Peraturan perundangan yang diadakan untuk melaksanakan undang-undang dasar serta ketetapan mpr

LAMPIRAN I

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999

TANGGAL 19 MEI 1999

TEKNIK PENYUSUNAN

PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

I.    KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1.   Kerangka peraturan perundang-undangan terdiri atas :

A.         Judul;

B.         Pembukaan;

C.         Batang Tubuh;

D.         Penutup;

E.         Penjelasan (jika diperlukan);

F.         Lampiran (jika diperlukan);

1.   A    Judul

2.   Setiap peraturan perundangan-undangan di beri judul.

3.   Judul peraturan perundangan-undangan memuat keterangan mengenai : jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama peraturan perundang-undangan.

4.   Nama peraturan perundangan-undangan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi peraturan perundangan-undangan.

5.   Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.

Contoh :

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 9 TAHUN 1998

TENTANG

KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DIMUKA UMUM

6.   Pada nama peraturan perundang-undangan perubahan dtambahkan frasa PERUBAHAN ATAS di depan judul peraturan perundang – undangan yang diubah.

Contoh :

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 13 TAHUN 1997

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG – UNDANG NOMOR 6

TAHUN 1989 TENTANG PATEN

7.      Bagi peraturan perundang – undangan yang telah dibuat lebih dari sekali, di antara kata PERUBAHAN dan kata ATAS disisipkan bilangan tingkat yang menunjukan tingkat perubahan tersebut tanpa merinci perubahan-perubahan sebelumnya.

Contoh :

UNDANG– NDANG REPUBLIK INDONESIA

 NOMOR …. TAHUN ….

TENTANG

 PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG – UNDANG

NOMOR …. TAHUN …. TENTANG ….

8.   Jika peraturan perundang – undangan yang diubah mempunyai nama singkat, peraturan perundang – undangan perubahan dapat menggunakan judul singkat peraturan perundang – undangan yang diubah.

Contoh :

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA

 NOMOR …. TAHUN ….

 TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG – UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984

9.   Pada nama peraturan perundang – undangan pencabutan ditambahkan kata PENCABUTAN di depan judul peraturan perundang – undangan yang di cabut.

Contoh :

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA

 NOMOR 10 TAHUN 1985

TENTANG

PENCABUTAN UNDANG – UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1970 TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS

DENGAN PELABUHAN BEBAS SABANG

10. Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi undang – undang di tambahkan kata PENETAPAN di depan judul peraturan perundang – undangan yang ditetapkan.

Contoh :

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 4 TAHUN 1998

TENTANG

PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG – UNDANG TENTANG KEPAILITAN MENJADI UNDANG – UNDANG

11. Pada nama peraturan perundang – undangan pengesahan ditambahkan kata PENGESAHAN di depan judul perjanjian atau persetujuan Internasional yang akan disahkan.

12. Jika dalam suatu perjanjian atau persetujuan internasional bahasa Indonesia sebagai teks resmi, maka peraturan perundang – undangan maka pengesahan ditulis dalam bahasa Indonesia sebagai teks resmi, yang diikuti oleh nama peraturan dalam teks resmi bahasa asing yang ditulis dengan huruf cetak miring dan diletakan diantara tanda baca kurung ((….)),

Contoh :

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA

 NOMOR     TAHUN    

 TENTANG

PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN CREIMINAL MATTERS)

13. Jika dalam suatu perjanjian atau persetujuan internasional bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai teks resmi, maka nama peraturan perundang-undangan pengesahan ditukis dalam bahasa Inggris teks resmi dengan huruf cetak miring, yang kemudian diikuti dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia teks resmi yang diletakkan diantara tanda baca kurung ((…)).

Contoh :

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA

 NOMOR 7 TAHUN 1997

 TENTANG

PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAIST ILLICIT TRAFFIC IN NARCOTIC DRNGS AND PSYEHOTROPIC SUBSTANEES, 1988 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIK DAN PSIKOTROPIKA, 1988)

1.      B. Pembukaan.

14. Pembukaan peraturan perundang-undangan memuat:

1.   Jabatan pembentuk peraturan perundang-undangan;

2.   Konsiderans;

3.   Dasar Hukum;

4.   Memutuskan;

5.   Menetapkan;

6.   Nama peraturan perundang-undangan.

15. Pada pembukaan undang-undang dan peraturan daerah sebelum nama jabatan pembentuk peraturan perundang-undangan, dicantumkan frasa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang diletakkan di tengah marjin.

1. B.1. Jabatan pembentuk peraturan perundang-undangan

16. Jabatan pembentuk peraturan perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma (,).

1. B.2. Konsiderans

17.    a.    Konsiderans diawali dengan kata menimbang.

         b.   Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans undang-undang atau peraturan daerah memuat unsur-unsur filosofis, juridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.

18. Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan di anggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan alasan dibuatnya peraturan perundang-undangan tersebut. Lihat juga nomor 22.

19. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian.

20. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan di teruskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma (;).

Contoh :

Menimbang  : a.  bahwa ……;

                      b.   bahwa ……;

                      c.   bahwa ……;

21. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut :

      Contoh untuk undang-undang dan peraturan daerah :

      c.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b perlu membentuk Undang-undang (Peraturan Daerah) tentang …..

      Contoh untuk peraturan perundang-undang dibawah undang-undang atau peraturan daerah :

      c.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b perlu menetapkan Peraturan Pemerintah (Keputusan Presiden/Keputusan Menteri/Keputusan Gubernur) tentang….

22. Konsiderans Peraturan Pemerintah pada dasarnya cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dan undangundang yang memerintahkan Pembuatan Peraturan Pemerintah tersebut, Lihat juga Nomor 18.

Contoh :

Menimbang    :     bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 39 dan Pasal 40 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Dewan Hak Cipta;

1. B.3. Dasar Hukum

23. a.    Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.

      b.   Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan. Pada bagian ini dimuat peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut.

24. Peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.

25. Peraturan perundang-undangan yang akan dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk tatau dietapkan) atau peraturan perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum.

26. Jika jumlah peraturan perundang-undangan yang clijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan peneantuman perlu memperhatikan tata urutan hirarki peraturan perundang-undangan yang diurutkan secara kronologis berdasarkan saat pengeluarannya.

27. Dasar hukum yang diambil dari pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang berkait. Frasa Undang-Undang Dasa r 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.

