Karya sastra yang mengandung ajaran mistik

Karya sastra wulang jenis suluk (mistik dalam agama Islam) muncul setelah agama Islam datang di Pulau Jawa. Sastra suluk mengandung ungkapan usaha-usaha manusia Jawa untuk memahami dirinya, yang tak pernah lepas dalam kerangka memahami sangkan paraning dumadi (asal usul dan tujuan kehidupan) dan manunggaling kawula Gusti (“bersatunya” manusia dengan Tuhan).

Serat Suluk Sukmalelana ini mengandung ajaran mistik atau kasampurnan hidup. Sukmalelana artinya penggembaraan sukma atau roh. Penggembaraan tersebut untuk mencari kesempurnaan hidup yaitu manunggaling kawula Gusti. Dalam mencapai tujuan tersebut sering digoda oleh nafsu, yaitu amarah, aluamah dan supiah.

Unsur yang menonjol dalam Suluk Sukmalelana adalah pengungkapannya yang bersifat simbolis. Semua tokoh, peristiwa serta tempat adalah simbol atau lambang. Misal nafsu amarah dilambangkan tokoh antagonis bernama Hardaruntik, nafsu aluamah dilambangkan oleh Drembabukti dan nafsu seksualitas oleh Ratu Supiah.

Sukmalelana berhasil melawan godaan Hardaruntik dan Drembabukti, tetapi gagal melawan Ratu Supiah. Kemudian datang ayah dari Sukmalelana dan mengingatkannya. Sukmalelana pun sadar, kemudian kembali kepada tujuan semula. Akhirnya Sukmalelana berhasil mencapai tujuan dan bertemu dengan Iman Suci. Oleh Iman Suci, Sukmalelana kemudian dinikahkan dengan Dewi Idayatsih.

Ayah Sukmalelana dalam hal ini adalah lambang hati nurani atau guru sejati yang selalu membimbing muridnya dalam mencapai tingkat makrifat. Tokoh Iman Suci adalah lambang rahsa jati. Sedangkan Dewi Idayatsih adalah lambang anugerah Illahi.

Karya sastra yang mengandung ajaran mistik

Suluk Sukmalelana

Judul: Ajaran Mistik dalam Suluk Sukmalelana
Penulis: Dra. Endang Triwinarni, dkk
Penerbit: Depdikbud, 1991/1992
Bahasa: Indonesia
Jumlah halaman: viii +144

Koleksi Perpustakaan Tembi Rumah Budaya

Suluk adalah kesusastraan zaman Islam yang mendapat pengaruh kuat dari Hindu-Buddha serta tradisi lokal Nusantara. Suluk merupakan teks sastra yang mengandung ajaran tasawuf, suatu aliran mistik dalam Islam yang mengungkap tentang jalan spiritual-asketis atau mati-raga menuju kesatuan dengan Tuhan. Contohnya adalah Suluk Lokajaya, Suluk Sukarsa, dan Suluk Wujil.

Posted by Kang Rendra Agusta in Filsafat, Sastra Mistik

≈ Leave a comment

Karya sastra yang mengandung ajaran mistik

foto: pengenalan tokoh wayang sejak usia dini (koleksi penuliis)

Jawa ! ya Jawa adalah salah satu dari empatratus suku lainnya di Indonesia. Sejak kecil saya dilahirkan dalam kehidupan orang Jawa yang penuh dengan sandi dan semu. Kadang saat saya kecil kakek saya sering bilang:

” le, aja mangan neng ngarep lawang, ora elok” (terj. “Nak jangan makan di depan pintu, tidak bagus”)

Ungkapan sejenisnya juga berulang kali terdengar tanpa ada penjelasan yang gamblang. Hal itu membuat generasi muda Jawa di era kini acuh, menganggapnya hanya mitos atau bahkan itu dianggap musyrik oleh kaum puritan era kini. Semakin dewasa, alam pikiran logika membawa saya pada skeptimisme. Hingga pada akhirnya saya menemukan jawaban atas ungkapan di atas. Intinya jika saya tetap makan di depan pintu rumah, maka bisa saja makan jatuh karena lalu lalang keluarga.

Kearifan lokal nusantara yang sangat semu tetapi selalu ada makna yang tersurat di dalamnya. Akhirnya perjalanan hidup saya sebagai manusia Jawa, membawa saya untuk melogika Jawa.

Keris, senjata masyarakat Jawa Kuna ini terekam sejak zaman Rakai Pikatan 856 M. Dewasa ini, senjata tersebut sering disebut sebagai jimat. Senjata bertuah (ada yang bisa berdiri tegak tanpa dipegang manusia), disakralkan dan terkesan angker wingit. Terlepas dari hal mistik, bagi saya Keris secara konteks sejarah bisa saja dianggap sebagai Passport karena secara historis, Keris mempunyai ciri dan aturan khas pada setiap sisinya. Misalnya Keris type Sengkelat, pamor/motif : wos wutas, tangguh/produksi: Mataram Sultan Agung keris ini dipakai sebagai identitas seorang Senopati/Panglima perang zaman pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Maka ketika Panglima tersebut pergi ke wilayah di luar istana, masyarakat akan segera mengenali dan memperlakukan seorang Senopati dengan baik setelah melihat Keris yang dibawa.

Petung, hampir di setiap belahan dunia mempunyai cara perhitungan hari. Dalam Masyarakat Jawa disebut petung. Pada saat ini dalam kehidupan masyarakat Jawa sering ditemui pantangan-pantangan dalam perhitungan Jawa. Seperti jilu (anak nomer tiga ‘telu’ dengan anak pertama ’siji’), gehing (weton Wage dan Pahing). Lalu adapula kepercayaan membaca watak melalui sistem numerologi Jawa seperti anak yang lahir pada mangsa Kasa (Juli-Agustus) diramal sebagai sosok yang pemberani. Ternyata setelah berdiskusi dengan rekan-rekan dokter Anak, ahli Astronomi, beberapa peneliti Fisika, saya menemukan jawaban yang real dan logis. Waktu kelahiran anak itu juga berdampak pada perkembangan psikologi anak, biasanya anak yang lahir pada musim kemarau akan menjadi sosok pemberani daripada anak yang lahir di musim penghujan. Hal itu dikarenakan adanya tekanan, kelembaban udara, suhu luar pertama pasca kelahiran dll.

Wingit kaliwat angker, Banyak tempat di Jawa yang diangkerkan, telaga dan pohon besar yang dikeramatkan, hutan larangan di setiap gunung bahkan hewan yang dikeramatkan. Teryata dari segi konservasi alam dan lingkungan, pe-ngeramatan tempat-tempat tersebut membawa dampak positif seperti hutan sebagai penahan erosi, ketersediaan kebutuhan air bersih, terjaganya satwa-satwa endemik dll.

Intinya kebudayaan timur memyimpan ilmu pengetahuan di balik ke-semu-annya. Mari berakar penuh pada kerarifan lokal dalam persaingan era global kini.rdr

Slametan

Salah satu kebiasaan masyarakat Jawa pada umumnya adalah menyelenggarakan selametan, yaitu suatu acara pengiriman doa ketika seseorang mendapatkan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa atau meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya dijauhkan dari bencana.. Acara ini biasanya dihadiri oleh para tetua desa, tetangga dekat, sanak saudara, dan keluarga inti.

Siklus Slametan

Slametan terbagi dalam empat jenis:

1.Berkisaran sekitar krisis- krisis kehidupan.

Contoh: Kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian

2.Berhubungan dengan hari- hari raya Islam.

Contoh: Maulid Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya.

3.Bersangkutan dengan integrasi sosial desa, bersih desa (harfiah berarti pembersihan desa, yakni: dari roh- roh jahat).

4.Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung untuk suatu perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung, dan sebagainya.

Faktor

Ada dua faktor yang umum untuk jenis itu, pertama, prinsip yang mendasari penentuan waktu slametan dan kedua arti ekonomi slametan itu.

Perhitungan: Sistem Numerologi Orang Jawa

Slametan kelahiran waktunya ditetapkan menurut peristiwa kelahiran, dan slametan kematian ditetapkan menurut peristiwa kematian itu; namun orang Jawa tidak menganggap peristiwa itu sebagai suatu kebetulan; peristiwa itu dianggap sebagai yang ditentukan oleh Tuhan, yang menetapkan secara pasti perjalanan hidup setiap orang. Upacara khitanan dan perkawinan tampaknya perlu ditetapkan dengan kehendak manusia, tetapi dalam menetapkan pun tidak boleh sembarangan. Suatu tatanan ontologis yang lebih luas ditetapkan dengan sistem ramalan numerologi yang disebut petungan atau ”hitungan”.

Sistem petungan memberikan suatu jalan untuk menyatakan hibungan ini dan dengan demikian menyesuaikan perbuatan seseorang dengan sistem itu. Petungan merupakan cara untuk menghindari semacam disharmoni dan tatanan umum alam yang hanya akan membawa ketidakuntungan. Di pihak lain, waktu sebagaimana telah disebutkan, bersifat seperti getaran, suatu periode waktu tertentu merupakan hasil dari koinsidensi hari dalam siklus lima dan tujuh hari dan dalam sistem petungan yang lebih cermat, merupakan bagian dari wuku minggu yang tiga puluh tujuh hari. Bagian dari salah satu bulan dalam dua belas bulan Islam menurut perhitungan rembulan, dan akhirnya bagian dari salah satu tahun dari perhitungan windu. Jadi, dalam kepindahan itu orang harus menyesuaikan arah pindah dengan angka- angka diletakkan kepada hari- hari itu.

