fahras) seperti Miftāh al-Shahīhain (al-Tauqidī), Fahras li Ahādīts Shahīh Muslim, Fahras li Tartīb Ahādīts Sunan Ibn Mājah, Miftāh li Ahādīts Muwatha’ Mālik (Fuad ‘Abd al-Bāqī) c. Bila diketahui salah satu lafazh Hadits, maka digunakan kitab petunjuk al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al- Hadīts al-Nabawī (A.J. Wensinck dan Fuad ‘Abd al-Bāqī) d. Bila diketahui tema (maudhū’) Hadits, maka digunakan kitab Miftāh Kunūz al-Sunnah (A.J. Wensinck dan Fuad ‘Abd al-Bāqī), atau langsung mencari pada kitab-kitab Mushannaf yang disusun berdasarkan bab-bab maudhū’ dengan menelaah fahrasat-nya. e. Bila diketahui keadaan Hadits, baik pada sanad atau pada matn, sehingga dapat mengetahui kualifikasi Hadits tersebut, apakah Hadits maudhū’, Hadits Mursal, Hadits Qudsi, Hadits ber’illat dan lain-lain, maka dapat mencarinya pada kumpulan Hadits-hadits tersebut, sebab sudah ada kitabnya. f. Dewasa ini dapat melakukan penelusuran Hadits melalui fasilitas CD komputer, sebab telah dihimpun Hadits dalam CD seperti Kutb al-Tis’ah, Maktabah Syāmilah, Maktabah Alfiyah, Marji Akbar dan lain sebagainya. Dengan fasilitas fungsi pencarian dan mengakses fungsi kontrol dari program komputer dapat melakukan takhrīj tautsīq berdasar lafazh matn, rawi, atau sanad. Dari keterangan diatas, point a sampai e sama dengan apa yang dikemukakan oleh Mahmūd al-Thahhan bahwa metode takhrīj Hadits tidak lebih dari lima metode, yaitu: (1) Dengan cara mengetahui shahabat yang meriwayatkan Hadits tersebut. (2) Dengan cara mengetahui lafal pertama dari matan Hadits tersebut. (3) Dengan cara mengetahui lafal matan Hadits yang sedikit berlakunya. (4) Dengan cara mengetahui pokok bahasan Hadits yang dimaksud atau sebagian saja, jika mengandung beberapa pokok bahasan. (5). Dengan meneliti keadaan Hadits tersebut secara terpadu, baik dalam segi Sanad maupun dalam segi Matan. a. Metode Pertama Dengan cara mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan Hadits.Metode takhrīj ini dapat diterapkan selama nama shahabat yang meriwayatkannya terdapat dalam hadits yang hendak di-takhrīj. Jika sebaliknya atau tidak ada, maka tidak mungkin dapat diketahui dan metode ini tidak dapat diterapkan.Untuk menerapkan metode takhrīj, dapat melacak melalui kitab-kitab yang membahas tentang materi yang terkait. Yang pertama dapat dipakai tiga macam kitab sebagai berikut, yaitu: Kitab-kitab Musnad; Kitab-kitab Mu’jam, dan Kitab-kitab Athraf. Uraian masing-masing kitab tersebut. Sebagaimana pada keterangan berikut di bawah ini: 1) Kitab-kitab Musnad Salah satu hal yang unik dalam penyusunan Hadits adalah di antara para ulama Hadits ada yang tidak menggunakan metode klasifikasi Hadits, melainkan berdasarkan nama para Shahabat Nabi Saw. yang meriwayatkan Hadits itu, metode ini di sebut Musnad. Jadi, Musnad adalah kitab Hadits yang disusun berdasarkan nama-nama shahabat, atau kitab-kitab yang menghimpun Hadits-hadits shahabat. Pendapat lain, mengatakan bahwa sebuah kitab dinamakan kitab Musnad apabila penyusunnya memasukan semua Hadits yang pernah dia terima, dengan tanpa menyaring dan menerangkan derajat Hadits-hadits tersebut. Menurut sebagian ahli Hadits, Musnad adalah kitab Hadits yang disusun berdasarkan urutan bab-bab Fiqh atau berdasarkan urutan huruf hijaiyah, tidak berdasarkan urutan nama shahabat. Sebab, pada dasarnya riwayat shahabat bernilai musnad dan marfū’ (sampai kepada Rasulullah saw), seperti Musnad Bāqī bin Makhlad al-Andalusī (276 H.), yang disusun berdasarkan bab-bab Fiqh. Akan tetapi, Musnad tidak mudah dipakai karena materinya tidak tersusun menurut subyek. Sehingga orang yang merujuk kepada kitab Musnad dan ia mau mencari Hadits yang berkaitan dengan tema tertentu, tidak akan mendapatkan hasil apa-apa. Sebab dalam kitab Musnad yang ada hanyalah bab tentang nama-nama shahabat Nabi Saw. berikut hadits-hadits yang diriwayatkannya. Jadi, sulit sekali menemukan suatu Hadits tertentu. Musnad yang berhasil ditulis para ahli Hadits, jumlahnya cukup banyak. Menurut Al-Kattanī (w. 466 H ) dalam Al-Risālah al-Mustatrafah bahwa kitab-kitab sanad tersebut, berjumlah 82 kitab, dan selain itu masih banyak lagi. Nama-nama shahabat dalam kitab Musnad itu terkadang disusun berdasarkan urutan : (a) huruf hijaiyah; (b) yang terlebih dahulu masuk Islam; (c) kabilah (bangsa) atau negara, dan sebagainya. Nama-nama shahabat yang disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah itu relatif lebih mudah untuk mendapatkannya. Itulah pengertian dan sistematika kitab Musnad yang masyhur. Berikut ini nama-nama sebagian kitab Musnad, yaitu: a) Musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) b) Musnad Abū Bakar ‘Abdullāh bin Al-Zubair Al-Humaidī c) Musnad Abū Dāwud Sulaimān bin Dāwud al-Thayālisī (w. 240 H) d) Musnad Asad bin Musal al-Umawī (w. 212 H) e) Musnad Musaddad bin Musarhad Al-Asadī Al-Basrī (w. 228 H) f) Musnad Nu’aim bin Hammād g) Musnad ‘Ubaidillāh bin Mūsā al-Aisī h) Musnad Abū Khaitsamah Zuhair bin Harb i) Musnad Abū Ya’lā Ahmad bin Ali al-Musanī Al-Mausilī (w. 249 H) j) Musnad ‘Aid bin Humaid (w. 249 H) Dari beberapa Musnad di atas, hanya dua musnad yang cukup terkenal, yaitu Musnad Al-Humaidī dan Musnad Ahmad bin Hanbal. Karena kedua kitab Musnad tersebut, yang telah dicetak dan masyhur di kalangan masyarakat, sehingga relatif mudah mendapatkannya. (1) Musnad Al-Humaidī Musnad ini ditulis Al-Hāfizh Abū Bakar ‘Abdullāh bin al-Zubair al-Humaidī, guru al-Bukhārī yang wafat pada tahun 219 H., dalam ukuran sedang dan terdiri atas sebelas bagian Hadits, namun berdasarkan naskah kitab telah dicetak, hanya terdiri atas sepuluh bagian Hadits.Hal ini karena ada perbedaan naskah aslinya dalam pembagian Hadits.Kitab Musnad ini memuat 1300 Hadits sesuai dengan jumlah nomor urut dalam naskah yang telah dicetak, dan disusun berdasarkan urutan musnad shahabat. Dalam sistematika kitabnya, beliau terlebih dahulu menyebutkan Musnad Abū Bakar Al-Shiddīq, Khulafā’ al-Rāsyidīn, sesuai dengan urutan sejarahnya. Musnad sepuluh shahabat yang telah dijanjikan Nabi masuk surga, kecuali Thalhah bin ‘Ubaidillāh, karena al-Humaidī tidak pernah meriwayatkan Hadits melalui jalannya. Sedang terhadap susunan nama-nama shahabat lainnya tidak kami dapatkan cara yang beliau (al-Humaidī) gunakan. Tetapi yang jelas, beliau menyebutkan shahabat yang lebih dahulu masuk Islam, Ummahāt al-Mukminīn (sahabat wanita) kemudian para rawi dari sahabat Anshar. Dan baru kemudian shahabat pada umumnya. Shahabat yang menjadi sandaran Hadits dalam Musnad ini berjumlah 180 sahabat. Dan hanya satu Hadits yang diriwayatkan al-Humaidī dengan jalan yang banyak. Musnad ini telah dicetak dua kali, yaitu pada tahun 1382 H. dan tahun 1383 H., menjadi dua jilid dan diterbitkan oleh lembaga keilmuan di Pakistan, melalui pemeriksaan dan tambahan komentar yang berguna dari Ustadz Syekh Habīb al-Rahmān al-A’zami. Cetakan ini masih mengandung banyak kesalahan, meski diupayakan semaksimal mungkin pemeriksaannya. Tapi terdapat juga satu kelebihan yang perlu dipuji, yaitu Hadits-haditsnya telah diberi nomor urut dan telah disebutkan tarfnya dalam setiap bab, lengkap dengan nomor urutnya dalam Musnad. Tetapi alangkah baiknya, jika nama shahabat itu tersusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah, karena akan memudahkan orang untuk mempergunakan kitab Musnad ini. Cara melacak Hadits pada Musnad ini ialah mula-mula dicari nama shahabat yang meriwayatkannya, kemudian Hadits yang dimaksud dicari dalam Musnadnya. Jika Hadits tersebut, terdapat di dalam Musnad, maka al-Humaidī jelas meriwayatkan dalam Musnadnya. Tetapi jika sebaliknya, yakni Hadits tersebut, tidak terdapat dalam Musnad, berarti al-Humaidī tidak meriwayatkan dalam Musnadnya, dan harus dicari dalam kitab lain. (2) Musnad Ahmad bin Hanbal Kitab ini ditulis oleh Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-Syaibānī (w. 241 H). Tetapi, Hadits-hadits yang terdapat dalam Musnad tersebut tidak semua riwayat Ahmad, sebagian merupakan tambahan dari puteranya, ‘Abdullāh, dan dari Abū Bakar al-Qathi’ī. Musnad ini memuat 40.000 Hadits, kurang lebih 10.000 di antaranya dengan berulang-ulang. Tambahan dari ‘Abdullāh, puteranya sekitar 10.000 Hadits dan beberapa tambahan pula dari Abū Bakar al-Qathi’ī.Puteranya yang menyusun kitab Musnad ini. Berdasarkan sumbernya, Hadits-hadits yang terdapat di dalam Musnad Ahmad dapat dibagi menjadi 6 (enam) macam, sebagai berikut: 1. Hadits yang diriwayatkan ‘Abdullāh dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, dengan mendengar langsung. Hadits seperti ini paling banyak jumlahnya di dalam Musnad Ahmad. 2. Hadits Yang di dengar ‘Abdullāh dari ayahnya dan dari orang lain. Hadits semacam ini sangat sedikit jumlahnya. 3. Hadits yang diriwayatkan ‘Abdullāh dari selain ayahnya. Hadits-hadits ini oleh ahli Hadits disebut Zawāid ‘Abdullāh (tambahan-tambahan). 4. Hadits yang tidak di dengar ‘Abdullāh dari ayahnya tetapi dibacakan kepada sang ayah. 5. Hadits yang tidak didengar dan tidak dibacakan ‘Abdullāh kepada ayahnya, tetapi ‘Abdullāh menemukannya dalam kitab sang ayah yang ditulis dengan tangan. 6. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Hāfizh Abū Bakar al-Qathi’ī. Musnad ini disusun berdasarkan Musnad-musnad shahabat atau kitab yang meriwayatkan Hadits-hadits setiap shahabat, tanpa memperhatikan pokok bahasan Hadits itu. Karena orang yang menghimpun semua Hadits adalah shahabat yang telah meriwayatkannya dari Rasulullah Saw. beliau tidak menyusun nama-nama shahabat berdasarkan urutan huruf hijaiyah, karena beliau hanya memperhatikan beberapa hal, antara lain; keutamaan, tempat tinggal, dan kabilah para sahabat dan sebagainya. Terkadang memaparkan Hadits salah seorang shahabat pada beberapa tempat. Karena itu, orang yang hendak mengetahui salah satu Musnad shahabat harus meneliti daftar isi dari semua juz kitab ini, sampai dapat mengetahui tempatnya. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal ini memuat 904 Musnad shahabat yang di antaranya memuat jumlah Hadits yang besar, seperti Musnad Abu Hurairah dan Musnad shahabat yang meriwayatkannya. Mula-mula Imam Ahmad menyebutkan Musnad sepuluh shahabat yang dijamin oleh Nabi Saw., masuk surga, dengan mendahulukan Musnad Khulafā’ al-Rasyidūn (Abū Bakar, ‘Umar, ‘Utsmān, dan ‘Ali), kemudian diikuti oleh shahabat-shahabat besar lainnya, seperti Ahl al-Bait Nabi, dan seterusnya. Sebagai kitab yang terkenal, banyak ulama yang memberikan perhatian khusus terhadap kitab Musnad Ahmad, Gulam ibn Sa’labah (w. 345 H.), misalnya mengumpulkan lafazh-lafazh yang gharib yang terdapat di dalam Musnad Ahmad dan memaknainya. Ibn al-Mulaqqin al-Syāfi’ī (w. 804 H.) memuat ringkasan (Mukhtashar) dari Musnad tersebut, dan al-Sindī (1199 H.) membuat syarah dari kitab tersebut. Pada perkembangannya, Musnad Ahmad disusun berdasarkan susunan Fiqh oleh ‘Abdurrahmān ibn Muhammad al-Banna yang terkenal dengan al-Sa’at dan dijadikan tujuh bagian.Kitab ini kemudian dinamakan al-Fath al-Rabbanī. Di Islamic Research Institute, Islamabad terdapat tiga edisi Musnad Ahmad. Pertama, Edisi pertama diterbitkan untuk ketiga kalinya oleh Dar al-Ma’ārif, Kairo pada tahun 1949 M./1374 H., dengan diberi komentar yang bagus dan indeks yang ditulis oleh sarjana Mesir Ahmad Muhammad Syakir. Volume XIV, edisi ini memuat Musnad Abū Hurairah dan dan diterbitkan pada tahun 1955 M./1374 H.; Kedua, Edisi kedua diterbitkan di Beirut oleh Dar Sadir dan terdiri dari enam volume, tanpa tahun.; dan Ketiga, Edisi ketiga diterbitkan pertama kali di Kairo pada 1313 H. terdiri dari enam volume dengan ditambah catatan pada tepi kitab ini, ditulis kitab Muntakhab Kanz al-‘Ummal fi Sunan al-Aqwālī wa al-Af’āli karya ‘Alī bin Hisyāmuddīn, yang terkenal dengan Al-Muttaqī. Menurut Mahmūd al-Thahhan kesulitan dalam kitab Musnad ini, dapat diatasi penerbit Al-Maktab Al-Islamī dan Dar al-Sadir di Beirut, ketika mencetak ulang naskah aslinya dari percetakan Al-Maimuniyah di Kairo tahun 1389 H/1369 M. Dalam cetakan ulang tesebut, telah tersusun daftar isi nama-nama shahabat sesuai dengan urutan huruf hijaiyah. Ditambah nomor juz dan halamannya di depan setiap nama shahabat. Penerbit tersebut, menyebutkan bahwa Syekh Nasiruddīn al-Albanī mencatat daftar isi ini untuk keperluan pribadi, agar mudah menggunakan Musnad ini. Daftar isi ini, diletakkan pada awal bagian juz pertama kitab Musnad ini. Langkah pertama bagi orang yang men-takhrīj Hadits yang telah diketahui nama shahabat yang meriwayatkannya adalah melihat daftar isi yang diberi petunjuk, guna mengetahui tempat Musnad shahabat itu secara mudah, baik dari Juz ataupun halamannya. Kemudian melihat kembali Musnad itu, hingga dapat menjelaskan keadaan suatu Hadits, jika telah diriwayatkan Imam Ahmad ke dalam Musnad-nya. Jika tidak, maka harus mencarinya pada sumber lain. Musnad Ahmad tercatat sebagai Masterpiece dalam khazanah literatur Hadits dan dalam hal Hadits dari segi literatur dan sejarah tidak ada tandingannya. 2) Kitab-kitab Mu’jam (Al-Ma’ajim) Kata Al-Ma’ājim adalah bentuk jamak dari kata Al-Mu’jam, yang menurut istilah ahli Hadits adalah kitab-kitab Hadits yang disusun berdasarkan musnad shahabat, guru-gurunya, negara, atau lainnya, dan umumnya susunan nama-nama shahabat berdasarkan urutan huruf hijaiyah. Kitab-kitab Mu’jam ini jumlahnya banyak sekali, dan yang masyhur adalah kitab-kitab Mu’jam yang ditulis oleh al-Thabaranī yaitu: a) Al-Mu’jam al-Kabīr; b) al-Mu’jam al-Ausath; dan c) Al-Mu’jam As-Shaghīr. Kitab Mu’jam yang lainnya seperti Mu’jam al-Shahābah karya Ahmad bin ‘Alī bin Lalin al-Hamdanī (w. 398 H.) dan Abū Ya’la Ahmad ‘Alī al-Mausilī (w. 308 H.). berikut adalah penjelasan mengenai kitab-kitab Mu’jam yang ditulis oleh al-Thabaranī. Nama lengkap al-Thabaranī adalah Sulaimān bin Ahmad bin Ayyūb bin Muthair al-Lakhmī al-Yamanī al-Thabaranī. Kunyahnya Abū al-Qāsim, dilahirkan di Akka pada bulan Shafar tahun 260 H. dan meninggal di Asfahan pada 28 Dzul Qa’dah tahun 360 H. dalam usia 100 tahun 10 bulan. Adapun karya-karyanya yang terkenal adalah: a) Al-Mu’jam al-Kabīr Kitab ini, disusun berdasarkan Musnad-musnad shahabat sesuai dengan urutan huruf hijaiyah, kecuali Musnad Abū Hurairah yang telah disusun dalam kitab tersendiri, kitab ini memuat 60.000 Hadits. Oleh karena itu, Ibnu Dihyah berpendapat, kitab Mu’jam ini merupakan kitab Mu’jam yang terbesar di dunia.Jika dikatakan Mu’jam secara umum dalam istilah ilmu Hadits, maka yang dimaksud adalah Al-Mu’jam al-Kabīr.Jika yang dimaksud, selain Mu’jam yang diatas, maka diberinya keterangan. Para ulama hampir sependapat bahwa kitab al-Mu’jam al-Kabīr adalah sebuah kitab Mu’jam terbesar dan kitab rujukan yang lengkap. Karena kemasyhurannya kitab ini disebut dengan nama yang mutlak, al-Mu’jam, atau dalam menyandarkan hadits-haditsnya para ulama cukup menyatakan akhrajahu al-Thabaranī. Kitab al-Mu’jam al-Kabīr ini terdiri dari 12 jilid dan merupakan ensiklopedi Hadits yang memuat tidak hanya Hadits-hadits Nabi Saw.tetapi juga berisi sejumlah banyak informasi histories. Kitab ini mengabsorsi baik secara keseluruhan maupun parsial dari beratus-ratus kitab karya terdahulu.Kitab ini dipublikasikan setelah edisi kritis.Beberapa perpustakaan menyimpan jilid yang berbeda dari karya ini, namun saat sekarang adalah sulit untuk mengatakan bahwa apakah kitab tersebut sudah sempurna atau tidak. b) al-Mu’jam al-Ausath Kitab ini, disusun berdasarkan nama-nama gurunya yang hampir mencapai 2.000 orang, dan di dalamnya terdapat 30.000 Hadits. Karya yang kedua ini sangat dicintai al-Thabaranī.Kitab ini memuat hampir seluruh informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan Hadits-hadits.Banyak di antaranya yang shahīh, sedangkan yang lainnya tidak shahīh.Karya kedua ini telah rampung dalam dua jilid sangat besar di Istanbul dan masih perlu pengeditan dan penerbitan. c) Al-Mu’jam As-Shaghīr Karya yang ketiga ini adalah karya yang paling mini.Kitab tersebut meriwayatkan Hadits dari 1000 orang guru, dan kebanyakan hanya diambil satu Hadits dari setiap guru. 3) Kitab-kitab Athrāf Kitab Atraf adalah bagian kitab Hadits, yang hanya menyebutkan bagian (tarf) Hadits yang menunjukkan keseluruhannya, kemudian menyebutkan sanad-sanadnya, baik secara menyeluruh atau hanya dinisbatkan (dihubungkan) pada kitab-kitab tertentu.Tetapi sebagian pengarang kitab Atraf ini, ada yang menyebutkan dari segi sanadnya secara menyeluruh dan ada yang hanya menyebutkan gurunya. Pada umumnya kitab ini disusun berdasarkan musnad-musnad shahabat sesuai dengan urutan huruf hijaiyah. Maksudnya, kitab tersebut dimulai dengan Hadits-hadits shahabat yang namanya dimulai dengan huruf alif, kemudian ba, dan seterusnya. Tetapi terkadang kitab tersebut, disusun berdasarkan huruf awal matan Hadits, seperti yang dilakukan Abū al-Fadl bin Thahir, dalam kitab Athrāf al-Gharā’ib wa al-Afrād karya al-Daruqutnī (w. 385 H). Demikian juga al-Hāfizh Muhammad bin ‘Alī al-Husainī dalam kitab al-Kasysyaf fī Ma’rifat al-Athrāf, yang memuat kitab Hadits enam yang lazim disebut Kutub al-Sittah. Kata Athrāf adalah bentuk jamak dari kata Tharf, kata Tharf al-Hadīts, berarti bagian matan dari Hadits yang dapat menunjukan keseluruhannya. Kitab Athrāf tersebut banyak jumlahnya, yang masyhur (terkenal) di antaranya, ialah: a) Athrāf al-Shahīhain, karya Abū Mas’ūd Ibrāhīm bin Muhammad al-Dimasyqī (w. 410 H.) b) Athrāf al-Shahīhain karya Abū Muhammad Khalaf bin Muhammad al-Wasithī (w. 410 H) c) al-Asyrāf ‘ala Ma’rifat al-Athrāf, tentang Athrāf Hadits kitab Sunan empat, karya al-Hāfizh Abū al-Qāsim ‘Alī bin al-Hasan, yang terkenal dengan Ibn ‘Asakir al-Damsyiqī (w. 571 H) d) Tuhfat al-Asyrāf fī Ma’rifat al-Athrāf, tentang Tharf kitab yang enam, karya al-Hāfizh Abū al-Hajjaj Yūsuf ‘Abdurrahmān al-Mizzī (w. 724 H) e) Ithāf al-Mahrah bi Athrāf al-‘Asyarah, karya al-Hāfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalānī (w. 852 H) f) Athrāf al-Masānīd al-‘Asyarah karya Abū al-‘Abbās Ahmad bin Muhammad Al-Busairī (w. 840 H) g) Zakha’ir al-Mawaris fī al-Dilālati ‘ala Mawādi’i al-Hadīts, karya ‘Abdul Gani al-Nabulsī (w.1143 H). Adapun kegunaan dari kitab Athrāf adalah: a) Untuk dapat mengetahui sanad Hadits yang berbeda-beda, tetapi dapat dikumpulkan dalam suatu tempat. b) Untuk dapat mengetahui Hadits Gharīb, Hadits ‘Azīz, dan Hadits Masyhūr. c) Untuk dapat mengetahui para rawi Hadits, yaitu para imam yang mengarang kitab-kitab Hadits pokok, dan bab yang mereka riwayatkan. Kitab Athrāf tidak menyebutkan keseluruhan matan Hadits, seperti tidak menyebutkan lafal Hadits secara harfiah dari kitab-kitab yang ditulis dalam kitab Athrāf.Kitab Athrāf hanya menyebutkan pengertian Hadits dalam kitab-kitab Hadits tersebut. Karena itu, bagi orang yang menghendaki matan Hadits secara sempurna sesuai dengan lafal aslinya harus melihat kitab-kitab yang ditulis dalam kitab Athrāf. Sebab kitab Athrāf tersebut, memuat petunjuk yang tepat mengenai tempat Hadits-hadits itu, tidak seperti kitab musnad, yang menyebutkan Hadits secara keseluruhan dan tidak perlu melihat sumber aslinya atau sumber lain. Sebagaimana disebutkan bahwa kitab Athrāf jumlahnya banyak, dua di antaranya akan diuraikan, sebagaimana tersebut di bawah ini: (1) Tuhfat al-Asyrāf fī Ma’rifat al-Athrāf Kitab Athrāf ini dikarang oleh al-Hāfizh Jamaluddīn Abū al-Hajjaj Yūsuf ‘Abdurrahmān al-Mizzī (w. 724 H). Tujuan pokok penulisan kitab Athrāf adalah menghimpun kitab-kitab Hadits enam dan sebagian tambahannya, dengan cara yang mudah untuk dapat mengetahui sanadnya yang berbeda-beda, tetapi dapat terhimpun dalam satu tempat, dan pokok bahasan kitab Athrāf adalah menyebutkan bagian Hadits-hadits kitab enam dan sebagian tambahannya, yang terdiri atas: (a) Mukadimah Shahīh Muslim (b) Kitab Al-Marāsil, karya Abū Dāwud (c) Kitab al-‘Ilal al-Shaghīr, karya al-Turmudzī, yang terdapat dalam kitab al-Jāmi’ (d) Kitab al-Syamā’il, karya al-Turmudzī, dan (e) Kitab ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, karya al-Nasā’ī. (2) Zakha’ir al-Mawaris fī al-Dilālati ‘ala Mawādi’i al-Hadīts Kitab ini dikarang Syekh ‘Abdul Gani al-Nabulsī al-Dimasyqī al-Hanafī (1050 H-1143 H).pokok bahasan kitab ini adalah menghimpun bagian-bagian (Athrāf) Hadits kitab enam dan Muwaththa’ Imam Mālik. Kitab ini disusun berdasarkan Musnad-musnad shahabat, sesuai dengan urutan huruf hijaiyah, yang dimulai dari huruf hamzah sampai denga ya’. Kitab ini di bagi menjadi tujuh bab, setiap bab disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah agar mudah menakhrijkannya. Bab-bab itu adalah memuat: Pertama, tentang musnad-musnad shahabat laki-laki; tentang musnad-musnad perawi yang dikenal dengan nama kunyahnya, yang disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah, dengan memperhatikan huruf pertama nama perawi yang memakai nama kunyah; Kedua, tentang musnad-musnad shahabat laki-laki yang samar (mubham), disusun berdasarkan beberapa pendapat tentang urutan nama-nama mereka; tentang musnad-musnad shahabat perempuan; Ketiga, tentang musnad-musnad shahabat perempuan yang dikenal dengan nama kunyahnya; Keempat, tentang musnad-musnad shahabat perempuan yang samar (mubham) sesuai dengan urutan nama-nama mereka; dan Kelima, tentang Hadits-hadits Mursal sesuai dengan nama-nama perawinya. Pada bab ini ditambah tiga pasal, yaitu tentang kunyah perawi laki-laki, perawi yang samar, dan perawi perempuan Hadits-hadits Mursal. Di antara bab-bab tersebut, ada yang dibagi menjadi beberapa pasal tentang sesuatu yang berhubungan dengan sebagian nama-nama kunyah dan yang menyerupai dengannya. b. Metode Kedua Metode yang kedua adalah dengan jalan mengetahui Lafal Pertama dari Matan Hadits.Metode ini dipergunakan ketika hendak mengetahui lafal pertama dari matan Hadits, sebab tanpa mengetahui lafal pertama dari matan Hadits, sia-sialah usaha kita. Kitab-kitab pembantunya ada tiga macam kitab yang membantu dalam menggunakan metode ini, yaitu: 1) Kitab-kitab tentang Hadits yang masyhur di kalangan masyarakat, dan penyusunannya berdasarkan urutan huruf hijaiyah, di antaranya: a) al-Tadzkirah fī Ahādīts al-Musytahirah, karya Badruddīn bin Muhammad bin ‘Abdullāh al-Zarkasyī (w. 974 H.) b) al-Durar al-Muntatsirah fī Ahādīts al-Musytahirah, karya Jalāluddīn ‘Abdurrahmān al-Suyūthī (w. 911 H.) c) al-La’ali al-Mansūrah fī Ahādīts al-Musytahirah, karya Ibnu Hajar al-‘Asqalānī (w. 852 H.) 2) Kitab-kitab tentang Hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah, seperti: a) al-Jāmi’ al-Shaghīr min Hadīts al-Basyirin al-Nadzirīn, karya Jalāluddīn ‘Abdurrahmān bin Abū Bakar al-Suyūthī (w. 91 H.); b) al-Jāmi’ al-Kabīr, karya al-Suyūthī. Kitab ini merupakan kitab yang besar, menghimpun semua Hadits Nabi berdasarkan urutan huruf hijaiyah. Kitab ini dicetak dan diterbitkan di Mesir menjadi beberapa jilid; dan c) al-Ziyādatu ‘ala Kitāb al-Jāmi’ al-Shaghīr, dalam kitab ini terdapat beberapa Hadits pilihan al-Suyūthī sebagai tambahan terhadap kitab al-Jāmi’ al-Shaghīr . 