Contoh :

Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

28. Dasar Hukum yang Undang-Undang Dasar 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama peraturan perundang-undangan. Penulisan undang-undang selain jenis Undang-Undang Dasar 1945, cukup u pertama ditulis dengan huruf Kapital.

      Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden tertentu perlu dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara yang diletakkan diantara tanda baca kurung ((…)).;

Contoh :

1.      Undang-undang Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara Republik Indonesia tahu 1992 nomor 81; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3490);

2. ……………………

29. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) tidak digunakan sebagai dasar hukum, kecuali jika tegas memerintahkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimaksud.

30. Judul peraturan perundang-undangan dari zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkanoleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949 yang digunakan sebagai dasar hukum, ditulis lebih dulu terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan kemudian judul asli bahasa Belanda, dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staatsblad yang dicetak miring antara tanda baca kurung ((...)).

Contoh :

1.      Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatblad 1847:23);

31. Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam nomor 30 berlaku juga untuk pencabutan peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949.

32. Jika dasar Hukum lebih dari satu peraturan perundang-undangan, tiap dasar hukum diawali angka Arab 1,2,3, dan seterusnya dan diakhiri dengan tanda baca titik koma (;).

Contoh :

Mengingat    :1.  ………..;

                       2. ………..;

1. B.4. Memutuskan

33. Kata MEMUTUSKAN ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi antar huruf dan diakhiri dengan tanda baca titik dua (:) serta diletakkan di tengah marjin.

Contoh :

MEMUTUSKAN :

34. Bagi undang-undang dan peraturan daerah:

a.    di atas kata MEMUTUSKAN , dicantumkan frasa Dengan persetujuan yang diletakkan di tengah marjin. Huruf awal kata “persetujuan” ditulis dengan huruf “p” kecil.

b.   di bawah frasa Dengan persetujuan, dicantumkan Frasa DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA (untuk undang-undang) atau DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TINGKAT I (ATAU II) (untuk peraturan daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf capital dan diletakkan di tengah Marjin.

Contoh :

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

35. Pembukaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) dan Peraturan Pemerintah tidak menggunakan frasa Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

1. B.5. Menetapkan

36. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata MEMUTUSKAN yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua (:).

37. Nama yang tercantum dalam judul peraturan dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan dan didahului dengan peneantuman jenis peraturan perundang-undangan tanpa frasa REPUBLIK INDONESIA serta ditulis seluruhnya dengan huruf capital dan diakhiri dengan tanda baca titik (.).

Contoh : nomor 36 dan 37

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA.

38. Pembukaan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Peraturan Pemerintah (Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, atau Pejabat yang setingkat) Yang bersifat mengatur, berpedoman pada pembukaan Peraturan Pemerintah.

1. C. Batang Tubuh

39. Batang tubuh peraturan perundang-undangan memuat semua substansi peraturan perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal-pasal.

40. Pada umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam :

1. Ketentuan Umum ;

2. Materi pokok yang diatur;

3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan);

4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan);

5. Ketentuan Penutup.

41. Dalam pengelompokan substansi sedapat mungkin dihindari adanya bab KETENTUAN LAIN (-LAIN) aTau sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakan untuk masuk ke dalam bab-bab yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai.

42. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan apabila terjadi pelanggaran atas norma tersebut.

43. Jika norma yang memberikan sanksi adminisirat f atau keperdataan terdapat pada lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi Keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata dan sanksi administatif dalam satu bab.

44. Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional.Sanksi keperdataan dapat berupa antara lain, ganti kerugian.

45. a.    Pengelompokan materi peraturan perundang-undangan dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf.

      b.   ika peraturan perundang-undangan mempunyai materi yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal-pasal itu dapat dikelompokan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraph.

46. Pengelompokan materi dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi.

47. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut :

a. bab dengan pasal (- pasal) tanpa bagian dan paragraf;

b. bab dengan bagian dan pasal (- pasal) tanpa paragraf;

c. bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal (- pasal).

48. a.    Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.

      b.   Kata buku ditulis seluruhnya dengan hurul kapital

Contoh :

BUKU KETIGA

PERIKATAN

49. a.                      Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.

      b.   Kata bab seluruhnya ditulis dengan huruf kapital,

Contoh :

BAB I

KETENTUAN UMUM

50. a.                      Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul.

      b.   Huruf awal kata bagian, urutan bilangan , dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan hurul kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frasa.

Contoh :

Bagian Kelima

Persyaratan Teknis Kendaraan Bermotor,

Kereta Gandengan dan Kereta Tempelan

51. a.                      Paraigraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul.

      b.   Huruf awal kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan huruf capital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frasa .

      Contoh :

Paragraf I

Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim

52. Pasal merupakan satuan aturan dalam peraturan perundang-undangan yang memuat satu norma dan clirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas

53. Materi peraturan perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke dalam beherapa pasal yang masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.

54. a.                      Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab.

      b.   Huruf awal pasal ditulis dengan huruf capital.

      c.                     Huruf awal pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital.

      Contoh :

Pasal 34

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan pasal 26 tidak meniadakan kewajiban membayar ganti kerngian sehagaimana dimaksud dalam Pasal 33.

55. a.                      Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat.

      b.   Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab di antara tanda baca kurung tanpa diakhiri tanda baca titik (.).

      c.                     Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang clirumuskan dalam satu kalimat utuh.

      d.   Huruf awal kata ayat yang digunakan sehagai acuan ditulis dengan huruf kecil.

      Contoh :

Pasal 8

(1)    Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk satu kelas barang.

(2)    Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan.

(3)    Kelas barang atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

56. Jka satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka disamping dirumuskan dalam bentuk kalimat dengan rincian, dapat pula dipertimbangkan penggunaan rumusan dalam bentuk tabulasi.

      Contoh :

Pasal 17

Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin dan telah terdaftar pada daftar pemilih.

Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan sebagai berikut :

Pasal 17

Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang :

a.    telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin; dan

b.   telah terdaftar pada daftar pemilih.