Bagi para priyayi, sistem angka – angka hari ini adalah deskripsi empiris dari tatanan alam yang tertinggi. Angka- angka itu dianggap keluar dari kesadaran dalam orang- orang kramat yang termasyhur dan diwariskan dari generasi ke generasi, sering secara rahasia, dari guru kepada muridnya yang terpilih. Tetapi bagi kalangan abangan angka- angka itu cenderung diterangkan dalam pengertian roh, dalam apa yang disebut nagadina atau ”naga hari”.

Orang menggunakan naga wulan untuk kesempatan- kesempatan yang serius – perjalanan jauh, katakanlah ke Jakarta atau Surabaya, sementara naga dina kebanyakan digunakan untuk perpindahan di dalam kota. Naga tahun, ular tahun, berhubungan perjalanan yang sangat penting, seperti bepergian keluar Jawa.

Disini kita mempunyai suatu sistem yang agak sedikit umum, yang bisa memberitahukan seseorang tentang apakah yang ingin dilakukan itu baik atau tidak. Pertama- tama orang itu menghitung angka hari waktu ia melakukan ramalannya. Sistem dan kompleksitas begini biasanya merupakan milik para spesialis ; orang biasa lazimnya akan pergi ke dukun apabila ingin mengetahui sesuatu menurut ramalan.

Biaya Slametan

Penyelenggaraan slametan, tentu saja memerlukan uang, tetapi sukar untuk membuat suatu perkiraan tentang berapa besarnya, bukan saja karena orang tidak menyimpan catatan mengenai pengeluaran serupa itu, tetapi juga karena menggambarkan jumlah uang dalam mata uang asing benar – benar tidak banyak artinya justru menyesatkan, bahka kalau orang tahu nilai kurs – nya.

Memperkirakan arti ekonomis perayaan keagamaan mereka dari sudut pandangan orang Jawa sendiri, agar dengan begitu bisa memberikan yang benar kepada pembaca Barat tentang jumlah sebenarnya, kekayaan orang Jawa yang tersangkut disini memerlukan apa yang disebut fenomologi kompratif mata uang.

Jadi, dalam konteks ini, terutama berdasarkan perbandingan yang mutlak akal dari pengalaman di Amerika dan Mojokuto, bahwa angka pembagi tiga adalah realistis. Karenanya, jikalau slametan sederhana di Mojokuto memerlukan biaya sekitar 30 rupiah, akan keliru sekali untuk disimpulkan bahwa ini dapat dibandingkan dalam arti fenomenologis yang bagaimanapun dengan pengeluaran sebesar satu dollar di Amerika; sepuluh dollar akan lebih terasa sepadan.

Siklus Slametan: Kelahiran

Tingkeban

Disekitar kelahiran terkumpul empat slametan utama dan berbagai slametan kecil. Slametaan utama diselenggarakan pada bulan ketujuh masa kehamilan (tingkeban yang diselenggarakan hanya apabila anak yang di kandung adalah anak pertama bagi si ibu, si ayah, atau keduanya), pada kelahiran bayi itu sendiri (babaran atau brokohan), lima hari sesudah kelahiran (pasaran), dan tujuh bulan setelah kelahiran (pitonan). Penentuan waktunya, patut juga dicatat, bukanlah menurut bulan Barat yang hanya 30 hari tetapi dengan bulan orang Jawa yang 35 hari. Orang jawa menggabungkan lima hari pasaran (Legi, Paing, Pon, Wage, Kliwon) dengan hari-hari menurut mingguan Islam-Barat yang tujuh hari (Minggu, Senen, Selasa, Rabo, Kamis, Jumuwat, Setu).

Tingkeban mencerminkan perkenalan wanita Jawa kepada kehidupan sebagai ibu. Tingkeban itu diselenggarakan di rumah ibu si calon ibu. Dalam tingkeban sebagaimana dalam slametan, disamping hidangan, sajian gabungan baik kepada roh-roh maupun kepada para tetangga, ada lagi sajian khusus makhluk halus secara keseluruhan yakni sajen. Sajen tersebut diletakkan di berbagai sudut kamar dan ambang pintu di sekitar rumah pada Kamis malam, yang menurut perhitungan orang Jawa sudah merupakan bagian dari hari Jumat karena terbenamnya matahari menandai mulainya hari baru. Bila bagian slametan dari Tingkeban sudah selesai, sajen-sajen itu dibrerikan kepada dukun bayi yang memimpin upacara berikutnya dan yang biasanya juga membantu dalam kelahiran nanti. Ketika sambutan pembuka sudah selesai, donga (doa dari bahhasa Arab) telah dibacakan, hidangan telah dicicipi dan dibungkus untuk dibawa pulang. Maka upacara untuk Tingkeban yang sebenarnyapun mulailah. Upacara Tingkeban ditutup dengan penjualan rujak legi oleh sang istri, dibantu oleh suaminya, kepada semua yang hadir yang membayarnya dengan sebuah mata uang.

Babaran

Dekat menjelang kelahiran, beberapa orang mengadakan slametan kecil dengan anggota-anggota keluarga saja, yang hidanganya terdiri dari sepiring jenang dengan sebuah pisang yang telah dikupas di tengahnya untuk melambangkan kelahiran yang lancar.setelah anak dilahirkan, dukun mengambil pisau bambu yang tradisional (welad) untuk memotong tali pusar. Kemudian ia membubuhkan kunir (kunyit) untuk segala penyakit pada luka itu dan mengikat tali pusarnya. Suatu slametan kecil yang disebut babaran diselenggarakan ditandai oleh adanya sebutir telur ayam putih, karena sebelum dilahirkan setiap orang adalah sebutir telur.

Pasaran

Lima hari sesudah slametan pertama untuk bayi diselenggarakan, sebuah slametan yang agak lebih besar, pasaran dan pemberian nama si bayi. Hidangan pada pasaran hampir sama dengan hidangan pada upacara tangkeban, tetapi tanpa rujak legi dan tambahan makanan ringan dari pasar (krupuk ikan, berondong jagung, penganan dari beras yang diberi gula,  dan sebagainya)

Pitonan

Slametan tujuh bulanan atau pitonan. Makanan utamanya adalah semacam puding tepung beras yang disebut jenang, yang dibuat dalam tujuh warna. Pitonan harus diadakan pagi hari sebelum pukul 12 siang. Pitonan mengakhiri lingkaran slametan yang berpusat pada kelahiran, walaupun beberapa keluarga lainnya menyelenggarakan slametan kecil pada bulan ke dua belas.

SIKLUS SLAMETAN : KHITANAN DAN PERKAWINAN

Khitanan : Sunatan

Upacara untuk merayakan khitanan pada umumnya menyerupai pola upacara perkawinan, tentunya dengan meniadakan unsur-unsur yang berhubungan dengan upacara bersanding bagi kedua mempelai. Dalam beberapa hal, perkawinan dan khitanan merupakan upacara menyambut masa remaja pada orang Jawa; perkawinan bagi anak perempuan dan khitanan bagi anak laki-laki. Dalam hubungan ini keduanya harus dilihat sebagai pasangan yang tak terpisahkan dari upacara menyambut masa remaja bagi masing-masing jenis kelamin.

Menurut kebiasaan di Mujokuto, penyunatan dilakukan oleh seorang ahli yang disebut calak (atau bong) yang seringkali juga merangkap sebagai tukang cukur, jagal, atau dukun. Salah seorang calak yang terkenal ialah seorang haji yang juga merangkap sebagai dukun. Penghasilan dari prakteknya sebagai calak merupakan bagian terbesar dari seluruh pendapatannya, upah yang didapatkannya bergantung pada jarak pasien dari Mojokuto dan juga bergantung pada kedudukan kliennya.

Sesudah sistem petungan diterapkan dan hari baik dipilih, suatu slametan diselenggarakan  pada malam hari menjelang sunatan dilaksanakan. Slametan ini disebut manggulan, adalah sama persis dengan slametan midadareni. Di dalamnya dihidangkan semua jenis penganan, misalnya penganan dari beras ketan, bubur tiga warna, bubur dari sekam beras yang ditumbuk dan lain-lain, yang masing-masing dari penganan itu mempunyai filosofi sendiri-sendiri. Ada juga beberapa sesajen yang digunakan dalam acara itu. Setelah slametan selesai, anak laki-laki melaksanakan berbagai tata cara sebelum sunatan / ritual bagi orang Jawa. Setelah itu, anak  disunat oleh calak dengan menggunakan sebilah pisau yang disebut wesi tua.

Malam itu pesta dan hiburan berlangsung walaupun anak masih merasakan sakit dan lesu, ia harus duduk di hadapan para tamu undangan hampir sepanjang malam itu.

