Kasus diatas menurut teori keunggulan komparatif arus perdagangan kedua negara tersebut adalah

Teori keunggulan komparatif adalah teori yang menyatakan bahwa barang yang memiliki nilai kegunaan pasti juga memiliki nilai penukaran. Pencetus teori ini adalah David Richardo. Melalui teori ini, penukaran barang berlaku selama barang yang ditukar masih dapat digunakan. Perpaduan antara teori keunggulan komparatif dan teori kuantitas ruang kemudian dimanfaatkan untuk mengembangkan teori perdagangan internasional. Teori ini menyatakan bahwa keunggulan komparatif dapat diciptakan oleh suatu negara melalui kerja keras dalam melakukan penguasaan teknologi. Melalui perdagangan bebas, maka negara yang memanfaatkan teknologi akan lebih diuntungkan dalam persaingan mancanegara dibandingkan dengan negara yang hanya mengandalkan sumber daya alam saja.[1] Selain itu, penerapan teori keunggulan komparatif yang dilakukan melalui perdagangan internasional akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi suatu negara.[2]

Pada tahun 1786, Adam Smith mengemukakan konsep keunggulan bersaing yang dapat diterapkan secara mutlak. Keunggulan mutlak dapat diperoleh oleh suatu negara jika memiliki sumber daya unggulan atau teknologi unggulan yang memproduksi komoditas dengan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan negara lain.[3] Teori keunggulan mutlak kemudian dikembangkan oleh Robert Torren dalam bukunya yang berjudul An Essay on the External Corn Trade pada tahun 1815. Teori keunggulan komparatif kemudian muncul sebagai perkembangan teori keunggulan bersaing. Teori ini digagas oleh David Richardo dalam bukunya yang berjudul On the Principles of Political Economy and Taxation tahun 1817. Secara rinci, teori keunggulan komparatif dikemukakan pada Bab 7 dengan tema perdagangan luar negeri.[4] Richardo menjelaskan bahwa kerugian mutlak oleh dua negara dapat diatasi dengan melakukan produksi komoditas yang tidak diunggulkan oleh negara yang diajak bekerja sama dalam perdagangan. Negara harus melakukan produksi dan ekspor terhadap komoditas yang memiliki keunggulan mutlak yang lebih besar dan melakukan impor terhadap komoditas yang memiliki keunggulan mutlak yang lebih kecil.[5] Teori keunggulan komparatif yang digagas oleh Richardo kemudian dikembangkan lagi oleh Eli Heckscher (1919) dan Bertil Ohlin (1933).[6] Menurut Heckscher-Ohlin, keunggulan komparatif akan membuat suatu negara melakukan perdagangan dengan negara lain. Keunggulan ini berupa kepemilikan faktor produksi dan teknologi produksi.[7]

Perbedaan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu negara ditentukan oleh faktor keunggulan suatu negara dibandingkan negara lainnya. Dua faktor keunggulan yang umum yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia. Negara dengan keunggulan sumber daya alam akan memiliki keunggulan komparatif pada produk primer dan produk padat sumber daya alam. Sedangkan negara dengan keunggulan komparatif sumber daya manusia akan memiliki keunggulan dalam produk padat teknologi dan produk padat modal sumber daya manusia.[8] Pola keunggulan komparatif yang menyebar antarnegara anggota perdagangan akan memperbesar peluang perdagangan bebas. Sebaliknya, pola keunggulan komparatif yang serupa antarnegara anggota akan memperbesar peluang terjadinya hambatan dalam perdagangan.[9]

Teori keunggulan komparatif telah menjadi dasar bagi teori perdagangan internasional. Penekanan utamanya adalah pada keunggulan komparatif absolut dan relatif dalam produksi komoditas dibandingkan dengan negara lain. Proses ekspor dilakukan oleh negara terhadap komoditas dengan keunggulan komparatif yang tinggi. Komoditas dengan keunggulan komparatif yang rendah diperoleh melalui impor. Perdagangan internasional dengan model perdagangan bebas akan membuat sumber daya yang langka dapat dimanfaatkan secara tepat guna. Setiap negara juga dapat melakukan perdagangan sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya pada bagian spesifikasi produksi.[10] Keunggullan komparatif akan memberikan peluang dalam meraih keuntungan untuk perusahaan yang menjadi spesialis jika biaya yang ditetapkan berbeda.[11] Keuntungan diperoleh ketika efisiensi produksi ditingkatkan. Spesialisasi membuat keuntungan tetap ada meski tidak terjadi peningkatan produktivitas pekerja secara individu.[12]