3) Kitab-kitab Miftāh (kunci) dan Fahras (kamus) kitab-kitab Hadits tertentu. Sebagian ulama muta’akhirin menyusun kitab-kitab Miftah dan Fahras kitab-kitab Hadits tertentu, yang disusun berdasarkan urutan huruf Hijaiyah, guna memudahkan mencari Hadits dalam kitab-kitab tersebut dalam waktu yang singkat. Kitab-kitab tersebut di antaranya adalah: a) Kitab Miftāh al-Shahīhain, karya al-Tauqidī; b) Kitab Miftāh al-Tartīb li Ahādīts Tarkh al-Khathīb, karya Sayyid Ahmad al-Gamarī; 3) Kitab Fahras li Ahādīts Shahīh Muslim, karya Muhammad Fuad ‘Abdul Bāqī; dan 4) Kitab Fahras li Tartīb Ahādīts Sunan Ibn Mājah, karya Muhammad Fuad ‘Abdul Bāqī. Karya terakhir yang relatif mudah dipergunakan untuk metode ini adalah kitab Mawsū’at Athrāf al-Hadīts al-Nabawī al-Syarīf, karya Abū Hajar Muhammad al-Sa’īd bin Basuni Zaghūl. Kitab ini dicetak 10 jilid, diterbitkan di Beirut oleh penerbit ‘Alam al-Turats, tahun 1989 M/1410 H. Kitab ini mempergunakan awal kata dari matan Hadits. Oleh karenanya menjadi relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan kitab-kitab pembantu sebelumnya. b. Metode ketiga Yaitu jalan atau cara mengetahui Lafal Matan yang Sedikit. Berlakunya mempraktikan metode takhrīj ketiga ini, dapat menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Hadīts al-Nabawī. Kitab ini merupakan kitab mu’jam yang memuat daftar lafal-lafal Hadits sembilan kitab Hadits (Kutb al-Tis’ah) yang termasyhur, yaitu kitab Hadits enam (Kutb al-Sittah), ditambah dengan Muwaththa’ Imam Mālik, Musnad Ahmad, Sunan Al-Darimī. Kitab Mu’jam ini disusun oleh sekelompok orientalis dan diterbitkan oleh salah satu di antara mereka, yaitu A.J. Wensinck (w. 1939 M), salah seorang dosen bahasa Arab di Leiden, dan dicetak oleh percetakan E.J. Brill di Leiden Belanda. Muhammad Fuad ‘Abdul Bāqī adalah salah seorang yang membantu mereka dalam menakhrijkan Hadits dan menerbitkan kitab mereka. Menurut al-Thahhan, proyek ini dilakukan mendapat bantuan materil dari Lembaga Keilmuan Britania, Denmark, Swedia, Belanda, UNESCO, Alexander Pasa, Lembaga Sosial Belanda, dan lembaga-lembaga keilmuan lainnya. Kitab ini disusun menjadi tujuh jilid besar, jilid pertama dicetak pada tahun 1936 M. dan jilid ketujuh dicetak pada tahun 1969 M., sehingga secara keseluruhan, kitab ini dicetak selama 33 tahun, suatu hal yang sangat disayangkan bahwa kitab ini tidak mencantumkan mukadimah kitab yang menjelaskan tentang sistematika penyusunan kitab, padahal masalah itu sangat dibutuhkan. Hanya saja pada awal jilid ketujuh dicantumkan beberapa pentunjuk dan penjelasan tentang susunan lafal dan pengertiannya, lengkap dengan petunjuk praktis mengenai cara penggunaanya, namun penjelasan dan petunjuk tersebut masih belum lengkap. Sistematika kitab Mu’jam ini mendekati sistematika kitab-kitab Mu’jamLughat, namun tidak berdasarkan urutan huruf, nama-nama asli (‘alam), dan kata jenis fi’il yang banyak berlaku, seperti Qāla dan Jā`a, serta semua kata bentukannya. Dalam rangka memenuhi kehendak orang yang membutuhkan beberapa Hadits yang sama bahasannya, seringkali pembahasan berpindah pada bahasan lain ketika membahas satu bahasan. Inilah yang menjadi sebab adanya tuduhan orang bahwa kitab Mu’jam ini mempunyai kekurangan banyak, dan pengarang tidak membuat daftar kata-kata Hadits dari kitab-kitab yang mestinya dibuatkan daftar kata-katanya. Jika pembahasanya banyak, sistematika seperti ini akan mempersulit, membuat kacau, banyak membutuhkan waktu, dan terkadang membosankan orang yang mempergunakannya, hingga tidak jadi mencari Hadits karena sangat banyak pembahasan yang keluar dari bahasan tertentu. Bahkan terkadang seseorang harus mencari 50 pembahasan atau lebih guna mencari sebuah Hadits. Mengetahui susunan pembahasan dalam kitab Mu’jam ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang mempergunakannya. Karena itu, berikut ini dikemukakan hal-hal yang berhubungan dengannya secara sempurna, sebagaimana berikut ini: “Susunan pembahasan al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Hadīts al-Nabawī. Beberapa jenis kata fi’il mādhi, mudhāri’, amar, (isim fi’il), isim maf’ūl, dan beberapa bentuk kata setelahnya sesuai dengan dhamīrnya. Pengurangan huruf terletak diatas nash (teks) dan kitab rujukan yang telah diterangkan sebelumnya. Dua bintang (**) merupakan tanda pengulangan lafal Hadits, bab atau halaman. Kitab-kitab Hadits yang menjadi bahasan Mu’jam ini dipakai tanda (rumus) tertentu, sebagai berikut: untuk Shahīh Bukhārī ( خ ), untuk ShahīhMuslim ( م ), untuk Jāmi’ Al-Turmudzī (ت ), untuk Sunan Abū Dāwud ( د ), untuk Sunan Al-Nasā’ī. ( ن ), untuk Sunan Ibnu Mājah ( جه ), untuk al-Muwaththa’ Mālik ( ط ), untuk Musnad Ahmad bin Hanbal ( حم ), untuk Musnad Al-Darimī ( دى ). Beberapa tanda ini tertulis dibawah, pada setiap dua halaman kitabMu’jam, guna memudahkan orang yang menggunakan Mu’jam dan mengingatnya. Cara yang dipakai Mu’jam ini dalam menunjukkan tempat Hadits dalam sembilan kitab Hadits (Kutb al-Tis’ah) tersebut, setelah dituliskan tanda-tandanya, adalah dengan menulis nama pembahasan Hadits, kecuali dalam Musnad Ahmad. Karena pada kitab musnad ini disusun berdasarkan nama-nama shahabat, kemudian menjelaskan nomor bab dan penjelasan tersebut, kecuali dalam Shahīh Muslim dan Muwaththa’, karena nomor pembahasan dua kitab ini berangkat mulai dari awal kitab, bukan dari suatu pembahasan materi. Sedang cara menunjukkan tempat Hadits dalam Musnad Ahmad adalah dengan menulis nomor besar (nomor Juz) dan nomor kecil (nomor halaman). d. Metode Keempat Yaitu mengetahui dengan cara materi atau pokok bahasan Hadits. Metode ini hanya dapat digunakan oleh orang-orang yang menguasai pembahasan atau satu dari beberapa pembahasan Hadits, atau oleh orang-orang yang mempunyai pengetahuan luas.Karena setiap orang belum tentu menguasai pembahasan setiap Hadits, terutama terhadap Hadits yang belum jelas pembahasannya. Bagi setiap peneliti harus menempuh metode takhrīj ini, dan memang tidak terdapat metode lain yang lebih mudah dari metode takhrīj ini. Penggunaan metode ini, mentakhrij Hadits berdasarkan metode ini dapat memakai kitab-kitab Hadits yang tersusun berdasarkan bab dan pembahasan Fiqh. Kitab-kitab ini dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 1) Kitab Hadits yang membahas seluruh masalah keagamaan. Kitab-kitab ini disusun berdasarkan bab-bab masalah keagamaan, di dalamnya terdapat bab tentang iman, thaharah, ibadah, mu’amalah, pernikahan, sejarah, perilaku (syair), perilaku baik (manakib), adab, mau’zah, berita hari kiamat, sifat surga dan neraka, peristiwa fitnah, pertempuran hebat, tanda-tanda kiamat, dan lain sebagainya. Kitab-kitabnya banyak dan yang termasyhur di antaranya adalah: a) al-Jawāmi’ Kata al-Jawāmi’ adalah bentuk jamak dari kata al-Jāmi’ yang menurut ahli Hadits adalah kitab Hadits yang memuat Hadits-hadits berbagai macam masalah keagamaan, seperti akidah, hukum, perbudakan, tata cara makan dan minum, bepergian dan tinggal dirumah; sesuatu yang berhubungan dengan Tafsir, Tarikh, perilaku hidup, kesesatan, pekerti baik dan jelek, dan sebagainya. Adapun kitab-kitab al-Jāmi’ yang masyhur adalah: (1) al-Jāmi’ al-Shahīh, karya al-Bukhārī; (2) al-Jāmi’ al-Shahīh, karya Imam Muslim; (3) Jāmi’‘Abdurrozak, merupakan kitab Jāmi’ yang besar; (4) Jāmi’ al-Tsaurī; (5) Jāmi’ Ibnu ‘Uyainah; (6) Jāmi’Ma’mar; dan (7) Jāmi’ al-Turmudzī. b) al-Mustakharajat wa al-Mustadrakat ‘ala al-Jawāmi’ Kata al-Mustakharajat adalah bentuk jamak dari kata al-Mustakhraj, yang menurut ahli Hadits adalah kitab-kitab Hadits yang telah di takhrīj oleh seorang pengarang dengan memakai sanadnya sendiri, bukan sanad pengarang kitab yang ditakhrijkan, namun keduanya bertemu pada satu guru yang sama atau perawi atasnya, meski pada tingkat shahabat, dengan syarat tidak bertemu pada guru yang lebih jauh sehingga putuslah sanad yang menghubungkan pada guru yang lebih dekat, kecuali terdapat sebab, seperti sanad yang Ali atau terdapat ziyadah yang penting. Tetapi terkadang mustakhrij (penakhrij) membuang Hadits yang tidak mempunyai sanad yang dapat diterima, dan terkadang menyebutkan Hadits dari sanad pengarang kitab yang ditakhrijkan Haditsnya. Di antara kitab-kitab Mustakhraj adalah Mustakhraj kitab Shahīhain yaitu: (1) Mustakhraj Shahīh al-Bukhārī seperti Mustakhraj al-Ismā’īlī; (2) Mustakhraj Shahīh Muslim seperti Mustakhraj al-Humairī; dan (3) Mustakhraj kedua kitab Shahīh seperti Mustakhraj Abū Bakar al-Barqānī. Kata al-Mustadrakat, berarti kitab yang menghimpun Hadits-hadits yang tidak dimuat dalam kitab-kitab Hadits tertentu sesuai dengan syaratnya. Kemudian dimasukan sebagai tambahan pada kitab lain, seperti al-Mustadrak ‘ala al-Shahīhain, karya Imam Al-Hākim. Nama lengkapnya adalah Abū ‘Abdullāh Muhammad bin ‘Abdullāh bin Muhammad bin Hamdun bin Hakām bin Nu’aym bin al-Bayyī al-Dhabbi al-Thahmanī al-Naisābūrī. Ia dilahirkan di Naisābūr pada hari Senin 13 Rabi’ul Awwal 321 H. dan wafat pada bulan Safar 405 H. Ia lebih dikenal dengan julukan Abū ‘Abdullāh al-Hākim al-Naisābūrī. Kitab tulisan al-Hākim dinamakan al-Mustadrak, yang artinya ditambahkan atau disusulkan atas al-Shahīhain.al-Hākim menamakan demikian karena berasumsi bahwa Hadits-hadits yang disusun dalam kitabnya merupakan Hadits-hadits Shahīh atau memenuhi syarat keshahihan Bukhārī dan Muslim, dan belum tercantum dalam Shahīh Bukhārī maupun Shahīh Muslim. Kitab ini tersusun dalam 4 jilid besar yang jumlah halamannya kurang lebih 2.561 halaman.Pokok bahasannya sekitar 50 bahasan (kitāb) dan Haditsnya berjumlah kurang lebih 8.690 Hadits .Kitab karya al-Hākim ini termasuk kategori kitab al-Jāmi’, karena muatan Haditsnya terdiri dari berbagai dimensi, Aqidah, Syari’ah, Akhlaq, Tafsir, Sirah, dan sebagainya . Adapun rincian jumlah Hadis dikaitkan dengan temanya adalah: Aqidah 251 Hadits, Ibadah 1.277 Hadits, hukum Halal Haram 2.519 Hadits, Takwil Mimpi 32 Hadits, Pengobatan 73 Hadits, Rasul-rasul 141 Hadits, 1.218 tentang Biografi Shahabat, Huru-Hara dan Peperangan 347 Hadits, Kegoncangan Hari Kiamat 911 Hadits, Peperangan Nabi dan al-Fitan 233 Hadits, Tafsir 974 Hadits dan Fadhā’il al-Qur’ān 70 Hadits . Kitab ini pada cetakan akhir berbentuk 4 jilid besar hasil dari penelitian dan verifikasi beberapa ulama Hadits dari lima manuskrip al-Mustadrak-nya al-Hākim. Dalam cetakan yang ada sekarang ini dilengkapi dengan komentar-komentar tambahan dari al-Dzahabī dan ditahqīq oleh Syaikh Mushthafā ‘Abdul Qadīr ‘Atha. Adapun sistematika kitabnya, mengikuti model yang dipakai oleh Bukhārī maupun Muslim, dengan membahas berbagai aspek materi dan membaginya dalam kitab-kitab (tema-tema tertentu) dan sub-subnya. c) al-Majami’ Kata al-Majami’adalah bentuk jamak dari kata al-Majma’, berarti kitab yang menghimpun Hadits-hadits dari berbagai kitabdan disusun sesuai dengan susunan kitab tersebut, yaitu berdasarkan bab-bab Fiqh sebagaimana kitab Jāmi’, di antara kitab-kitabnya yang masyhur, yaitu: (1) al-Jam’u bain al- Shahīhain, karya Abū ‘Abdullāh Abī Nashr Futūh al-Humaidī (w.488 H.); (2) al-Jam’u bain al- Shahīhain, karya al-Saghanī al-Hasan bin Muhammad, dengan nama Masyāriq al-Anwarin Nabawiyati min Shihāh al-Akhbār al-Mushthafawiyati; dan (3) al-Jam’u bain al-Ushūl al-Sittati, dengan nama Jāmi’ al-Ushūl min Ahādīts al-Rasūl, karya Abū al-Sa’adah dan yang terkenal dengan Ibnu al-Atsīr (w. 606 H.) d) al-Zawā’id al-Zawā’idadalah kitab-kitab yang menghimpun Hadits-hadits tambahan dalam sebagian kitab, selain Hadits-hadits yang telah terdapat dalam kitab lainnya. Seperti Zawā’id Ibnu Mājah ‘ala Ushūl al-Khamsah.Kitab tersebut, merupakan kitab yang mengandung Hadits riwayat Ibnu Mājah dalam Sunannya dan tidak diriwayatkan oleh Imam lima, tapi jika Hadits itu sama-sama mereka riwayatkan, maka tidak termasuk dalam kitab Zawā’id. Di antara kitab-kitab nya adalah seperti yang ditulis oleh Abū al-‘Abbās Ahmad bin Muhammad al-Bushoirī (w. 840 H.), yaitu: (1) Mishbāh al-Zuhajah fī Zawā’id Ibn Mājah ; (2) Fawā’id al-Muntaq li Zawā’id al-Baihāqī ; dan (3) Ithāf al-Sādah al-Mahrah al-Khairah bi Zawā’id al-Masānīd al-‘Asyarah. e) Miftāh Kunūz al-Sunnah Kitab Miftāh Kunūz al-Sunnah, adalah kitab yang disusun oleh orientalis sekaligus seorang guru besar bahasa Syam pada Universitas Leiden Belanda, AJ. Wensinck, pada tahun 1939 M. dalam bahasa Inggris, juga yang kemudian diterjemahkan menjadi bahasa Arab dengan beberapa perbaikan, perbandingan, dan pemeriksaan teks. Penerbitan pertama kali dengan bahasa Arab dilakukan oleh (ustadz Muhammmad Fuad ‘Abdul Bāqī pada tahun 1352 H./1933 M.). kitab ini merupakan Fahras dan petunjuk Hadits yang masyhur dan merupakan kitab pokok. Empat belas kitab itu adalah sebagai berikut: (1) Shahīh Bukhārī, cetakan Leiden, tahun 1862-1868 M dan tahun 1907-1908 M.; (2) Shahīh Muslim, cetakan Boulaq, tahun 1920 H.; (3) Shahīh Abū Dāwud, cetakan Kairo, tahun 1280 H.; (4) Sunan Al-Turmudzī, cetakan Boulaq, tahun 1292 H.; (5) Sunan Al-Nasā’ī, cetakan Kairo, tahun 1312 H.; (6) Sunan Ibnu Mājah, cetakan Kairo, tahun 1313 H.; (7) Muwaththa’ Imam Mālik, cetakan Kairo, tahun 1379 H.; (8) Musnad Ahmad, cetakan Al-Maimuniyah Kairo, tahun 1313 H.; (9) Musnad Abū Dāwud Al-Thayālisī, cetakan Haidar Abad, tahun 1321 H.; (10) Sunan Al-Darimī, cetakan Delhi, tahun 1337 H.; (11) Musnad Zaid bin ‘Alī, cetakan Mailanu, tahun 1919 M.; (12) Syirah Ibnu Hisyām, cetakan Gratniq, tahun 1859-1860 M.; (13) Maghazī Al-Waqidī, cetakan Berlin, tahun 1882 M.; dan (14) Thabaqat Ibnu Sa’ad. cetakan Leiden, tahun 1904-1908 M. Penyusunan kitab ini menghabiskan waktu sepuluh tahun.Kitab tersebut diterjemahkannya ke bahasa Arab dan ditelitinya kembali teksnya selama empat tahun. Topik-topik pembahasaanya disusun dengan memakai sistematika penyusunan sebagaimana dijelaskan Ustadz Ahmad Muhammad Syākir dalam Mukadimah kitab tersebut. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: A.J. Wensinck menyusun kitabnya berdasarkan makna-makna (pengertian) Hadits, masalah-masalah keilmuan, dan kejadian bersejarah. Setiap makna dibagi menjadi beberapa bahasan secara terperinci dan berhubungan dengan makna tersebut, kemudian bahasan-bahasan tersebut disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah dan beliau berusaha menghimpun Hadits-hadits dan atsar yang berlaku dan berhubungan dengan bahasan tersebut. Keterangan tersebut menjelaskan bahwa sistematika penyusunan kitab beliau pada mulanya berdasarkan pokok-pokok bahasan dan makna Hadits, kemudian keduanya disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah sesuai dengan lafal-lafal Hadits, dan diterangkan secara terinci pada dua alinea berikutnya dengan didukung beberapa Hadits dan atsar dalam empat belas kitab Hadits yang hubungan dengan bahasan dua alinea di atasnya. 2) Kitab Hadits yang membahas sebagian besar masalah keagamaan, yang terdapat bermacam-macam kitab, dan yang masyhur di antaranya adalah: a) al-Sunan Kata ‘sunan’ adalah bentuk jamak dari kata ‘sunnah’, yang pengertiannya juga sama dengan Hadits. Sementara yang dimaksud disini adalah metoda penyusunan kitab Hadits berdasarkan klasifikasi Hukum Islam (abwāb fiqhiyah), dan hanya mencantumkan Hadits-hadits yang bersumber dari Nabi Saw.saja (Hadits-hadits marfū’). Apabila terdapat Hadits-hadits yang bersumber dari shahabat (mauqūf) atau tabi’in (maqthū’), maka relatif jumlahnya hanya sedikit. Berbeda dengan kitab-kitab muwaththa’ atau mushannaf yang banyak memuat Hadits-hadits mauqūf dan maqthū’, meskipun metoda penyusunannya sama dengan kitab sunan. Di antara kitab-kitab sunan yang populer adalah karya Abū Dāwud al-Sijistānī (w. 275 H.), Ibnu Mājah al-Qazwinī (w. 275 H.), al-Nāsa’ī (w. 303 H.) yang semula kitabnya di beri namaal-Mujtaba, dan lain-lain. Imam Syāfi’ī (w. 204 H.) juga menyusun kitab sunan, namun tidak banyak disebut-sebut. b) al-Musannafāt Mushannaf menurut ahli Hadits adalah kitab yang disusun berdasarkan bab-bab fiqh dan memuat Hadits marfū’, mauqūf dan maqthū’.Maksudnya, didalam Mushannaf terdapat Hadits-hadits Nabi, pendapat shahabat, tabi’in, dan terkadang fatwa tabi’ tabi’in. Di antara kitab-kitabnya adalah: al-Mushannaf karya Abū Bakar ‘Abdullāh bin Muhammad bin Abū Syaibah al-Kūfī (w.235 H.); Abū Bakar ‘Abdurrazaq bin Hamām al-Shan’ānī (w. 211 H.); dan Baqī bin Mukhallad al-Qurthubī (w. 276 H.) c) al-Muwaththa’at Secara kebahasaan kata ‘muwaththa’ berarti sesuatu yang dimudahkan. Sedang menurut terminologi Ilmu Hadits, Muwaththa’ adalah metoda pembukuan Hadits yang berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwāb fiqhiyah) dan mencantumkan Hadits-hadits marfū’ (berasal dari Nabi Saw.), mauqūf (berasal dari shahabat) dan maqthū’ (berasal dari tabi’in). Dari kata Muwaththa’ timbul kesan bahwa motivasi pembukuan Hadits dengan metoda ini adalah untuk memudahkan orang dalam menemukan Hadits.Barangkali pada masa itu orang-orang sudah mulai kesulitan untuk merujuk kepada suatu Hadits.Banyak sekali para ulama yang menyusun kitab Hadits dengan menggunakan metode Muwaththa’ ini. Antara lain Imam Ibnu Abī Dzi’b (w. 158 H.) Imam Mālik bin Anas (w. 179 H.), Imam Abū Muhammad al-Marwazī (w. 293 H.), dan lain-lain. Namun tampaknya kitab Imam Mālik adalah yang paling populer di antara kitab-kitab Muwaththa’, sehingga apabila disebutkan namaMuwaththa’, maka konotasinya selalu tertuju kepada kitab beliau. d) al-Mustakhrajat ‘ala al-Sunan Manakala penyusunan kitab Hadits berdasarkan penulisan kembali Hadits-hadits yang terdapat dalam kitab lain, kemudian penulis kitab yang pertama tadi mencantumkan sanad dari dia sendiri, maka metode ini disebut Mustakhraj. Sebagai contoh, kitab Mustakhraj atas kitab Shahīh al-Bukhārī, maka penulisnya menyalin kembali Hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Shahīh al-Bukhārī, kemudian mencantumkan sanad dari dia sendiri bukan sanad yang terdapat dalam kitab Shahīh al-Bukhārī. Terdapat lebih dari sepuluh buah kitab Mustakhraj.Di antaranya al-Mustakhraj ‘ala Shahīh al-Bukhārī karya al-Ismā’īlī (w.371 H.), dan karya Ibnu Abī Dzuhl (w. 378 H.); al-Mustakhraj ‘ala Shahīh Muslim karya Isfirayinī (w. 310 H.), dan karya Abū Hāmid al-Harawī (w. 355 H.), dan ada pula kitab Mustakhraj atas Shahīh al-Bukhārī dan Shahīh Muslim, seperti karya Abū Nu’aim al-Isbahānī (w. 430 H.), Ibnu al-Akhram (w. 344 H.), dan lain-lain. 3) Kitab Hadits yang membahas masalah atau aspek tertentu dari beberapa masalah atau aspek keagamaan, yang terdapat bermacam-macam kitab, dan yang termasyhur di antaranya adalah: a) al-Ajzā’ Kata ajzā’ adalah bentuk jamak dari kata juz. Juz al-Hadīts menurut istilah ahli Hadits adalah kitab kecil yang mengandung salah satu dari dua hal, yaitu: (1) Ada di antaranya yang menghimpun Hadits-hadits riwayat shahabat atau orang setelahnya, seperti karya Ustadz Abū Ma’syar ‘Abdul Karīm bin ‘Abdu al-Shamad al-Thabārī (w. 178 H.) yang berjudul Juz Hadits Riwayat Abū Hanīfah dari Salah Seorang Shahabat; dan (2) Ada di antaranya yang menghimpun Hadits tentang masalah tertentu dengan penjelasan yang luas dan mendalam. Seperti Juz’u Rafi al-Yadaini fī al-Shalah karya al-Bukhārī. b) al-Targhīb wa al-Tarhīb Adalah kitab-kitab Hadits yang berisi tentang Hadits-hadits perangsang terhadap hal-hal yang diperintah atau perhatian terhadap yang dilarang.Seperti Hadits tentang perangsang berbuat baik kepada orang tua dan perhatian untuk menyakitinya.Kitab-kitab ini telah banyak ditulis oleh para ulama. Di antaranya terdapat kitab yang memakai sanad-sanad Hadits dari pengarangnya sendiri, dan ada di antaranya yang tidak memakai sanad serta tidak bercampur dengan kitab-kitab lain. Di antara kitab-kitabnya ialah: (1) al-Targhīb wa al-Tarhīb karya Zakiyyuddīn ‘Abdul ‘Azhīm bin ‘Abdul Qawī al-Mundzirī (w. 656 H.) Kitab ini tidak menyebutkan sanad-sanad Hadits, melainkan menyebutkan penakhrijan dan derajat Hadits; dan (2) al-Targhīb wa al-Tarhīb karya Abū Hafsh ‘Umar bin Ahmad yang terkenal dengan Ibnu Syāhīn (w. 385 H.). Kitab ini menyebutkan sanad Hadits dari pengarangnya sendiri. c) al-Zuhd wa al-Fadhā’il wa al-Adab wa al-Akhlāq Kitab-kitab ini hanya membicarakan masalah tertentu.Maksudnya, hanya menghimpun Hadits dan atsar yang berhubungan dengan masalah tertentu. Di antara kitab-kitabnya adalah: Kitab Zamm al-Ghibah, Zamm al-Hasad dan Zamm al-Dunya. Ketiganya karya Ibnu Abī al-Dunyā Abū Bakar ‘Abdullāh bin Muhammad al-Baghdadī (w. 281 H.) d) al-Ahkām Adalah kitab-kitab yang menghimpun Hadits-hadits hukum yang di ambil dari kitab-kitab Hadits pokok dan disusun berdasarkan bab-bab fiqh. Di antara kitab-kitab yang masyhur adalah: (1) al-Ahkām al-Kubrā dan (2) al-Ahkām al-Shughrā, keduanya karya Abū Muhammad ‘Abdul Haq bin ‘Abdurrahmān al-Asbilī (w. 581 H.); (3) al-Ahkām karya ‘Abdul Ganī bin ‘Abdul Wāhid al-Maqdisī (w. 600 H.) e) Masalah-masalah Tertentu, seperti: (1) Kitāb al-Ikhlāsh, karya AbūBakar ‘Abdullāh bin Muhammad, yang terkenal dengan Ibnu Abī al-Dunyā (w. 281 H.); (2) al-Asmā’ī wa al-Shifah, karya Abū Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqī (w. 458 H.);dan(3) Zamm al-Kalām, karya Abū Ismā’īl ‘Abdullāh bin Muhammad al-Anshārī al-Harawī (w. 481 H.) f) Kitab-kitab tentang Bidang Selain Hadits, seperti: (1) Tafsīr al-Thabārī karya Abū Ja’far Muhammad bin Jarīr al-Thabārī (w. 310 H.); (2) Tafsīr Ibnu Katsīr karya Abū al-Fida’ Ismā’īl bin ‘Umar al-Qurasyī al-Dimasyqī (w. 774 H.); dan (3) Tarīkh al-Thabārī karya Abū Ja’far Muhammad bin Jarīr al-Thabārī (w. 310 H.). g) Kitab-kitab Takhrīj, seperti: (1) Takhrīju Ahādīts al-Kasysyaf dan Nashb al-Rayah li Ahādīts al-Hidāyah karya al-Hāfizh Abū Muhammad ‘Abdullāh bin Yūsuf al-Zaila’ī; (2) al-Talkhīsh al-Khabīr fī Takhrīji Ahādīts al-Syarh al-Wajiz al-Kabīr karya al-Hāfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalānī. h) Kitab Syarh dan Catatan Kitab-kitab Hadits, seperti: (1) Fath al-Bārī bi Syarh Shahīh al-Bukhārī, karya al-Hāfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalānī; (2) ‘Umdah al-QārīSyarh Shahīh al-Bukhārī, karya Abū Muhammad Mahmūd bin Ahmad al-‘Ainī (w. 855 H.); dan (3) Syarhal-Ihyā’, karya Abū al-Faid Muhammad Murtadha al-Zubaidī. e. Metode Kelima Yakni dengan jalan Meneliti Sanad dan Matan Hadits.Yang dimaksud dengan metode ini adalah mempelajari sedalam-dalamnya tentang kedaan matan dan sanad Hadits, kemudian mencari sumbernya dalam kitab-kitab yang khusus membahas keadaan matan dan sanad Hadits tersebut.Pembahasan yang berhubungan dengan Hadits banyak, dalam hal ini hanya disebutkan sebagiannya.Hal ini dimulai dengan pembicaraan tentang sifat dan keadaan matan, sanad, dan kemudian keduanya. 1) Penelitian Matan a) Jika dalam matan Hadits terdapat tanda-tanda kepalsuan seperti lemah lafalnya, rusak maknanya atau bertentangan dengan teks al-Qur’an yang sharīh atau sebagainya maka cara yang tepat untuk mengetahui sumbernya adalah melihat kitab-kitab al-Maudhū’āt (kitab-kitab Hadits Maudhū’). Dengan kitab ini, dapat diketahui Hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat tersebut di atas, takhrījnya, bahasannya, dan penjelasan tentang orang yang memasukannya. Di antara kitab-kitab tentang Hadits Maudhū’ terdapat kitab yang disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah dan terdapat yang disusun berdasarkan bab-bab fiqh. Kitab yang disusun berdasarkan huruf hijaiyah adalah al-Maudhū’ātal-Kubrā karya Syekh ‘Alī al-Qārī al-Hawarī (w. 1014 H.) kitab yang disusun berdasarkan bab-bab fiqh adalah Tanzīh al-Syarī’at al-Marfū’ah ‘an al-Ahādīts al-Syarī’at al-Maudhū’ah, karya Abū Hasan ‘Alī bin Muhammad al-Kannanī (w. 963 H). b) Jika matan itu termasuk Hadits Qudsī, maka sumber yang tepat untuk mencarinya adalah kitab-kitab yang khusus menghimpun Hadits-hadits Qudsī. Di antara kitab-kitab tentang Hadits Qudsī ialah: Misykāt al-Anwar Fīmā Ruwiya ‘an Allāh Subhānahu wa Ta’āla min al-Akhbār, karya Muhyiddīn Muhammad bin ‘Alī bin ‘Arabī al-Khatimī al-Andalusī (w. 638 H.), yang menghimpun 101 Hadits Qudsī lengkap dengan sanadnya; dan al-Ithāf al-Tsāniyyah bi al-Ahādīts Qudsiyyah, karya Syekh ‘Abd al-Rauf al-Munawī (w. 1031 H.), yang berisi 272 Hadits tanpa sanadnya, namun disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah. 2) Penelitian Sanad a) Jika dalam sanad Hadits terdapat kesamaran, seperti seorang bapak meriwayatkan Hadits dari anaknya, maka sumber yang tepat untuk menakhrijnya adalah kitab-kitab yang khusus tentang Hadits-hadits riwayat bapak dari anaknya, seperti kitab Riwāyah al-Abā’ ‘an al-Abnā’, karya Abū Bakar Ahmad bin ‘Alī al- Khathīb al-Baghdadī (w. 463 H). b) Jika sanadnya musalsal, maka dapat dipakai kitab-kitab tentang Hadits musalsal, seperti kitab al-Musalsalah al-Kubrā, karya al-Suyūthī, yang menghimpun 85 Hadits musalsal, dan kitab al-Manāhil al-Salsalah fī Ahādīts al-Musalsalah, karya Muhammad bin ‘Abdul Bāqī al-Ayyūbī, yang menghimpun 212 Hadits Musalsal. c) Jika sanadnya mursal, maka dapat dipakai kitab-kitab tentang Hadits mursal, seperti kitab al-Marāsil, karya Abū Dāwud al-Sijistānī, yang disusun berdasarkan bab-bab fiqh, dan kitab al-Marāsil, karya Ibn AbiHātim ‘Abdurrahmān bin Muhammad al-Hanzal al-Rāzī (w. 327 H). d) Jika perawinya lemah, maka dapat dicari dalam kitab-kitab tentang perawi dhā’īf yang masih dibicarakan kualitasnya seperti kitab Mīzān al-I’tidal, karya al-Dzahabī. 3) Penelitian Matan dan Sanad Dalam hal ini terdapat beberapa sifat dan keadaan seperti adanya ‘illat dan kesamaran baik dalam matan atau sanad Hadits. Hadits yang demikian dapat dicari dalam kitab-kitab yang khusus membicarakan ‘illat dan kesamaran Hadits, yang di antaranya: a) ‘Ilal al-Hadīts, karya Ibnu Abū Hātim al-Rāzī, yang disusun berdasarkan bab-bab fiqh. Pada tiap-tiap bab disebutkan Hadits-hadits yang mengandung ‘illat dan diterangkan ‘illatnya secara baik. b) al-Asmā’ al-Mubhamah fī al-Anba’I al-Muhkamah, karya al-Khathīb al-Baghdadī. Dalam kitab ini dibahas Hadits-hadits yang matannya mengandung nama-nama atau hal-hal yang samar, kemudian hal itu dijelaskan dengan mengemukakan Hadits riwayat lain yang menyebutkan nama atau hal yang samar tersebut secara jelas. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah sesuai dengan nama atau hal yang samar itu. Mengetahui nama atau hal yang samar tersebut adalah sulit sekali, karena bagi orang yang telah mengetahuinya tentu tidak perlu, dan bagi yang belum mengetahuinya tidak akan mengetahui tempatnya. c) al-Mustafād min Mubhamāt al-Matni wa al-Isnād, karya Abū Zur’ah Ahmad bin ‘Abdurrahīm al-‘Irāqī. Kitab ini disusun berdasarkan bab-bab fiqh dan termasuk kitab yang paling berguna serta lengkap dalam membicarakan hal ini. Menurut Mahmūd al-Thahhan, kelima metode tahkrij dan pengetahuan sumber-sumber periwayatan Hadits tersebut di atas di susun melalui penelitian dan pembahasan yang belum pernah di lakukan oleh seorang pun sebelumnya. Adapun yang melatarbelakangi penelitian ini adalah agar penakhrijan Hadits merupakan hal yang mudah dilakukan dan tersebar luas di kalangan mahasiswa syar’i, bahkan intelektual pada umumnya. Selain itu, agar penakhrijaan Hadits tidak hanya dikuasai orang-orang yang merupakan soko gurunya, karena dengan meninggalnya mereka maka hilanglah ilmu itu. Sementara menurut M. Syuhudi Ismail bahwa metode takhrīj terdapat dua cara yaitu: Takhrīj al-Hadīts bi al-Lafzh dan Takhrīj al-Hadīts bi al-Maudhū’. Adapun mengenai kitab-kitab rujukannya dan penjelasannya hampir sama dengan keterangan di atas. 2. Tashhīh dan I’tibār Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang pertama di atas, yang menggunakan pendekatan takhrīj dengan al-naql. Tashhīh adalah menganalisis keshahihan Hadits dengan mengkaji, rawi,sanad dan matn berdasarkan kaidah Mushthalah. Hadits-hadits yang telah terhimpun dari hasil penelusuran dibuat diagramnya berdasarkan alur dan sanad periwayatannya. Kemudian dinilai ‘adil dan dhābithnya rawi berdasarkan kaidah ‘Ilmu Rijāl dan Jarh wa al-Ta’dīl atau dapat menggunakan kitab himpunan para rawi yang lengkap dengan klasifikasinya, seperti Tahdzīb al-Tahdzīb (al-‘Asqalānī). Muttashilnya sanad dinilai dengan ‘Ilmu Rijāl, Tārīkh al-Ruwāh, dan ‘Ilmu Thabaqah sehingga diketahui pertalian antara rawi murid dan rawi guru yang tertera pada sanad.Idhafahnya matan mudah diketahui dengan melihat lafāzh pengantar matan. Adapun tentang ‘illat dan syadznya dianalisis dengan menggunakan ‘Ilmu ‘Illal al-Hadīts, Ma’anal-Hadīts, Gharībal-Hadīts, Fan al-Mubhamāt, Tashhif wa Tahrīf,Nāsikh Mansūkh, dan lain-lain.