Perkawinan : Kepanggihan

Orang tua dari pihak pria masih melakukan pola lama yang terdapat dalam tata cara perkawinan yaitu mengenai lamaran resmi. Dalam lamaran, pihak keluarga dari pria melamar gadis itu. Selanjutnya nontoni yaitu pertemuan di mana calon mempelai laki-laki dan perempuan beserta para calon mertua hadir, si gadis menghidangkan teh kepada sang jejaka dan jejaka itu hanya memandang dari sudut matanya. Jikalau cocok maka selanjutnya diadakan upacara perkawinan. Upacara perkawinan itu disebut kepanggihan (‘pertemuan’) dan diselenggarakan di rumah pengantin perempuan. Anak laki-laki menurut tradisi harus memberi dua macam hadiah kepada pihak perempuan: paningset (berupa pakaian dan perhiasan) dan sasrahan (berupa seekor kerbau / sapi dan perabot rumah tangga). Hadiah yang pertama diberikan sesudah putusan perkawinan ditetapkan.

Perkawinan anak pertama dan terakhir pada umumnya diselenggarakan lebih besar daripada anak-anak perempuan lainnya. Perkawinan anak perempuan pertama disebut bubak yang mempunyai makna sama dengan babak: membersihkan tanah dan membuka suatu daerah perawan. Upacara anak perempuan terakhir disebut punjung tumplek artinya “penghormatan yang penghabisan”.

Dalam islaman, slametan perkawinan disebut juga midadareni, diselenggarakan pada malam hari menjelang upacara yang sebenarnya. Sesudah slametan, gadis didudukkan di tengah sentong, sementara ibunya melaksanakan upacara membeli kembang mayang. Perkawinan berlangsung pagi harinya. Hari perkawinan ditentukan dengan sistem petungan.

Pada saat yang baik sebelum tengah hari, pengantin lelaki dan pengiringnya pergi ke kantor naib dengan dipimpin oleh modin. Pengantin perempuan biasanya tidak ikut oleh karena itu diwakili oleh wali dari anggota keluarganya yang laki-laki yang masih hidup. Sang wali secara resmi meminta naib mengawinkan anak perempuannya dengan pengantin laki-laki dan proses pelaksanaan ijab-kabul pun dimulai. Setelah ijab-kabul pengantin laki-laki dan perempuan pun sah menjadi suami-isteri.

Bagi kalangan santri ini merupakan bagian yang terpenting dalam perkawinan, yang membuat perkawinan menjadi sah di mata Tuhan dan di depan pemerintahan. Proses ijab dilakukan di hadapan tamu-tamu pada resepsi resmi. Bagi kalangan abangan, bagian yang penting itu akan menyusul.

Di rumah mempelai perempuan, diadakan pesta/ resepsi. Pada pintu masuk dipasang janur kuning sebagai tanda bahwa keluarga itu sedang “mempunyai kerja” (duwe gawe). Pengantin wanita (manten) bedandan sebagai seorang puteri ratu , sedang pengantin pria (manten) berdandan sebagai pangeran. Setiap perkawinan memerankan kembali perkawinan kerajaan dan pakaian yang dipakai pengantin itu selayaknya pakaian kerajaan. Di Mojokuto, seorang priyayi tinggi yang mengawini gadis dari kelas yang lebih rendah tidak akan hadir dalam pesta itu, tetapi hanya mengirimkan keris atau foto penganti pria sehingga gadis itu pun dinikahkan dengan keris atau fotonya.

Di Mojokuto pola busana tradisional hanya sering didapati di kalangan priyayi. Gadis-gadis abangan di Mojokuto mengenakan pakaian Barat yang kualitasnya tentu lebih bagus. Anak lelak abangan berjas Barat, bersarung dan berpici hitam dari seberang. Gadis-gadis santri, khususnya di dalam kota, mengenakan gaun putih bersih, yang agak mirip dengan gaun perkawinan Barat, dan sehelai kerudung, sementara pengantin pria mengenakan pakaian Barat dengan pici di kepala. Gadis-gadis santri di desa mengenakan kerudung dengan pakaian Jawa yang biasa.

Pengantin perempuan muncul dari rumah dan diikuti pengantin pria yang kemudian masing-masing saling melempar dengan daun sirih itu. Dalam perkawinan priyayi akan dijumpai upacara sembah, sementara kalangan santri hanya melakukan salaman. Setelah upacara “panggih”, kembang mayang dilemparkan ke atap, pasangan mempelai menyalami para tamu dan upacara itu pun selesai.

Untuk mempelai perempuan yang belum mengalami datang bulan, ditambah lagi upacara khusus yang disebut jago-jagoan. Jikalau telur yang didudukinya pecah maka gadis itu pernah mangalami datang bulan, tapi jika telur itu tidak pecah maka mempelai perempuan disebut sebagai manten pangkon “mempelai pangkuan”.

Aspek Sosial dan Ekonomi Upacara Khitanan dan Perkawinan

Orang Jawa menyebut upacara perkawinan dan khitanan dengan duwe gawe atau “mempunyai kerja”, dan menganggapnya sebagai contoh yang baik sekali untuk sebuah nilai yang mereka sebut rukun, yang barangkali akan sangat tepat jika diterjemahkan dengan “kerja sama yang dijadikan tradisi”. Rukun sebagai suatu nilai merupakan bentuk-bentuk kerja sama antarindividu yang secara spesifik terbatas dalam suatu konteks sosial yang diberi batasan secara jelas.

Sebagai suatu upacara, duwe gawe mendekati generalisasi dan pengikhtisaran kewajiban masing-masing orang untuk rukun, seperti juga kewajiban untuk menaati institusi lainnya dalam masyarakat tradisional Jawa, karena fungsi sosial upacara keagamaan adalah sekedar memberi generalisasi dan ikhtisar yang bisa dimengerti atas praktik-praktik sosial yang sudah disepakati dalam bentuk simbolis.

Pada segi konsumsi, aspek sekuler perkawinan dan khitanan biasanya agak terpisah dari aspek-aspek religius yang langsung. Di kalangan masyarakat, menyelenggarakan resepsi perkawinan atau pun khitanan merupakan suatu keharusan bahkan bagi masyarakat golongan bawah (relatif miskin).

Sumber biaya/ kekayaan dan bantuan tenaga yang digunakan untuk acara resepsi itu berasal dari: pertama bisa menggunakan tenaga sanak keluarganya dan terutama kalau ia kaya dan mempunyai kedudukan tinggi, tenaga teman-temannya juga. Salah satu contohnya, setiap orang yang menyumbangkan tenaga pada slametan perempuan hamil beserta suaminya berhak untuk meminta bantuan tenaga barang sehari untuk maksud yang sama dikemudian hari. Situasi semacam itu adalah suatu imbalan jasa timbal balik.

Untuk kalangan santri, kelompok wanita yang menjadi organ kedua partai politik Islam merupakan semacam tenaga kerja bergilir untuk pesta-pesta perkawinan dan khitanan masing-masing ; untuk kalangan priyayi organisasi wanita nasionalis Perwari merupakan kelompok macam itu; untuk kalangan abangan kelompok-kelompok wanita yang berhubungan dengan serikat-serikat buruh melakukan peranan yang sama  juga. Dalam hal ini mungkn asas timbal balik tidak begitu pasti, sumbangan yang umum sifatnya itu sering hanya merupakan tindakan simbolik saja.

Sumber yang kedua, dengan membelanjakan tabungannya sendiri (misal menjual sapi/ kerbaunya) atau menggadaikan barang berharga (emas). Berhutang kepada teman atau pemberi kredit merupakan sumber ketiga. Sumber pembiayaan keempat adalah buwuh. Buwuh adalah jenis sumbangan uang yang khas dari para tamu kepada tuan rumah atas hidangan dan pelayanan yang mereka terima. Jadi buwuh itu, sebagaimana juga sumbangan tenaga, secara ideal merupakan suatu bentuk rukun.

Di kalangan priyayi, di mana kecenderungan ini tampak sangat jelas, pola buwuh yang menyangkut uang ditolak sebagai suatu hal yang tidak senonoh, dan pemberian hadiah terutama dalam perkawinan, menggantikannya.

SIKLUS SLAMETAN : KEMATIAN

Pemakaman : Layatan

Berlawanan dengan upacara-upacara pergantian tahap lainnya, semua pemakaman (layatan) tak pelak lagi masih diselenggarakan oleh modin, pejabat keagamaan resmi di desa.

Kalau terjadi kematian di suatu keluarga, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah memanggil modin, dan kedua menyampaikan berita di daerah sekitar bahwa suatu kematian telah terjadi. Pemakaman orang Jawa dilaksanakan secepat mungkin sesudah kematian.

Alasan yang lazim dikemukakan bila ada orang bertanya mengapa penguburan itu begitu tergesa-gesa adalah bahwa roh orang yang meninggal itu berkeliaran tak menentu (seringkali dibayangkan sebagai seekor burung) sampai jasadnya dikuburkan, tinggalkan. Makin cepat ia dikuburkan, makin cepat pula rohnya kembali ke tempatnya yang layak.

