BILA ORANG TUA BERBUAT MAKSIAT, APA YANG HARUS DILAKUKAN ANAK? Terkadang seorang anak harus menghadapi orang tua yang belum mengerti tentang ajaran Islam. Sebagai akibatnya, ia menyaksikan orang yang sangat ia cintai dan hormati melakukan perbuatan maksiat atau menghalang-halangi si anak dari perbuatan amal shaleh. Ruang Lingkup Pengertian Berbakti Kepada Orang Tua 1. Berbakti kepada orang tua dalam bentuk ucapan. Allah Azza wa Jalla berfirman: اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “Ah” dan janganlah kamu membentak mereka. Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. [al-Isrâ`/17:23] Ini perlakuan saat orang tua telah berusia udzur. Biasanya ketika telah memasuki usia senja (pikun), tindak-tanduk orang tua tampak tidak normal di hadapan orang lain. Walaupun demikian, Allah Azza wa Jalla memerintahkan: (maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “Ah”), maksudnya jangan berbuat seperti itu kepada mereka disebabkan kegusaran atas tindak-tanduk mereka (dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia). 2. Bakti kepada orang tua juga dalam bentuk perbuatan, yaitu dengan cara seorang anak menghinakan diri di hadapan orang tuanya, dan tunduk patuh kepada mereka dengan cara-cara yang dibenarkan syariat dalam rangka menghormati kedudukan mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman: وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. [al-Isrâ`/17:24] 3. Berbakti juga dapat dilakukan dengan pemberian materi kepada orang tua. Orang tua berhak memperoleh infak dari anaknya. Bahkan ini termasuk bentuk infak yang agung. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَنْتَ وَمَالُكَ ِلأََبِيْكَ Engkau dan kekayaanmu adalah milik bapakmu [HR. Abu Dâwud no. 3530, Ibnu Mâjah no. 2292] 4. Bentuk bakti kepada orang tua yang lain, dengan melayani mereka dalam menyelesaikan atau membantu urusan maupun pekerjaan mereka. Namun bila meminta tolong dalam perkara yang diharamkan, saat itu tidak boleh bagi anak untuk menyambut permintaan mereka. Justru, penolakannya menjadi cermin bakti anak kepada orang tua, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ Tolonglah saudaramu saat berbuat zhalim atau teraniaya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Wahai Rasulullah, kalau menolong orang yang teraniaya kami sudah mengerti, bagaimana dengan menolong saudara yang berbuat zhalim?”. Beliau menjawab: “Dengan menghalang-halanginya berbuat zhalim”. [HR. al-Bukhâri, Muslim dan Ahmad] Misalnya, orang tua memerintahkan membeli sesuatu yang diharamkan, kemudian si anak menolaknya. Anak ini tidak disebut sebagai anak durhaka, akan tetapi merupakan putra yang berbakti kepada orang tuanya, karena telah menahan orang tuanya dari berbuat yang haram. [1] Teladan yang baik dari Nabi Ibrâhîm Alaihissasllam إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. Beliau mempunyai kasih-sayang terhadap sesama, dan memaafkan perlakuan-perlakuan tidak baik kepadanya yang muncul dari orang-orang lain. Sikap tidak sopan orang lain tidak membuat beliau antipati, tidak menyikapi orang jahat dengan tindakan serupa. Dalam hal ini, sang bapak telah mengancam dengan berkata kepadanya: Baca Juga Jika Suami Dan Kedua Orang Tua Bertentangan قَالَ اَرَاغِبٌ اَنْتَ عَنْ اٰلِهَتِيْ يٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۚ لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهِ لَاَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِيْ مَلِيًّا –قَالَ سَلٰمٌ عَلَيْكَۚ سَاَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّيْۗ اِنَّهٗ كَانَ بِيْ حَفِيًّا “Bencikah kamu kepada ilâh-ilâhku, hai Ibrâhîm. Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”. Namun Nabi Ibrâhîm q menyikapinya dengan berkata: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”. [Maryam/19:46-47) “. Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata: Ibrâhîm al-Khalîl q menjawabnya (ancaman si ayah) dengan jawaban yang biasa disampaikan oleh hamba-hamba Allah Azza wa Jalla (’Ibâdurrahmân) k saat berbicara dengan orang-orang jâhilîn (orang-orang yang tak berilmu/awam)[2]. Beliau tidak mencela sang bapak sedikit pun. Namun tetap bersabar dan tidak membalas (ancaman) bapaknya dengan hal-hal yang tidak baik. Inilah yang beliau ucapkan “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu” yang mengandung pengertian ‘Wahai ayah, engkau tidak akan menghadapi cemoohan, celaan dan perlakuan yang buruk dariku saat aku berbicara denganmu. Justru aku akan senantiasa berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar memberikan hidayah dan ampunan bagimu…[3] Bercermin pada petunjuk Ulama Berikut ini kami kutip beberapa