Tashhīh merupakan proses menentukan kualitas Hadits dengan menilai rawi, sanad, dan matan menurut kriteria keshahihan dengan menggunakan kaidah ilmu Dirayah. Kualitas Hadis terbagi menjadi dua bagian, yaitu maqbūl dan mardūd.

a. Maqbūl Yang dimaksud dengan maqbūlmenurut bahasa yaitu “مأخوذ” atau “مصدق” artinya yang di ambil atau yang dibenarkan, maksudnya yang diterimanya. Sedangkan menurut istilah Muhadditsīn adalah: مادلّ دليل على رجحان ثبوته Yang ditunjuki oleh suatu keterangan bahwa Nabi Saw.ada menyabdakannya, yakni adanya lebih berat dari tidak adanya. b. Mardūd Mardūd menurut bahasa adalah yang ditolak, yang tidak diterima. Sedangkan menurut istilah Muhadditsīn adalah مالم يدلّ دليل على رجحان ثبوته ولا عدم ثبوته بل يتساوى الامران فيه Sesuatu Hadis yang tidak ditunjuki oleh sesuatu keterangan atas berat adanya dan tiada ditunjuki atas berat ketiadaannya, adanya dengan tidak adanya bersamaan. Dalam istilah lain: مالم توجد فيه صفة القبول Yang tiada didapati padanya sifat menerimanya. Dengan demikian, Hadits maqbūl adalah Hadits yang dapat diterima atau pada dasarnya dapat dijadikan hujjah, yakni dapat dijadikan pedoman dan panduan pengamalan Syari’at, dapat dijadikan alat istinbāth dan bayān terhadap al-Quran, dan dapat di istinbāthi dengan Ushūl Fiqh. Sedangkan Hadits mardūd adalah Hadits yang ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah. Ditinjau dari segi maqbūl dan mardūd di atas, Hadits Ahād terbagi kepada: 1) Hadits Shahīh; 2) Hadits Hasan; dan3) Hadits Dho’īf. Hadits Shahīhdan Hasan nilainya maqbūl, sedangkan Hadits Dho’īf nilainya mardūd. 1) Hadits Shahīh Ta’rif Shahīhmenurut lughat adalah lawan ‘saqīm’, artinya sehat lawan sakit, haq lawan bāthil.Menurut istilah Muhadditsīn. Hadis Shahīh adalah مانقله عدل تام الضّبط متّصل السّند غير معلّل ولا شاذ Hadits yang dinukil atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal. Sedangkan menurut Nuruddin ‘Itr adalah: الحديث الذي إتصل سنده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه ولا يكون شاذا ولا معالا

Hadits yang bersambung sanadnya dengan dinukil atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang paling adil dan dhabith dari awal sampai akhir, tidak janggal dan tidak ber’illat.