Beberapa slametan yang bentuknya persis sama, tetapi dengan ukuran yang lebih besar dalam arti jumlah tamu dan panjangnya pembacaan doa, diselenggarakan pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, dan keseratus si mati meninggal, pada peringatan tahu pertama dan kedua, dan hari keseribu si mati meninggal.

Kepercayaan dan Sikap Terhadap Kematian

Iklas, merelakan keadaan secara sadar, merupakan kata yanfg jadi pedoman, dan walaupun seringkali sulit diperoleh, namun senantiasa diusahakan orang. Ada berapa variasi dalam kepercayaan terhadap takdir ini, karena beberapa orang berpendapat bahwa umur orang akan bertambah kalau ia bertingkah laku sesuai denga etika, dan orang lain lagi (atau kadang-kadang juga orang yang sama – cocok tidaknya logika dua kepercayaan yang berlainan biasanya tidak merupakan masalah yang serius bag kalangan abangan) berpendapat bahwa kematian prematur mungkin merupakan hasil dari kecelakaan hebat, tenung, berkawan dengan roh jahat, mengucapkan sumpah palsu, perjalanan hiup yang terlalu cepat, kekecewaan hati yang terus-menerus berkepanjangan, atau semacam luka berat yang mendadak.

Tiga pengertian terpisah tentang hidup dan sesudah mati, lagi-lagi sering dipegang bersama-sama oleh individu yag sama, suatu hal yang bisa terjadi di Mojokunto. Yang pertama adalah versi Islam mengenai konsep balas jasa abadi, mengenai hukum dan pahala di akhirat untuk dosa-dosa dan amal saleh yang bersangkutan. Yang lebih populer di kalangan abangan adalah konsep sampurna, yang secara harfiah berarti “lengkap” atau “sempurna”, tetapi yangmemberikan indikasi dalam konteks ini bahwa kepribadian individual menghilang seluruhnya sesudah ia meninggal da tak ada lagi yang tinggal kecuali debu. Pandangan ketiga, yang dipegang secara sangat luas oleh semua orang kecuali santri, yang menganggapnya sebagai bid’ah, adalah pengertian tentang reinkarnasi-bahwa ketika seorang meninggal, jiwanya masuk segera sesudah itu ke dalam suatu embriyo dalam rangka kelahirannya kembali.

Siklus Slametan:

Slametan menurut Penanggalan

Slametan yang berhubungan dengan titik tahap kehidupan, ada siklus lain yang kurang ditekankan dan tak begitu meriah, yang berhubungan dengan kalender umat islam

  • 1 Sura : merupakan hari raya Budha , karena hanya dirayakan oleh mereka Yang secara sadar anti Islam.
  • 10 Sura : untuk menghormati Hasan dan Husein yang merupakan cucu Nabi, yang menurut cerita ingin mengadakan slametan untuk Nabi Muhammad ketika beliau sedang berperang melawan kaum Kafir.
  • 12 Mulud : menurut konvensi, Nabi Muhammad dilahirkan dan wafat. Slametan ini kemudian disebut dengan Muludan.
  • 27 Rejeb : untuk merayakan mikraj, perjalanan Nabi Muhammad menghadap Tuhan dalam satu malam.
  • 29 Ruwah : permulaan puasa yang disebut dengan Megengan. Slametan ini diadakan paling sedikitnya salah seorang dari orang tuanya yang sudah meninggal.
  • 21, 23, 25, 27 atau 29 Pasa : diadakan pada salah satu diantaranya, yang disebut dengan maleman.
  • 1 Syawal : mengakhiri puasa yang disebut Bruwah; nasi kuning dan sejenis telur dadar merupakan hidangan yang spesial, kemudian ddilanjutkan berziarah kemakam keluarga atau orang tua mereka.
  • 7 Syawal : suatu slametan kecil yang disebut Kupatan.
  • 10 Besar : merupakan hari penghormatan terhadap pengorbanan Nabi Ibrahim dan hari jemaah haji berkumpul di Mekah untuk melaksanakan lagi pengorbanan itu.

Slametan Desa : Bersih Desa

Berhubungan dengan Pengudusan perhubungan dalam ruang. Dimana hidangan dipersembahkan kepada danyang desa di tempat pemakamannya. Bersih desa selalu diadakan pada bulan Sela, bulan kesebelas Tahun Kamariah.

Bersih desa, yang mulanya dirancang untuk mengintegrasikan rakyat yang kurang akrab satu dengan yang lain, namun kadang – kadang juga mengalami kesulitan untuk melakukan fungsi di dalam konteks yang lebih bersifat kota.

Slametan selingan

Slametan yang sekali – sekali diadakan untuk suatu pperistiwa atau maksud khusus yang tidak secara khas berulang kembali pada rangkaaian jarak aktu ttertentu. Slametan : pindah rumah, ganti nama, memulai perjalanan, mimpi buruk, menolak atau meminta hujan, ulang tahun klub – klub atau organisasi persaudaraan, slametan karena tenung, untuk pengobatan dan slametan selingan. Namun pada perangsang lain untuk mengadakan slametan selingan bisa disebabkan karena orang memeluk ajaran – ajaran “bid’ah” seorang guru yang diangkatnya sendiri. Pengaruh kebiasaan Belanda – kebanyakan dikalangan priyayi – kadang – kadang membawa timbulnya slametan yang keluar dari kebiasaan beberapa orang misalnya mengadakan slametan kawin perak atau pesta pertunangan. Ada keadaan – keadaan tradisional yang mengharuskan untuk diadakan slametan seperti, slametan yang harus diadakan untuk anak tunggal agar ia tidak jadi mangsa Batara Kala, Dewa Hindu yang jahat.

Posted by Kang Rendra Agusta in Sastra Mistik

≈ Leave a comment

Ajaran Mistik Seh Siti Jenar

Mistisme adalah dunia kebatinan yang sifatnya sangat personal dalam kaitannya dengan kebutuhan ketenangan secara psikologis dan spiritual

Mistisme adalah pergulatan diri mencari cahaya, petunjuk, jalan dan upaya untuk menyatu dengan Tuhan. Mistisme merupakan jalan membuka alam ghaib, yang tidak setiap orang mampu menempuhnya.

Ajaran-ajaran Seh Siti Jenar banyak diikuti oleh para raja-raja Jawa. Dimulai oleh Sultan Hadiwijaya atau bernama Jaka Tingkir adalah seorang raja di kerajaan Pajang.

Jaka Tingkir.

Andayaningrat Adipati Pengging memiliki 2 orang putra bernama Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga. Kebo Kenanga masuk Islam bergelar Ki Ageng Pengging dan memiliki seorang putra bernama Bagus Krebet (Jaka Tingkir).

Prabu Brawijaya terakhir dari Majapahit memiliki 100 orang putra dan putri. Putri ketiga berasal dari permaisuri Ratu Andwarawati (Putri dari Campa) bernama Retna Pambayun yang menikah dengan Andayaningrat adipati Pengging. Setelah menikah, ratu pambayun bergelar Ratu Ayu Andayaningrat memiliki 2 orang putra bernama Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga.

Jaka Tingkir mengabdi kepada Sultan Bintara di kerajaan Demak lalu diambil menantu dan diberi daerah kekuasaan di Pajang. Jaka Tingkir (Krebet) kemudian menjadi raja Pajang bergelar Prabu Wijaya atau dikenal dengan Sultan Hadiwijaya.

Sultan Hadiwijaya memiliki putra bernama Raden Banawa, namun Raden Banawa tidak mendapat wahyu karaton. Wahyu kraton berpindah ke Mataram dan yang bertahta di Mataram adalah Panembahan Senapati. Raden Benawa menjadi adipati di Pajang, memiliki putri bernama Dyah Banowati. Dyah Banowati menikah dengan Amangkurat Nyakrawati (Sinuhun Seda Krapyak). Dyah Banowati bergelar Permaisuri Ratu Adi dan memiliki putra bernama Sultan Agung.

Prabu Brawijaya memiliki istri dari negeri Cina. Pada saat istrinya mengandung 3 bulan, diterimakan kepada anaknya bernama Arya Damar (adipati Palembang). Putra Prabu Brawijaya dengan putri Cina tersebut bernama Raden Patah atau Raden Yusuf, atau Raden Kasan atau Raden Praba. Arya Damar dengan putri Cina memiliki putra laki-laki bernama Raden Kusen.

Setelah dewasa keduanya (Kasan-Kusen) pergi ke Jawa mengabdi kepada Sunan Ngampel Surengkewuh. Raden Kasan (Raden Patah) tidak menuju Majapait tetapi berhenti di Ngampelgadhing. Raden Kusen mengabdi pada raja Majapait dan menjadi bupati di daerah Terung.

Raden Patah diambil menantu Sunan Ngampel, dinikahkan dengan putrinya bernama Ratu Jumanten (Ratu Panggung). Raden Patah berniat mencari dan membuka daerah baru. Sunan Ngampel menyarankan agar Raden Patah pergi ke barat sampai menemukan daerah yang ada tanaman glagah berbau harum. Daerah tersebut ditemukan di hutan Bintara. Di daerah inilah Raden Patah mendirikan daerah baru yang berkembang menjadi kerajaan bernama Demak. Ia mengangkat dirinya menjadi raja bergelar Sultan Jimbun atau Sultan Syah Alam Akbar I.