57. a.    Dalam membuat rumusan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi hendaknya di perhatikan hal-hal sebagai berikut :

1)   setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frasa pembuka;

2)   setiap rincian diawali dengan huruf tabjad) kecil dan diberi tanda baca titik (.);

3)   setiap frasa dalam rincian diawali dengan huruf kecil;

4)   setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma (;);

5)   jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil , maka unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam;

6)   di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik dual (:);

7)   pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan abjad kecil yang diikuti dengan tanda baca titik (.); angka Arab diikuti dengan tanda baca titik (.) ; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup ; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup;

8)   pembagian rincian hendaknya tidak melebihi empat tingkat. Jika rincian melebihi empat tingkat, perlu dipertimbangkan pemecahan pasal yang bersangkutan ke dalama pasal atau ayat lain.

      b.   Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif, ditambahkan kata dan dibelakang rincian kedua dari rincian terakhir.

      c.   Jika unsur dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif, ditambahkan kata atau di belakang rincian kedua dan rincian terakhir.

      d.   Jika rincian dalami tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan altertiatif, ditambahkan frasa dan atau di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.

      e.   Kata dan, atau, dan atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian

Contoh :

a.    Tiap-tiap rincian ditandai dengan huruf a,b,dan seterusnya.

(3) ...

a. ………;

b. ………; (dan, atau)

c. ………;

b.   Jika suatu rincian memerlukan rincian lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka 1,2, dan seterusnya

      (3) …

                  a. …..; (dan, atau)

                  b. .….:

                        1. ……...; (dan, atau)

                        2. ……….

c.   Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan a), b), dan seterusnya.

      (3) …

                  a. ……; (dan, atau)

                  b. ……:

                        1. ………; (dan, atau)

                        2. ………:

                              a) ... ; (dan, atau)

b) … .

d.   Jika suatu rincian yang mendetail memerlukan rincian yang lebih mendetai lagi, rincian itu ditandai dengan angka 1), 2), seterusnya.

      (3)

                  a. …. ;(dan, atau)

                  b. ….:

                        1. ….; (dan, atau)

                        2. ….:

                              a) …..; (dan, atau)

                              b) …..:

                                    1) ….. ; (dan, atau)

                                    2) …… .

1. C.1. Ketentuan Umum

58. Ketentuan Umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak ada pengelompokan bab, Ketentuan Umum diletakkan dalam pasal (-pasal) pertama

59. Ketentuan Umum dapat memuat lebih dari satu pasal.

60. Ketentuan Umum berisi :

a.    batasan pengertian atau definisi;

b.   singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan.

c.   hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya, antara lain ketentuan yang mencerminkankan asas, maksud, dan tujuan.

61.    a.    Frasa pembuka dalam Ketentuan Umum undang-undang berbunyi sebagai berikut : Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :

         b.   Frasa pembuka dalam Ketentuan Umum peraturan perundangundangan dibawah undang-undang disesuaikan dengan jenis peraturannya.

62. Jika Ketentuan Umum berisi batasan pengertian, definisi, singkatan, atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik (.).

63. Kata atau istilah yang dimuat dalam Ketentuan Umum hanyalah kata atau istilah yang terdapat di dalam pasal-pasal selanjutnya.

64. Jika suatu kata atau istilah hanya terdapat satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, dianjurkan agar kata atau istilah itu diberi definisi pada pasal awal dari bab, bagian atau paragraf yang bersangkutan.

65. Urutan penempatan kata atan isitilah dalam Ketentuan Umum mengikuti ketentuan sebagai berikut :

a.    pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus.

b.   pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam Materi Pokok Yang Diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu.

c.   pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian diaturnya diletakkan berdekatan secara berurutan

1. C.2. Materi Pokok Yang Diatur

66. Materi Pokok Yang Diatur ditempatkan langsung setelah bab Ketentuan Umum atau pasal (-pasal) ketentuan umum jika tidak ada pengelompokan dalam bab.

67. Pembagian lebih lanjut kelompok Materi Pokok Yang Diatur didasarkan pada luasnya materi pokok yang bersangkutan.

Contoh :

Pembagian dapat dilakukan berdasarkan, antara lain, :

1)   hak atau kepentingan yang dilindungi , seperti misalnya pembagian dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) :

1.   Kejahatan terhadap keamanan negara;

2.   Kejahatan terhadap martabat Presiden;

3.   Kejahat an terhadap negara sababat dan wakilnya;

4.   Kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;

5.   Kejahatan tehadap ketertiban umum, dan seterusnya.

2)   kronologi, misalnya proses peradilan dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi dan peninjauan kembali.

3)   kelompok orang yang dikaitkan dengan jabatan, misalnya :

- Jaksa Agung;

- Wakil Jaksa Agung;

- Jaksa Agung Muda.

1. C.3. Ketentuan Pidana

68. Ketentuan Pidana memuat rumusan yang menyatakan pengenaan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah

69. Dalam merumuskan Ketentuan Pidana perlu diperhatikan asas-asas umum dan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Buku I) yang menyatakan bahwa ketentuan dalam buku I berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain.

70. Dalam merumuskan ketentuan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan dampak yang ditimbulkan baik berupa keresahan masyarakat kerugian yang besar atau motif tindak pidana yang dilakukan.

71. Ketentuan Pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu BAB KETENTUAN PIDANA yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum BAB KETENTUAN PERALIHAN. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum BAB KETENTUAN PENUTUP.

72. Jika didalam peraturan perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan (bab per bab), Ketentuan Pidana ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal (-pasal) yang berisi Ketentuan Peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi Ketentuan Peralihan, Ketentuan Pidana dilletakkan sebelum pasal penutup.

73. Pada dasarnya hanya undang-undang, clan peraturan daerah yang dapat memuat Ketentuan Pidana.

74. Jika suatu Undang-undang mendelegasikan pengaturan ancaman pidana kepada peraturan yang lebih rendah, perlu diperhatikan bahwa:

a.    Pendelegasian tersebut hanya dapat diberikan kepada Peraturan Pemerintah ; dan

b.   Undang-undang yang mendelegasikan pengaturan tersebut harus menetapkan jenis serta maksimum ancaman pidana yang dapat dijatuhkan.

75. Jika peraturan Pemeeintah mengatur perbuatan yang jenis dan normanya tidak diatur dalam undang-undang, dan undang-undang menyerahkan kepada Peraturan Pemerintah yang bersangkutan untuk mengatur sendiri jenis ancaman pidana dan norma perbuatan yang dapat dianeam dengan pidana, undang-undang yang bersangkutan harus memuat secara tegas pendelegasian mengenai batas maksimum ancaman pidana yang dapat dijatuhkan.

Contoh :

Pasal 52

Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana Undang-undang ini dapat dicantumkan ancaman pidana penjara paling lama 1(satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 1 .000.000,00 (satu juta rupiah).

76. Ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal (- pasal) yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari :

a.    pengacuan kepada Ketentuan Pidana peraturan perundangundangan lain; lihat juga nomor 83.

b.   pengacuan kepada Kitab Undang-undang Hukum Pidana, apabila norma yang diacu tidak sama dengan atau Unsur-unsurnya; atau

c.   penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di dalam I norma-norma yang diatur dalam pasal-pasal sebelumnya.

77. Jika Ketentuan Pidana berlaku bagi siapa pun, subyek dari Ketentuan Pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang.

Contoh :

Pasal 81

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftiar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah).

78. Jika Ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu dirumuskan Secara tegas , misalnya orang asing, pegawai negeri, saksi.

Contoh :

Pasal 9

Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dimuka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)

79. Ketentuan Pidana hendaknya menyebutkan dengan tegas kualifikasi jenis perbuatan yang dianeam dengan pidana pelanggaran atau kejahatan

Contoh :

BAB V

KETENTUAN PIDANA

Pasal 33

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal …., dipidana dengan pidana kurungan paling lama …. Atau denda paling banvak Rp ….. ,00.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.

80. Ketentuan Pidana harus memperlihatkan apakah pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif atau alternatif.

Contoh :

-                      Sifat Kumulatif :

Setiap orang yang dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang bersifat sadisme, ponografi, dan atau bersifat perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (7) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 ( tiga ratus juta rupiah).

- Sifat alternatif

Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan penyiaran tanpa izin sebagaimana dimaksud dalamn Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau denda paling banyak Rp 800.000.000,0O (delapan ratus juta rupiah).

81. Hindari penyebutan atau pengacuan dalam Ketentuan Pidana yang dapat membingungkan pemakai kareana menggunakan pengertian yang tidak jelas apakah kumulatif atau alternatif.

Contoh :

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14, dipidana dengan pidana kurungan paling lama lama 10 (sepuluh bulan)

82. Jika suatu peraturan peruudang-undangan yang memuat ketentuan pidana akan diberlakusurutkan, Ketentuan Pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.

Contoh :

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan berlaku Surut sejak tanggal 1 Januari l976 kecuali untuk ketentuan pidananya.

83. Ketentuan pidana tindak pidana pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat tidak diatur tersendiri di dalam undang-undang yang bersangkutan, tetapi cukup mengacu kepada Undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana ekonomi (misalnya Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi).

84. Tindak pidana dapat dilakukan oleh individu maupun korporasi. Pidana bagi tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada :

a.    badan hukum, perseroan, perserikatan, atau yayasan;

b.   mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan perbuatan atau kelalaian; atau

c.   kedua-duanya.

1.C.4. Ketentuan Peralihan

85. Ketentuan peralihan memuat penyesuaian keadaan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku agar peraturan perundang- undangan terisebut dapat berjalan lanear dan tidak menimbulkan kegoneangan dalam masyarakat.

86. Ketentuan Peralihan dimuat dalam bab KETENTUAN PERALIHAN dan ditempatkan diantara bab KETENTUAN PIDANA dan bab KETENTUAN PENUTUP, walaupun hanya 1 (satu) pasal Jika dalam perundangundangan tidak diadakan pengelompokknan bab, pasal (-pasal) yang memuat ketentuan peralihan ditempatkan sebelum pasal (-pasal) yang memuat ketentuan penutup.

87.    a. Pada saat suatu peraturan perundang-undangan dinyatakan berlaku, pada peraturan tersebut perlu diatur huhungan hukum dan akibat hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat, maupun sesudah peraturan perundang-undangan yang baru dinyatakan berlaku, atau segala tindakan hukum yang sedang berlangsung atau belum selesai pada saat peraturan perundangundangan yang baru dinyatakan mulai berlaku, untuk menyatakan bahwa tindakan hukum tersebut tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan baru.

         b.   Di dalam perturan perundang-undangan baru, dapat diadakan penyimpanan sementara bagi tindakan hukum, hubungan hukum , dan akibat hukum yang telah ada dengan menyatakan secara tegas dalam Ketentuan Peralihan.

         c.                  Penyimpangan sementara itu berlaku juga bagi ketentuan yang, diberlakusurutkan.

88. Jika suatu peraturan dinyatakani berlaku surut, peraturan tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai status hukum dari tindakan hukum, hubungan hukum, hubungan akibat dan akibat hukum dalam tenggang waktu antara tanggal pengundangan dan tanggal mulai berlaku surut.

Contoh :

Selisih dari tunjangan perbaikan yang timbul akibat Peraturan Pemerintah ini dibayarkan paling lambat 3 (bulan sejak saat tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.

89. Mengingat berlakunya asas-asas umum hukum pidana, penentuan daya laku surut hendaknya tidak diberlakusurutkan bagi ketentuan yang menyangkut pidana atau pemidanaan.

90. Penentuan daya laku surut sebaiknya tidak diadakan bagi peraturan perundang-udangan yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret kepada masyarakat.

91. Penundaan sementara memuat secara tegas dan rinei tindakan hukum, hubungan lhukum, atau akibat hukum yang dimaksud, serta jangka waktu atau syarat-syarat bagi berakhirnya penundaan sementara itu.

Contoh :

Izin ekspor rotan setengah jadi yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah …. Tahun …..masih tetap berlaku untuk jangka waktu 60 tenam puluh) hari sejak tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.

92. Hindari rumusan dalam Ketentuan Peralihan yang isinya memuat perubahan diam-diam atas ketentuan peraturan perundang-undangan izin. Perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan hendaknya dimuat dalam pengertian pada Ketentuan Umum atau dilakukan dengan membentuk peraturan perundang-undangan perubahan.

Contoh rumusan ketentuan peralihan yang harus dihindari

Pasal 35

(1) Desa atau yang disebut dengan nama lainnya yang setingkat dengan Desa yang sudah ada pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini dinyatakan sebagai Desa menurut Pasal 1 huruf a.

1. C.5. Ketentuan Penutup

93. Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir, Jika tidak diadakan pengelompokan bab, Ketentuan Penutup ditempatkan dalam pasal (-pasal) terakhir.

94. Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:

a.    penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan peraturan perundang-undangan;

b.   pernyataan tidak berlaku, penarikan, atau pencabutan peraturan perundang-undangan yang telah ada;

c.   nama singkat ; dan

d.   saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan.