Dari kedua definisi di atas, maka suatu Hadits dinilai Shahīhapabila memenuhi syarat: a) Sanadnya bersambung, matannya marfū’ b) Rawinya bersifat ‘adil c) Rawinya sempurna ingatan atau dhabith d) Tidak janggal, syadz e) Tidak ada ‘illat Berikut ini adalah penjelasannya. a) Bersambungnya sanad Yang di maksud dengan bersambungnya sanad adalah setiap perawi saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya (mengajarinya).Dengan demikian, tidak ada sanad yang terputus. b) Rawinya Bersifat ‘Adil Menurut al-Rāzī keadilan ialah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubāh yang menodai muru’ah.Seperti makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang bukan di sediakan untuknya dan bergurau yang berlebih-lebihan. Menurut Ibn al-Sam’ānī keadilan harus memenuhi syarat: (1) Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat. (2) Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun. (3) Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman dan mengakibatkan penyesalan. (4) Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara’. Menurut Muhyiddīn ’Abdul Hāmid, syarat keadilan rawi itu adalah sebagai berikut: (a) Islam, periwayatan orang kafir tidak di terima. (b) Mukallaf, periwayatan anak hidup yang belum dewasa menurut pendapat yang lebih Shahīh, tidak diterima. (c) Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seorang fasik dan cacat pribadi. Pengertian dan ketentuan adil dalam periwayatan berbeda dengan adil dalam kesaksian.Di dalam persaksian (syahadah) dikatakan adil jika terdiri dari dua orang laki-laki yang merdeka.Sedang dalam periwayatan cukup seorang saja, baik orang perempuan, budak atau merdeka. c) Kedhabithan Rawi Yang dimaksud dengan dhabith ialah orang yang terpelihara, kuat ingatannya, ingatnya lebih banyak dari pada kesalahannya. Dhabith ada dua macam: (1) Dhabith al-Shadri, yakni seorang yang mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat, serta daya paham yang tinggi, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendakinya (2) Dhabith al-Kitāb, yakni seseorang yang dhabith atau cermat memelihara catatan atau buku yang ia terima. Unsur-unsur dhabith adalah: (a) Tidak pelupa. (b) Hafal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya bila ia memberikan Hadits dengan hafalan, dan terjaga kitabnya dari kelemahan bila ia meriwayatkan Hadits dengan kitabnya. (c) Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud, bila ia meriwayatkan Hadits menurut maknanya saja. Rawi yang adil dan dhabith disebut tsiqat. d) Tidak ada Kejanggalan Yang dimaksud dengan Syadz atau kejanggalan Hadits yaitu apabila terdapat perbedaan antara suatu Hadits yang di riwayatkan oleh rawi yang maqbūl (yang dapat diterima periwayatannya) dengan Hadits yang di riwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rājih) daripadanya, disebabkan dengan kelebihan jumlah sanad dalam kedhabithan atau adanya segi-segi tarjih yang lain. e) Tanpa ‘lllat ‘lllatHadits ialah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahīhan Hadits, misalnya: meriwayatkan Hadits secara muttashil terhadap Hadits Mursal atau Hadits Munqathi’, atau berupa sisipan yang terdapat pada matan Hadits. Jadi, Hadis Shahīhadalah yang rawinya adil dan sempuna kedhabithannya, sanadnya muttashil dan tidak cacat, matannya marfu’, tidak cacat dan tidak janggal. 2) Hadits Hasan Ta’rif Hadits Hasan ialah: ما نقله عدل قليل الضّبط متّصل السّند غير معلّل ولا شاذ Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil, tak begitu kokoh ingatannya, sanadnya bersambung dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan. Hadits Hasan hampir sama dengan hadits Shahīh. Perbedaannya hanya dalam soal kedhabithan rawi.Hadits Shahīh rawinya tām dhabith, sementara Hadits Hasan rawinya qalīl dhabith. 3) Hadis Dho’īf Ta’rif Hadis Dho’īf menurut lughat adalah yang lemah, lawan qawī yang kuat. Sedangkan menurut istilah Muhadditsīn: مالم يبلغ مرتبة درجة الحسن Hadits yang tidak sampai pada derajat Hasan. مالم يجمع صفات الحديث الصّحيح ولا صفات الحديث الحسن Hadits yang tidak mengumpulkan sifat-sifat Hadits Shahīh atau sifat-sifat Hadits Hasan. Hadis Dho’īf bermacam-macam, dan kedho’īf annya bertingkat-tingkat, tergantung dari jumlah keguguran syarat Hadis Shahīh atau Hadis Hasan, baik mengenai rawi, sanad atau matan. a) Dari Segi Rawi Terdapat kecacatan para rawi, baik mengenai keadilannya maupun mengenai kedhabithannya: (1) Dusta, yakni berdusta dalam membuat Hadis walaupun hanya sekali dalam seumur hidup. Hadis Dho’īf yang karena rawinya dusta disebut Hadis Maudhu’. (2) Tertuduh dusta, yakni rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tapi belum dapat dibuktikan bahwa ia pernah berdusta dalam membuat Hadis. Rawi ini bila benar-benar bertaubat dapat diterima periwayatan (Hadis)-nya. Hadisnya disebut Matrūk. (3) Fasiq, ialah kecurangan dalam amal, bukan kecurangan dalam i’tikad, juga mereka berbuat maksiat. (4) Lengah dalam hapalan dan banyak salah, lengah biasanya terjadi dalam penerimaan Hadis, sedangkan banyak salah terjadi dalam penyampaiannya. Hadis yang rawinya fasiq, lengah dalam hafalan dan banyak salah, disebut Hadis Munkar: (5) Banyak waham(purbasangka), yakni salah sangka seolah-olah Hadis tersebut tidak ada cacat baik pada matan maupun pada sanad. Hadis yang demikian disebut Hadis Mu’allal. (6) Menyalahi riwayat orang kepercayaan: (a) Membuat suatu sisipan, baik pada sanad maupun pada matan, mungkin perkataannya sendiri atau perkataan orang lain, baik sahabat maupun tabi’in yang dimaksudkan untuk menerangkan makna kalimat-kalimat yang sukar atau mentaqyidkan makna yang mutlak. Hadisnya disebut Hadis Mudraj: (b) Memutarbalikkan, yakni mendahulukan sesuatu pada satu tempat dan mengakhirkannya pada tempat yang lain, adakalanya pada matan dan adakalanya pada sanad. Hadisnya disebut Maqlūb (c) Menukar-nukarkan rawi. Hadisnya disebut Mudhtharib (d) Perubahan syakal-huruf yakni tanda hidup dan tanda mati (sakanat), sedang bentuk tulisannya tidak berubah, seperti basyīr dibaca busyair. Hadisnya disebut Muharraf (e) Perubahan tentang titik-titik kata, seperti kata “ستا”dirubah menjadi “شيأ” (sittan jadi syaian). Hadisnya disebut Mushahhaf: (7) Tidak diketahui identitasnya (jahalah), kadang-kadang tidak disebutkan namanya, atau disebutkan tapi tidak dijelaskan siapa sebenarnya yang dimaksud nama itu, atau hanya disebutkan hubungan keluarganya (ibn, ummun, abun, dan lain-lain) yang belum menunjukkan nama pribadinya. Hal tersebut bisa jadi pada matan atau pada sanad. Hadisnya disebut Hadis Mubham. Akan tetapi, bila nama seorang rawi disebutkan dengan jelas dan ternyata ia bukan tergolong orang yang sudah dikenal keadilannya dan tidak ada rawi yang tsiqat, yang meriwayatkan darinya selain seorang saja, maka Hadisnya disebut Majhūl. Lain halnya, jika seorang rawi dikenal keadilannya dan kedhabithannya atas dasar periwayatan orang-orang yang tsiqat, akan tetapi penilaian orang tersebut belum mencapai kebulatan suara, maka Hadisnya disebut Mastūr. (8) Penganut bid’ah, yakni ada kecurangan dalam i’tiqad, mereka mengi’tiqadkan sesuatu i’tiqad yang berlawanan dengan yang diterima dari Nabi Muhammad Saw. dengan dasar syubhat. Bid’ah adakalanya mengkafirkan dan adakalanya memfasikkan. Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang ditolak itu dinamakan Hadis Mardūd. (9) Tidak baik hafalannya: (a) Menyalahi riwayat orang yang lebih rājih. Hadisnya disebut Syadz: (b) Buruk hafalan karena lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitabnya. Yang dimaksud dengan su’u al-hifdzi ialah kalau salahnya lebih banyak daripada betulnya, lupanya lebih banyak daripada hafalnya. Hadisnya disebut Mukhtalith. b) Dari Segi Sanad Suatu Hadis menjadi Dho’īf karena sanadnya tidak bersambung-sambung (tidak muttashil), rawi murid tidak bertemu dengan rawi guru, sehingga terdapat inqitha’ (gugur rawi) pada sanad. (1) Gugur sanad pertama (guru mudawwin), yakni rawi yang menyampaikan Hadis kepada mudawwin. Hadisnya disebut Mu’allaq (2) Gugur pada sanad terakhir atau rawi pertama (sahabat), yakni tabi’in menisbahkan matan Hadis kepada Nabi Saw. tanpa menyebutkan dari sahabat mana ia menerima Hadis tersebut. Hadisnya disebut Mursal. Hadis Mursal ada tiga macam. (a) Mursal Jalī, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabi’in) adalah jelas sekali dapat diketahui, ia tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita. (b) Mursal Shahabī, yaitu pemberitaan shahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad atau menyaksikan apa yang ia beritakan, namun disaat Rasulullah masih hidup ia masih kecil atau terakhir masuknya kedalam Islam. (c) Mursal Khafī, yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh tabi’in, tabi’in yang meriwayatkan hidup sezaman dengan shahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah Hadispun darinya. Hadis Mursal Shahabī bisa shahīh, sebab shahabat yang meriwayatkannya itu adil. (3) Gugur dua rawi atau lebih berturut-turut, Hadisnya disebut Hadis Mu’dhal. (4) Gugur seorang rawi atau lebih tapi tidak berturut-turut. Hadisnya disebut Munqathi’. c) Dari Segi Matan Penisbahan matan tidak pada Nabi Muhammad Saw. (1) Penisbahan matan kepada sahabat disebut Mauquf (2) Penisbahan matan kepada tabi’in disebut Maqthu’ Hadits shahīh dengan persyaratan tersebut diatas dinamakan Hadits Shahīh li Dzatihi (shahīh dengan sendirinya).Demikian juga Hadits Hasan dengan persyaratan tersebut diatas dinamakan Hadits Hasan li Dzatihi. Selain Hadits li Dzatihi terdapat juga Hadits li Ghairihi yakni, Hadits Shahīh li Ghairihi dan Hadis Hasan li Ghairihi. Hadits Shahīh li Ghairihi adalah Hadits Hasan li Dzatihi yang derajatnya menjadi Shahīh karena diperkuat dengan syāhid dan atau muttabi’ artinya sanad lain. Jadi kalau terdapat satu matan Hadits yang Hasan dikuatkan oleh matanlain yang Hasan, yang disebut syāhid, maka masing-masing dari kedua Hadits Hasan tersebut menjadi Hadis Shahīh li Ghairihi. Hadits Hasan yang yang satu menjadi Shahīh karena kekuatan syāhid dari Hadits Hasan yang satu lagi, dan begitu sebaliknya, keduanya saling menguatkan. Begitu pula bila Hadits Hasan memiliki dua sanad atau lebih (muttabi’), juga naik kualitasnya menjadi Hadits Shahīh li Ghairihi Ta’rif Hadits Shahīh li Ghairihi adalah Hadits yang keadaan rawi-rawinya kurang hāfidz dan dhabith tetapi mereka masih terkenal orang jujur hingga karenanya berderajat Hasan, lalu didapati padanya jalan yang serupa atau lebih kuat hal-hal yang dapat menutupi kekurangan tadi. Adapun Hadits Hasan li Ghairihi sebenarnya ialah Hadits Dho’īf yang menjadi Hasan karena diperkuat oleh adanya syāhid dan atau muttabi’. Hadits yang diidhafahkan kepada shahabat seperti ucapan ‘Umar, yakni Hadits Mauquf, termasuk Hadits Dho’īf. Hadits Dho’īf ini bila diperkuat oleh syāhid Hadits Mauquf lagi, ucapan Abu Bakar umpamanya, maka kualitasnya naik menjadi Hasan, namun Hasan li Ghairihi. Hadis Mauquf ‘Umar menjadi Hasan karena diperkuat Hadits Mauquf Abu Bakar, keduanya saling menguatkan. Begitu pula halnya bila Hadits Mauquf itu bersanadmuttabi’, maka kualitasnya naik menjadi Hasan li Ghairihi Hadits Dho’īf, bila ada syāhid dan atau muttabi’ dapat menjadi Hasan li Ghairihi yang berkualitas maqbūl, kecuali Hadits Dho’īf yang terendah, yakni Hadits Maudhu’ (Hadits yang rawinya dusta), Hadits Matrūk (Hadits yang rawinya tertuduh dusta), dan Hadits Munkar (Hadits yang rawinya fasik dan banyak salah). Untuk Hadits Maudhu’, Matrūk dan Munkar walaupun syāhid dan atau muttabi’ nya banyak tidak akan menjadi Hasan li Ghairihi. Ta’rif Hadits Shahīh, Hasan dan Dho’īf di atas merupakan kaidah keshahīhan Hadits, yakni syarat dan kriteria yang menentukan Hadits itu Shahīh, Hasan atau Dho’īf Cara untuk mengetahui kualitas Hadis, apakah maqbūlShahīh, maqbūlHasan, atau mardūdDho’īf dilihat keadaan rawi, sanad dan matannya. Bila rawinya adil dan tām dhabith, sanadnya muttashil dan tidak ada ‘illat, matannya marfu’, dan tidak janggal (syadz), maka Hadits tersebut termasuk Hadits Shahīh yang kualitasnya maqbūl. Bila keadaan lainnya seperti di atas, namun kedhabithannya tidak sampai tām (sempurna), hanya qalīl saja, maka Hadits tersebut Hasan maqbūl. Bila salah satu syarat dari Hadits maqbūl tadi faqid (gugur) atau tidak terpenuhi, maka Hadits tersebut Dho’īf dan berkualitas mardūd. Hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah kecuali dikuatkan oleh syāhid dan atau muttabi’ dan bukan termasuk Hadits Maudhu’, Matrūk dan Munkar. Mengetahui keadilan dan kedhabithan rawi adalah dengan menggunakan Ilmu Jarhwa al-Ta’dīl dan Ilmu Rijāl seperti kitab Tahdzīb al-Tahdzīb. Meneliti ittishalnya, yakni bersambung sanad menggunakan kitab Rijāl, sehingga diketahui apakah rawi murid (penerima periwayatan) dan rawi guru (penyampai periwayatan) yang tercantum pada sanad itu liqā’ (bertemu) atau tidak. Menentukan apakah matannya bebas dari kecacatan (‘illat) dan kejanggalan (syadz), menggunakan kitab Ma’ān al-Hadīts, Gharīb al-Hadīts, Asbāb Wurūd al-Hadīts, dan lain-lain. Kalau untuk melihat apakah matannya marfu’ atau tidak, mudah sekali, lihat saja tanda idhafahnya. Kalau ada idhafah pada Nabi Saw, seperti “Qāla Nabi Saw.” atau Kāna Rasulullah Saw. Hākadzā”, maka jelas Hadits tersebut Marfu’. Cara menentukan keshahīhan Hadits seperti itu, yakni dengan menggunakan kaidah keshahīhan Hadis, disebut metode Tashhīh. Metode dan cara inilah yang digunakan para rawi Mudawwin pada waktu menyeleksi dan menyaring Hadits untuk keperluan tadwin Hadits. Mereka menerima ribuan bahkan ratusan ribu Hadits dan dihafalnya lengkap dengan sanadnya, lalu diteliti keadaan matan, rawi, dan sanadnya, setelah yakin akan kemurnian Hadits, maka barulah ditulis dalam koleksi Diwan atau Kitab Hadits. Begitu pula yang dilakukan oleh para penyarah dan pentakhrij kitab Hadits dari kalangan Muhadditsīn Muta’akhirīn, sampai diketahui kualitas Hadits-hadits yang termaktub pada kitab Hadits, dan lalu dapat mengklasifikasikan kitab Hadits dari segi kualitas Haditsnya. Dari penjelasan tadi diketahui bahwa untuk dapat menentukan kualitas Hadits, harus ahli dalam Ilmu Hadits. Cara kedua, untuk mengetahui kualitas Hadis adalah dengan menggunakan petunjuk atau I’tibār dari hal-hal yang dapat menunjukkan kualitas Hadits. Di antara petunjuk atau I’tibār yang dapat menunjukkan pemahaman tentang kualitas Hadits adalah jenis Kitab Haditsnya, atau penjelasan Kitab Syarh, atau dari penggunaan Hadits oleh para ahli dalam fan Ilmu Agama Islam. Metode atau cara tersebut dinamakan metode I’tibār, mencari dan mendapatkan petunjuk untuk mengetahui kualitas Hadits. a. I’tibār Diwan Hadits Metode ini bisa digunakan untuk mengetahui kualitas Hadits, sebab para ulama Muhadditsīn telah mengkualifikasikan kitab Hadits berkaitan dengan kualitas Hadits-hadits yang ditadwin, bahkan dengan penggunaan nama Kitab Hadits tersebut. Para ulama Muhadditsīn berpendapat bahwa isi kitab Shahīh, Haditsnya berkualitas Shahīh.Dari mana kitab Hadits Jāmi’ al-Shahīh yang artinya koleksi Hadits Shahīh, kita mendapat petunjuk atau I’tibār, bahwa Hadits yang ditadwin di situ berkualitas Shahīh, setidaknya ‘inda mudawwinya.Misalnya, al-Jāmi’ al-Shahīhli al-Bukhārī memberi petunjuk, bahwa Hadits-hadits dalam kitab tersebut berkualitas Shahīh menurut versi Bukhārī. Begitu pula terhadap kitab lainnya yang telah dikualifikasikan sebagai kitab Shahīh oleh para ulama Muhadditsīn, seperti kitab Shahīh Muslim, Mustadrak al-Hākim, Shahīh Ibn Khuzaimah, Shahīh Ibn Hibbān, Shahīh Ibn Jarud, dan Shahīh Abū ‘Awānah. Bahwa derajat keshahīhan Hadits dari isi kitab-kitab tersebut berbeda-beda satu sama lain, hal ini sebab tingkatpentashhĪhan para mudawwin berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Kitab Mustadrakal-Hākim mengoleksi Hadits Shahīh yang oleh Bukhārī dan Muslim tidak di pandang sebagai Shahīh atau terkoleksi dalam al-Jāmi’ nya. Kitab Sunan, menurut Muhadditsīn adalah kitab Hadits yang menghimpun Hadits yang kualitasnya Shahīh, Hasan, dan Dha’īf, tapi Dha’īf nya tidak sampai Maudhu’, Matrūk atau Munkar. Dari petunjuk ini dapat di ketahui bahwa Hadits yang di tadwin pada kitab Sunan Abū Dawud, al-Timidzī, al-Nasā’ī, Ibn Mājah, al-Dārimī, al-Dailamī, al-Baihaqī, al-Dāruquthnī, kualitasnya Shahīh, hasanatu dha’īf, namun kedha’ifannya tidak sampai Maudhu’, Matrūk, atau Munkar. Kitab Musnad dan kitab Mushanaf awal, menurut pendapat ulama Muhadditsīn, berisi Hadits Shahīh, Hasan, atau Dha’īf, bahkan kedha’īfannya sampai pada tingkat Munkar, Matrūk dan Maudhu’. Dari I’tibār tersebut diketahui bahwa isi kitab-kitab seperti: Mushannaf al-Muwaththa’, Musnad: Abū Hanīfah, al-Syāfi’ī, Ahmad, Ya’qūb, Musaddad Musarhad, ‘Ubaidillāh, Humaidī, dan lain-lain, Haditsnya ada yang Shahīh, Hasan, dan Dha’īf, bahkan mungkin Munkar, Matrūk, dan Maudhu’. Untuk mengetahui siapa mudawwin Hadits dan dalam kitab apa Hadits itu ditadwin? Hal ini perlu di lihat dari footnote atau catatan kaki Hadits tersebut atau Mushannif kitab Haditsnya. Para penakhrij atau pengutip Hadits untuk dikoleksi ba’da al-tadwīn, seperti al-‘Asqalānī, al-Syaukānī, dan lain-lain telah menciptakan footnote bila mengutip suatu Hadits dari suatu kitab Hadits dan mengoleksi dalam kitab Takhrīj. Lafadz “Rawāhu” (رواه), adalah contoh footnote, artinya ia telah meriwayatkannya, atau ia telah mentadwinkannya, yakni mengoleksi Hadits dalam Diwan. Contoh: “Rawāhual-Bukhārī” (رواه البخارى), maksudnya al-Bukhārī telah meriwayatkan, mentadwinnya, yakni mentadwin Hadits tersebut dalam kitab yang namanya al-Jāmi’ al-Shahīh nya. b. I’tibār syarh Untuk mengetahui petunjuk tentang kualitas Hadits, bisa dengan menggunakan I’tibār syarh, sebab dalam syarh tersebut antara lain dibahas tentang kualitas Haditsnya. Umpamanya, dari Hadits yang “Rawāhu Abū Dāwud”, kualitas Haditsnya mungkin Shahīh, Hasan, atau Dha’īf. Namun kedha’īf annya tidak sampai Maudhu’, Matrūk dan Munkar. Untuk mendapat kepastian kualitas Hadits tersebut, maka dicari petunjuk dari kitab Syarh Sunan Abū Dāwud, seperti kitab Mu’allim al-Sunan karya al-Khaththabī atau dari kitab ‘Aun al-Ma’būd karya Abū al-Thayib Syams al-Haq. Semua kitab atau Diwan Hadis yang dihasilkan masa (‘inda tadwin) itu sudah diberi syarh oleh para ulama Muhadditsīn Muta’akhirīn. c. I’tibārFan Maksudnya mencari petunjuk untuk mengetahui kualitas Hadits dari kitab fan, yakni kitab Tauhid, Fiqh, Akhlaq, Tasawuf dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengetahui kualitas Hadits tertentu, dilihat penggunaan Hadits tersebut oleh ulama Fan. Bila dipakai, maka bisa diambil petunjuk bahwa Hadits tersebut maqbūl ma’mūl, setidaknya oleh ulama fan tersebut. Yang lebih intensif bila dilihat dalam kitab fan yang muqāranah, seperti Bidāyah al-Mujtahid, biasanya ikhtilaf madzhab dikaitkan dengan masalah penggunaan Hadits yang kualitasnya diperselisihkan. Dengan demikian, dapat diketahui kualitas Hadits yang akan dijadikan obyek penelitian. Selain itu, harus diketahui tentang martabat dari Hadits Shahīhdan Hasan, untuk memudahkan dalam menentukan kualitas Hadits yang akan diteliti tersebut. Derajat dan kekuatan Hadits Shahīh berlebih berkurang mengingat berlebih berkurangnya sifat kedhabithandan keadilan rawi serta keadaan sanadnya. Urutan-urutan Hadits Shahīh menurut derajatnya mulai yang tertinggi adalah sebagai berikut: 1) Hadis Shahīh yang bersanad Ashah al-Asanīd Ashah al-Asanīd ialah sanad yang paling tinggi martabatnya oleh karna rangkaian rawi dalam sanad suatu Hadits terdiri dari rawi-rawi yang paling tinggi derajat adil dan dhabithnya, antara lain: a) Mālik, Nāfi’, ’Abdullāh ibn ‘Umar. b) Ibn Syihāb al-Zuhrī, Salim, ‘Abdullāh ibn ‘Umar. c) Zainal ‘Ābidīn, Hasan, ’Alī ibn Abū Thālib. 2) Hadits yang Muttafaq ‘Alaih atau Muttafaq ‘Alaih Sihhatihi yaitu Hadits Shahīh yang sanad mudawwinnya adalah Bukhārī dan Muslim atau sanadnya telah di sepakati oleh Bukhārī dan Muslim. 3) Hadits yang diriwayatkan (ditakhrijkan) oleh Bukhārī sendiri, sedang Muslim tidak meriwayatkannya. Untuk itu disebut infarada bih al-Bukhārī. 4) Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri sedang Bukhārī tidak meriwayatkannya. Hadits yang hanya meriwayatkan Muslim dan tidak diriwayatkan oleh Bukhārī tetap disebut infarada bihi Muslim, walaupun Hadits tersebut diriwayatkan oleh pentakhrij yang lain semisal Abū Dāwud, al-Nasā’ī, Ibnu Mājah dan begitu sebaliknya dengan infarada bih al-Bukhārī. 5) Hadits Shahīh yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhārī dan Muslim. Hadits demikian disebut dengan Shahīhun ‘ala Syarthi al-Bukhārī wa Muslim, artinya bahwa rawi-rawi Hadits yang dikemukakan itu terdapat didalam kedua kitab Hadits Shahīh Bukhārī dan Shahīh Muslim, walaupun kedua Imam Hadits tersebut tidak mentakhrijnya. 6) Hadits Shahīh yang menurut syarat Bukhārī, sedang Bukhārī sendiri tidak mentakhrijnya, disebut Shahīh ‘ala Syarthi al-Bukhārī. 7) Hadits Shahīh menurut syarat Muslim, sedangkan Muslim sendiri tidak mentakhrijnya, disebut Shahīh ‘ala Syarthi Muslim. 8) Hadits yang tidak menurut salah satu syarat dari Bukhārī dan Muslim, pentakhrij tidak mengambil Hadits dari rawi-rawi atau guru-guru Bukhārī dan Muslim yang telah beliau sepakati bersama atau yang masih diperselisihkan oleh imam-imam Hadits yang keenam. Misalnya, Hadits-hadits Shahīh yang terdapat pada Shahīh Ibnu Khuzaimah, Shahīh Ibnu Hibbān, Mustadrak al-Hākim. Seperti halnya martabat Hadits Shahīh, maka tinggi rendahnya martabat Hadits Hasanpun dikarenakan perbedaan kedhabithan dan keadilan rawi. Urutan martabat atau derajat Hadits Hasan adalah: 1) Hadits Hasan dengan Ahsan al-Asānīd, diantaranya: a) Bahaz bin Hākim, Hākim bin Mu’āwiyah, Mu’āwiyah bin Haidah. b) ‘Amr bin Syu’aib, Syu’aib ibn Muhammad, Muhammad ibn ‘Abdullāh. 2) Hadits Hasan li Dzatihi 3) Hadits Hasan li Ghairihi. Hadits maqbūl, yakni Hadits: (1) Shahīhli Dzatihi, (2) Shahīhli Ghairihi, (3) Hasan li Dzatihi, (4) Hasan li Ghairihi, kesemuanya dapat diterima menjadi hujjah dan pada dasarnya dapat diamalkan dan digunakan. Hadits maqbūl yang dapat diamalkan disebut Hadits maqbūl ma’mūl bih. Dalam pada itu, ada Hadits maqbūl yang tidak dapat diamalkan, bukan karena kurang dalam kemaqbūlannya.Namun karena beberapa sebab yang lain, Hadits demikian disebut Hadits maqbūl ghair ma’mūl bih. Jadi, dari segi pengamalannya Hadits maqbūl terbagi pada: 1) Hadits Maqbūl Ma’mūl bih, yakni: a) Hadits Muhkam, ialah Hadits yang dapat diamalkan secara pasti, sebab tidak ada syubhat sedikitpun, tidak ada pertentangan dengan Hadits lain yang mempengaruhi atau melawan artinya, jelas dan tegas lafazh dan maknanya. b) Hadits Mukhtalif, yakni Hadits maqbūl yang tanaqud (berlawanan) yang dapat dikompromikan (jam’u). Hadits-hadits yang saling berlawanan kalau bisa dikompromikan diamalkan kedua-duanya. c) Hadits Rājih, yakni Hadits yang terkuat di antara dua buah Hadits maqbūl yang berlawanan. d) Hadits Nāsikh, yakni Hadits yang datang lebih akhir yang menghapus ketentuan hukum yang datang lebih dahulu dari dua buah Hadits maqbūl yang tanaqud. 2) Hadits Maqbūl Ghair Ma’mūl bih: a) Hadits Mutasyābih, ialah Hadits yang sukar dipahami maksudnya karena tidak diketahui takwilnya. Hadits Mutasyābih harus diimankan adanya tapi tidak boleh diamalkan. b) Hadits Marjūh, yakni Hadits maqbūl yang ditendang oleh Hadits maqbūl yang lebih kuat. c) Hadits Mansūkh, yakni Hadits maqbūl yang telah dihapuskan oleh Hadits maqbūl yang datang kemudian. d) Hadits Mutawwaqaf fih, yakni dua buah Hadits maqbūl atau lebih yang saling berlawanan yang tidak dapat dikompromikan, dinasakh atau ditarjih. Kedua Hadits tersebut hendaknya dibekukan untuk sementara. Apabila ada dua Hadits itu maqbūl nilainya, namun saling berlawanan lahirnya (mukhtalif) maka cara mengatasinya adalah: 1) Menjama’kan (mengkompromikan) keduanya sampai hilang perlawanannya, kedua-duanya diamalkan. 2) Dicari Rājih-Marjūhnya (tarjih), Hadits yang Rājih diamalkan dan yang Marjūh ditinggalkan. Ada tiga cara: a) Dari segi Sanad (i’tibār al-sanad) (1) Rawi yang banyak lebih kuat (rajih) daripada yang sedikit. (2) Rawi shahabat besar lebih kuat (rajih) daripada rawi shahabat kecil. (3) Rawi yang tsiqat lebih kuat (rajih) daripada rawi yang kurang tsiqat. b) Dari segi Matan (i’tibāral-matan) (1) Hadits yang mempunyai arti hakikat merajihkan Hadits yang mempunyai arti majazi. (2) Hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi merajihkan Hadits yang hanya mempunyai petunjuk maksud dari satu segi. (3) Matan Hadits qauli merajih yang fi’li. c) Dari segi hasil penunjukkan (madlūl), madlūl yang mutsbit (positif) merajihkan yang nafi’ (negatif). 3) Dicari Nāsikh-Mansūkh, yang Nāsikh diamalkan, yang Mansūkh ditinggalkan. Cara menasakh termaksud adalah sebagai berikut: a) Penjelasan syar’i sendiri (melalui pernyataan Nabi Saw.) b) Penjelasan dari shahabat, mereka menyaksikan wurudnya Hadits. c) Diketahui masa wurudnya Hadits: (1) Terdapat kata-kata ibtida atau awal (2) Terdapat kata-kata qabliyah (3) Terdapat kata-kata ba’diyah (4) Terdapat kata-kata yang menunjukkan waktu; sebulan sebelum, sebulan sesudah, setahun sebelum, setahun sesudah dan lain-lain. 4) Ditawaqufkan bila tidak bisa dijama’, ditarjih dan dinasakh. Haditsnya tidak diamalkan. Pada dasarnya nilai Hadits Dho’īf adalah mardūd, tertolak dan tidak dapat dijadikan hujjah. Hadits Maudhu’sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah. Bahkan meriwayatkan Hadits Maudhu’ tanpa menyebutkan kemaudhu’annya dilarang. Bila Hadits Dho’īfmempunyai syāhidatau muttabi’, nilainya naik menjadi Hasan li Ghairihi. Namun bukan termasuk kategori Hadits Maudhu’, Matrūk dan Munkar. Pendapat para ulama tentang meriwayatkan (untuk berhujjah) terhadap Hadits Dho’īf Gharīb (tidak ada syāhid dan muttabi’) dan tidak Maudhu’, sebagai berikut: 1) Abū Bakar ibn al-’Arabī berpendapat bahwa meriwayatkan dan atau mempergunakan untuk berhujjah dengan Hadits Dho’īf, baik untuk menetapkan hukum maupun tentang keutamaan amal, ia melarang secara mutlak. 2) Ahmad bin Hanbal, ‘Abdurrahmān bin Mahdī, ‘Abdullāh bin al-Mubārak berpendapat bahwa boleh meriwayatkan dan menggunakan Hadits Dho’īf untuk memberi dorongan, menerangkan keutamaan amal dan cerita, bukan untuk hukum syari’at dan akidah. 3) Ibnu Hajar al-’Asqalānī membolehkan berhujjah dengan Hadits Dho’īf untuk fadhā’il al- ‘amal, dengan syarat: a) Hadits Dho’īf itu tidak keterlaluan (bukan Maudhu’, Matrūk dan Munkar) b) Dasar amal yang ditunjuk oleh Hadits Dho’īf tersebut dibawah suatu dasar yang dibenarkan oleh Hadits Shahīhdan Hasan. c) Dalam mengamalkannya tidak mengi’tiqadkan bahwa Hadits tersebut benar-benar bersumber dari Nabi, tujuan mengamalkannya hanya semata-mata untuk ikhtiyāth, kehati-hatian saja. 4) Al-Nawāwī berpendapat, bahwa bila hendak menukilkan Hadis Dho’īf tanpa menyebutkan sanadnya, hendaknya jangan memakai sighat jazm (qāla, fa’ala, dan amara Rasulullāh kadza wa kadza) tapi hendaknya dengan sighat tamrid (ruwiya ‘an, hukiya ‘an Rasulillāh annahu qāla, annahu dzakara). Sebab sighat jazm ini memberikan pengertian bahwa Rasul benar-benar bersabda, berbuat atau memerintahkan seperti apa yang diriwayatkan. Apabila membaca kitab Hadits terdapat suatu Hadits yang termasuk kategori Hadis Dho’īfMu’allaq, jangan terburu-buru menghukumi sebagai Hadits Dho’īfMu’allaq, sebab kemungkinan mudawwin telah menulis Hadits tersebut dalam sanad yang muttashil ditempat lain, maksudnya hanya untuk meringkas atau menghindari pengulangan sanad. Tentang kehujjahan Hadits Mursal dikalagan ulama terdapat perbedaan pendapat: 1) Mālik, Ahmad, dan Abū Hanīfah menerima Hadits Mursal sebagai hujjah, beralasan oleh karena tabi’in dipandang sebagai rawi yang adil dan dianggap tidak mungkin mengadakan penipuan tentang pengguguran rawi shahabat. 2) al-Syāfi’ī dan ulama jumhur memandang bahwa Hadits Mursal sebagai Hadits Dho’īf, tidak dapat dibuat hujjah, sebab rawi yang digugurkan tersebut belum jelas identitasnya. al-Syāfi’ī mengecualikan. a) Hadits Mursal dari Ibn al-Musayyab, sebab pada umumnya ia tidak meriwayatkan Hadits selain dari Abū Hurairah. b) Hadits Mursal yang dikuatkan oleh Hadits Musnad Dho’īf maupun Shahīh. c) Hadits Mursal yang dikuatkan oleh qiyas d) Hadits Mursal yang dikuatkan oleh Hadits Mursal yang lain. al-Syaukānī menekankan bahwa Hadits Mursal tidak dapat dibuat hujjah secara mutlak, karena adanya keraguan dan tidak diketahui dengan jelas tentang keadaan rawinya, syarat untuk mengamalkan Hadits harus diketahui keadilannya. 3. al-Bahts dan Syarh Kegiatan ini merupakan pembahasan dan pensyarahan untuk memahami kandungan makna, kapasitas ta’amul implementasinya, asbāb al-wurud (konteks), peran bayan terhadap al-Quran, istinbāth ahkām, ikhtilāf dan problematika pemahaman dan pengamalannya, baik menurut pensyarah sendiri maupun sepanjang yang telah diungkapkan para ulama terdahulu. Sementara menurut Anton Athoillah, secara umum proses takhrīj Hadits dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini: 1. Menemukan Hadits yang akan diteliti dalam buku/tulisan populer. Yang dimaksud dengan buku/tulisan populer di sini adalah semua buku non-Hadits yang di dalamnya terdapat Hadits, seperti buku-buku fikih, ekonomi syari’ah, ilmu kalam, khutbah jum’at, makalah, artikel, dan lain-lain. 2. Mencari Hadits tersebut dalam tema-tema yang tersebar dalam kitab-kitab Hadits populer, seperti Bulūgh al-Marām, Riyādh al-Shālihīn, Arba’īn al-Nawawiyah, Mukhtār al-Hadīts, dan lain-lain. 3. Menentukan metode takhrīj mana, dari kelima metode takhrīj yang ada, yang akan dipergunakan peneliti dalam proses takhrīj ini. 4. Melakukan langkah-langkah prosedural takhrīj, sesuai dengan metode takhrīj yang dipergunakan. 5. Menghadirkan al-Mashādir al-Ashliyyah, sesuai dengan temuan yang diperoleh pada langkah keempat. 6. Menentukan riwayat pertama Hadits yang akan diteliti. Langkah ini bisa dihubungkan dengan langkah pertama, ketika peneliti menemukan Hadits tersebut pertama kali dalam buku populer. Langkah ini bisa juga dilakukan dengan memposisikan mudawwin pertama sebagai riwayat pertama Hadits yang akan diteliti. 7. Melakukan I’tibar, untuk mengetahui sejumlah syāhid dan muttabi’ bagi sanad pertama yang dipilih dari riwayat pertama. 8. Melakukan tarajjum untuk semua ruwah pada sanad pertama, berupa aplikasi kaedah kesahihan sanad yang diambil dari ‘Ilmu Rijāl al-Hadīts (Tārīkh al-Ruwāh dan al-Jarh wa al-Ta’dīl) 9. Melakukan tarajjum untuk semua ruwah pada seluruh sisa sanad yang ditemukan dari I’tibār . 10. Melakukan muqāranat al-asānīd untuk memastikan peringkat kualitas martabat al-rawi. 11. Mengoperasionalkan kaedah kesahihan matan untuk memperoleh matan yang otentik. 12. Melakukan muqāranat al-mutun untuk memilih matan yang paling otentik. 13. Melakukan al-ta’alluq al-ma’nawi dari matan terpilih dengan matanlain, atau dengan ayat Qur’an. 14. Melihat al-syarah al-turatsi untuk al-ta’alluq al-ma’nawi dari matan terpilih. 15. Melihat al-syarah al-mu’ashir untuk al-ta’alluq al-ma’nawi dari matan terpilih 16. Membuat Fiqh al-Hadīts