Sultan Jimbun memiliki anak laki-laki bernama Pangeran Sabrang Lor (meninggal) dan Raden Trenggana. Raden Trenggana menikah dengan putri Sunan Kalijaga dan menggantikan ayahnya bertahta di Demak. Putrinya bernama Dyah Banar dinikahkan dengan Sultan Hadiwijaya berputra Raden Banawa yang kelak menurunkan Sultan Agung.

Munculnya jenis sastra sufi dapat memperkaya khazanah du­nia kesusasteraan. Kesusasteraan jenis ini muncul sebagai mani­festasi adanya kesadaran bahwa penghayatan terhadap kehidupan kerohanian perlu dilakukan. Kesadaran akan pentingnya pengha­yatan kehidupan kerohanian itu ada yang diwujudkan dalam ben­tuk sastra keagamaan dan ada pula yang diwujudkan dalam bentuk yang lebih khusus yaitu sastra sufi dan atau sastra mistik.

Karya sastra suluk merupakan salah satu diantara karangan-karangan berisi ajaran keagamaan. Karya sastra suluk merupakan karya sastra yang diciptakan dalam rangka fungsi pendidikan dan pengajaran.

Istilah suluk dapat diartikan semacam laku, tatacara, kewajiban yang harus dilakukan seseorang yang disebut sebagai ahlus suluk. Karya sastra suluk merupakan jenis puisi jawa yang berisi ajaran-ajaran bercorak sufistik atau mistik Islam

Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali.

                Seh Lemahbang atau Lemah Abang,

 Seh Sitibang,

Seh Sitibrit atau Siti Abrit,

 Hasan Ali Ansar,dan

 Sidi Jinnar.

Dicritakake ana wali ambêg ‘duwe watak nganggêp dhèwèke paling’ dhuwur,  biyèn asale cacing bangsa sudra ‘papa/ngisoran’, olèh pêpadhang ati ketok, diparingi ngêrti dening Allah lan wêruh, Sunan Benang sing miwiti, nalika mènèhi pitutur bab tekad, mulang muruk mènèhi ngèlmu, marang Jêng Sunan Kalijaga, nèng têngahing rawa numpak pêrahu endah, Siti Bang olèh têrang.

                Mula mêngko atine kêpengin mujudake, entuk wahyu jabariah, kadariyah maksud atine, nganggêp palênggahane Allah, pikiran eling dianggêp Gusti, Pangerane manungsa, sipate rongpuluh, wujud ‘ana’ kidam ‘langgêng’ lan baka ‘langgêng’, mukalapatuhu lil kawadis ‘beda karo makhluk’ nyulayani, kadadeane barang anyar.

                Kodrat ‘takdir’ iradat ‘karêp’ dadine ngèlmu, kayat ‘urip’ samak ‘mendengar’   basar ‘melihat’ lan kadiran ‘umuk’, muridan ngaliman akèhe, rongpuluh cacahe diikêt, kêlèt ing bumi lan langgêng, têgêse wujud mutlak, dadi dat arane, ora mula lan ora akhir, ora ana asale lan ora ana sing arêp diparani ngenalyakin, ing tekad sipat Allah.

                Sèh Siti Bang nganggêp Hyang Widi, wujud ora kaya sing katon mata, sarupa kaya dhèwèke, sipat-sipat mlêbu, ananging wujude blêgêr ora katon, warnane ora beda, mulus alus jêjêg, kang nyata ora wujud dora ‘ngapusi’, kaya kidam dhisik dhewe jumênêng ora kari, saka pribadine.

                Basa baka langgêng tanpa sêla, nora cêdhak lara kêpenak, jumênêng nèng kana kene, ora ika ora iku, mukalapatuhu lil kawadis ‘beda karo mahkluk’, rupane beda, lan kabèh wujud, barang anyar ketok nèng donya, nyulayani sipat kaanan manusa, sajrone bumi langit.

                Têmbung kodrat kapasang dhewe, ora ana kang mirip utawa madhani, tur wong bodho ora nganggo piranti, ngadam têkane wujud, jaba jêro sebak dadi siji, iradat têgêse, pengin ora ngrêmbug, ngèlmu kawruh kaanan, sing pisah saka panca indêra adoh, ngungkuli mimis bêdhil.

                Kayat urip srana dhèwèke, tansah mènèhi uripe dhewe, uripe ora nganggo roh, ora mèlu lara ngêlu, ilang bungah susah, ngadêg nèng sakarêpe, ya iku kayat kayun, Siti Jênar ngêrti, bênêr wêruh pintêr, manungsa unggul, mula kuwi ngaku Pangeran.

                Salat limang wêktu muji lan dikir, prastawa kabèh pribadi, bênêr luput tampa dhewe, bangêt têmtu, badan alus sing ngrusak kêkarêpan, ngêndi ana Hyang Suksma, kêjaba mung aku, ngubêngi donya langit, dhuwur langit sing ping pitu jêro bumi ora kêtêmu, wujude dat sing mulya.

                Ngêndi-êndi kabèh sêpi, ngalor ngidul ngulon ngetan têngah, kana-kana mung nèng kene, kene wujudku dudu, ananging jêroku sêpi sunyi, isi daging jêroan, rêrêgêd jêroku, dudu jantung dudu utêk, aku sing pisah kaya uculing panah, Mêkah Mêdinah têkan.

                Dudu budi angên-angêne ati, lan eling pikir lan niyat, hawa barat napas dene, suwung lan sêpi dudu, perangan badan kawadis ‘beda karo mahkluk’, ora têmtu dadi gustika, bosok campur blêdug, napasku ngubêngi bumi, gêni banyu angin mulih asli, ya iku anyar kabèh.

                Bali aku dat kang mlêbu Widi, Pangeranku sipat jalal-kamal, ora karsa salat dhewe, ora kêpengin ndhawuhi, mangka wong salat pathokane pikiran budi lanat musibat, ora kêna kagugu, salin-salin parentahe, mencla-mencle dak tênani ora dadi, tansah ngajak ala.

                Jroning salat budiku maling, jroning dikir pikiran kianat, kadhang melik amal akèh, seje dhatul guyubu, aku iki kang Maha Sukci, dat maolana nyata, sing layu kayafu, tur ora kinaya ngapa, mula Siti Jênar budi mlêbu Widi, ngrusak agama rasul.

                Ora nggugu prentahe si budi/pikiran, jêngkang-jêngking nèng mêsjid ting krêmbyah, ganjarane besuk, yèn katarima ing laku, sêjatine ora kêtêmu, nèng donya bae padha, susah padha mikul, lara sangsara ora beda, mula Siti Jênar mung ngantêpi siji, Gusti dat Maolana.

                Ya iku sing dianggêp Hyang Widi, Sèh Siti Bang kêpengin, kêpengin nyêdhak nglakoni dhawuhe, tekad jabariyah, kadariyah lair, madhêp mantêp tur mantêp, kuwat ing pangaku, kêncêng, angantêpi urip têkan layu yakin, ora mangeran pikiran lan angên-angên.

                Budi pikir angên-angên eling, tunggal wujud ngakal kênèng edan, susah bingung lali sare, budi akèh ora jujur, sabên bêngi mangayu/ngopèni drêngki, supaya dhèwèke sênêng, rusake liyan sokur, srèi iri akire nyêdhak kajahatan, tur tansah umuk akire tiba ing nistha/èlèk, ngalani badan/sarira dhewe.

                Gêtun yèn wis tiba ing awake dhewe, seje dat wajibul mulyane rat, mulyane pikiran kabèh, badan manusa mung, ana wujud kêpengin sawiji, iku bae ora bisa, nglakoni sadhawuh, loro manèh kuwasa, lah ta êndi pisahe Dat karo pikiran/angên-angên, supaya manusa nrima.

Aja manèh rupane Hyang Widi, malaekat bae durung wêruh, nadyan malaekat kang copot, kowe iku durung wêruh, mung bingungmu dhewe kopikir, ngupaya Gusti Allah, ora bisa kêtêmu, kana-kene ora ana, kene dudu têmah budimu koèsthi, angên-angên Pangeran

kula sampun kaping-kaping, suwita diwêjang dening wali mukmin, diwêruhake marang Mukamad Rasul, Allah Pangeranku, ngandikanipun Rasul marang aku malah bingung, kodhêng mirang-miring ngawag, ngawur pêpathokan sêpi.

ngèlmu Arab dados Buda, Buda mukir pamèt waton Jêng Nabi, tapa mati raga ngluyur, mubêng ngiras papriman, lamun kawruh Arab sirna tapanipun, kêjawi wulan Ramêlan, cêgah bukti botên purun.

nanging wali maksih bodho, tandhane asring dhatêng sêpi (nyêpi), guwa-guwa kayu watu, gunung alas sêgara, kêrêp dilêboni ngiras laku, pamrih kêtêmu Hyang Suksma, yaiku wong kang dibalênggu Ijajil.

caritane para ambiya, botên wontên kang nyuda mangan mutih, tapa mêlèk cêgah turu, puniku ora ditindakake, kajawi wong Buda badane winasuh lah sumangga kagaliha, pamancas kawula misil.