95. Ketentuan penutup dapat memuat pelaksanaan peraturan perundangundangan yang bersifat :

a.    menjalankan teksekutif), misalnya penujukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin, mengangkat pegawai, dan lain-lain.

b.   mengatur (legislatif), misalnya pendelegasian kewenangan untuk membuat peraturan pelaksananan.

96. Bagi nama peraturan perundang-undangan yang panjang dapat dimuat ketentuan mengenai nama singkat (judul kutipan) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a.    nomor dan tahun pengeluaran peraturan yan bersangkutan tidak perlu disebutkan;

b.   nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali jika singkatan atau akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian;

97. Nama singkat hendaknya tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi dan nama peraturan.

Contoh nama singkat yang kurang tepat:

(Undang-undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan)

Undang-undang ini dapat disebut “Undang-undang tentang Karantina Hewan”

98. Hindari memberikan nama peraturan perundang-undangan yang sebenarnya sudah singkat.

Contoh nama singkat yang kurang tepat:

(Undang-Undang tentang Bank Sentral)

Undang-undang ini dapat disebut “Undang-undang tentang Bank Indonesia”.

99. Hindari penggunaan sinonim sebagai nama singkat.

Contoh nama singkat yang kurang tepat :

(Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara)

Undang-undang ini dapat disebut dengan “Undang-Undang tentang Peradilan Administrasi Negara”

100.  a.    Pada dasarnya setiap peraturan perundang-undangan mulai berlaku pada saat peraturan yang bersangkutan diundangkan atau diumumkan.

         b.   Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya peraturan perundang-unndangan yang bersangkutan pada saat diundangkan atau diumumkan hendaknya dinyatakan secara tegas di dalam peraturan yang bersangkutan, dengan:

1) menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku;

Contoh :

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2000.

2) menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada peraturan lain yang tingkatannya sama, jika yang diberlakukan itu kodifikasi, atau oleh peraturan lain yang lebih rendah.

Contoh :

Saat mulai berlakunya Undang-undang ini akan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

         c.   Hindari penggunaan rumusan “Undang-undang ini berlaku efektif atau ditetapkan pada tanggal…..”.

101.  a.    Pada dasarnya saat mulai berlaku peraturan perundangundangan adalah sama bagi seluruh bagian peraturan perundang-undangan dan seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

Contoh :

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

         b.   Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan hendaknya dinyatakan secara tegas dengan :

1)   Menetapkan bagian-bagian mana dalam peraturan perundang-undangan itu yang berbeda saat mulai berlakunya;

Contoh :

Pasal 45

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), (2), (3), dan (4) mulai berlaku pada tanggal…….

2) Menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi wilayah negara tertentu.

Contoh :

Pasal 40

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) mulai berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura pada tanggal ……..

102.  a.    Pada dasarnya saat mulai berlaku peraturan perundangundangan tidak dapat ditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya.

         b.   Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan peraturan perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya (berlaku surut), perlu diperhatikan Hal-Hal sebagai berikut:

1) ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat, sifat maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan.

2) rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan Hukum, dan akibat hukum tertentu yang Sudah ada, perlu dimuat dalam Ketentuan Peralihan.

3) awal dari saat mulai berlaku peraturan perundangundangan sebaiknya ditetapkan tidak lebih dahulu dari saat rancangan peraturan perundang-undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya saat ketika rancangan undang-undang itu disapaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat.

103.  Saat mulai berlakunya peraturan pelaksanaan tidak boleh ditetapkan lebih awal daripada saat mulai berlakunya peraturan yang mendasarinya.

104.  Jika suatu peraturan perundang-undangan tidak diperlukan lagi dan diganti dengan peraturan perundang-undangan baru, peraturan perundang-undangan yang baru harus secara tegas meneabut peraturan perundang-undangan yang tidak diperlukan lagi.

105.  a.    Peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan peraturan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.

         b.   Pencabutan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagaian materi peraturan perundang-undangan lebih rendah yang dicabut itu.

106.  Untuk meneabut peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frasa tidak berlaku.

Contoh :

Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Undang-undang Nomor…..Tahun …… tentang …... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor…….. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …. ) Dinyatakan tidak berlaku.

107. Untuk mencabut peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, gunakan frasa dinyatakan ditarik kembali.

         Contoh :

         Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, undang-undang Nomor….. Tahun…… Tentang ……. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun …. Nomor ……. , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dinyatakan ditarik kembali.

108.  Penghapusan peraturan perundang-undangan hendaknya tidak dirumuskan secara umum. Rumusan harus menyebutkan dengan tegas peranturan perundang-undangan mana yang dihapus

         Contoh :

         Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku :

1.   Ordonansi Perburuan (Jachtordonantie 1931, Staatblad 1931:133);

2.   Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierenbesehermings- Ordonnantie 1931, Staatblad 1931:134);

3.   Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtordonantie Java en Madoera 1940, Staatsblad 1939:733); dan

4.   Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbesehermingsordonantie 1941, Staablad 1941:167);

dinyatakan tidak berlaku;

109.  Penghapusan peraturan perundang-undangan hendaknya disertai pula dengan status dari peraturan pelaksanaan atau keputusan yang Telah dikeluarkan berdasarkan peraturan yang dihapus.

         Contoh :

Pasal 102

Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.

1.D. Penutup

110.  Penutup peraturan perundang-undangana memuat :

a.    rumusan perintah pengundangan dan penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia;

b.   penandatanganan pengesahan atau penetapan peraturan perundang-undangan;

c.   pengundangan atau pengumuman peraturan perundangundangan;dan d. akhir bagian penutup.

111.  Rumusan perintah pengundangan dan penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia berbunyi sebagai berikut:

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan ... (jenis peraturan perundang-undangan)….ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

112.  Rumusan perintah pengundangan dan penempatan peraturan perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia berbunyi sebagai berikut :

         Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan ... (jenis peraturan perundang-undangan)….ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

113.  a.    Penandatanganan pengesahan atau penetapan peraturan perundang-undangan memuat:

1) tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan;

2) nama jabatan;

3) tanda tangan pejabat ;dan

4) nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat

         b.   Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan di sebelah kanan.

         c.   Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma (,).

Contoh untuk pengesahan :

Disahkan di Jakarta

pada tanggal ...