  1. ^ Dahlia, Siregar, D.L., dan Zukifli (2015). "Competitiveness and Prospects of Silk Commodity in the Future (Evidence From Silk Weaving Industry of South Sulawesi Province)". Proceeding National Conference. 1: 42. doi:10.31219/osf.io/u9ecp. ISBN 978-602-9238-60-0. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  2. ^ Sabaruddin, Sulthon Sjahril (April 2015). "Dampak Perdagangan Internasional Indonesia terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Aplikasi Structural Path Analysis". Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. 17 (4): 436. doi:10.21098/bemp.v17i4.505. 
  3. ^ Firdaus, M., dan Silalahi, B.G.S. (Desember 2007). "Posisi Bersaing Nenas dan Pisang Indonesia di Pasar Dunia". Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian. 1 (2): 24. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  4. ^ Boudreaux 2018, hlm. 23.
  5. ^ Aisyah dan Kuswantoro 2017, hlm. 57.
  6. ^ Jamli, A., dan RIzaldy, R. (1998). "Kinerja Komoditas Elektronika Indonesia 1981-1995: Pendekatan Keunggulan Komparatif". Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. 13 (3). ISSN 2338-5847. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  7. ^ Aisyah dan Kuswantoro 2017, hlm. 57-58.
  8. ^ Jayadi dan Azis 2016, hlm. 1.
  9. ^ Jayadi dan Azis 2016, hlm. 3.
  10. ^ Yusdja, Yusmichad (Desember 2004). "Tinjauan Teori Perdagangan Internasional dan Keunggulan Kooperatif". Forum Penelitian Agro Ekonomi. 22 (2): 126. doi:10.21082/fae.v22n2.2004.126-141. ISSN 2580-2674. 
  11. ^ Boudreaux 2018, hlm. 29.
  12. ^ Boudreaux 2018, hlm. 7.
  1. Aisyah, S., dan Kuswantoro (April 2017). "Pengaruh Pendapatan, Harga dan Nilai Tukar Negara Mitra Dagang terhadap Ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia". Jurnal Ekonomi-Qu. 7 (1): 55–64. doi:10.35448/jequ.v7i1.4221. ISSN 2541-1314.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  2. Boudreaux, Donald J. (2018). Peran Perdagangan Bebas dalam Menciptakan Kesejahteraan (PDF). Jakarta Selatan: Yayasan Cipta Sentosa. ISBN 978-602-51379-1-4.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Tanggal dan tahun (link)
  3. Jayadi. A., dan Azis, H.A. (Desember 2016). "Peta Persaingan Produk Ekspor Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand". Jurnal Ilmu Ekonomi Terapan. 1 (2): 1–16. doi:10.20473/jiet.v1i2.3277. ISSN 2528-1879.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Teori_keunggulan_komparatif&oldid=17818888"

KOMPAS.com – Selain teori merkantilisme dan keunggulan mutlak, ada teori lain yang mendasari perdagangan internasional, yaitu teori keunggulan komparatif.

Teori keunggulan komparatif (comparative advantage) dicetuskan oleh David Ricardo. Teori ini merupakan penyempurnaan dari teori keunggulan mutlak yang dicetuskan oleh Adam Smith.

Dalam buku Perdagangan dan Bisnis Internasional (2020) karya Jongkers Tampubolon, meskipun sebuah negara kurang efisien dalam memproduksi kedua komoditas, perdagangan yang menguntungkan antara kedua belah pihak masih bisa dilakukan.

Negara yang kurang efisien akan melakukan spesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut yang lebih kecil. Dari komoditas inilah negara tersebut memiliki keunggulan komparatif.

Berlaku sebaliknya, negara tersebut akan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar.

Baca juga: Teori Merkantilisme

Dari dua hal tersebut memunculkan istilah yang dikenal sebagai Hukum Keunggulan Komparatif. Menurut bukuPerdagangan Internasional (2018) karya Wahono Diphayana, dijelaskan bahwa keunggulan komparatif didasarkan pada dua hal, yaitu:

  • Keunggulan komparatif berdasarkan perbandingan biaya

Teori ini didasarkan pada nilai tenaga kerja yang menyatakan bahwa nilai atau harga suatu produk ditentukan oleh jumlah waktu atau jam kerja yang dibutuhkan untuk memproduksinya.