Sajêg jumblêg aku durung wêruh, manungsa mati dadi asu, mung akale santri ngapusi, ragane dhewe sampurna, mring akerat gawa bathang, angên-angêne kêpengin mênyang sawarga agung, nêmu barang kanikmatan.

Lumrah bangêt santri nistha/ rêgêd, ina/nistha carane mati, dianggo mulang marang muride, kang kranjingan nganti edan, ngarêp-arêp sawarga, êndi nyatane sawarga agung, yèn santri sêmaya besuk(jawabe mêsthi besuk).

Sajêg jumblêg aku durung wêruh, manungsa mati dadi asu, mung akale santri ngapusi, ragane dhewe sampurna, mring akerat gawa bathang, angên-angêne kêpengin mênyang sawarga agung, nêmu barang kanikmatan.

Lumrah bangêt santri nistha/ rêgêd, ina/nistha carane mati, dianggo mulang marang muride, kang kranjingan nganti edan, ngarêp-arêp sawarga, êndi nyatane sawarga agung, yèn santri sêmaya besuk(jawabe mêsthi besuk).

Sajêg jumblêg aku durung wêruh, manungsa mati dadi asu, mung akale santri ngapusi, ragane dhewe sampurna, mring akerat gawa bathang, angên-angêne kêpengin mênyang sawarga agung, nêmu barang kanikmatan.

Lumrah bangêt santri nistha/ rêgêd, ina/nistha carane mati, dianggo mulang marang muride, kang kranjingan nganti edan, ngarêp-arêp sawarga, êndi nyatane sawarga agung, yèn santri sêmaya besuk(jawabe mêsthi besuk).

Menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon

Sèh Siti Djenar sering dikenang dari kumandang wejangannya : manunggaling kawula gusti. Dalam pandangan siti jenar, tuhan bersemayam dalam dirinya. Karena “ kawula” dan “Gusti” telah menyatu, seseorang tidak perlu lagi melaksanakan Shalat. Siti Jenar tidak mau mengerjakan shalat karena kehendaknya sendiri. (Muhammad dan Rahman, 2001). Menurut Siti Jenar, pada waktu seseorang mengerjakan shalat budinya bisa mencuri. Ketika sedang berdzikir, bisa jadi budinya melepaskan hati, dan menaruh hati kepada seseorang, bahkan terkadang memikirkan dan mengharap kepada dunia.

Menurut Abdul Munir Mulkhan (1999) , Sèh Siti Djenar punya kedudukan yang sama dengan para Wali. Siti Jenar telah tiada 500 tahun yang lalu. Ia diadili oleh Wali Sanga.

Sebagian riwayat mengatakan ia dieksekusi di Masjid Demak Jawa Tengah tapi versi lain menyebutkan, Siti Jenar dieksekusi di masjid Agung Kasepuhan Cirebon Jawa Barat. Menurut versi ini Siti Jenar dimakamkan di Kemlaten, Cirebon. Makam itu berada ditengah pemakaman umum, didalam bangunan sederhana dan gelap seluas 5×5 m. makam Siti Jenar berada di tengah, diapit oleh makam dua muridnya, Pangeran Jagabayan disebelah kanan dan Pangeran Kejaksan disebelah kiri

Dari versi Cirebon Sèh Siti Djenar di adili oleh Dewan Wali di Masjid Agung Sang Ciptarasa. Dimana saat itu terjadi dialog antara para Wali dan Syech Siti Djenar. Siti Djenar berubah-ubah wujud pada akhirnya berubah menjadi bunga Melati yang sangat harum baunya dan akhirnya bunga tersebut di makamkan di daerah selatan Cirebon sehingga daerah tersebut di sebut Kemlaten. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa Dewan Wali menggantinya dengan bangkai anjing supaya masayarakat pada saat itu meyakini kebenaran ajaran Wali sanga

Banyak sekali versi yang menulis riwayat Syekh Siti Djenar ini yang tentunya kita harus lebih arif menyikapi siapa sebenarnya Syekh Siti Djenar dan apa yang beliau ajarkan pada masyarakat awam saat itu. Karena selama ini masih terjadi simpang siur kebenarannya. Karena kalau memang terjadi persidangan dan hukum pancung pada saat itu kenapa juga sejarah tidak mencatat jelas kapan, dimana, apa yang terjadi saat itu

Sastra mistik atau tasawuf adalah salah satu karakteristik dalam sastra Persia. Di Iran tasawuf tumbuh subur pada abad 10 M yang nampak awal dalam karya Abu Hasal Alkharqani dan Ba Yazid al Busthami, akan tetapi tasawuf dalam bentuk puisi dan syair mulai berkembang dan disempurnakan pada abad 11 oleh penyair Abu Said Aba al Khair di kota Khurasan, propinsi bagian timur laut Iran sekarang. Sastra mistik ini kemudian berkembang pesat melalui tangan penyair-penyair Persia selanjutnya seperti Sanai, Attar dan Jalaluddin Rumi yang mengantarkan sastra mistik Persia ke puncaknya.

Di Indonesia sendiri sastra mistik baru dikenal pada abad 16, yang oleh Abdul Hadi disebutkan bahwa sastra tasawuf di Indonesia dikenalkan oleh para penyair melayu seperti Hamzah Fansuri yang hidup di pertengahan abad 16 sampai awal abad 17 dan oleh beberapa orang muridnya seperti Abdul Jamal, Abdurrahman Singkel dan Samsuddin Pasai. Karya-karya mereka seperti yang disimpulkan oleh para ilmuwan banyak sekali pengaruh dari sastra mistik Persia.

Di dalam sastra tasawuf ada dua hal penting yang selalu dibicarakan pertama adalah nasehat dan kedua adalah cinta. Nasehat dalam menjalani hidup dan tahapan dalam menggapai cinta sejati, cinta sejati adalah cinta makhluk kepada khaliq. Manusia tercipta karena cinta tuhan kepadanya yang ingin selalu disembah, inilah hakikat penciptaan yang berarti cinta dan wujud ini pula yang ada di setiap yang bernyawa dan memiliki naluri kasih sayang. Kembali ke topik tulisan yang ingin mencari keterkaitan antara Syeik Siti Jenar di Indonesia dan Al Hallaj di Iran dengan pendekatan sastra mistik.

Walaupun jaraknya berabad-abad antara keduanya, tetapi pengaruh al Hallaj sampai juga ke nusantara hingga menoreh sejarah dalam penyebaran Islam di Indonesia khusunya di pulau Jawa. Al hallaj adalah salah satu khazanah dalam sastra mistik di Iran sedangkan Siti Jenar juga memperkaya pengetahuan kita tentang sastra mistik.

Posted by Kang Rendra Agusta in Sastra Mistik

≈ Leave a comment

Religi Jawa

Hampir semua orang Jawa memeluk agama Islam 99%. Sisanya memeluk agama Kristen, Katolik, Hindhu, Budha dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Agama Islam di Jawa ada 2 varian:

1. Agama Islam yang tercampur dengan unsur-unsur keagamaan Hindu, Budha, serta unsur-unsur keagamaan daerah setempat yang oleh orang Jawa disebut agama Jawi atau Abangan.
2. Agama Islam yang lebih bersifat dogmatik dan puritan yang disebut dengan istilah Islam Santri atau Putihan.  Religi di Jawa mengalami beberapa perkembangan sejarah yang sangat unik.
Di bawah ini akan diuraikan sejarah perkembangannya.

                1. Religi orang Jawa pada zaman dahulu didasarkan pada cara-cara memuja nenek moyang yang sesuai dengan keadaan setempat, kepercayaan akan adanya ruh (Animisme ) serta kekuatan sakti dalam gejala-gejala alam dan benda-benda keramat yang ada di sekeliling tempat tinggalnya (Dinamisme).

2. Agama Hindu diperkirakan datang ke pulau Jawa dalam abad ke 4, dari India Selatan melalui jalur-jalur perdagangan. Tetapi sisa-sisa tertua dari peradaban Hindu-Jawa yang gemilang berasal dari abad 8 M. Dalam jaman itu berkembang pula agama Budha-Jawa. Peninggalan-peninggalan bangunan keagamaan Kuna adalah Candi Prambanan, Candi Borobudur. Agama Hindu-Jawa dan Budha Jawa agaknya hidup berdampingan penuh kedamaian.

   Agama Hindu dan Budha disebarkan melalui perdagangan, kemudian disebarkan oleh para brahmana serta bhiksu berbangsa India yang diundang oleh para raja untuk datang ke Jawa sebagai penasehat atau pemimpin upacara.

                Pada waktu itu India merupakan bagian dunia maju dan negara atau kerajaan-kerajaan di Jawa dianggap sebagai negara-negara berkembang. Hal ini merupakan sebab mengapa kerajaan di Indonesia/pulau Jawa berorientasi kepada kebudayaan di India.