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Tanda tangan

NAMA

Contoh untuk penetapan :

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal…

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

tanda tangan

NAMA

114.  a.    Pengundangan atau pengumuman peraturan perundangundangan memuat :

1) tempat dan tanggal pengundangan atau pengumuman;

2) nama jabatan (yang berwenang mengundangkan atau mengumumkan)

3) tanda tangan; dan

4) nama lengkap pejabat yang menandatangani tanpa gelar dan pangkat.

         b.   Tempat tanggal pengundangan atau pengumuman peraturan perundang-undangan diletakkan sebelah kiri (di bawah penandatanganan pengesahan atau penetapan)

         c.   Nama jabatan dan nama pejabat ditulis lengkap dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma (,)

Contoh :

Diundangkan di ……….

Pada tanggal ……..

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

Tanda tangan

NAMA

115.  a.    Pada akhir bagian penutup di cantumkan Lembaran Negara Republik Indonesia ceserta tahun dan nomor dari Lembaran Negara Republik Indonesia tersebut.

         b.   Penulisan frasa Lembaran Negara Republik Indonesia ditulis seluruhnya dengan huruf capital.

Contoh :

Untuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden (yang bersifat pengaturan)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN……..NOMOR

Contoh

Untuk Peraturan Daerah

LEMBARAN DAERAH PROPINSI (KABU PATEN/KOTAMADYA) DAERAH TINGKAT I (II) …….. TAHUN…….. NOMOR

II. HAL-HAL KHUSUS

II.A. Penjelasan

116.  a.    Setiap undang-undang memerlukan penjelasan.

         b.   Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat memuat penjelasan, jika diperlukan.

117.  Pada dasarnya rumusan penjelasan peraturan perundang-undangan tidak dapat dijadikan sebagai sandaran bagi materi pokok yang diatur dalam batang tubuh. Karena itu, penyesuian rumusan norma dalam batang tubuh harus jelas dan tidak menimbulkan keragu-raguan.

118.  Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Karena itu hindari membuat rumusan norma di dalam bagian Penjelasan.

119.  Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi atas materi tertentu.

120.  Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

121.  Judul penjelasan sama dengan judul peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Contoh :

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 4 TAHUN 1979

TENTANG

KESEHATAN ANAK

122.  Penjelasan peraturan perundang-undangan memuat Penjelasan umum dan Penjelasan pasal demi pasal.

123.  Rincian penjelasan umum dan penjelasan Pasal demi pasal diawali dengan huruf Romawi dan ditulis seluruhnya dengan hurul kapital.

Contoh :

I. UMUM

II. PASAL DEMI PASAL

124.  a.    Penjelasan Umum memuat uraian, sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan peraturan perundang-undangan serta pokok-pokok atau asas dan tujuan yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.

         b.   Bagian-bagian dari Penjelasan Umum dapat diberi nomor dengan angka Arab jika hal ini lebih memberikan kejelasan.

Contoh :

I. UMUM

1. Dasar Pemikiran

……………………………………………………………………..

2. Pembagian Wilayah

…………………………………………………………………….

3. Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan

…………………………………………………………………….

4. Daerah Otonom

…………………………………………………………………….

5. Wilayah Administratif

…………………………………………………………………….

6. Pengawasan

…………………………………………………………………….

125.  Jika dalam Penjelasan Umum dimuat penunjukan ke peraturan perundang-undangan lain atau dokumen lain, hendaknya dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya.

126.  Dalam menyusun Penjelasn Pasal demi Pasal perlu diperhatikan agar penjelasan itu :

a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;

b. tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh ;

c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh ;

d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat didalam ketentuan Umum.

127.  Hindari memberi penjelasan terhadap pasal dalam Ketentuan Umum yang memuat definisi dan kata istilah, atau pengertian, karena pada dasarnya suatu definisi yang baik harus dapat dimengerti orang tanpa memerlukan penjelasan lebih lanjut.

128.  Setiap pasal perlu diberikan catatan penjelasan tersendiri, walaupun terdapat beberapa paisal yang angkanya berurutan yang tidak memerlukan penjelasan.

Contoh yang kurang tepat :

Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 atau Pasal 7 s/d Pasal 9)

Cukup jelas

Seharusnya:

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Cukup jelas

129.  Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan uraian penjelasan bagi Setiap ayat atau butir berbunyi "Cukup jelas” , pasal yang bersangkutan cukup diberi penjelasn “Cukup jelas” tanpa merinci masing-masing ayat atau butir.

130.  Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau butir memerlukan uraian penjelasan yang rinei, setiap ayat atau butir perlu dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai.

Contoh :

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Ayat ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada hakim dan para pengguna hukum.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

II.B. Pendelegasian Kewenangan

131.  Peraturan perundang-undangan dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.

132.  Pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas

a. jenis peraturanperundang-undangan; dan

b. ruang lingkup materi yang diatur.

133.  Jika pengaturan atas materi yang didelegasikan harus diatur langsung di dalam peraturan perundang-undangan pelaksana dan tidak boleh disubdelegasikan, gunakan frasa diatur dengan. Jika pokok-pokok dari materi yang didelegasikan telah diatur didalam peraturan perundangundangan yang mendelegasikan, gunakan frasa diatur lehih lanjut dengan.

134. Jika pengaturan atas materi yang didelegasikan tidak harus diatur langsung di dalam pengaturan perundang-undangan pelaksana, gunakan frasa diatur dengan atau berdasarkan, Jika sebagaian dari pokok-pokok materi yang didelegasikan telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan, gunakan frasa diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan.

135. Dalam pendelegasian kewenangan mengatur, sedapat mungkin dihindari adanya delegasi blanko.

         Contoh “delegasi blanko” :

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

136. Pendelegasian kewenangan mengatur dari undang-undang kepada Menteri atau pejabat yang setingkat dengan Menteri dibatasi untuk peraturan yang sangat bersifat teknis administratif.

137.  Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh undang-undang yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu.

138.  Peraturan perundang-undangan pelaksanaan hendaknya tidak mengulangi ketentuan norma yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan, kecuali jika hal tersebut memang tidak dapat dihindari.

II.C. Penyidikan

139.  Ketentuan penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil departemen atau instansi untuk menyidik pelanggaran tertentu terhadap ketentuan undang-undang atau peraturan daerah.

140.  Ketentuan penyidikan hanya boleh dimuat dalam undang-undang dan peraturan daerah.

141.  Dalam merumuskan ketentuan yang menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik hendaknya diusahakan agar tidak mengurangi kewenangan penyidik umum untuk melakukan penyidikan.

Contoh :

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan………. (departemen atau instansi)... dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini.