Menurut teori ini, suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional apabila melakukan spesialisasi pada produk yang diproduksi lebih efisien.

Misalnya, lamanya waktu produksi untuk menghasilkan 1 kilogram gula dan 1 meter kain per tenaga kerja di Indonesia dan Malaysia digambarkan dalam Tabel 1.

Baca juga: Teori Keunggulan Mutlak

Tabel 1. Lamanya waktu untuk memproduksi 1 kilogram gula dan 1 meter kain di Indonesia dan Malaysia

Negara Produksi Produksi
1 kilogram gula 1 meter kain
Indonesia 3 hari kerja 4 hari kerja
Malaysia 6 hari kerja 5 hari kerja

Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa Indonesia memiliki keunggulan mutlak dari Malaysia, baik dalam memproduksi gula maupun kain. Jika mengacu pada pandangan Adam Smith, hanya Indonesia yang dapat mengekspor gula dan kain ke Malaysia.

Akan tetapi, menurut David Ricardo, walaupun Indonesia mempunyai keunggulan mutlak pada kedua produk, perdagangan internasional yang menguntungkan kedua belah pihak masih bisa terjadi.

Yakni melalui spesialisasi apabila negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif dari segi biaya atau efisiensi dalam bidang tenaga kerja. Perhitungan perbandingan biaya atau efisiensi tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perhitungan perbandingan biaya atau efisiensi tenaga kerja antara Indonesia dan Malaysia

Perbandingan biaya 1 kilogram gula 1 meter kain
Indonesia : Malayasia 3/6 hari kerja 4/5 hari kerja
Malaysia : Indonesia 6/3 hari kerja 5/4 hari kerja

Dari Tabel 2, dapat dilihat bahwa tenaga kerja Indonesia lebih efisien dibanding tenaga kerja Malaysia dalam produksi 1 kilogram gula (3/6 hari kerja atau ½ hari) daripada produksi 1 meter kain (4/5 hari kerja).

Baca juga: Pelaku Pasar Modal

Hal tersebut akan mendorong Indonesia melakukan spesialisasi pada produksi gula dan mengkespornya ke Malaysia.

Sebaliknya, tenaga kerja Malaysia ternyata lebih efisien dibanding tenaga kerja Indonesia dalam memproduksi 1 meter kain (5/4 hari kerja) daripada produksi 1 kilogram gula (6/3 hari atau 2 hari).

Hal tersebut akan mendorong Malaysia melalukan spesialisasi pada produksi kain dan mengekspornya ke Indonesia.

  • Keunggulan komparatif berdasarkan perbandingan produksi

Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat dihitung produksi gula dan kain per satuan tenaga kerja per hari di Indonesia dan Malaysia, sebagaimana terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Produksi gula dan kain per satuan tenaga kerja per hari di Indonesia dan Malaysia

Negara Produksi setiap tenaga kerja per hari Produksi setiap tenaga kerja per hari
Indonesia 1/3 kilogramgula 1/4 meter kain
Malaysia 1/6 kilogram gula 1/5 meter kain

Berdasarkan Tabel 3, selajutnya dilakukan perhitungan perbandingan produksi atau produktivitas tenaga kerja antara Indonesia dan Malaysia. Perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perhitungan perbandingan produksi atau produktivitas tenaga kerja antara Indonesia dan Malaysia

Perbandingan produksi Gula Kain
Indonesia : Malaysia 1/3 : 1/6 = 6/3 1/4 : 1/5 = 5/4
Malaysia : Indonesia 1/6 : 1/3 = 3/6 1/5 : 1/4 = 4/5

Dari Tabel 4, dapat dilihat bahwa tenaga kerja Indonesia lebih produktif dibanding tenaga kerja Malaysia dalam produksi gula (6/3) daripada produksi kain (5/4).

Hal tersebut akan mendorong Indonesia untuk melakukan spesialisasi pada produksi gula dan mengekspor gula ke Malaysia.

Baca juga: Faktor yang Memengaruhi Nilai Tukar

Sebaliknya, tenaga kerja Malaysia lebih produktif dibanding tenaga kerja Indonesia dalam produksi kain (4/5 meter) daripada produksi gula (3/6).

Hal tersebut akan mendorong Malaysia Indonesia untuk melakukan spesialisasi pada produksi kain dan mengekspor kain ke Indonesia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.