                Peradaban India juga mempengaruhi para cendekiawan Jawa yang pergi ke India untuk belajar kebudayaan klasik di India, baik mengenai ilmu pengetahuan dan keagamaan. Pengaruh peradaban India di Jawa berkembang pesat sampai abad 15 M.

Sejak runtuhnya Majapahit, kebudayaan Hindu Budha digantikan oleh kebudayaan Islam yang pada waktu itu sudah mulai memasuki pulau Jawa di daerah pantai utara.

                3. Agama Islam masuk ke pulau Jawa melalui jalur perdagangan dari Sumatera Utara dan Semenanjung Melayu berlangsung antara abad 14 sampai abad 17.

Agama Islam yang hidup pada waktu itu dipengaruhi oleh mistik. Unsur mistik ini memang sudah diterima, karena sudah ada dalam agama Hindu-Jawa, sedangkan karya-karya sastra Islam Jawa dituliskan pada awal pengaruh agama Islam menunjukkan pentingnya mistik dalam agama Islam. Selanjutnya untuk agama Islam dogmatik atau puritan baru datang kemudian.

Persebaran agama Islam pertama adalah kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa. Tempat-tempat itu kemudian berkembang menjadi makmur dan berkuasa, sehingga lama-lama berhasil merongrong kekuasaan kerajaan Majapahit.

                Agama Islam disebarkan oleh seorang pemimpin yang disebut Wali yang mengandung ajaran mistik, dengan demikian memudahkan agama Islam itu diterima oleh masyarakat, karena konsep mistik maupun ide-ide mistik bukan hal yang baru. Pusat peradaban Hindu-Budha di Jawa kemudian terpaksa menerima kehadiran agama Islam.

Dengan demikian berkembanglah suatu varian dari agama Islam yang bersifat sinkretik atau campuran yang disebut agama Jawi.

4. Agama Jawi

Agama Jawi merupakan sistem kepercayaan yang meliputi sejumlah keyakinan, konsep, pandangan, serta nilai-nilai yang berasal dari agama Islam seperti: keyakinan akan adanya Allah, yakin bahwa Nabi Muhamad adalah pesuruh Allah, yakin akan adanya nabi-nabi, yakin adanya tokoh-tokoh Islam keramat, yakin adanya konsep tentang penciptaan alam.

                Orang-orang yang memeluk agama Jawi juga yakin adanya dewa-dewa yang menguasai alam semesta, memiliki konsep tentang hidup dan kehidupan setelah kematian. Di samping itu juga memiliki keyakinan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan ruh nenek moyang yang menjaga sesuatu tempat, dan sebagainya.

Nilai-nilai budaya yang terungkap dalam adat istiadat diinterpretasikan sesuai dengan ajaran agama dan diaktualisasikan dalam kehidupan nyata, maka lahirlah sebutan Islam-Kejawen. Para pemeluknya hidup sebagai umat Islam namun tetap menjunjung tinggi adat istiadat dan nilai-nilai budaya spiritual Jawa.

Orang Jawa Kejawen menganggap bahwa Quran sebagai sumber utama dari segala pengetahuan yang ada. Tetapi mereka melakukan aktifitas keagamaan sehari-hari, rata-rata dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai budaya dan norma yang kebanyakan berada di dalam pikirannya.

Pengetahuan yang mendalam itu terdapat di dalam buku-buku keramat yang diperoleh melalu dukun, kaum atau modin, kyai atau guru.

Para guru, kyai, cendekiawan agama Jawi lebih tertarik untuk mendalami kesusasteraan keagamaan Jawa, serta buku-buku Jawa klasik mengenai ajaran moral dan kesusilaan, seperti Wulang Reh, Wedhatama, dan sebagainya.

                Amênangi jaman edan

ewuh aya ing pambudi

                mèlu edan nora tahan

                yèn tan mèlu hanglakoni

                boya kaduman melik

                kalirên wêkasanipun

                dilalah karsa Allah

                bêgja-bêgjane kang lali

                luwih bêgja kang eling lawan waspada

                (Serat Kalatidha, Sinom pupuh I, bait 8).

Di dalamnya terkandung ajaran moral yang begitu mulia dari pujangga Ranggawarsita yang sampai saat ini menjadi butir mutiara nilai budaya Jawa yakni: begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada (Sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia orang yang ingat dan waspada = orang yang bersikap eling dan waspada lebih beruntung daripada orang yang lupa).

                Orang-orang kejawen ini juga senang pada buku-buku kuna beraliran Islam misalnya serat Menak dan syair-syair Suluk serta kesusasteraan Primbon di mana terdapat keyakinan, konsep pandangan dan nilai budaya yang merupakan bagian besar dari sistem budaya agama Jawi.

Agami Jawi mengenal konsep mengenai Tuhan Yang Maha Esa yang dituangkan dalam suatu istilah “Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos” atau Pangeran. Orang mempunyai konsep bahwa  Tuhan adalah Sang Pencipta, karena itu merupakan penyebab dari segala kehidupan dunia dan seluruh alam semesta.

Agama Jawi juga melakukan upacara-upacara yang penting sebagai tindakan-tindakan keagamaan yang berhubungan dengan agama Islam. Upacara-upacara itu antara lain: upacara sepanjang lingkaran hidup (upacara kelahiran, upacara pernikahan, upacara kematian). Selain itu ada pula upacara berkorban/sesaji perayaan yang berkaitan dengan keselamatan desa, dan juga ngruwat.

                Semua ritual itu dilakukan oleh orang Jawa yang masih percaya dan jika hal itu tidak dilaksanakan, mereka akan mendapat petaka besar. Misalnya sakit tidak segera sembuh, kecelakaan, kesengsaraan dalam hidupnya dan sebagainya.

Di samping agama Jawi, masyarakat Jawa juga ada yang memiliki keyakinan pada satu agama yaitu Islam. Pemeluk agama Islam Puritan yang taat ini disebut Santri. Orang-orang santri melakukan ibadah sesuai aturan yang tertuang dalam Quran. Mereka tidak lagi melakukan upacara di luar ajaran agama, sehingga dapat diketahui agama Islam Puritan ini sangat ketat dalam pelaksanaan upacara.

                Sebuah ‘misteri’ yang mengherankan bahwa kenyataannya Jawa mampu ngemot dan momong berbagai perbedaan budaya dan peradaban yang masuk tersebut.  Bahkan kemudian terbukti pula mampu memberikan suport kejayaan kepada budaya dan peradaban pendatang tanpa kehilangan jatidirinya.

Dengan demikian bahwa budaya dan peradaban besar Hindu dan Buddha di Jawa tidak menghilangkan jatidiri Jawa.  Ketika kedua agama tersebut surut, orang Jawa kembali kepada kepercayaan aslinya yang sudah bersinergi dengan nilai-nilai budaya dan peradaban Hindu Buddha.

Ketika Jawa menerima sebaran Islam serta budaya dan peradaban Arab (Timur Terngah), maka kembali terjadi sinergi baru antara Jawa dan Islam.

                Aras spiritual yang sering menjadi pegangan orang Jawa yaitu manunggaling kawula Gusti untuk seluruh sistem yang ada di alam semesta ini. Pada sistem inilah diturunkan ‘nilai selaras’ dan ‘nilai rukun’ yang harus dilakoni oleh semua umat manusia sebagai kawula dalam menjalani hidup di dunia.

                Nilai rukun dan nilai selaras inilah basis utama falsafah Jawa.  Artinya, bahwa paugeran (hukum) menjalani hidup menurut ajaran (falsafah) Jawa diperuntukkan untuk menyangga nilai rukun dan nilai selaras tersebut.  Maka kemudian ruh tata peradaban Jawa adalah kebersamaan dalam bingkai nilai rukun dan nilai selaras yag diungkapkan dalam kalimat tata tentrem kerta raharja.  Hal ini merupakan ide dasar yang menjadi filter dalam rangka Jawa mengadopsi dan beradaptasi dengan budaya dan peradaban lain.

Falsafah momot ngemong segala perbedaan dengan damai telah dimiliki masyarakat Jawa sejak dahulu.  Lagipula sudah tersemayamkan di hati sanubari setiap lajer Jawa hingga menjadi otot bayu yang terbukti tidak lekang dan lapuk sejak jaman prasejarah hingga saat ini.  Maka inilah daya kekuatan yang menjadi ‘ketahanan alamiah’ Jawa dalam pergulatan antar budaya dan peradaban.

Kearifan budaya Jawa tersebut adalah merupakan refleksi dari karakteristik budaya Jawa yang ada. Hal ini tercermin sebagai berikut.

1. Religius dan ber-Tuhan

Sebelum agama-agama besar masuk ke Jawa, masyarakat Jawa sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi mereka, dan keber-”agama”-an ini semakin berkualitas dengan masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam, Katholik dan Kristen.

2. Mempunyai toleransi keagamaan yang besar.

3. Sangat menekankan aspek kerukunan, hormat dan keselarasan sosial.

Hal ini dimanifestasikan ke dalam Teori Jawa seperti memayu hayuning bawana, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.

                4. Lebih suka memecahkan masalah kehidupan dengan sikap ma-was diri atau tepa slira agar dapat menghindari konflik dengan pihak lain.