17. Melihat relevansi Hadits dengan persoalan dan tema-tema kekinian, kemoderenan, dan keindonesiaan.

C. ‘Ilmu Jarh wa al-Ta’dīl 1. Pengertian Jarh wa Al-Ta’dīl Secara etimologis, al-Jarh , merupakan bentuk mashdar, dari kata جرح يجرحهyang berarti “melukai”.Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, ataupun berkaitan dengan non-fisik, misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan oleh seseorang.Apabila kata Jaraha dipakai oleh hakim pengadilan yang ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti “menggugurkan keabsahan saksi”. Menurut istilah ilmu Hadits, kata al-Jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Kata al-Tajrīh menurut istilah berarti pengungkapan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang tercela yang menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut. Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-Jarhdan al-Tajrīh, dan sebagian yang lain membedakan penggunaan kedua kata itu. Mereka yang membedakan beralasan bahwa kata al-Jarhberkonotasi tidak mencari-cari ketercelaan seseorang, ketercelaan tersebut memang telah nampak pada seseorang, sedangkan al-Tajrīhberkonotasi ada upaya aktif untuk mencari dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang. Perbuatan Tajrīh termasuk mengumpat yang diperbolehkan oleh agama, sebab untuk keperluan agama dan tidak melampaui batas kemanusiaan. Tajrih rawi berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: a. Bid’ah, yaitu mempunyai i’tikad berlawanan dengan dasar Syari’at. Orang tersebut digolongkan kafir, seperti golongan Rafidhah yang mempercayai bahwa Tuhan menyatu dengan ‘Ali dan imam-imam lain, dan mempercayai bahwa ‘Ali akan kembali ke dunia sebelum kiamat. b. Mukhalafah, yaitu perlawanan sifat ‘adil dan dhabith seorang rawi dengan rawi yang lain yang lebih kuat yang tidak dapat dijama’kan atau dikompromikan. c. Ghalath, yaitu kesalahan, seperti lemah hafalan atau salah sangka, baik sedikit maupun banyak kesalahan yang dilakukan. d. Jahalah al-Hal, yaitu tidak diketahui identitasnya e. Da’wa al-Inqitha’, yaitu mendakwa terputusnya sanad. Adapun kata al-Ta’dīl, adalah mashdar dari kata kerja ‘addala, artinya mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang.Menurut istilah ilmu Haditsadalah mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima. Dengan demikian, ‘Ilmu Jarh wa Al-Ta’dīl adalah: العلم الّذى يبحث في أحوال الرّواة من حيث قبول رواياتهم أوردّها Ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka. Kaidah tajrīhdan ta’dīl ada dua macam: a. Naqd Khariji, yaitu kritik eksternal, yakni tentang cara dan sahnya riwayat dan tentang kapasitas rawi. b. Naqd Dakhili, kritik internal, yaitu tentang makna Hadits dan syarat keshahihannya. Syarat pentajrih dan penta’dil adalah: 1) Berilmu 2) Taqwa 3) Wara’ 4) Jujur 5) Menjauhi fanatik golongan

6) Mengetahui sebab-sebab ta’dīl dan tajrīh (mufassar)

2. Pertumbuhan ‘Ilmu Jarh wa Al-Ta’dīl ‘Ilmu Jarhwa Al-Ta’dīl tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan dalam Islam. Karena untuk mengetahui khabar-khabar yang shahih diperlukan pengetahuan tentang para perawinya, yakni pengetahuan yang memungkinkan ahli ilmu menilai kejujurannya ataupun kedustaannya, sehingga mereka bisa membedakan antara yang bisa diterima dari yang ditolak. Para periwayat Hadits mulai dari generasi shahabat Nabi Saw.sampai generasi mukharij al-Hadīts (periwayat dan sekaligus menghimpun Hadits) telah tidak dapat dijumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan pribadi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka di bidang periwayatan Hadits, diperlukan informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat Hadits. Kritik terhadap para periwayat Hadits yang telah dikemukakan oleh ulama ahli kritik Hadits itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga berkenaan dengan hal-hal yang tercela.Hal-hal yang tercela dikemukakan bukanlah untuk menjelek-jelekan mereka melainkan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat diterima atau tidak dapat diterima riwayat Hadits yang mereka sampaikan. Ulama ahli kritik Hadits tetap menyadari bahwa mengemukakan kejelekan seseorang dilarang oleh agama, tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan penelitian Hadits dalam hubungannya sebagai salah satu sumber ajaran Islam, maka kejelekan atau kekurangan pribadi periwayat dalam kaitannya dengan periwayatan Hadits sangat perlu dikemukakan. Kejelekan atau kekurangan yang dikemukakan hanyalah terbatas yang ada hubungannya dengan kepentingan penelitian periwayatan Hadits. Oleh karena itu, mereka selalu bertanya tentang keadaan para perawi dan melakukan penelitian di sela-sela kehidupan intelektual mereka, dan mengenal lebih dekat semua hal-hal para perawi.Mereka melakukan penelitian yang amat cermat, sehingga mereka bisa mengetahui yang paling hafizh, yang paling kuat ingatannya dan yang paling lama bermujalasah dengan guru-gurunya. 3. Pertentangan antara Jarh wa Al-Ta’dīl Penyebab dan dorongan untuk mengeritik perawi berbeda-beda berdasarkan perbedaan pandangan para ulama yang mengeritik. Kadang-kadang pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrīh dan ta’dīl terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian mentajrīhkannya, sedang sebagian lain menta’dīlkannya. Di antara ulama ada yang betul-betul ketat (mutasyaddid) menilai seorang perawi. Penilaian ketat kepada seorang perawi itu sangat diharuskan karena masalah Jarhwa al-Ta’dīl sangat penting dan berkaitan dengan sumber agama kedua. Sebagian ulama ada yang bersikap tengah-tengah dan sebagian lagi ada yang bersikap longgar (mutasahil). Kritik ada yang mutlak dan ada yang musabbab (menyebutkan faktor penyebabnya).Pertama, Kritik Mutlak adalah bila seorang kritikus melontarkan Jarhwa al-Ta’dīl (celaan dan pujian) tanpa menyebutkan faktor penyebab atau faktor pertimbangannya. Kritik semacam ini dinamakan al-Jarh al-Mubham (Jarhsamar) atau al-Ta’dīlal-Mubham (Ta’dīl samar); Kedua, Kritik Musabbab adalah bila seorang kritikus melontarkan Jarh wa al-Ta’dīl dengan menyebutkan faktor-faktor penyebab yang dijadikan dasar pertimbangannya. Kritik semacam ini dinamakan al-Jarh al-Mufassar (Jarh yang dijelaskan) atau al-Ta’dīlal-Mufassar (Ta’dīl yang dijelaskan).Para ulama telah sepakat menerima kritik yang dijelaskan (mufassar) jika faktor penyebabnya itu kuat menurut ahli kritik.Jika faktor penyebabnya itu tidak kuat menurut ahli kritik, maka tidak diterima.Sedangkan kritik yang tidak djelaskan (kritik mubham) masih diperselisihkan oleh para ulama. Para ulama berbeda pendapat dalam Tajrīh dan Ta’dīl yang tanpa menyebutkan sebab-sebab (mubham), yaitu: a) Ta’dīl mubham dapat diterima sedangkan Tajrīh mubham tidak dapat diterima. b) Ta’dīl harus mufassar, Tajrīh tidak perlu. c) Tajrīhdan Ta’dīl harus mufassar d) Tajrīhdan Ta’dīl tidak perlu mufassar, selagi orang yang menetapkannya memenuhi syarat-syarat. Jumlah pentajrih dan penta’dil dalam periwayatan Hadits harus terdiri dari dua orang menurut ulama Madinah, namun menurut pendapat sebagian ulama cukup seorang saja. Apabila terdapat pertentangan atau ta’ārudh antara Jarh wa al-Ta’dīl pada seorang rawi, yakni sebagian ulama menta’dilkan dan sebagian ulama yang lain mentajrihkan, terdapat beberapa pendapat: (1) Jarhdidahulukan secara mutlak walaupun mu’addilnya lebih banyak daripada Jārihnya. Sebab bagi Jārihmempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja. (2) Ta’dīl didahulukan daripada Jarh, karena Jārihdalam mengaibkan rawi kurang tepat dalam hal sebab pencacatannya apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu’addil tidak serampangan menta’dilkan seseorang. (3) Ta’dīl didahulukan bila jumlah mu’addil lebih banyak daripada Jārihnya, lebih banyak dipandang lebih kuat. (4) Tetap dalam ta’ārudh bila tidak ditemukan yang merajihkan. Dari tajrīhatau ta’dīl yang menghasilkan jārihnya seorang rawi, sebaiknya masih harus diteliti berulang-ulang, agar tidak menimbulkan kegoncangan, sebab mungkin saja ada kelemahan dalam kondisi jārihatau sebab jarhnya, atau tajrīhnya terlalu keras (tasyaddud). 4. Tingkatan-tingkatan Jarh wa Al-Ta’dīl Keadaan para perawi itu berbeda-beda nilainya dari sudut pandang ilmu Hadits.Di antaranya, ada yang adil sehingga diterima periwayatannya dan ada pula yang majhūl (tidak diketahui identitasnya) maka ditolak Haditsnya sehingga mereka diketahui identitasnya.Bagi yang adil, dibedakan tingkat keadilannya, begitu pula yang tidak adil juga dibedakan tingkat ketidakadilannya berdasarkan tingkat kejarhannya. Tingkatan Jarhwa al-Ta’dīl satu sama lainnya berbeda. Tingkatan nilai ta’dīl disusun dengan susunan urutan ke bawah, sedangkan tingkatan nilai jarh disusun dengan susunan urutan ke atas. Abū Muhammad Abdurrahmān bin Abū Hātim al-Rāzī dalam mukadimah kitab Jarhwa al-Ta’dīl telah membagi lafal Jarh wa al-Ta’dīl menjadi empat tingkatan dan menjelaskan nilainya. Al-Dzahabī dan al-‘Iraqī menambah satu tingkatan ta’dīl yang lebih tinggi daripada tingkatan pertama menurut al-Rāzī (Ibnu Abi Hātim), yaitu penilaian tsiqah yang diulang-ulang, seperti tsiqatun-tsiqatun atau tsiqatun hujjatun.Pada akhirnya al-Hāfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalānī menambah satu tingkatan yang lebih tinggi daripada tingkatan Al-Dzahabī dan al-‘Iraqī, yaitu shīghat tafdhīl, seperti autsaq al-nās atau atsbat al-nās.Sehingga tingkatan ta’dīl akhirnya menjadi enam.Begitu juga terhadap lafal jarhtingkatannya menjadi enam pula. a. Tingkatan-tingkatan Lafal Ta’dīl Tingkatan-tingkatan tersebut adalah: 1) Lafāzh berwazan أفعال التفضيل أوثق النّاس, أثبت النّاس حفظا وعدالة, إليه المنتهى فى الثّبت, ثقة فوق الثّقة 2) Lafāzh yang diulang atau kata majmu’ setara: ثبت ثبت, ثقة ثقة, حجّة حجّة, ثبت ثقة, حافظ حجّة, ضابط متقن 3) Lafāzh mufrad yang bermakna dhābith: ثبت, متقن, ثقة, حافظ, حجّة 4) Lafāzh yang tidak menunjukan adanya kedhābithan, hingga perlu di uji dan diselidiki Haditsnya: صدوق, مأمون, لابأس به 5) Lafāzh yang tidak menunjukan kesangatan (mubalaghah) محلّة الصّدق, جيّد الحديث, حسن الحديث, مقارب الحديث 6) Lafāzh صدوق إنشاء الله, فلان أرجو بأن لابأس به, فلان صويلح, فلان مقبول حديثه b. Tingkatan-tingkatan Lafal Jarh 1) Lafāzh berwazan: af’āl al-tafdhīl dari lafāzh kadziba, atau wadha’a atau dibubuhi lafāzh muntaha: أوضع النّاس, أكذب النّاس, إليه المنتهى فى الوضع 2) Shīghat mubalaghah dari lafāzh di atas: كذّاب, وضّاع, دجاّل 3) Lafāzh-lafāzh tuduhan bersifat dusta atau lafāzh yang lebih ringan: فلان متهم بالكذب, أو متهم بالوضع, فلان ساقط, فلان فيه النّظر, فلان ذاهب الحديث, فلان متروك الحديث 4) Lafāzh tuduhan tercacat: مطرح الحديث, فلان ضعيف, فلان مردود الحديث 5) Lafāzh yang mengandung arti tidak dapat dipakai berhujjah yang semakna dengan lafāzh tersebut: فلان لايحتجّ به, فلان مجهول, فلان منكر الحديث, فلان مضطرب الحديث, فلان واه 6) Lafāzh yang menunjukan penilaian lemah (talyin) merupakan tingkatan jarhyang paling ringan di antara beberapa tingkatan jarh: ضعّف حديثه, فلان مقال فيه, فلان فيه خلف, فلان ليّن, فلان ليس بالحجة, فلان ليس بالقوي 5. Kitab-kitab Biografi Perawi Para ulama ahli Hadits menyusun kitab-kitab biografi perawi dan sejarahnya dengan tujuan berkhidmat pada Sunnah dan menghindarkannya dari fitnah dan kebohongan. Penyusunan kitab ini mereka lakukan dengan cara meringkas nama-nama perawi, membicarakan mereka dan kehidupannya dari berbagai segi secara terinci, terutama hal-hal yang menyangkut penilaian tsiqah (tautsiq) dan cacat (tajrih) seorang perawi. Kitab-kitab biografi perawi tersebut, jika diklasifikasikan sebagai berikut: a. Kitab-kitab tentang biografi shahabat, seperti: Istī’āb fī Ma’rifah al-Ashab karya Ibnu ‘Abd al-Bar alAndalusī; Usd al-Ghābah fī Ma’rifah Asmā’ al-Shahābah karya ‘Izzuddīn Abū al-Hasan ‘Alī bin Muhammad Ibnu al-Atsir al-Jazrī; al-Ishābah fī Tamyīz al-Shahābah karya al-Hāfizh Ibnu Hajar al’Asqalānī. b. Kitab-kitab tentang thabaqat, seperti: al-Thabaqāh al-Kubrā karya Abū ‘Abdullāh Muhammad bin Sa’ad al-Khathīb al-Waqidī; Tadzkirah al-Huffāzh karya al-Dzahabī. c. Kitab-kitab tentang biografi perawi Hadits secara umum, seperti al-Tārīkh al-Kabīr karya Imam al-Bukhārī; al-Jarh wa al-Ta’dīl karya Ibnu Abī Hātim; d. Kitab-kitab tentang biografi perawi kitab Hadits tertentu, seperti: al-Hidāyah wa al-Irsyād fī Ma’rifah Ahli al-Tsiqah wa al-Saddad karya Abū Nashr Ahmad bin Muhammad al-Kalabazī; Rijāl al-Shahīh Muslim karya Abū Bakar Ahmad bin ‘Alī al-Ashfahānī; al-Jam’u Baina Rijāl al- Shahīhain karya Muhammad bin Thahir al-Muqaddasī; al-Ta’rīf bi Rijāl al-Muwaththa’ karya Muhammad bin Yahya al-Hadda’ al-Tamimī.

e. Kitab-kitab biografi perawi kitab Hadits enam dan sebagian kitab karya pengarangnya, seperti: Tahdzīb al-Kamāl karya al-Mizzī; Tadzhīb al-Tahdzīb karya al-Dzahabī; Tahdzīb al-Tahdzīb dan Taqrīb al-Tahdzīb karya al-Hāfizh Ibnu Hajar al’Asqalānī.

B A B IV
HASIL PENELITIAN

A. Analisis Sanad Hadits Tentang Shalat Arba’īn 1. Teks dan Syahid a. Tautsiq Hadits yang menjadi obyek penelitian ini adalah tentang shalat arba’īn yang biasa dilakukan oleh para jema’ah haji ketika berada di Madinah.Shalat ini dilaksanakan di masjid Nabawi selama delapan hari karena melaksanakan shalatnya sebanyak 40 waktu. Adapun bunyi Hadits tersebut adalah sebagai berikut: عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِيْنَ صَلاةً لا يَفُوْتُهُ صَلاةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَنَجاَةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَبَرِىءَ مِنَ النِّفَاقِ. رواه أحمد والطبراني Dari Anas ibn Mālik ra, Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang shalat di masjidku (Nabawi) empat puluh kali shalat, tidak tertinggal satu shalatpun, maka baginya pembebasan dari api neraka dan selamat dari azab, serta terhindar dari nifak (sifat munafik).” HR. Ahmad dan al-Thabrānī Keterangan Hadits diatas, tidak ditemukan dalam kitab sumber kitab takhrīj, seperti Bulūgh al-Marām, Riyādh al-Shālihīn dan Nayl al-Authār dan tidak ditemukan pula pada kitab al-Jāmi’ al-Shaghīr.Sehingga penulis langsung mencarinya pada kitab Mu’jam al-Mufahras li Alfādh al-Hadīts al-Nabawī, Mausū’ah Athrāf al-Hadīts al-Nabawī al-Syarīf, al-Musnad al-Jāmi’ dan CD Hadits.Berikut ini adalah hasil dari pencarian tersebut. 1) al-Mu’jam al-Mufahras li Alfādh al-Hadīts al-Nabawī مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صلاةً لا يَفُوتُهُ صَلاةٌ….. حم 3: 155 Dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfādh al-Hadīts al-Nabawī, Hadits ini terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal jilid III halaman 155. 2) Mausū’ah Athrāf al-Hadīts al-Nabawī al-Syarīf 1- مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صلاةً كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّاِر إتحاف 3: 16, 4: 415 2- مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ لا يَفُوتُهُ صَلاة حم 3: 155- مجمع 4: 8 – ترغيب 2: 215- كنز 34939 Dari dua keterangan ini diatas, menunjukan bahwa Hadits ini terdapat dalam kitab Ithāf al-Sādāt al-Muttaqīn karya al-Zubaidī jilid III halaman 16 dan jilid IV halaman 415; Musnad Ahmad bin Hanbal jilid III halaman 155; al-Targhīb wa al-Tarhīb karya al-Mundzirī jilid II halaman 215; dan Kanz al’Ummāl karya al-Hindī nomor 34939. 3) al-Musnad al-Jāmi’ عَنِ نُبَيْطِ بْنِ عُمَر عَنْ أَنَسِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً لَا يَفُوتُهُ صَلَاةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنْ الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنْ النِّفَاق. أخرجه أحمد 3: 155 قال: حدثنا الحكم بن موسى. (قال عبدالله بن أحمد: وسمعته أنا من الحكم بن موسى), قال: حدثنا عبد الرحمن بن أبي الرجال, عن نبيط, فذكره. Dalam kitab ini, Hadits tersebut terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal jilid III halaman 155, dengan menyebutkan jalur sanadnya yaitu dari al-Hakam bin Mūsā, ‘Abdurrahmān bin Abī al-Rijāl, dari Nubaith. 4) CD Hadits, yaitu Kutb al-Tis’ah dan al-Maktabah al-Syāmilah. a) Kutb al-Tis’ah حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ مُوسَى قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ عَبْد اللَّهِ وَسَمِعْتُهُ أَنَا مِنْ الْحَكَمِ بْنِ مُوسَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الرِّجَالِ عَنِ نُبَيْطِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً لَا يَفُوتُهُ صَلَاةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنْ الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنْ النِّفَاقِ Dalam CD Hadits Kutb al-Tis’ah, dijelaskan bahwa Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnadnya dengan nomor Hadits 12123. b) al-Maktabah al-Syāmilah Setelah melakukan penelurusan dalam al-Maktabah al-Syāmilah, diketemukan sebanyak 12 kitab Hadits yang menerangkan tentang shalat arba’īn. Kedua puluh kitab Hadits tersebut yaitu: (1) Mukhtashar al-Syamā’il al-Muhammadiyah karya al-Tirmidzī (2) Mahabbah al-Rasūl Baina al-Itbā’ wa al-Ibtidā’ karya ‘Abd al-Rauf Muhammad ‘Utsmān (3) Musnad Ahmad bin Hanbal (4) al-Mu’jam al-Ausath karya al-Thabarānī (5) Majma’ al-Zawā’id wa Manba’ al-Fawā’id karya al-Haitsamī (6) Kanz al-’Ummāl karya al-Hindī (7) al-Musnad al-Jāmi’ karya Abī al-Fadhl al-Sayd Abū al-Ma’āthī al-Naurī (8) al-Silsilah al-Dha’īfah karya al-Albānī (9) Dha’īf al-Targhīb wa al-Tarhīb karyaal-Albānī (10) Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sābiq (11) Basyārah al-Mahbūb bi Takfīr al-Dzunūb karya al-Qābunī (12) Subul al-Hudā wa al-Rasyād. Dari keduabelas kitab tersebut, terdapat lima kitab yang sama dengan keempat sumber sebelumnya. Kelima kitab tersebut adalah (a) Musnad Ahmad bin Hanbal; (b) al-Mu’jam al-Ausath karya al-Thabarānī; (c) Majma’ al-Zawā’id wa Manba’ al-Fawā’id karya al-Haitsamī; (d) Kanz al-’Ummāl karya al-Hindī; dan (e) al-Musnad al-Jāmi’ karya Abī al-Fadhl al-Sayd Abū al-Ma’āthī Muhammad al-Naurī. Sedangkan yang lainnya belum disebutkan. Jadi, jumlah keseluruhan kitab Hadits dari lima sumber diatas yang membahas tentang shalat arba’īn sebanyak 12 kitab Hadits. Akan tetapi, dari keduabelas kitab tersebut, Hadits yang lengkap dengan sanadnya hanya dua kitab yaitu Musnad Ahmad bin Hanbal dan al-Mu’jam al-Ausath al-Thabarānī, sementara yang lainnya hanya mengutip Hadits dari Musnad Ahmad bin Hanbal dan al-Mu’jam al-Ausath al-Thabarānī. 2. Hadits dan Terjemah a. Ahmad bin Hanbal: Musnad Ahmad bin Hanbal حَدَّثَنَا عبدالله حدّثنى أبى ثناالْحَكَمُ بْنُ مُوسَى قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ عَبْد اللَّهِ وَسَمِعْتُهُ أَنَا مِنْ الْحَكَمِ بْنِ مُوسَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الرِّجَالِ عَنِ نُبَيْطِ بْنِ عُمَرو عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً لَا يَفُوتُهُ صَلَاةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنْ الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنْ النِّفَاقِ

Telah memberitahukan kepada kami ‘Abdullāh, telah memberitahukan kepadaku, bapakku, telah memberitahukan kepada kami al-Hakam bin Mūsā, ia telah berkata Abū ‘Abdurrahmān ‘Abdullāh dan aku mendengarkannya yaitu saya dari al-Hakam bin Mūsā, telah memberitahukan kepada kami ‘Abdurrahmān bin Abī al-Rijāl, dari Nubaith bin ‘Amr, dari Anas ibn Mālik ra, dari Nabi Saw. bahwasanya ia telah bersabda, “Barangsiapa yang shalat di masjidku (Nabawi) empat puluh kali shalat, tidak tertinggal satu shalatpun, maka baginya pembebasan dari api neraka dan selamat dari azab, serta terhindar dari nifak (sifat munafik).”

b. al-Haitsamī: Majma’ al-Zawāid عن أنس بن مالك عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من صلى في مسجدي أربعين صلاة لا تفوته صلاة كتب له براءة من النار وبراءة من العذاب وبريء من النفاق قلت روى الترمذي بعضه رواه أحمد والطبراني في الأوسط ورجاله ثقات.

Dari Anas ibn Mālik ra, dari Nabi Saw.ia telah bersabda, “Barangsiapa yang shalat di masjidku (Nabawi) empat puluh kali shalat, tidak tertinggal satu shalatpun, maka baginya pembebasan dari api neraka dan selamat dari azab, serta terhindar dari nifak (sifat munafik).” Aku telah berkata, “Telah diriwayatkan oleh al-Tirmidzī sebagiannya telah diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Thabrānī dalam al-Ausath, dan para perawinya tsiqah”.

c. al-Mundzirī: al-Targhīb wa al-Tarhīb وعن أنس بن مالك رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من صلى في مسجدي أربعين صلاة لا تفوته صلاة كتبت له براءة من النار وبراءة من العذاب وبرىء من النفاق. رواه أحمد ورواته رواة الصحيح والطبراني في الأوسط وهو ثم الترمذي بغير هذا اللفظ.

Dan dari Anas ibn Mālik ra, dari Nabi Saw.ia telah bersabda, “Barangsiapa yang shalat di masjidku (Nabawi) empat puluh kali shalat, tidak tertinggal satu shalatpun, maka baginya pembebasan dari api neraka dan selamat dari azab, serta terhindar dari nifak (sifat munafik).” Telah meriwayatkannya Ahmad, dan para perawinya berjalur shahīh, dan al-Thabrānī dalam al-Ausath, kemudian telah meriwayatkannya al-Tirmidzī dengan berbeda lafadz.

d. al-Thabrānī: al-Mu’jam al-Ausath حدثنا محمد بن علي المديني قال حدثنا الحكم بن موسى قال حدثنا عبدالرحمن بن ابي الرجال عن نبيط بن عمر عن يروي بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من صلى في مسجدي اربعين صلاة لا يفوته صلاة كتب الله له براءة من النار ونجاة من العذاب.

Telah memberitahukan kepada kami Muhammad bin ‘Alī al-Madīnī, ia telah berkata, telah memberitahukan kepada kami al-Hakam bin Mūsā, ia telah berkata, telah memberitahukan kepada kami ‘Abdurrahmān bin Abī al-Rijāl, dari Nubaith bin ‘Umar, dari Anas ibn Mālik ra, ia telah berkata, telah bersabda Rasūlullāh Saw. “Barangsiapa yang shalat di masjidku (Nabawi) empat puluh kali shalat, tidak tertinggal satu shalatpun, maka baginya pembebasan dari api neraka dan selamat dari azab.”

Dalam Majma’ Zawāid dan al-Targhīb wa al-Tarhīb, dijelaskan bahwa Hadits tersebut terdapat dalam Sunan al-Tirmidzī hanya berbeda lafazh matn nya, berikut adalah bunyi Hadits nya: (1) حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو قُتَيْبَةَ سَلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ عَنْ طُعْمَةَ بْنِ عَمْرٍو عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاق.