keterangan Ulama yang berbicara bagaimana menyikapi orang tua yang berbuat maksiat. Dengan harapan, kita sekalian dapat mengambil langkah yang tepat saat menghadapi persoalan-persoalan serupa: Bapakku melakukan pelanggaran syariat “Semoga Allah Azza wa Jalla memberi hidayah dan kemauan bertaubat bagi bapakmu. Kami berpesan agar engkau tetap berlaku lembut kepadanya dan menasehatinya dengan cara halus, tidak pernah putus asa dalam rangka menunjukkannya kepada hidayah. Allah Azza wa Jalla berfirman : وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ – وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [Luqmân/31:14-15] (Pada ayat di atas) Allah Azza wa Jalla berwasiat supaya mensyukuri kedua orang tua. Perintah ini ternyata dipadukan dengan perintah bersyukur kepada-Nya. Ayat itu juga memerintahkan anak agar mempergauli mereka di dunia ini dengan cara-cara yang baik, kendatipun mereka memaksa berbuat kufur. Melalui ayat di atas, engkau tahu bahwa sikap yang diperintahkan syariat dalam kondisi ini (memaksa anak berbuat kufur, red) adalah agar seorang anak tetap menjalin hubungan dengan orang tua dengan cara-cara yang baik, berbuat baik kepada mereka meski mereka berbuat jelek kepadanya, serta gigih mengajak mereka kepada kebenaran. Semoga Allah Azza wa Jalla memberi hidayah baginya melalui tanganmu. Engkau tidak boleh menaatinya dalam kemaksiatan. Kami juga berpesan setelah memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla , supaya engkau juga meminta bantuan orang-orang shaleh dari kalangan kerabatmu dan paman-pamanmu dan pihak lainnya, yaitu orang-orang yang sangat dihormati dan dimuliakan oleh bapakmu. Mungkin saja, beliau akan lebih mudah menerima nasehat mereka….”. [4] Ibuku melarangku mengenakan hijâb (cadar) Menanggapi persoalan ini, Syaikh Bin Bâz rahimahullah menjawab: Baca Juga Hukum Mentaati Kedua Orang Tua Dengan Bermaksiat Terhadap Allah إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ “Ketaatan (kepada makhluk) hanya pada perkara-perkara baik saja” Begitu pula, ayah dan suami, tidak wajib ditaati dalam maksiat kepada Allah Azza wa Jalla . Akan tetapi, seyogyanya istri atau anak dan lainnya bersikap lembut dan menempuh cara yang baik dalam menyelesaikan masalah. Yaitu dengan menjelaskan dalil-dalil syar’i, wajibnya taat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kewajiban menghindari maksiat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan tetap teguh berpegangan al-haq dan menampik perintah orang yang menyuruh melanggar al-haq, baik itu suami, ayah, ibu atau lainnya. Sebenarnya tidak masalah menonton acara TV dan video yang tidak mengandung kemungkaran, atau mendengarkan acara-acara ilmiah dan kajian-kajian yang bermanfaat. Yang harus dihindari ialah acara yang mengandung kemungkaran. Menonton film-film pun tidak boleh karena mengandung banyak kebatilan. [5] Ibuku marah ketika aku ingatkan dari kesalahan Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdur Rahmân al-Jibrîn hafizhahullâh menjawab kegundahan di atas dengan berkata: “Engkau tetap menasehati ibumu terus-menerus, dan menjelaskan dosa dan bahaya akibat perbuatannya. Jika tidak berpengaruh baik, cobalah sampaikan kepada suaminya (bapakmu atau lelaki yang menjadi suaminya karena sudah cerai dari ayah, red), orang tua ibu atau walinya, agar mereka inilah yang menasehati beliau. Jika perbuatan beliau termasuk dosa besar, tidak mengapa bila engkau menghajr (tidak mengajak bicara) beliau. Sehubungan dengan doa buruk atau komentar miring terhadapmu anak yang durhaka atau memutuskan tali silaturahmi maka hal itu tidak membahayakanmu. Sebab engkau melakukannya (menasehati ibu, red) karena dorongan rasa tidak suka bila hukum Allah Azza wa Jalla dilanggar. Namun apabila kesalahan beliau termasuk dosa kecil, engkau tidak boleh melakukan muqâtha’ah (mendiamkan beliau)”[6] Kesimpulan dari fatwa-fatwa di atas:
Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan karunia hidayah dan taufik bagi setiap keluarga Muslim dalam menjalankan aturan Allah Azza wa Jalla di tengah keluarga. Amin. (Redaksi) Referensi:
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Fatâwâ Syaikh al-‘Utsaimîn, nukilan dari Fatâwâ Ulamâ Baladil Harâm hlm. 1631 [2] Seperti tertera dalam surat al-Furqân ayat: 63 [3] Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 369 dan 528. Pada gilirannya, Nabi Ibrâhîm q dilarang oleh Allah k memintakan ampunan bagi bapaknya, karena telah memperoleh kepastian kesesatannya. [4] Majmû~ Fatâwâ Ibni Bâz 9/313 dengan ringkas [5] Majmû` Fatâwâ Ibni Bâz (5/358) [6] Fatâwal Mar`ah hlm. 104, nukilan dari Fatâwal Mar`atil Muslimah hlm. 957-958 |