142.  Ketentuan penyidik ditempatkan sebelum ketentuan Pidana atau jika dalam Undang-undang atau peraturan daerah tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan pada pasal-pasal sebelum ketentuan pidana.

II.D. Pencabutan

143.  Jika ada peraturan perundang-undangan lama yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan peraturan perundang-undangan baru, peraturan perundang-undangan yang baru harus secara tegas meneabut peraturan perundang-undangan yang tidak diperlukan itu.

144. a. Peraturan perundang-undangan pada dasarnya hanya dapat dicabut melalui peraturan perundang-undangan yang setingkat.

b. Perturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh meneabut perundang-undangan yang lebih tinggi.

c. Pencabutan melalui peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi dilakukan jika peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan kembali seluruh atau sebagaian dari materi peraturan perundangundangan yang lebih rendah yang dicabut itu.

145.  Jika peraturan perundang-undangan baru mengatur kembali suatu materi yang sudah diatur dan sudah diberlakukan, pencabutan peraturan perundang-undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal dalam ketentuan penutup dari peraturan perundang-undangan yang baru, dengan menggunakan rumusan dinyatakan tidak berlaku.

146.  Pencabutan peraturan perundang-undangan yang sudah diundangkan atau diumumkan, tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan dinyatakan ditarik kembali.

147.  Jika pencabutan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan peraturan pencabutan tersendiri, peraturan pencabutan itu hanya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut :

1.   Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya peraturan perundang-undangan yang sudah diundangkan atau diumumkan tetapi belum mulai berlaku.

2.   Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan.

Contoh :

Pasal 1

Undang-undang Nomor...Tahun… tentang...( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…. Nomor ….. ,Tambahan Lembaran Negara Repubik Indonesia Nomor …. dinyatakan tidak berlaku

Pasal 2

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

148.  Pencabutan peraturan perundang-undangan yang menimbulkan perubahan dalam peraturan perundang-undangan lain yang terkait, tidak mengubah peraturan perundang-undangan lain yang terkait tersebut, kecuali ditentukan lain secara tegas.

149.  Peraturan perundang-undangan atau ketentuan yang telah (pernah) dicabut, secara otomatis berlaku (hidup) kembali, meskipun peraturan perundang-undangan yang meneabutnya di kemudian hari dicabut pula.

II.E. Perubahan Peraturan Perundang-undangan.

150.  Perubahan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan :

a. menyisipkan atau menambah materi ke dalam peraturan perundang-undangan; atau

b. menghapus atau mengganti sebagaian materi peraturan perundang-undangan.

151.  Perubahan peraturan perundangan-undangan dapat dilakukan terhadap:

a. seluruh atau sebagaian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau

b. kata, istilah, kalimat, angka, huruf, dan/atau tanda baca,

152.  Jika peraturan perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat, peraturan perundang-undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat peraturan perundang-undangan yang telah diubah.

153.  Pada dasarnya batang tubuh peraturan perundang-undangan perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Romawi.

Contoh :

Pasal I

……………

Pasal II

……………

154.  a.    Pasal I memuat judul peraturan perundang-undangan yang diubah, dengan menyebutkan Lembara Negara dan Tambahan Lembaran Negara yang di letakkan di antara tanda baca kurung ((. . .)) serta memuat materi atau norma yang diubah. Jika materi perubahan lebih dari satu, setiap materi perubahan dirinci dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya).

Contoh :

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor.... Tahun ... tentang … (lembaran Negara Tahun …..Nomor ……; Tambahan Lembaran Negara Nomor ….(diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 6 . . . berbunyi sebagai berikut : . . .

2. Ketentuan Pasal 8. . . berbunyi sebagai berikut : . . .

3. Ketentuan Pasal 11. . . berbunyi sebagai berikut : . . .

4. dan seterusnya...

         b.   Jika Peraturan perundang-undangan telah diubah lebih dari satu kali, pasal I memuat, selain mengikuti ketentuan pada nomor 154 huruf a, juga tahun dan nomor dari peraturan perundang-undangan perubahan yang ada serta Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara yang diletakkan diantara tanda baca kurung ((...)) dan dirinci dengan huruf abjad) kecil a, b, C, dan seterusnya).

Contoh :

Pasal I

Undang-undang Nomor . . . Tahun . . . tentang . . . (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun . . . Nomor . . . Tambahan Lembaran Negara Nomor . . .) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang :

a. Nomor. . . Tahun . . . (Lembaran Negara Tahun . . . Nomor. . . Tambahan Lembaran Negara Nomor ...);

b. Nomor. . . Tahun . . . (Lembaran Negara Tahun . . . Nomor. . . Tambahan Lembaran Negara Nomor ...);

c. Nomor. . . Tahun . . . (Lembaran Negara Tahun . . .Nomor. . . Tambahan Lembaran Negara Nomor ...);

155.  Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku.

156. a. Jika dalam peraturan perundang-undangan ditambahkan atau disisipkan bab, bagian paragraf, atau pasal baru, maka bab , bagian, paragraf, pasal baru tersebur dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan.

         b. Cara penulisan penyisipan bab, bagian, paragraf, atau pasal baru adalah sebagai berikut :

Contoh Penyisipan bab

15.         Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan BAB IX A, sebagai berikut

“BAB IXA

INDIKASI GEOGRAFIS DAN INDIKASI ASAL

Bagian Pertama

Indikasi Geografis

Pasal 79 A

(1) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . .

(2) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . .

(3) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Pasal 79 B

(1) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . .

(2) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . .

Contoh penyisipan pasal

46.    Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 128A yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 128A

Dalam hal terbukti adanya peIanggan Paten hakim dapat memerintahkan hasil-hasil pelanggaran Paten tersebut dirampas untuk negara untuk dimusnahkan.

157.  Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari beberapa ayat disisipkan ayat baru, Penulisan ayat baru tersebut diawali dengan angka Arab sesuai dengan angka ayat yang dilsisipkan dan ditambah dengan huruf kecil a, b, c yang diletakkan di antara tanda baca kurung ((...)).

Contoh :

8.   Diantara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (1a) dan ayat (1b) sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 18

(1) . . . .

(1a) . . . .

(1b) . . . .

(2) . . . .

158.  Jika dalam suatu peraturan perundang-undangan di lakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal atau ayat, maka urutan bab, bagian, paragraf, pasal atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus.

         Contoh :

9.      Pasal 16 dihapus.

10.    Ayat (2) Pasal 18 dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut :

(1) . . .