قَالَ أَبُو عِيسَى وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ أَنَسٍ مَوْقُوفًا وَلَا أَعْلَمُ أَحَدًا رَفَعَهُ إِلَّا مَا رَوَى سَلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ عَنْ طُعْمَةَ بْنِ عَمْرٍو عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ وَإِنَّمَا يُرْوَى هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ الْبَجَلِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَوْلَهُ حَدَّثَنَا بِذَلِكَ هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ خَالِدِ بْنِ طَهْمَانَ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ الْبَجَلِيِّ عَنْ أَنَسٍ نَحْوَهُ وَلَمْ يَرْفَعْهُ وَرَوَى إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ هَذَا وَهَذَا حَدِيثٌ غَيْرُ مَحْفُوظٍ وَهُوَ حَدِيثٌ مُرْسَلٌ وَعُمَارَةُ بْنُ غَزِيَّةَ لَمْ يُدْرِكْ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ حَبِيبُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ يُكْنَى أَبَا الْكَشُوثَى وَيُقَالُ أَبُو عُمَيْرَةَ.

Telah menceritakan kepada kami ‘Uqbah bin Mukram dan Nashr bin ‘Alī al-Jahdhamī keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Abū Qutaibah Salm bin Qutaibah dari Thu’mah bin ‘Amr dari Habīb bin Abī Tsābit dari Anas bin Mālik ia berkata, telah bersabda Rasulullah Saw., “Barangsiapa yang shalat karena Allah empat puluh hari berjama’ah sambil mengangkat takbir yang pertama, maka baginya dua keselamatan yaitu keselamatan dari api neraka dan terhindar dari nifaq.”

(2) عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاق.
أخرجه الترمذى (241) قال: حدثنا عقبة بن مكرم, ونصر بن علي, قالا: حدثنا سلم بن قتيبة, عن طعمة بن عمرو, عن حبيب بن أبي ثابت, فذكره.

Dari Habīb bin Abī Tsābit dari Anas bin Mālik ia berkata, telah bersabda Rasulullah Saw., “Barangsiapa yang shalat karena Allah empat puluh hari berjama’ah sambil mengangkat takbir yang pertama, maka baginya dua keselamatan yaitu keselamatan dari api neraka dan terhindar dari nifaq.

(3) وقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى أَرْبَعِينَ يَوْمًاالصلوات فِي جَمَاعَةٍ لا تفوته فيها تكبِيرَة الاحرام كتب الله لَهُ بَرَاءَتينِ بَرَاءَةٌ مِن النِّفَاق وَبَرَاءَةٌ مِن النَّارِ .
Dan telah bersabda Rasulullah Saw., “Barangsiapa yang shalat empat puluh hari shalat berjama’ah tidak tertinggal satu kalipun mengangkat takbiratul ihram, maka baginya dua keselamatan yaitu terhindar dari nifaq dan keselamatan dari api neraka.”

e. al-Hindī: Kanz al-‘Ummāl مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً لَا يَفُوتُهُ صَلَاةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنْ الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنْ النِّفَاقِ (حم – عن أنس)

Barangsiapa yang shalat di masjidku (Nabawi) empat puluh kali shalat, tidak tertinggal satu shalatpun, maka baginya pembebasan dari api neraka dan selamat dari azab, serta terhindar dari nifak (sifat munafik).

f. al-Zubaidī: Ithāf al-Sādāti al-Muttaqīn وعَنْ أَنَسِ أنّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً كتب لَهُ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وبراءة الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنْ النِّفَاقِ. Dan dari Anas, bahwasanya Nabi Saw.telah bersabda, “Barangsiapa yang shalat di masjidku (Nabawi) empat puluh kali shalat, maka baginya pembebasan dari api neraka dan selamat dari azab, serta terhindar dari nifak (sifat munafik).”

Setelah penulis teliti, ternyata ketujuh kitab yang lainnya bunyi Haditsnya sama dengan Hadits-hadits diatas, karena ketujuh kitab tersebut merujuknya pada Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dan al-Thabarānī.

3. Unsur dan Diagram a. Rawi atau Sanad Dari Hadits-hadits diatas, dapat diketahui bahwa Hadits yang sanadnya lengkap yang telah meriwayatkan Hadits tentang shalat arba’īn adalah Ahmad bin Hanbal dan al-Thabarānī, dan Hadits yang berbeda lafazh matnnya yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī. Para perawi tersebut adalah sebagai berikut: 1) Ahmad bin Hanbal: Musnad Ahmad bin Hanbal Para perawinya adalah sebagai berikut: a) Anas ibn Mālik b) Nubaith bin ‘Amr c) ‘Abdurrahmān bin Abī al-Rijāl d) al-Hakam bin Mūsā 2) al-Thabrānī: al-Mu’jam al-Ausath Para peraawinya adalah sebagai berikut: a) Anas ibn Mālik b) Nubaith bin ‘Amr c) ‘Abdurrahmān bin Abī al-Rijāl d) al-Hakam bin Mūsā

e) Muhammad bin ‘Alī al-Madīnī

3) al-Tirmidzī: Sunan al-Tirmidzī Para perawinya adalah sebagai berikut: a) Anas bin Mālik b) Habīb bin Abī Tsābit c) Thu’mah bin ‘Amr d) Abū Qutaibah Salm bin Qutaibah e) Nashr bin ‘Alī al-Jahdhamī f) ‘Uqbah bin Mukram Dalam keterangannya, al-Tirmidzī menjelaskan bahwa dalam Hadits tersebut selain terdapat jalur dari keenam perawi di atas, terdapat jalur lain yaitu: a) Habīb bin Abī Habīb al-Bajalī b) Khālid bin Thahmān c) Waki’ bin al-Jarah d) Hanād bin al-Sari’ Selain itu, terdapat pula muttabi’, yaitu: a) ‘Umar bin Khaththab b) Anas bin Mālik c) Terputus d) ‘Umārah bin Gaziyyah e) Ismā’īl Jadi, keseluruhan para perawinya adalah sebagai berikut: 1) Anas ibn Mālik 2) ‘Umar bin Khaththab 3) Habīb bin Abī Tsābit 4) Habīb bin Abī Habīb al-Bajalī 5) Nubaith bin ‘Amr 6) Khālid bin Thahmān 7) ‘Umārah bin Gaziyyah 8) Thu’mah bin ‘Amr 9) ‘Abdurrahmān bin Abī al-Rijāl 10) Ismā’īl 11) Abū Qutaibah Salm bin Qutaibah 12) Waki’ bin al-Jarāh 13) al-Hakam bin Mūsā 14) Nashr bin ‘Alī al-Jahdhamī 15) Hanād bin al-Sari’ 16) ‘Uqbah bin Mukram 17) Muhammad bin ‘Alī al-Madīnī Dari Hadits tersebut, terdapat tujuhbelas orang perawi Hadits yang telah meriwayatkan Hadits tentang shalat arba’īn.Nama-nama diatas, diurutkan berdasarkan tingkatan thabaqahnya.

Untuk lebih jelasnya, ketujuhbelas perawi tersebut akan dibuat diagramnya, supaya lebih memudahkan dalam mengetahui jalur-jalur periwayatannya. Dengan demikian, akan diketahui sanad lain yang akan menguatkan kualitas Hadits tersebut atau malah sebaliknya.

Diagram Sanad

Dari diagram sanad di atas, dapat diketahui bahwa dalam Hadits ini terdapat sanad lain atau muttabi’ yaitu yang terdapat pada jalur ‘Umar bin al-Khaththab.

b. Biografi Para Perawi Biografi para perawi ini ditulis berdasarkan tingkatan thabaqahnya, di mulai dari thabaqah shahabat sampai gurunya mudawwin, dan yang terakhir biografi mudawwinnya.Berikut ini adalah biografi para perawi tersebut. 1) Anas ibn Mālik Nama lengkap : Anas bin Mālik bin al-Nadhor bin Dhomdhom bin Zaid bin Harām Jundab bin ‘Āmir bin Ghanm bin ‘Adī bin al-Najār al-Anshārī Kunyah : Abū Hamzah Thabaqah : Shahabat Tempat wafat : Basrah Tahun wafat : 90 H.; 91 H; 92 H.; 93 H. Nama-nama guru : Nabi Muhammad Saw., Ubay bin Ka’b, Abū Bakar, ‘Umar, ‘Utsmān, ‘Abdullāh bin Rawāhah, Fāthimah al-Zahra, Tsābit bin Qays bin Syamās, ‘Abdurrahmān bin ‘Auf, Ibnu Mas’ūd, dan lain-lain. Nama-nama murid : Abān bin Abī ‘Ayyāsy, Busyair bin Yasār, Tawbah al-Anbarī, Habīb bin Abī Tsābit, Habīb bin Abī Habīb al-Bajalī, Khālid bin al-Fizar, Rabī’ah bin Abī ‘Abdurrahmān, Zaid bin Aslam, Sa’d bin Sinān, ‘Abdurrahmān bin al-Asham, dan lain-lain Rutbah :

Kulluhum ‘udulun

2) ‘Umar bin Khaththāb Nama lengkap : ‘Umar bin al-Khaththāb bin Nufail bin ‘Abd al-Uzzā bin Riyāh bin ‘Abdillāh bin Qurth bin Razāh bin ‘Adī bin Ka’b bin Luay bin Ghālib al-Qurasy al-‘Adawī. Kunyah : Abū Hafsh Laqab : Amir al-Mu’minīn, al-Farūq Thabaqah : Shahabat Tempat lahir &wafat : Madinah Tahun wafat : 23 H. Nama-nama guru : Nabi Muhammad Saw., Abu Bakar, Ubay bin Ka’b. Nama-nama murid : Anas bin Mālik, Hafshah, ‘Alqamah bin Abī Waqās, Abū Umāmah, ‘Aisyah, Jābir, ‘Usmān, Alī, Sa’d bin Abī Waqās, ‘Abdurrahmān bin ‘Auf, dan lain-lain. Rutbah :

Kulluhum ‘udulun

3) Habīb bin Abī Tsābit Nama lengkap : Habīb bin Abī Tsābit Qays bin Dīnār Kunyah : Abū Yahya Thabaqah : Tabi’in pertengahan Tempat lahir : Kufah Tahun wafat : 119 H. Nama-nama guru : Anas bin Mālik, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbās, Zaid bin Arqam, Abī al-Thufail, Ibrāhīm bin Sa’d bin Abī Waqās, Mujāhid, ‘Athā’, Sa’īd bin Jubair, Zaid bin Wahab, Nāfi’ bin Jubair, dan lain-lain. Nama-nama murid : al-A’masy, Thu’mah bin ‘Amr, Ismā’īl bin Sālim, Syu’bah bin al-Hajjāj, ‘Athā’ bin Abī Rabāh, Sufyān al-Tsaurī, ‘Amr bin Khālid, Qays bin al-Rabī’, Abū Yahya, Abū Hāsyim, dan lain-lain. Rutbah :

Menurut Yahya bin Ma’īn tsiqah hujjah; Abū Hātim al-Rāzī Shadūq tsiqah; al-Nasā’ī tsiqah; al-‘Ajalī tsiqah tsabt; Ibnu ‘Adī tsiqah hujjah.

4) Habīb bin Abī Habībal-Bajalī Nama lengkap : Habīb bin Abī Habīb al-Bajalī Kunyah : Abū ‘Amr Thabaqah : Tabi’in pertengahan Nama guru : Anas bin Mālik Nama murid : Khālid bin Thahmān, Thu’mah bin ‘Amr, ‘Amr bin Muhammad. Rutbah :

Ibnu Hibbān watsaqahu

5) Nubaith bin ‘Umar Nama lengkap : Nubaith bin ‘Umar Thabaqah : Tabi’in kecil Nama-nama guru : Anas bin Mālik Nama-nama murid : ‘Abdurrahmān bin Abī al-Rijāl Rutbahn :

Fī Tsiqāt Ibnu Hibbān

6) Khālid bin Thahmān Nama lengkap : Khālid bin Thahmān al-Salūlī al-Khaffāf al-Kūfī Kunyah : Abu al-‘Alā’ Thabaqah : Tabi’in kecil Nama-nama guru : Anas bin Mālik, Habīb bin Abī Tsābit, Habīb bin Abī Habīb, Hushain bin ‘Abdurrahmān, Hushain bin Mālik, ‘Athiyyah al-‘Aufī, Nāfi’ bin Abī Nāfi’, Nufay’ Abī Dāwud. Nama-nama murid : Ahmad bin ‘Abdullāh bin Yūnus, al-Hasan bin ‘Athiyyah, Wakī’ bin al-Jarrāh, Sufyān al-Tsaurī, ‘Abdullāh bin al-Mubārak, ‘Athā’ bin Muslim, Muhammad bin Yūsuf, Khālid bin Abī Khālid, Muhammad bin Rabī’ah, ‘Abdullāh bin Dāwud, dan lain-lain. Rutbah :

Menurut Yahya bin Ma’īn dha’īf; Abū Hātim al-Razī min ‘itq al-syī’ah mahalah al-shidq; Ibnu Hibbān watsaqahu, yukhti’u wa yahim

7) ‘Umārah bin Ghaziyyah Nama lengkap : ‘Umārah bin Ghaziyyah bin al-Hārits bin ‘Amr ibn Ghaziyyah bin ‘Amr bin Tsa’labah bin Khansā’ bin Mabdzūl bin Ganm bin Māzn ibn al-Najār al-Anshārī al-Māzanī al-Madanī Thabaqah : Lam taliq al-shahābat Tahun wafat : 140 H. Nama-nama guru : Anas bin Mālik, Ghaziyah bin al-Hārits, ‘Abās bin Sahl bin Sa’d, Abī al-Zubair, Habīb bin ‘Abdurrahmān, Syurahbīl bin Sa’d, Muhammad bin Ibrāhīm, Yahya bin ‘Umārah, Sa’īd bin al-Hārits, ‘Abdurrahmān bin Abī Sa’īd, dan lain-lain. Nama-nama murid : Ismā’īl bin ‘Ayyāsy, Basyar bin al-Mufadhal, Bakar bin Mudhar, Zuhair bin Mu’āwiyah, Sa’d bin Sa’īd, Sa’īd bin Abī Hilāl, Sufyān al-Tsaurī, Sulaimān bin Bilāl, ‘Abdullāh bin Lahī’ah, ‘Abdurrahmān bin Abī al-Rijāl, dan lain-lain. Rutbah :

Menurut Ahmad bin Hanbal, Abū Zur’ah al-Razī tsiqah; Yahya bin Ma’īn shālih; Abū Hātim al-Razī shaduq; al-Nasā’ī laisa bihi ba’sun; al-Daruquthnī tsiqah

8) Thu’mah bin ‘Amr Nama lengkap : Thu’mah bin ‘Amr al-Ja’farī al-‘Āmirī al-Kūfī Thabaqah : Tabi’ tabi’in besar Tempat lahir Kufah Tahun wafat 169 H. Nama-nama guru Habīb bin Abī Tsābit, Habīb bin Abī Habīb, ‘Umar bin Bayān, Yazīd ibn al-Asham, ‘Umar bin ‘Ubaid bin Mu’āwiyah, dan lain-lain. Nama-nama murid Salm bin Qutaibah, Ibnu ‘Uyainah, Abdullāh bin Idrīs, Wakī’, Sa’īd bin Manshūr, dan lain-lain. Rutbah :

Menurut Ibnu Ma’īn tsiqah; Abū Hātim shālih hadīts la ba’sa bihi; Dzakarahu Ibnu Hibbān fī tsiqāt.

9) ‘Abdurrahmān bin Abī al-Rijāl Nama lengkap : Muhammad bin ‘Abdurrahmān bin ‘Abdillāh Hāritsah bin al-Nu’mān bin Nufa’ bin Zaid bin ‘Ubaid bin Tsa’labah bin Ghanm bin Mālik bin al-Najār al-Anshārī al-Najārī al-Madanī. Kunyah : Abū ‘Abdurrahmān Laqab : Abū al-Rijāl Thabaqah : Tabi’ tabi’in pertengahan Tempat lahir : Syam Nama guru : ‘Awf bin al-Hārits bin al-Thufail, Anas bin Mālik, Sālim bin ‘Abdullāh bin ‘Umar, Nubaith bin ‘Umar, Ishāq bin Yahya, Hāritsah bin Abī al-Rijāl, Rabī’ah bin Abī ‘Abdurrahmān, ‘Abdurrahmān bin ‘Amr, ‘Umārah bin Ghaziyyah, Muhammad bin ‘Abdurrahmān, Yahya bin Sa’īd, dan lain-lain. Nama-nama murid : Ismā’īl bin Qays, Basyar bin al-Hakam, Sulaimān bin ‘Abdurrahmān, Sa’ad bin Abī Hilāl, al-Hakam bin Mūsā, Hāritsah, Ya’qūb bin Muhammad, Suwaid bin Sa’īd, ‘Abdullāh bin Yūsuf, ‘Abdul ‘Azīz bin ‘Abdullāh, ‘Umar bin Hafsh, dan lain-lain. Rutbah :

Menurut Ibnu Sa’dtsiqah, katsīr al-hadīts; Abū Dāwud, al-Nasā’ī, Ibnu Ma’īn, Abū Hātim dan Ahmad tsiqah; Dzakarahu Ibnu Hibbān fī al-Tsiqāt; al-Bukhārī tsabt.

10) Ismā’īl Nama lengkap : Ismā’īl bin ‘Ayyāsy bin Salm al-‘Ansī al-Himsh Kunyah : Abū ‘Utbah Thabaqah : Tabi’ tabi’in pertengahan Tahun wafat : 181 H. Nama-nama guru : ‘Umārah bin Ghaziyyah, Muhammad bin Ziyād, Shafwān bin ‘Amr, Dhamdham bin Zur’ah, ‘Abdurrahmān bin Jubair, al-Auzā’ī, al-Zubaidī, Hisyām, Abī Bakar bin Abī Maryam, Syurahbīl bin Muslim, Habīb bin Shālih, dan lain-lain. Nama-nama murid : Muhammad bin Ishāq, al-Tsaurī, al-A’masy, al-Laits bin Sa’d, Baqiyyah, al-Walīd bin Muslim, Mu’tamar bin Sulaimān, Yahya bin Yahya, al-Tirmidzī, Ibnu al-Mubārak, dan lain-lain. Rutbah :

Menurut Ahmad bin Hanbal hasan riwāyatihi ‘an al-Syāmiyyīn; Yahya bin Ma’īn laisa bihi ba’sun fī ahli al-Syām; ‘Alī bin al-Madinī, Ibnu Abī Syaibah, ‘Amr bin al-Fallās, Duhaim watsaqahu fī al-Syāmiyyīn wa dha’afahu fī ghairihim

11) Abū Qutaibah Salm bin Qutaibah Nama lengkap : Salm bin Qutaibah al-Syu’airī al-Khurāsānī al-Faryābī Nazīl al-Bashrah Kunyah : Abū Qutaibah Thabaqah : Tabi’ tabi’in kecil Tempat lahir : Basrah Tahun wafat : 200 H. Nama-nama guru : Thu’mah bin ‘Amr, Yūnus bin Abī Ishāq, Isrā’īl bin Yūnus, Jarīr bin Hazm, al-Jarāh bin Mulaih, Harb bin Syuraih, Ibrāhīm bin ‘Abdurrahmān, Suhail bin Abī Hazm, ‘Abdullāh bin al-Mutsanā, Hamām bin Yahya, dan lain-lain. Nama-nama murid : ‘Uqbah bin Mukram, Nashr bin ‘Alī, ‘Amr bin ‘Alī, Ahmad bin Abī ‘Abdullāh, Yahya bin Hukaim, Zaid bin Akhzam, Bindār, Abū Mūsā, Muhammad bin Yahya, Harūn bin Sulaimān, dan lain-lain. Rutbah :

Menurut Yahya bin Ma’īn laisa bihi ba’sun; Abū Dāwud al-Sijistānī, Abū Zur’ah al-Razī, al-Daruquthnī, Ibnu Qāni’ tsiqah; Dzakarahu fī tsiqāt.

12) Wakī’ bin al-Jarāh Nama lengkap : Wakī’ bin al-Jarāh bin Malīh al-Ruāsī al-Kūfī Kunyah : Abū Sufyān Thabaqah : Tabi’ tabi’in kecil Tahun wafat : 196 H Nama-nama guru : Khālid bin Thahmān, Abān bin ‘Abdullāh, Ibrāhīm bin Ismā’īl, Idrīs bin Yazīd, Usāmah bin Zaid, Ishāq bin Sa’īd, Isrā’īl bin Yūnus, Ismā’īl bin Rāfi’, al-Aswad bin Syaibān, Busyair bin al-Muhājir, dan lain-lain. Nama-nama murid Hanād bin al-Sarī, Ibrāhīm bin Sa’īd, Abū ‘Abdurrahmān Ahmad bin Ja’far, Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Hātim, Yahya bin Ma’īn, Yūsuf bin ‘Īsā, Musaddad bin Musarhad, Mas’ūd bin Juwairiyah, Hisyām bin ‘Amar, dan lain-lain. Rutbah :

Menurut al-‘Ajalī tsiqah;Ya’qūb bin Syaibah hāfidh; Muhammad bin Sa’d tsiqah ma’mūnhujjah; Ibnu Hibbān hāfidh mutqin.

13) al-Hakam bin Mūsā Nama Lengkap : al-Hakam bin Mūsā bin Abī Zuhair Syairazād al-Baghdādī al-Qantharī Kunyah : Abū Shālih Thabaqah : Tabi’ tabi’ tabi’in besar Tempat lahir &wafat : Baghdad Tahun wafat : 232 H. Nama-nama guru Ismā’īl bin ‘Ayyāsy, ‘Abdullāh bin Ziyād, ‘Abdurrahmān bin Abī al-Rijāl, ‘Abdurrazak bin ‘Umar, Mu’ādz bin Mu’ādz, Sa’īd bin Maslamah, Syu’aib bin Ishāq, Shadaqah bin Khālid, ‘Abbād bin ‘Abbād, Sabrah bin ‘Abdul ‘Azīz, dan lain-lain. Nama-nama murid Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, al-Bukhārī, Muslim, Abū Dāwud, Muhammad bin Ishāq, Ya’qūb bin Syaibah, Abū Bakar Muhammad bin Harūn, al-Hārits bin Muhammad, Ahmad bin al-Hasan, ‘Utsmān bin Sa’īd, dan lain-lain. Rutbah :

Menurut Ibnu Hibbān laisa bihi ba’sun; al-‘Ajalī tsiqah, shālih jazarah al-tsiqah; Abū Hātim shadūq al-ma’mūn; Ibnu Sa’dtsiqah, katsīr al-hadīts wa kāna rajulan shālihan tsabitan fī al-hadīts; Ibnu Qāni’ tsiqah; Dzakarahu Ibnu Hibbān fī al-Tsiqāt.

14) Nashr bin ‘Alī al-Jahdhamī Nama lengkap : Nashr bin ‘Alī bin Nashr bin ‘Alī bin Shuhbān al-Azdī al-Jahdhamī al-Basharī Kunyah : Abū ‘Amr Thabaqah : Tabi’ tabi’ tabi’in besar Tempat lahir : Basrah Tahun wafat : 250 H. Nama-nama guru : Salm bin Qutaibah, Yazīd bin Zura’, Īsā’ bin Yūnus, Wahab bin Jarīr, Wakī’, Ma’n bin Īsā’, Muslim bin Ibrāhīm, dan lain-lain. Nama-nama murid : al-Tirmidzī, al-Nasā’ī, Ahmad bin ‘Alī, Abū Zur’ah, Abū Hātim, al-Dzahalī, Baqī bin Mahlad, ‘Abdullāh bin Ahmad, al-Baghawī, Ibnu Khuzaimah, dan lain-lain. Rutbah :

Menurut Ahmad bin Hanbal la ba’sa bih; AbûHātim al-Razī, al-Nasā’ī, Ibnu Kharasy dan Maslamah bin Qāsim tsiqah; Muhammad bin ‘Alī hujjah.

15) Hannād bin al-Sarī Nama lengkap : Hannād bin al-Sarī bin Mush’ab bin Abī Bakr bin Syabr bin Sya’fūq bin ‘Amr bin Zurārah bin ‘Ads bin Zāidah bin ‘Abdullāh bin Dārim al-Tamīmī al-Dārimī al-Kūfī Kunyah : Abū al-Sarī Thabaqah : Tabi’ tabi’ tabi’in besar Tahun wafat : 243 H. Nama-nama guru : Wakī’ bin al-Jarrāh, ‘Abdurrahmān bin Abī al-Zinād, Husyaim, Abī Bakar bin ‘Iyāsy, ‘Abdullāh bin Idrīs, Abī al-Ahwash, Hafsh bin Ghiyāts, Yahya bin Zakariyā’, Abī Mu’āwiyah, Ismā’īl bin ‘Iyāsy, dan lain-lain. Nama-nama murid : Al-Bukhārī, al-Tirmidzī, Abū Hātim, Abū Zur’ah, Ahmad bin Manshūr, Muhammad bin ‘Abdul Malik, ‘Abdān alAhwāzī, Muhammad bin Shālih, Muhammad bin Ishāq, Baqī bin Makhlad, dan lain-lain. Rutbah :

Menurut Abū Hātim al-Razī shadūq; al-Nasā’ī tsiqah; Ibnu Hibbān watsaqahu

16) ‘Uqbah bin Mukram Nama lengkap : ‘Uqbah bin Mukram bin Aflah al-‘Umā al-Hāfizh al-Basharī Kunyah : Abū ‘Abdul Mālik Thabaqah : Tabi’ tabi’ tabi’in pertengahan Tempat lahir &wafat : Basrah Tahun wafat : 243 H. Nama-nama guru : Salm bin Qutaibah, Yahya al-Qaththān, Ibnu Mahdī, Wahab Ibn Jarīr, Sa’īd bin ‘Āmir, Ibnu Abī Fudaik, Shafwān bin ‘Īsā, Sa’īd bin ‘Āmir, Abī ‘Āmir, Ya’qūb bin Ishāq, ‘Āmr bin ‘Āshim, Ibnu Khalaf, dan lain-lain. Nama-nama murid : Muslim, Abū Dāwud, al-Tirmidzī, Ibnu Mājah, ‘Abdullāh bin Ahmad, Ya’qūb bin Sufyān, Ibnu Abī al-Dunyā, ‘Utsmān ibn Kharazādz, Ibnu Abī ‘Āshim, al-Bazār, dan lain-lain. Rutbah :

Menurut Abū Dāwud al-Sijistānī tsiqah tsiqah; al-Nasā’ī tsiqah; Ibnu Hibbān watsaqahu.