Dengan cara menggalih, yakni menggabungkan antara rasio dan rasa akan menghasilkan bentuk pemecahan yang efektif dan efisien. Rumus yang dipakai adalah 4 N (Nêng – Ning – Nung – Nang).

                _  Nêng = Meneng

Sebelum berbuat harus memperhatikan perasaan yang tenang, terang dan diam.

_ Ning = Wening

Hanya dengan meneng jiwa akan menjadi jernih (wening).

_ Nung = Anung

Dengan jiwa yang jernih akan dapat berpikir dengan jernih.

–      Nang = Menang

Akhir dari proses Nêng – Ning – Nung adalah diperoleh hasil pemecahan yang efektif dan efisien.

Banyaknya dewa-dewa dalam kasanah Jawa dianggap tidak sejalan dengan ke-“tauhid”-an aatau dianggap sebagai ketahayulan yang tidak masuk akal.

Sesungguhnya “Mitologi Jawa” tumbuh dan berkembang sejalan dengan upaya-upaya mensinergikan kepercayaan (teologi) asli Jawa dengan kepercayaan (teologi) dari agama pendatang. Upaya-upaya mensinergikan tersebut dilandasi falsafah dasar Peradaban Jawa yang menyatakan bahwa setiap “titah dumadi” diwajibkan ikut “memayu hayuning bawana“.

                Titah dumadi dimaksud, bukan sekedar umat manusia saja, tetapi seluruh mahluk ciptaan Tuhan yang kasat mata maupun tidak.  Barangkali hanya pada pandangan Jawa saja yang memposisikan seluruh titah dumadi ciptaan Tuhan merupakan saudara bagi umat manusia.

                Sepintas mitologi yang tergambarkan dalam cerita tersebut begitu rumit dan seperti dongeng yang mengada-ada.  Namun bila memahami bahwa dalam kasanah Jawa yang penuh dengan simbul-simbul, maka kerumitan tersebut bisa diurai dan bisa dijelaskan dengan nalar.  Pemahamannya didasari pengertian bahwa simbul-simbul dimaksud adalah personifikasi dari sesuatu yang ada namun tidak mudah dijangkau dengan pikiran.

                Tuntunan Jawa menyatakan bahwa Dzat Tuhan (Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang) adalah “tan kena kinayangapa” atau tidak bisa dijangkau (dihampiri) oleh akal, rasa dan daya spirituil manusia.  Sedangkan yang mampu dijangkau adalah tajali (derivate spirituil, emanasi, pancaran) Tuhan.

                Derivate Tuhan itulah yang kemudian disebut sebagai Pangeran (Gusti) yang keberadaannya transendent dan immanent. Yaitu berujud dzat mutlak hampa (suwung), abadi, tanpa arah tanpa papan, tanpa bentuk (kantha) tanpa warna, sepi dari “ganda-rasa-swara“, bersipat elok, bukan laki bukan perempuan bukan banci, merasuki seluruh alam semesta seisinya.

Atas dasar pemikiran tersebut, maka pemahaman ‘manunggaling kawula gusti’ adalah suatu tingkatan kesadaran akan hadirnya ‘Dzat Illahi’ pada setiap mahluk hidup.  Oleh karena itu, pada kepercayaan Jawa menyebutkan bahwa bertemu Pangeran/Gusti (Dzat Urip) adalah dengan berkiblat ke gua siring urip atau gua batin diri sendiri.

Dengan halus Jawa menolak pemahaman Tuhan yang menghuni suatu tempat di bumi.  Baik berupa alam seperti gunung, sungai, laut, dll.  Lebih-lebih Tuhan yang menghuni arca atau bangunan buatan manusia.  Prinsip dasarnya masyarakat Jawa menganggap Tuhan tan kena kinaya ngapa (tidak bisa dibayangkan seperti apa) dan menguasai seluruh alam semesta yang tiada batas.  Maka mustahil kalau Tuhan penguasa semesta alam sekedar berada di suatu tempat kecil di bumi ini. Walaupun dinyatakan tempat tersebut paling suci.

Kesadaran tertinggi tentang kesemestaan tersebut, bagi pandangan Jawa yang terpenting adalah upaya untuk “titis ing pati”.  Artinya mampu mengembalikan semua unsur yang membentuk dirinya kepada sumbernya masing-masing dengan sempurna.  Kesempurnaan “titis ing pati” tersebut ditentukan pada perilakunya saat hidup ikut memayu hayuning bawana atau tidak.  Kalau tidak, maka rohnya tidak mampu kembali ke sumbernya, “Dzat Sejatining Urip” dan kesasar ke alam lain.  Bisa jadi ke alam binatang, alam lelembut, dan bahkan bisa juga kesangsang (terdampar) di kayu watu dan menjadi dhanyang di situ.

Kesadaran Semesta juga melahirkan sikap kehati-hatian menjalani hidup.  Maka kehati-hatian tersebut menjadikan wong Jawa tidak akan mau membuat kerusakan pada alam semesta.  Untuk itu, para leluhur Jawa yang “linuwih kawruhnya” di jaman dulu melakukan observasi mendalam akan fenomena alam semesta.  Dari observasi semesta tersebut lahirlah astronomi Jawa yang berujud sistim kalender Jawa.  Bukan sekedar kalender untuk memahami perjalanan waktu, namun juga memuat pengaruh “kosmis semesta” pada hidup dan kehidupan manusia (candrasangkala, komariyah) dan (suryasangkala, syamsiyah), tetapi juga ada penanggalan Wuku dan Wetonan yang ternyata sangat rasionil dan matematis perhitungannya.

Observasi alam oleh para leluhur linuwih Jawa juga menangkap adanya “enerji spirituil angkasa dan bumi” yang disebut “bapa angkasa” dan “ibu bumi”.  Juga mampu menengarai adanya pancaran “enerji spirituil bumi” pada tempat-tempat di bumi. Pada tempat-tempat di bumi yang kuat pancaran enerji spirituilnya kemudian diberi tanda berupa patung lingga-yoni, arca dan candi.  Di tempat yang sudah diberi tanda tersebut kemudian dijadikan tempat untuk “manembah” kepada Tuhan dan “persembahan” kepada semesta alam berupa sesaji-sesaji.  Tujuannya agar pancaran enerji bumi tersebut menjadi suci auroranya serta positif pengaruhnya kepada kehidupan manusia.  Laku budaya yang demikian kemudian mengundang penafsiran sebagai keprimitifan dan dianggap “klenik-tahayul-gugon tuhon” oleh pihak-pihak yang tidak memahami.

Aras kesadaran kesemestaan pada budaya dan peradaban Jawa memang “unik” menurut pandangan orang-orang yang tidak memahami.  Padahal dari aras tersebut, maka secara alamiah wong Jawa memiliki kesadaran akan tempat hidupnya, alam semesta khususnya bumi.  Kesadaran tersebut sedemikain mendalam hingga menghormati bumi sebagai “Ibu Pertiwi”.  “Ibu Pertiwi” adalah yang memberi semua kebutuhan hidup manusia.

Bumi yang menghidupi manusia adalah pandangan Jawa yang mendasar.  Maka banyak laku budaya Jawa yang ditujukan untuk persembahan kepada “Ibu Pertiwi” tersebut.  Laku budaya dimaksud mulai dari memberikan sesaji, mantra suara (kidungan dan karawitan), sampai kepada pagelaran tari dan wayang.  Tujuan semua laku-budaya tersebut adalah “mempersembahkan keindahan” kepada semesta alam (bapa angkasa lan ibu bumi) tempat manusia hidup.  Dengan jelas merupakan bagian dari “melu memayu hayuning bawana”.

Prosesi persembahan dalam laku budaya dimaksud selalu pada aras kebersamaan.  Gotongroyong semua warga masyarakat.  Jejaknya masih bisa kita saksikan pada adat Jawa “Sadranan”. Sesungguhnya saja tradisi “Sadranan” mulanya adalah prosesi ritual masyarakat Jawa dalam rangka persembahan kepada alam semesta.  Namun oleh pengaruh “penyebaran agama” telah berubah menjadi prosesi ritual mendoakan arwah leluhur.  Bahkan kemudian menjadi bias lebih jauh lagi, sebagai pesta untuk bersenang-senang tanpa makna lagi.

Ritual kidungan, ritual gamelan, ritual seni tari, dan pagelaran wayang purwa.  Artinya, mempersembahkan keindahan untuk alam semesta yang ditujukan agar alam semesta kembali hayu.  Pada aras ke-hayu-an semesta tersebut maka akan berpengaruh kepada “inner” manusia yang berada dalam naungannya. Oleh pengaruh spirituil semesta yang hayu, maka perilaku manusia akan tertata menjadi hayu pula.

Nilai-nilai budaya yang terungkap dalam adat istiadat diinterpretasikan sesuai dengan ajaran agama dan diaktualisasikan dalam kehidupan nyata, maka lahirlah sebutan Islam-Kejawen. Para pemeluknya hidup sebagai umat Islam namun tetap menjunjung tinggi adat istiadat dan nilai-nilai budaya spiritual Jawa yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.