17) Muhammad bin ‘Alī al-Madīnī Nama lengkap : Muhammad bin ‘Alī bin ‘Abdullāh bin Ja’far bin Abī Thālib al-Ja’farī al-Madīnī al-Qursy al-Hasyimī Kunyah : Abū Sulaimān Thabaqah : Tabi’ tabi’ tabi’in besar Nama-nama guru : Al-Hakam bin Mūsā, Ibrāhīm bin Muhammad, Hātim bin Ismā’īl, ‘Abdul ‘Azīz bin Muhammad, ‘Alī bin ‘Ubaidillāh, Mālik bin Anas, dan lain-lain. Nama-nama murid : Sulaimān bin Ahmad al-Thabarānī, ‘Abdul Humaid bin Ja’far, Muhammad bin Ishāq, Yazīd bin Abī Habīb, Yazīd bin ‘Abdullāh Rutbah :

Menurut Ibnu Hajar al-’Asqalānī shadūq rubamā akhtha’; al-Dzahabī tsiqahnubail; Dzakarahu Ibnu Hibbān fī Tsiqat; dan Abdurrahmān bin Abī Hātim tsiqah.

18) Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-Syaibānī Nama lengkap : Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilāl bin Asad bin Idrīs bin ‘Abdillāh bin Anas bin ‘Awf bin Qasit bin Māzin bin Syaibān bin Zulal bin Ismā’īl bin Ibrāhīm al-Syaibānī Kunyah : Abū ‘Abdullāh Thabaqah : Mudawwin Tempat lahir : Baghdad, Rabi’ul Awal tahun 164 H./November 780 M. Tahun wafat Tahun 241 H./855 M. pada bulan Rabi’ul Awal di Baghdad Nama-nama guru : Hāsyim, al-Hakam bin Mūsā, Sufyān bin ‘Uyainah, Ibrāhīm bin Sa’d, Jarīr bin ‘Abdul Hāmid, Yahya al-Qaththan, Wakī’, Abū Dāwud al-Thayālisī, ‘Abdurrahmān bin al-Mahdī, dan lain-lain. Nama-nama murid : al-Bukhārī, Muslim, Abū Dāwud, Ibn Mahdī, al-Syafi’ī, Abū al-walīd, ‘Abdurrazaq, Wakī’, Yahya bin Ma’īn, ‘Alī bin al-Madinī, al-Husain bin Manshūr, dan lain-lain. Rutbah :

Menurut Ishāq bin Rahawaih hujjah; Yahya bin Ma’īn hāfizh, ‘alim, wara’,zāhid, dan berakal sempurna; Ibnu Hibbān faqih, hāfizh

19) al-Thabarānī Nama lengkap : Sulaimān bin Ahmad bin Ayyūb bin Muthair al-Lakhmī al-Yamānī al-Thabarānī Kunyah : Abū al-Qāsim Thabaqah : Mudawin Tempat lahir : Akka, bulan Shafar tahun 260 H. Tahun wafat : Asfahan pada tanggal 28 Dzul Qa’dah tahun 360 H. Nama-nama guru : Hāsyim bin Mursyid, Ahmad bin Mas’ūd, ‘Amr bin Abī Salmah, Ahmad bin ‘Abdillāh, ‘Amr bin Tsaur, Ibrāhīm bin Abī Sufyān, Abū Zur’ah, Ishāq bin Ibrāhīm, Idrīs bin Ja’far, Muhammad bin ‘Alī, dan lain-lain. Nama-nama murid : Ahmad bin Muhammad, Ibn Mandah, Abū Bakar bin Mardawih, Abū ‘Umar Muhammad bin al-Husain, Abū Nu’aim al-Ashbahānī, Abū Sa’īd al-Naqqas, Ahmad bin ‘Abdurrahmān, Muhammad bin Zaid, Muhammad bin Ahmad, dan lain-lain. Rutbah : Menurut al-Hāfizh Abū al-’Abbās bin Manshūr al-Syirazī mengemukakan bahwa dirinya telah menulis 300.000 Hadits dari al-Thabarānī dan ia tsiqah; menurut Abū Bakar bin Abī ‘Alī bahwa al-Thabarānī orang yang terkenal ilmunya, pengetahuan luas dan banyak karya-karyanya, dan konon diakhir hayatnya ia buta; menurut Sulaimān bin Ibrāhīm, al-Thabarānī adalah seorang penghafal Hadits sekitar 20.000 sampai 40.000 Hadits; menurut Abū ‘Abdillāh bin Mandah bahwa al-Thabarānī adalah salah satu penghafal yang sangat diperhitungkan atau terkenal; menurut Abū al-Husain Ahmad bin Faris al-Lughawī yang dinisbatkan kepada Ibnu al-Amid, al-Thabarānī dalam hal hafalan lebih unggul dibanding al-Jiabi, sedangkan Abū Bakar sendiri lebih unggul daripada al-Thabarānī dalam hal kepintaran dan kecerdasannya. Untuk lebih singkatnya, bisa dilihat pada tabel biografi perawi Hadits di bawah ini: NO. RAWI/SANAD LAHIR WAFAT RUTBAH THABAQAH 01. Anas bin Mālik 91 H. Kulluhum ‘udulun Shahabat 02. ‘Umar bin al-Khaththab 23 H. Kulluhum ‘udulun Shahabat 03. Habīb bin Abī Tsābit 119 H. tsiqahhujjah;shadūq tsiqah; tsiqah; tsiqah tsabt; tsiqah hujjah. Tabi’in pertengahan 04. Habīb bin Abī Habīb Ibnu Hibban watsaqahu Tabi’in pertengahan 05. Nubaith bin ‘Umar Fī Tsiqāt Ibnu Hibban Tabi’in kecil 06. Khālid bin Thahmān Menurut Yahya bin Ma’īn dha’if; Abū Hātim al-Razī min ‘itq al-syi’ah mahālah al-shidq; Ibnu Hibbān watsaqahu, yukhti’u wa yahim Tabi’in kecil 07. ‘Umārah bin Ghaziyyah 140 H. tsiqah;shalih;shaduq;laisa bihi ba’sun; tsiqah Lam taliq al-shahabat 08. Thu’mah bin ‘Amr 169 H. tsiqah; shālihhadīts la ba’sa bihi; Dzakarahu Ibnu Hibbān fī tsiqāt Tabi’ tabi’in besar 09. ‘Abdurrahmān bin Abī al-Rijāl tsiqah, katsīr al- hadīts; tsiqah; Dzakarahu Ibnu Hibbān fī tsiqāt; tsabt Tabi’ tabi’in pertengahan 10. Ismā’īl bin ‘Ayyāsy 181 H hasan riwāyatihi ‘an al-Syamiyyīn; laisa bihi ba’sun fī ahli al-Syām; watsaqahu fī al- Syamiyyīn wa dha’afahu fī ghairihim Tabi’ tabi’in pertengahan 11. Salm bin Qutaibah 200 H. laisa bihi ba’sun;tsiqah; Dzakarahu fī tsiqāt Tabi’ tabi’in kecil 12. Wakī’ bin al-Jarrāh 196 H tsiqah;hāfizh;tsiqah ma’mūnhujjah;hāfizh mutqin Tabi’ tabi’in kecil 13. Al-Hakam bin Mūsā 232 H. laisa bihi ba’sun; tsiqah, shālih jazarah al-tsiqah;shadūq al-ma’mūn; tsiqah, katsīr al-hadīts wa kāna rajulan shālihan tsabitan fī al-hadīts; tsiqah; Dzakarahu Ibnu Hibbān fī al-Tsiqāt Tabi’ tabi’ tabi’in besar 14. Nashr bin ‘Alī 250 H. lā ba’sa bih; tsiqah; hujjah Tabi’ tabi’ tabi’in besar 15. Hannād bin al-Sarī 243 H. shaduq;tsiqah; Ibnu Hibbān watsaqahu Tabi’ tabi’ tabi’in besar 16. ‘Uqbah bin Mukram 243 H. tsiqah tsiqah; tsiqah; Ibnu Hibbān watsaqahu Tabi’ tabi’ tabi’in pertengahan 17. Muhammad bin ‘Ali al-Madini shadūq rubamā akhtha’; tsiqahnubail; Dzakarahu Ibnu Hibbān fī Tsiqat; tsiqah Tabi’ tabi’ tabi’in besar 18. Ahmad bin Hanbal 164H./ 780 M. 242 H./ 855 M. Hujjah, hāfizh, alim, wara’, zahid Mudawin

19. Al-Thabarānī 260 H. 360 M. Tsiqah, hāfizh Mudawin

c. Jenis 1) Rawi Rawi merupakan subyek periwayatan, rawi atau yang meriwayatkan Hadits, yakni orang yang menerima, memelihara dan menyampaikan Hadits dengan menyertakan sandaran periwayatannya. Pembagian Hadits berdasarkan jumlah rawi terbagi pada dua bagian, yaitu: Mutawatir dan Ahad. Adapun yang dimaksud dengan Hadits Mutawatir adalah Hadits yang didasarkan pada panca indera yang dikhabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat, mereka bersepakat untuk berdusta, dan tiap thabaqah minimal 4 (empat) orang. Sedangkan Hadits Ahad adalah Hadits yang para perawinya tidak sampai pada jumlah rawi Hadits Mutawatir, tidak memenuhi persyaratan dan tidak pula mencapai derajat Mutawatir. Berdasarkan jumlah rawi dari tiap-tiap thabaqah, maka Hadits Ahad terbagi pada tiga macam, yaitu: Masyhūr, ‘Azīz, dan Gharīb.Pertama, Hadits Masyhūr adalah Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih namun belum mencapai derajat Mutawatir; Kedua, Hadits ‘Azīz adalah Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang; dan Ketiga, Hadits Gharīb adalah Hadits yang terdapat penyendirian rawi dalam sanadnya dimana saja penyendirian dalam sanad itu berada. Dalam Hadits ini, dilihat dari segi rawi, termasuk kepada jenis Hadits Ahad karena dalam sanad Hadits tersebut tidak mencapai derajat mutawatir, kalau diklasifikasikan maka: a) Pada tingkatan shahabat termasuk Hadits Ahad Azīz, karena diriwayatkan oleh dua orang sahabat yaitu Anas bin Mālik dan ‘Umar bin al-Khaththab b) Pada tingkatan tabi’in termasuk Hadits Ahad Masyhūr, karena diriwayatkan oleh tiga orang tabi’in yaitu Nubayth bin ‘Amr, Habīb bin Abī Tsābit, dan Habīb bin Abī Habīb al-Bajalī c) Pada tingkatan tabi’ tabi’in termasuk Hadits Ahad Azīz, karena diriwayatkan oleh dua orang tabi’ tabi’in yaitu ‘Abdurrahmān bin Abī al-Rijāl dan Thu’mah bin ‘Amr d) Pada tingkatan tabi’ tabi’ tabi’in atau guru mudawwin termasuk Hadits Mutawatir, karena diriwayatkan oleh lima orang tabi’ tabi’ tabi’in atau guru mudawwin yaitu al-Hakam bin Mūsā, Muhammad bin ‘Alī al-Madīnī, ‘Uqbah bin Mukram, Nashr bin ‘Alī, dan Ismā’īl bin ‘Ayyāsy. 2) Sanad Sanad adalah sandaran Hadits, yakni referensi atau sumber yang memberitakan Hadits, yaitu rangkaian para rawi keseluruhan yang meriwayatkan suatu Hadits. Sanad tersebut, terbagi pada dua bagian, yaitu: sanad yang bersambung atau sampai pada Nabi Muhammad Saw. dan sanad yang terputus, maksudnya tidak sampai pada Nabi Muhammad Saw. Hadits ditinjau dari segi persambungan sanad terbagi pada: a) Hadits Muttashil, yaitu Hadits yang sanadnya bersambung-sambung, sampai kepada Nabi Muhammad Saw. maksudnya para rawi yang tercantum pada sanad antara murid dan guru bertemu (liqā’). Ukuran pertemuan murid dengan guru antara lain dilihat dari masa hidupnya, daerah tempat tinggalnya, dan profesinya sebagai Muhadditsīn. Dari definisi ini, dapat diketahui bahwa muttashil ada yang marfū’ dan ada yang mauqūf. b) Hadits Munfashil, yaitu bila terdapat sanadnya yang terputus pada: (1) Hadits Mu’allaq ialah Hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad, yakni guru mudawin. (2) Hadits Mursal ialah Hadits yang gugur rawi pertama atau akhir sanadnya (3) Hadits Mu’dhal, ialah Hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih secara berturut-turut dalam thabaqah sanad, baik shahabat bersama tabi’in, tabi’in bersama tabi’ tabi’in, namun dua orang sebelum shahabat dan tabi’in. (4) Hadits Munqathi’ ialah Hadits yang gugur seorang rawi disatu tempat (thabaqah) atau gugur dua orang pada dua tempat (thabaqah) dalam keadaan tidak berturut-turut. (5) Hadits Mudallas ialah Hadits yang gugur guru seorang rawi karena untuk menutup noda. Dalam proses periwayatan Hadits, terdapat lafazh-lafazh yang digunakan oleh para perawi, sehingga dapat diketahui dengan cara apa para perawi mendapatkan Hadits. Proses tersebut, dinamakan Tahammul wa al-Ada’.Tahammul dan Ada’ al-Hadīts adalah proses penerimaan Hadits oleh seorang rawi dari gurunya, dan setelah dipahami, dihafal, dihayati, diamalkan (dhabth) ditulis (tahrir) dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada’) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut. Terdapat 8 (delapan) macam metode Tahammul dan Ada’ al-Hadīts, yaitu: (1) al-Simā’ (mendengar), lafazhnya: حدثنا, حدثني, سمعنا, سمعت (2) al-Qira’ah ‘ala al-Syeikh (membaca dihadapan guru), lafazhnya: قرأت عليه (3) al-Ijāzah (sertifikasi atau rekomendasi), lafazhnya: أجزت لك رواية الكتاب الفلانى عنّى (4) Munāwalah, yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan, lafazhnya: أنبأنا, أنبأني, ناولنا, ناولني (5) Mukatabah, yaitu seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa Hadits kepada orang ditempat lain atau yang ada dihadapannya, lafazhnya: أخبرنى فلان كتابة (6) Wijadah, yaitu memperoleh tulisan Hadits orang lain yang tidak diriwayatkan dengan sama’, qira’ah maupun selainnya, dari pemilik Hadits atau pemilik tulisan tersebut, lafazhnya: وجدت بخط فلان (7) Washiyah, yaitu pesan seseorang dikala akan meninggal atau bepergian dengan sebuah kitab tulisan supaya diriwayatkan, lafazhnya: أوص إليّ فلان بكتاب قال فيه حدّثنا إلى أخره (8) I’lām, yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa Hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorng guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya, lafazhnya: أعلمنى فلان قل حدّ ثنا Dari cara periwayatan di atas, maka didapatkan dua tipe periwayatan, yaitu: (1) Rawi yang mendengar langsung dari gurunya, dengan demikian murid bertemu dengan gurunya, dan diketahui betul tentang pertemuannya itu, lafazh-lafazhnya: سمعت, سمعنا, حدّ ثنى, حدّ ثنا, أخبرنى, أخبرنا, أنبأنا, نبأنا, قال لي (لنا) فلان, ذكرلي (لنا) فلان, قال حدّ ثني (ثنا) (2) Rawi yang belum pasti diketahui tentang pertemuan-pertemuannya dengan guru, mungkin mendengar sendiri dengan langsung, atau tidak mendengar sendiri, lafazh-lafazhnya: روي, حكي, عن, أنّ Hadits ini, dilihat dari persambungan sanadnya, terdapat dua bagian, yaitu: (1) Muttashil, karena sanadnya bersambung pada Nabi. Selain itu, berdasarkan data-data yang didapatkan dalam kitab Rijāl al-Hadīts mengenai kualitas para perawinya, didapatkan bahwa perawi tersebut bertemu dan satu zaman, setempat, dan seprofesi. (2) Munfashil karena pada jalur yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab terdapat sanad yang terputus pada satu tempat. Jadi jalur ini munqathi’, dari ‘Umarah bin Ghaziyyah langsung ke Anas bin Mālik. Dilihat dari segi keadaannya, terdapat lafazh-lafazh yang dipakai yaitu عن, حدّ ثنا, قا ل, أنّ(berarti mu’an’an, muannan, dan sama’), yang berarti lafazh-lafazh tersebut menunjukan bahwa murid mendengar langsung dari gurunya tentang Hadits shalat arba’īn dan mungkin mendengar sendiri dengan langsung atau tidak mendengar sendiri. d. Kualitas 1) Tashhīh Tashhīh merupakan proses menganalisis kualitas Hadits dengan mengkaji rawi, sanad, dan matn, sehingga dapat diketahui keshahihan dan kedha’ifan suatu Hadits. a) Rawi Dari 18 (delapan belas) perawi di atas, terdapat dua orang yang kualitasnya lemah yaitu: (1) Khālid bin Thahmān Perawi ini, menurut Yahya bin Ma’īn ضعيف; Abū Hātim al-Razī من عتق الشيعة محاله الصدق; dan Ibnu Hibbān وثقه, يخطئ و يهم. Tetapi, jarhnya tidak mencapai derajat maudhū’, matrūk, dan munkar, sehingga masih ada kemungkinan derajatnya naik, jika dikuatkan oleh sanad lain. (2) Ismā’īl bin ‘Ayyāsy Perawi ini, menurut Ahmad bin Hanbal حسن روايته عن الشاميين; Yahya bin Ma’īn ليس به بأس فى أهل الشام; ‘Alī bin al-Madinī, Ibnu Abī Syaibah, ‘Amr bin al-Fallas, Duhaym وثقه في الشاميين وضعفه في غيرهم. Perawi ini tsiqah hanya oleh golongan tertentu, sementara golongan yang lainnya, menganggap lemah. Adapun Khālid terdapat pada jalur Anas bin Mālik yang tidak sampai kepada Nabi, artinya Hadits tersebut hanya sampai pada shahabat Anas bin Mālik (mauqūf).Sementara, Ismā’īl bin ‘Ayyāsy terdapat pada jalur ‘Umar bin al-Khaththab.Selain itu, terdapat pula sanad yang terputus pada jalur ‘Umar bin al-Khaththab, yang berarti terputus pada satu rawi dan dinamakan Hadits Munqathi’.Sedangkan kelima belas perawi lainnya, para ulama menilainya tsiqah. b) Sanad Dilihat dari segi sanad, sebagaimana telah dijelaskan bahwa Hadits ini terbagi kepada dua bagian, yaitu: (1) Muttashil karena satu zaman, setempat, dan seprofesi sehingga ada kemungkinan mereka bertemu. (2) Munfashil karena pada jalur yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab terdapat sanad yang terputus pada satu tempat. Jadi jalur ini Munqathi’, dari ‘Umarah bin Ghaziyyah langsung ke Anas bin Mālik. c) Idhafah

Hadits ini termasuk Hadits qauli karena terdapat lafazh قال رسول الله ص م,sehingga Hadits ini termasuk Hadits marfū’ karena periwayatannya sampai kepada Nabi, seperti Hadits yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal, al-Thabrānī, dan al-Tirmidzī. Akan tetapi, yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī terdapat Hadits yang mauqūf, artinya Hadits tersebut hanya sampai pada tingkatan shahabat yaitu Anas bin Mālik, karena dalam Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī ini terdapat dua jalur. Pertama, Anas bin Mālik, Habīb bin Abī Tsābit, Thu’mah bin ‘Amr, Salm bin Qutaibah, ‘Uqbah bin Mukram dan Nashr bin ‘Alī. Jalur ini sampai kepada Nabi; Kedua, Anas bin Mālik, Habīb bin Abī Habīb al-Bajalī, Khālid bin Thahmān, Wakī’ bin al-Jarrāh, Hannād bin al-Sarī. Pada jalur kedua inilah yang mauqūf.

2)I’tibār I’tibār merupakan proses pencarian kualitas suatu Hadits dengan cara mendapatkan informasi dan petunjuk dari literatur, baik kitab/diwan Hadits, kitab syarh maupun kitab fan. a) I’tibār Diwan Hadits (1) Menurut Hamzah Ahmad al-Zain, yang mensyarah dan membuat daftar isi terhadap kitab Musnad Ahmad bin Hanbal, memberikan keterangan bahwa Isnad Hadits—melalui jalur Anas bin Mālik, yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal —hasan. (2) Menurut al-Mundzirī dalam kitab al-Targhīb wa al-Tarhīb, menjelaskan bahwa Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal para perawinya shahīh. (3) Menurut al-‘Iraqi, seperti yang dikutip oleh al-Zubaidi, menjelaskan bahwa Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dengan jalur Anas, dengan isnad para perawi nya tsiqah. (4) Menurut Muhammad Nāshiruddīn al-Albānī, Hadits ini munkar. Hadits ini tidak ada yang meriwayatkannya kecuali dari Anas dari Nubaith dari Ibnu Abī al-Rijāl. Ia berpendapat bahwa sanad Hadits ini dha’īf karena keberadaan Nubaith yang keterangan ketsiqahannya hanya terdapat dalam Tsiqāhnya Ibnu Hibbān, jadi kalaupun terdapat keterangan tentang ketsiqahannya tetapi tetap majhūl, saya (al-Albānī) menduga bahwa Nubaith bukan perawi yang shahīh tapi perawi yang tidak jelas keberadaannya dan tidak ada yang meriwayatkannya dalam Kutb al-Sittah. Selain itu, Hadits ini terdapat dua jalur yaitu yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi ada yang marfū yang pertama dan yang mauqūf kemudian saya menemukan jalur yang ketiga yang marfū yang terdapat dalam Tarīkh Wāsith yaitu melalui jalur Umar bin al-Khaththab. Dalam kitab Dha’īf al-Targhīb wa al-Tarhīb, al-Albānī tanpa menjelaskan apa-apa menyebutkan bahwa Hadits ini munkar, mungkin sudah menjelaskannya secara panjang lebar dalam al-Silsilah al-Dha’īfah. (5) Dalam kitab Mahabbah al-Rasūl bain al-Itbā’ wa al-Ibtida’ karya ‘Abdurrauf Muhammad ‘Utsmān, menjelaskan bahwa Hadits ini Dha’īf dan tidak diperbolehkan untuk diamalkan. Dengan alasan bahwa shalat dimasjid Nabawi dengan memakai ketentuan waktu itu termasuk perbuatan bid’ah tapi jika tidak disertai ketetapan waktu dianjurkan, karena berdasarkan Hadits Nabi bahwa shalat di masjidku ini 1000 kali lipat dibandingkan dengan shalat dimasjid lain kecuali Masjid al-Haram. b) I’tibar Syarah Hadis Dalam Tuhfat al-Ahwadzī yang ditulis oleh Muhammad ‘Abdurrahmān bin ‘Abdurrahīm al-Mabarkafurī menjelaskan bahwa Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī adalah Hadits mauqūf karena Hadits tersebut merupakan perkataan sahabat Anas bin Mālik. Menurut Ibnu Hajar, seperti yang dikutip oleh al-Mabarkafurī menjelaskan bahwa terdapat pula jalur yang terputus dari Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī, selain itu juga terdapat perawi yang penilaiannya hanya tsiqah menurut satu golongan, sementara yang lainnya mendha’ifkannya, perawi tersebut bernama Ismā’īl bin ‘Ayyāsy. Dengan demikian, kualitas Hadits tersebut menjadi dha’īf, akan tetapi masih bisa diamalkan sebagai keutamaan amal. Adapun jalur yang terputus itu adalah jalur ‘Umar bin al-Khaththab, Anas bin Mālik, ‘Umārah bin Ghaziyyah, dan Ismā’īl bin ‘Ayyāsy. Dari ‘Umārah bin Ghaziyyah ini terputus dan langsung menuju Anas bin Mālik . c) I’tibar Fan Hadis Dalam buku yang ditulis oleh Dr. Ahmad Luthfi Fathullah yang berjudul Pahala dan Keutamaan Haji, Umrah, Ziarah: Dalam Hadis-hadis Rasulullah, dijelaskan bahwa Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dan al-Thabarānī berkualitas hasan.Al-Haitsamī dan al-Dimyatī berkata, “Perawi pada sanad Hadits ini tsiqah semua”.Al-Tirmidzī meriwayatkan sepotong dari Hadits ini. Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa dalam riwayat al-Tirmidzī tidak dikhususkan masjid Nabawi, demikian juga dengan jumlah hari yang 40 hari, bukan 40 waktu. Jadi terdapat perbedaan, al-Tirmidzī sendiri condong untuk menguatkan bahwa Hadits yang diriwayatkannya bukan sebagai perkataan Rasulullah Saw., akan tetapi merupakan perkataan sahabat Anas. Dari keterangan-keterangan diatas, penulis berpendapat bahwa kualitas sanad Hadits tentang shalat arba’īn yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dan al-Thabarānī adalah Shahīh, karena memenuhi persyaratan Hadits Shahīh yaitu sanadnya bersambung, para perawinya ‘adil dan dhabit. meskipun terdapat perbedaan mengenai keberadaan Nubaith yang tidak jelas, dalam hal ini penulis berpatokan pada keterangan Ibnu Hibbān yang menyebutkan bahwa ia tsiqah. Selain itu, tidak terdapat pula ulama lain yang menjarhkannya. Sementara, terdapatnya Hadits lain yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī, penulis lebih cenderung bahwa Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī tersebut dari segi matn Hadits tidak berkaitan dengan Hadits tentang shalat arba’īn, sebagaimana keterangan diatas bahwa Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī tidak dikhususkan shalat di masjid Nabawi dan yang dimaksud dengan 40 (empat puluh) bukan 40 waktu, yang biasa dilakukan oleh para jemaah haji ketika melakukan shalat di mesjid Nabawi tetapi 40 hari.

Sementara, untuk Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī penulis berpendapat bahwa Hadits tersebut berkualitas Hasan, karena terdapat sanad lain yang terdapat salah satu perawinya Dho’īf dan salah satu sanadnya yang terputus.

B. Analisis Matn Hadits Tentang Shalat Arba’īn 1. Perbandingan Matn Hadits tentang Shalat Arba’īn Matn merupakan materi berita, yakni lafazh (teks) dari suatu Hadits yang berupa perkataan, perbuatan atau taqrir, baik yang diidhafahkan kepada Nabi Muhammad Saw., shahabat ataupun tabi’in, yang terletak pada penghujung sanad Hadits. Setelah mengetahui keadaan sanad Hadits tentang shalat arba’īn, langkah selanjutnya adalah menganalisis tentang matn Haditsnya. Pembahasan ini akan diawali dengan melakukan perbandingan matn pada masing-masing kitab Hadits yang telah dituliskan pada bab sebelumnya. Berikut ini adalah redaksi matn dari masing-masing kitab Hadits tersebut. a. Ahmad bin Hanbal: Musnad Ahmad bin Hanbal مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً لَا يَفُوتُهُ صَلَاةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنْ الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنْ النِّفَاقِ. b. al-Haitsamī: Majma’ al-Zawāid من صلى في مسجدي أربعين صلاة لا تفوته صلاة كتب له براءة من النار وبراءة من العذاب وبريء من النفاق. c. al-Mundzirī: al-Targīb wa al-Tarhīb من صلى في مسجدي أربعين صلاة لا تفوته صلاة كتبت له براءة من النار وبراءة من العذاب وبرىء من النفاق. d. al-Thabrānī: al-Mu’jam al-Ausath من صلى في مسجدي اربعين صلاة لا يفوته صلاة كتب الله له براءة من النار ونجاة من العذاب. e. al-Tirmidzī: Sunan al-Tirmidzī مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ. f. Basyar ‘Awwad Ma’ruf: Musnad al-Jami’ مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاق. g. al-Zubaidi: Ithaf al-Sadati al-Muttaqin 1- مَنْ صَلَّى أَرْبَعِينَ يَوْمًاالصلوات فِي جَمَاعَةٍ لا تفوته فيها تكبِيرَة الاحرام كتب الله لَهُ بَرَاءَتينِ بَرَاءَةٌ مِن النِّفَاق وَبَرَاءَةٌ مِن النَّارِ 2- مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً كتب لَهُ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وبراءة الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنْ النِّفَاق h. al-Hindi: Kanz al-‘Ummal

مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً لَا يَفُوتُهُ صَلَاةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنْ الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنْ النِّفَاقِ

Dari redaksi matn di atas, dapat diketahui perbedaan matn yang lafazh nya berbeda yaitu dari Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dan al-Tirmidzī. Adapun yang diriwayatkan oleh al-Thabarānī redaksi matn nya hampir sama dengan redaksi matn Ahmad bin Hanbal, hanya terdapat sedikit perbedaan yaitu pada redaksi matn Ahmad bin Hanbal tertulis كتبت dan وبرئ من النفاق sementara pada redaksi matn al-Thabarānī tertulis كتب اللهdan tidak terdapat lafadz وبرئ من النفاق Sedangkan al-Haitsamī, al-Mundzirī, al-Zubaidī dan al-Hindī, mereka tidak meriwayatkannya hanya mengutip Hadits tersebut. Lain halnya, dengan redaksi matn al-Tirmidzī, berikut ini adalah perbedaan antara redaksi matn Ahmad bin Hanbal dan al-Tirmidzī: a. Pada redaksi matn Ahmad bin Hanbal tertulis في مسجدي, صلاة, لا يفوته صلاة, كتبت له, ونجاة من العذاب, وبرئ من النفاق b. Pada redaksi matn al-Tirmidzi tertulisلله, يوما, في جماعة يدرك التكبيرة الاولى, براءتان, وبراءة من النفاق Sementara redaksi matn yang terdapat dalam al-Tirmidzī terdapat perbedaan dengan al-Zubaidī yaitu pada: a. Pada redaksi matn al-Tirmidzī tertulisلله, في جماعة يدرك التكبيرة الاولى, كتبت له, براءة من النار وبراءة من النفاق b. Pada redaksi matn al-Zubaidī tertulis الصلوات, لا تفوته فيها تكبيرة الاحرام, كتب الله له, براءة من النفاق وبراءة من النار

Dari segi bentuknya, maka Hadits ini termasuk pada Hadits qauli karena terdapat lafazh قال رسول الله ص م, yang berarti bahwa Hadits tersebut merupakan ucapan Rasulullah Saw. Hadits ini termasuk Hadits marfu’ karena periwayatannya sampai kepada Nabi, seperti Hadits yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal, al-Thabaranī, dan al-Tirmidzī. Akan tetapi, yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī terdapat Hadits yang mauqūf, artinya Hadits tersebut hanya sampai pada tingkatan shahabat yaitu Anas bin Mālik, karena dalam Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī ini terdapat dua jalur. Pertama, Anas bin Mālik, Habīb bin Abī Tsābit, Thu’mah bin ‘Amr, Salm bin Qutaibah, ‘Uqbah bin Mukram dan Nashr bin ‘Alī. Jalur ini sampai kepada Nabi; Kedua, Anas bin Mālik, Habīb bin Abī Habīb al-Bajalī, Khālid bin Thahmān, Wakī’ bin al-Jarrāh, Hannād bin al-Sarī. Pada jalur ini yang mauqūf. Selain itu, juga terdapat matn lain atau syahid yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī.

2. Tathbiq Hadits ini termasuk pada jenis Hadits yang muhkam karena lafazh nya jelas.Tapi, dalam Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī terdapat dua jalur Hadits yang kontra karena yang pertama jalur sanadnya bersambung, sedangkan yang kedua jalur sanadnya terputus, tetapi sanad yang terputus ini adalah mutabi’.Dengan demikian, yang paling unggul adalah jalur sanad yang pertama . Dalam redaksi matn ataupun kitab asbāb al-wurūd tidak diketemukan keterangan mengenai sebab-sebab munculnya Hadits ini. Dari segi kualitas matn Hadits, penulis berpendapat bahwa matn Hadits tentang shalat arba’īn berkualitas Shahīh, karena setelah dilakukan penelitian ternyata tidak diketemukan redaksi matn yang syadz dan ber’illat.Meskipun diketemukan perbedaan matn antara satu redaksi dengan redaksi lainnya, tetapi tidak sampai berpengaruh pada kualitas matn Hadits tersebut.Hadits ini merupakan Hadits yang diriwayatkan secara makna, sehingga wajar saja jika ditemukan redaksi matn yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Jadi, setelah dilakukan analisis terhadap sanad dan matn Hadits tentang shalat arba’īn, penulis berpendapat bahwa Hadits ini Shahīh, baik sanad maupun matnnya. Adapun Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī, sebagaimana penulis telah jelaskan pada bab sebelumnya, dilihat dari redaksi matn, memang terdapat persamaan lafazh tetapi dari kandungan makna nya berbeda, yaitu dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dan al-Thabaranī maksudnya shalat 40 waktu yang biasa dikerjakan oleh para jemaah haji selama 8 hari yang dilaksanakan di masjid Nabawi ketika mereka berhijrah ke Madinah, sementara dalam Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī maksudnya shalat 40 hari yang bisa dilaksanakan di masjid manapun. Jadi, jelas dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dan al-Thabaranī dikhususkan dimasjid Nabawi, sedangkan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī bermakna umum, maksud nya bisa dilaksanakan selain di masjid Nabawi, sehingga tidak ada hubungannya. 3. Implikasi Hadits Shalat Arba’īn terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji Haji merupakan rangkaian ibadah yang berat.Kerap disebut merupakan kesempurnaan keislaman seseorang, rangkaian prosesi ibadahnya menguras enerji.Sebelum memasuki prosesi ibadah, mereka yang melaksanakan ibadah haji, terlebih dahulu mengharungi ribuan kilometer untuk mencapai Tanah Suci.Tak mengherankan, Allah dalam al-Qur’an berfirman bahwa hamba-hamba-Nya berdatangan dari berbagai penjuru, dengan tubuh berdebu.Berkaitan dengan itu, seseorang yang hendak menunaikan ibadah haji, selaiknya melakukan persiapan fisik, mental, pengetahuan, dan materi.Kesiapan fisik diperlukan karena untuk umrah, lempar jumrah atau melaksanakan shalat arba’īn di Masjid Nabawi, misalkan, jamaah harus berjalan kaki beberapa kilometer.Ini belum termasuk pelaksanaan wukuf di Arafah.Begitu juga perjalanan menuju Muzdalifah dan Mina untuk melaksanakan lempar jumrah di Mina yang juga memerlukan fisik yang prima.Shalat arba’īn memang hukumnya Sunat.Meski demikian, kebanyakan jamaah menginginkan untuk dapat melaksanakan ibadah itu.Arba’in artinya empatpuluh. Yang dimaksud dengan arba’īn di sini adalah shalat wajib lima waktu yang dilakukan secara berjamaah di Masjid Nabawi. Ini selama delapan hari terus menerus tanpa putus hingga bilangannya mencapai 40 waktu.Pemondokan jamaah haji di Madinah berada sekitar 500 meter hingga 1 kilometer dari Masjid Nabawi. Bayangkan, bila harus melaksanakan shalat lima waktu di Masjid Nabawi, mereka dalam sehari harus berjalan kaki sekitar 5-10 kilometer (bolak-balik pemondokan-Masjid Nabawi). Jarak tempuh yang sama juga harus dilakukan jamaah haji ketika berada di Mekah. Ini karena pemondokan jamaah haji di kota kelahiran Nabi Muhammad itu juga hampir sama dengan yang di Madinah. Perjalanan kaki yang lebih berat juga harus dilakukan jamaah ketika melaksanakan umrah.Ini karena thawaf dan sa’i harus dilaksanakan secara berurutan.Untuk thawaf dengan mengelilingi Ka’bah tujuh kali putaran misalnya, jamaah beruntung bila belum banyak orang.Namun biasanya selama musim haji, jamaah yang melakukan thawaf terus berjubel sepanjang hari dan malam.Dalam kondisi itu, bisa-bisa jarak tempuh setiap putaran mencapai sekali putaran lapangan bola. Hal yang sama juga terjadi dalam pelaksanaan sa’i. Untuk melaksanakan ibadah ini mereka harus menempuh jalan kaki antara Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali. Jarak antara dua tempat itu sekitar 2,8 kilometer. Bisa dibayangkan berapa kilometer jarak yang harus ditempuh jamaah haji ketika melaksanakan ibadah umrah ini.Buat jamaah berusia muda atau yang biasa berolahraga, jarak tempuh baik untuk mengejar shalat arba’inataupun melaksanakan ibadah umrah — sejauh itu mungkin tidak menjadi persoalan. Namun buat yang berusia lanjut atau tidak pernah olahraga tentu akan memunculkan persoalan berkaitan dengan kesehatan. Dengan data-data semacam itu, sebaiknyalah para calon jamaah haji dari sekarang, ketika masih di Tanah Air, segera mempersiapkan fisik secara baik.Baik itu dengan membiasakan diri berjalan kaki atau gerakan-gerakan olahraga lainnya.Dengan begitu ketika pada hari H-nya mereka bisa melaksanakan ibadah dengan baik. Ingat ibadah haji adalah mahal, baik dari segi waktu apalagi dana . Shalat arba’in ini dilaksanakan di mesjid Nabawi, dan jika dilaksanakan maka terbebas dari api neraka, diselamatkan dari azab (kubur), dan terhindar dari nifak (sifat munafik). Shalat ini biasa dilaksanakan oleh para jemaah haji ketika sedang berada di Madinah.Setiap tahun antara tanggal 8-12 Dzulhijjah sekitar 3 juta jemaah haji dari berbagai dunia menunaikan ibadah haji. Meski ibadah haji dapat diselesaikan dalam waktu 5 hari, namun umumnya jemaah haji tinggal di Arab Saudi (kota Jeddah, Mekkah, dan Madinah) dalam waktu antara 14 hari (ONH Plus) hingga 40 hari menunggu antrian keberangkatan dan kepulangan.Setelah tanggal 13 Dzulhijjah umumnya para jemaah haji tinggal di Madinah untuk menunaikan sholat arba’in (40 waktu) selama 8 hari. Jadi antara tanggal 14-22 Dzulhijjah mereka tinggal di Madinah.Setiap masuk waktu sholat, mereka sholat berjama’ah di masjid Nabawi . Masjid Nabawi adalah masjid kedua yang dibangun Nabi, karena masjid pertama dibangun Nabi saw adalah Masjid Qubah yang terletak antara Makkah dan Madinah. Masjid Qubah dibangun ketika Nabi saw menunggu Ali bin Abi Thalib yang hijrah belakangan.Lokasi Masjid Nabawi yang asli ditandai dengan tiang-tiang yang berbeda dengan tiang-tiang sebagian besar Masjid Nabawi saat ini, tiang-tiang ini terkesan antik dan berbeda dengan umumnya tiang-tiang masjid Nabawi yang ber-arsitektur modern. Masjid Nabawi dan halamannya saat ini lebih kurang 8,2 HA dan mampu menampung 800.000 jamaah, total luas masjid saat ini diyakini merupakan luas kota Madinah dimasa Nabi saw.Shalat di Masjid Nabawi memperoleh pahala 1.000 kali dibandingkan masjid lain, kecuali Masjidil Haram dengan pahala 100.000 kali. Sehingga jamaah haji umumnya melakukan program Arba’in yakni shalat 40 kali di Masjid Nabawi (shalat 5 waktu selama 8 hari), jika kita ambil hikmahnya maka Arba’in sebetulnya mendidik jamaah haji untuk selalu melakukan shalat 5 waktu dimasjid secara berjamaah. Jika kita bekerja disiang hari, maka harus disempatkan untuk shalat Subuh dan Isya di masjid. Barangsiapa melaksanakan shalat Isya’ dengan berjamaah, maka laksana ia beribadah setengah malam, dan barangsiapa melaksanakan shalat Isya’ dan Fajar dengan berjamaah, maka laksana ia beribadah semalam suntuk (HR Muslim). Seberat-berat shalat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya’ dan Fajar. Seandainya mereka mengetahui pahala keduanya maka mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak (HR Mutafaq ’alaih) Kamar Nabi saw dengan istrinya Siti Aisyah terletak disamping Masjid, sehingga ketika Nabi Saw I’tikaf (bermalam dimasjid) beliau cukup menjulurkan kepalanya dipintu kamar untuk disisirkan rambutnya oleh Siti Aisyah. Lokasi antara kamar dan mimbar inilah yang dikenal dengan Raudhah atau Raudhatul Jannah (Taman Syurga) dengan luas (22 x 15) m2, dimana berdo’a disini akan dikabulkan oleh Allah swt. Ketika Nabi saw meninggal, beliau dikuburkan didalam kamarnya dan Siti Aisyah tetap tinggal dikamar yang sama, kemudian ketika Abu Bakar ra mendekati ajal beliau minta izin kepada Siti Aisyah agar dapat dikuburkan disamping sahabat yang paling dicintainya dan Aisyah mengizinkannya. Seperti diketahui Abu Bakar adalah ayah dari Siti Aisyah. Kemudian ketika Umar bin Khaththab mendekati ajal beliau juga minta izin Siti Aisyah untuk dikuburkan disamping sahabatnya, padahal Siti Aisyah sudah berencana untuk dikuburkan disamping suami dan ayah yang sangat dicintainya tetapi karena rasa hormatnya kepada Umar bin Khaththab maka Siti Aisyah juga mengizinkannya. Setelah Umar bin Khaththab dikubur disamping Nabi saw, maka Aisyah tidak pernah membuka aurat dikamarnya karena telah ada orang asing bukan mahramnya yang telah dikubur dikamarnya. Begitulah mulianya Siti Aisyah, meskipun laki-laki yang bukan mahramnya telah meninggal tetap saja Siti Aisyah tidak mau menampakkan auratnya didepan kuburan Umar bin Khaththab. Posisi kuburan ketiga orang yang sangat dimuliakan oleh umat Islam itu seperti posisi shalat antara Imam dan Ma’mum, artinya Abu Bakar menjadi ma’mum-nya Nabi saw, kemudian Umar bin Khaththab menjadi ma’mum-nya Abu Bakar. Kuburan pada awalnya berlokasi diluar masjid, tetapi ketika ada usaha pencurian terhadap kuburan Nabi saw maka dimasukkan kedalam masjid. Seorang munafik

bertempat tinggal disekitar Masjid Nabawi, setiap hari dia menziarahi makam Baqi’ (makam para syuhada Uhud) yang tidak jauh dari Masjid Nabawi. Suatu malam Wali (Gubernur) Madinah bermimpi bahwa seseorang berniat jahat untuk membongkar kuburan Nabi saw, kemudian diselidiki siapakah pelakunya. Akhirnya ditemukan rumah orang munafik dengan terowongan yang telah digali dan mengarah kekuburan Nabi saw, ternyata sang munafik melakukan ziarah kekuburan Baqi’ bukan untuk menghormati syuhada Uhud tetapi untuk membuang tanah galian dari terowongan.Sang munafik akhirnya dihukum mati atas kejahatannya. Untuk mengamankan dari pencurian, maka kuburan Nabi saw, Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dicor sekelilingnya dengan timah dan kuburan dimasukkan kedalam masjid. Jika kita mengunjungi Masjid Nabawi saat ini, dibelakang mimbar ada jalan untuk memberi kesempatan penziarah mengunjungi kuburan Nabi saw dan tidak dibolehkan shalat diarea ini karena didepan Imam. Posisi kuburan ditandai dengan kubah hijau diatasnya. Seperti telah digambarkan sebelumnya bahwa Raudhah atau Raudhatul Jannah adalah lokasi antara kamar Nabi saw dengan mimbar, lokasi ini area yang mustajab untuk berdo’a kepada Allah swt, disamping lokasi lain seperti didepan Multazam (pintu Ka’bah), saat wuquf di Arafah, dll. Area Raudhah ditandai dengan permadani kombinasi putih dan abu-abu, ini sangat kontras dengan permadani umumnya di Masjid Nabawi yang berwarna merah. Area Raudhah seluas (22 x 15) m2 sangat terbatas menampung jamaah, untuk itu aparat (asykar syari’ah) mengatur sirkulasi jamaah di Raudhah, bagi yang sudah shalat sunnah dan berdo’a disuruh keluar dan secara berkala pintu masuk Raudhah dibuka bagi jamaah yang antri diluar. Waktu yang paling memungkinkan untuk masuk Raudhah adalah saat dibuka jam 2.30 atau pada saat jatah wanita berakhir jam 10.00 (jamah wanita diberi kesempatan di Raudhah jam 8.00-10.00). Biasanya jama’ah sudah antri dan ketika pintu dibuka para jama’ah lari sprint 50 m untuk mendapatkan tempat yang strategis (tidak terganggu dan berdesakan). Dibutuhkan kesabaran yang tinggi di Raudhah, karena sudah biasa ketika shalat jamaah lain berdiri didepan kita sehingga tidak bisa ruku’ dan sujud. Duduk berdempetan, tetapi masih ada saja jamaah lain memaksakan diri untuk minta duduk. Kepala/bahu dilangkahi atau tertendang, tangan terinjak dan perlu hati-hati disaat sujud karena sangat berbahaya ketika lehernya terinjak jamaah lain. Cara paling aman adalah bersama teman, shalat bergantian dan saling menjaga (dengan menjulurkan tangan) ketika sedang shalat.Kadang-kadang kita saksikan antar jamaah saling melotot dan emosi, disinilah kesabaran kita diuji, tidak selayaknya berantem disaat beribadah ditempat yang sangat mulia ini.Tempat mulia seperti Raudhah ini salah satu saja dari sekian banyak tempat mulia ditanah suci semisal Masjidil Haram dengan Ka’bah, multazam, hijir isma’il, saat wuquf di Arafah, dll, sayang sekali ketika kesempatan, keuangan dan kesehatan ada tetapi tidak dimanfaatkan.Lakukanlah ibadah haji sesegera mungkin, jangan tunda jika sudah tua karena tidak ada yang menjamin kita hidup hingga tua, jangan tunda jika mental sudah siap karena tidak ada yang menjamin kita selalu sehat. Ibadah haji merupakan kesempatan seluas-luasnya untuk bertaubat kepada Allah swt atas dosa-dosa yang kita perbuat, sehingga sepulang haji (jika mabrur) maka ia bagaikan seorang bayi yang baru lahir.

4. Problematika Dalam redaksi matn, tidak terdapat kalimat-kalimat yang susah dipahami maknanya. Sementara dari segi sanad, masih terlalu rumit untuk memahami mata rantainya. BAB V

KESIMPULAN

Teks Hadits tentang shalat arba’īn terdapat dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal, Mu’jam al-Ausath al-Thabarānī dan Sunan al-Tirmidzī. Para perawi yang meriwayatkan Hadits ini, semuanya berkualitas tsiqah dan dhabith. Hadits ini, kualitasnya shahīh karena memenuhi persyaratan Hadits shahīh yaitu sanadnya bersambung, para perawinya adil dan dhabith, tidak terdapat syadz dan ‘illat. Hadits tentang shalat arba’īn ini dapat dijadikan dalil bagi para jemaah haji yang melaksanakan shalat arba’īn di Madinah. Antara Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dan al-Thabarānī dengan Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī tidak ada kaitannya, karena kandungan maknanya berbeda. Hadits Ahmad bin Hanbal dan al-Thabarānī yang dimaksud adalah shalat 40 waktu yang dikerjakan para jemaah haji ketika berada di Madinah selama delapan hari di masjid Nabawi, sementara Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī, yang dimaksud adalah 40 hari yang mempunyai makna umum artinya bisa dilaksanakan dimasjid manapun.

Para jama’ah haji sangat berantusias untuk melaksanakan shalat arba’īn, karena shalat di masjid Nabawi lebih baik seribu kali dibandingkan dengan shalat di masjid lain kecuali masjil al-Haram. Apabila melaksanakan shalat arba’īn dan tidak tertinggal satu shalatpun, maka akan dibebaskan dari api neraka, selamat dari adzab, dan terhindar dari sifat munafik.

DAFTAR PUSTAKA

Abū Zahw, Muhammad. 1984. al-Hadīts wa al-Muhadditsūn. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabī.

Ahmad bin Hanbal. [t.th.]. Musnad Ahmad bin Hanbal. Beirut: Dar al-Fikr.
A. J. Wensinck & J. P. Mensing. 1965. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Hadīts al-Nabawī. Leiden: E. J. Brill.

al-‘Asqalānī, Syihābuddīn Ahmad bin ‘Alī bin Hajar. [t.th]. Tahdzīb al-Tahdzīb.Beirut:

al-Dzahabī, Syamsuddīn Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsmān. 1990. Siyar al-A’lām al-Nubalā’. Jilid XVI. Beirut: Mu’assasah al-Risālah.

Al-Haitsamī, Majma’ al-Zawāid. Kutb Alfiyah, CD.

al-Hindī, ‘Alāuddīn ‘Alī al-Muttaqī bin Hisāmuddīn. 1989. Kanz al-‘Ummal. Beirut: Muasasah al-Risalah.

al-Khathīb, M. ‘Ajjāj. 1989. Ushūl al-Hadīts. Beirut: Dar al-Fikr.

al-Mabārkafurī, Muhammad ‘Abdurrahmān bin ‘Abdurrahīm. 1979. Tuhfat al-Ahwadzī: bi Syarh Jāmi’ al-Tirmidzī. Juz II. Beirut: Dar al-Fikr.

al-Mizzī, Jamāluddīn Abī al-Hajjāj Yūsuf. 1994. Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā al-Rijāl. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Mundzirī, Zakiyuddīn Abdul ‘Azhīm bin ‘Abdul Qawī. 1993. al-Targīb wa al-Tarhīb. Beirut: Dar al-Fikr.

al-Naisābūrī, Al-Hākim. 1978. al-Mustadrak ‘ala al-Shahīhain. Beirut: Dar al-Fikr.

al-Naurī, Abī al-Fadhl al-Sayd Abū al-Ma’āthī Muhammad. 1993. al-Musnad al-Jami’.Beirut: Dar al-Jayl.

al-Salih, Subhi ‘Ulūm al-Hadīts wa Musthalahuhu. 1988.Beirut: Dar al-‘Ilmi wa al-Malayin.

al-Shiddieqy, M. Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits.1967. Jakarta: Bulan Bintang.

Al-Thabaranī.al-Mu’jam al-Ausath. Kutb Alfiyah, CD.

al-Thahan, Mahmud. 1995. Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits.Surabaya: Bina Ilmu.

Al-Tirmidzī, Abū ‘Īsā Muhammad bin ‘Īsā bin Saurah. 1994. Sunan al-Tirmidzī. Beirut: Dar al-Fikr

Azami, M.M. 2003. Memahami Ilmu Hadits: Telaah Metodologi dan Literatur Hadits. Jakarta: Lentera Basritama.

al-Zubaidī, al-Sayid Muhammad bin Muhammad al-Husainī. [t.th]. Ithāf al-Sādāti al-Muttaqīn.Beirut: Dar al-Fikr.

Bisri, Cik Hasan. 2001. Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi: Bidang Ilmu Agama Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

DEPAG. 1997. Alquran dan Terjemahnya. Surabaya: Jaya Sakti.

Fathullah, Ahmad Luthfi. 2006. Pahala dan Keutamaan Haji, Umrah, Ziarah: Dalam Hadis-hadis Rasulullah Saw. Jakarta: Al-Mughni Press.

Fayyad, Mahmud Ali. 1998. Metodologi Penetapan Keshahihan Hadits. Bandung: Pustaka Setia.

Ibnu Manzhūr. [t.th.]. Lisān al-‘Arabī. Juz II, Beirut: Dar al-Ma’ārif.

Ismail, M. Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.

‘Itr, Nuruddin. Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Hadīts.1997. Beirut: Dar al-Fikr.

Konsorsium Bidang Ilmu UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Pandangan Keilmuan UIN: Wahyu Memandu Ilmu. Bandung : Gunung Djati Press. 2006.

M. Abdurrahman. 2000. Pergeseran Pemikiran Hadīts: Ijtihad Al-Hākim dalam Menentukan status Hadīts. Jakarta: Paramadina.

M. Alfatih Suryadilaga (ed.). 2003. Studi Kitab Hadits. Yogyakarta: Teras.

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb. 1989. Ushūl al-Hadīts. Beirut: Dar al-Fikr.

Nasr, Seyyed Hossein. 2003. Islam: Agama, Sejarah, dan Peradaban. Surabaya : Risalah Gusti.

Rahman, Jalaluddin. 1997. Islam dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer. Ujung Pandang : Umitoha.

Shihab,Muhammad Quraish. 1999. Membumikan al-Qur’an. Bandung : Mizan.

Soetari, Endang. 2000. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Amal Bakti Press.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Watt, William Montgomery. 2002. Islam. Yogyakarta : Jendela.

Yaqub, Ali Mustafa. 1995. Kritik Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Zaghlūl, Abū Hājar Muhammad al-Sa’īd bin Basyūnī. 1989. Mausū’ah Athrāf al-Hadīts al-Nabawī al-Syarīf . Beirut: ‘Ālim al-Turāts

CD Hadits Kutb Alfiyah CD Hadits Kutb al-Tis’ah

CD Hadits Maktabah al-Syāmilah.

http://www.informasihaji.com. http://www.media-islam.or.id.

http://www.wayofmuslim.com.

b. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN SANAD DAN MATN AL-HADĪTS