(2) dihapus

(3) . . .

159.  Jika suatu perubahan mengakibatkan :

a. sistematika peraturan perundang-undangan berubah; atau

b. materi peraturan berubah :

1) lebih dari 50 % (lima puluh persen); atau

2) esensinya,

peraturan perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam peraturan perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.

160.  Jika suatu peraturan perundang-undangan telah sering mempunyai perubahan, tidak termasuk dalam peraturan perudang-undangan sebagaimana dimaksud dalam nomor 159, maka agar tidak menyulitkan pemakainya, peraturan peraturan perundang-undangan perubahan tersebut disusun kembali dalam satu naskah yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri sesuai dengan bidang tugasnya.

161. a. Jika suatu peraturan perundang-undangan telah sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan pengguna peraturan perundang-undangan, sebaiknya peraturan perundang-undangan tersebut diumumkan kernbali menurut bunyi yang baru sesuai dengan perubahan-perubahan yang telah dilakukan dengan mengadakan penyesuai pada :

1) urutan bab, bagian, paragraf, pasal , ayat, angka, atau butir;

2) penyebutan-penyebutan; dan

3) ejaan, jika peraturan perundang-undangan yang diubah masih tertulis dalam ejaan lama.

         b. Pengumuman kembali sebagaimana dimaksud pada butir a dilaksanakan oleh Presiden dengan mengeluarkan suatu penetapan yang berbunyi sebagai berikut

Contoh :

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR . . . TAHUN . . .

TENTANG

PENGUNDANGAN KEMBALI NASKAH

UNDANG-UNDANG NOMOR . . . TAHUN

TENTANG . . .

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang  :       bahwa untuk mempermudah pemahaman materi yang diatur dalam Undang-undang ... Nomor … Tahun tentang Perubahan Undang-undang Nomor … Tahun … tentang, perlu mengumumkan kembali naskah Undang-undang tersebut dengan memperhatikan segala perubahan yang telah diadakan;

Mengingat    :       Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

MEMUMUTUSKAN :

Menetapkan :

KESATU      :       Naskah … (Undang-undang yang diubah) … yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan … (Undang-undang Nomor … Tahun … ) dan setelah diadakan perubahan di dalamnya mengenai urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka dan butir serta penyebutan-penyebutan dan ejaan-ejaannya, berbunyi sebagai tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini.

KEDUA        :       Keputusan Presiden ini dengan Lampirannya ditempatkan dalam Lembaran negara.

KETIGA       :       Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

II.F. Penetapan Perpu menjadi undang-undang.

162.  Batang tubuh Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) menjadi Undangundang pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) pasal , yang ditulis dengan angka Arab.

Pasal 1

Pasal 2

163.  Pasal 1 memuat penetapan Perpu menjadi undang-undang yang dikuti dengan Pernyataan melampirkan Perpu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Undang-undang Penetapan yang bersangkutan.

Contoh :

Pasal 1

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3761) ditetapkan menjadi Undangundang, dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.

164.  Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku

165.  Penyebutan Perpu yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang menggunakan nomor dan tahun penerbitan Perpu itu dengan menyisipkan singkatan Prp.

Contoh :

a.    Perpu Nomor Tahun 1992 (tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan) yang ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang Numor 22 Tahun 1992, disebut secara resmi dengan Undang-undang Nomor I Prp Tahun 1972 (tentang Penangguhan mulai berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan)

b.   Perpu Nomor 1 Tahun 1998 (tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan) yang ditetapkan menjadi Undang-undang oleh undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, secara resmi disebut Undang-undang Nomor I Prp Tahun 1998 (tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan)

II.G. Pengesahan Perjanjian Internasional

166.  Batang tubuh Undang-undang tentang Pengesahan Perjanjian lnternasional pada dasarnya terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab.

Contoh :

Pasal 1

...................

Pasal 2

.....................

167.  Pasal I memuat pengesahan perjanjian internasional dengan memuat pernyataan melampirkan salinan naskah aslinya atau naskah asli bersama dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Contoh 1: untuk perjanjian multilateral

Pasal 1

Mengesahkan Convention on the Prohibition of the lodevelopment, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on Their Destruction, (Konvensi tentang Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, Dan Penggunaan Senjata Kimia Serta Pemusnahannya yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-undang ini,

Contoh 2: untuk perjanjian yang hanya menggunakan dua bahasa

Pasal 1

Mengesahkan Perjanjian Kerjasama Antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (Treaty between the Republik of Indonesia and Australia on Mutual Matters) yang telah di tandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.

Contoh 3: untuk perjanjian bilateral yang menggunakan lebih dari dua bahasa (misalnya Persetujuan antara Republik Indonesia dan Pemerintah Honkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri)

Pasal 1

Mengesahkan Persetujuan Antara Republik Indonesia Dan Pemerintah Hongkong Untuk Penyerahan Pelanggar Hukum Yang Melarikan Diri (Agreement Between the Government of the Republik of Indonesia and the Government of Hongkong for the Surrender of Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1997 di Hongkong yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia , bahasa Inggris, dan bahasa Cina sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

168.  Pasal 2 memuat ketentuan tentang Saat mulai berlaku.

169.  Cara penulisan rumusan Pasal 1 bagi pengesahan perjanjian atas Persetujuan Internasional yang dilakukan dengan Undang-undang berlaku juga bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan Internasional yang dilakukan dengan Keputusan Presiden.

III. RAGAM BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

III.A. Ragam bahasa Perundang-undangan

170.  Bahasa perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, maupun pengejaannya, namum demilkian bahasa perundang-undangan mempunyai Corak yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakian, keserasian, dan ketaatasasan sesuai dengan kebutuhan hukum.

Contoh : Undang-undang Nomor 3 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pasal 33

Suami istri wajib saling cinta mencintai hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Rumusan yang lebih baik :

Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin.

171.  Teknik penulisan peraturan perundang-undangan pada dasarnya mengikuti pedoman penggunaan bahasa Indonesia yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

172.  Dalam merumuskan ketentuan peraturan perundang-undangan digunakan kalimat yang tegas, jelas singkat, dan mudah dimengerti.

Contoh : Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pasal 5

Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalan Pasal 4 ayat (1) Undangundang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : …….

Rumusan yang lebih jelas, berbunyi:

Permohonan beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut : …

173.  Hindarkan penggunaan kata atau frasa yang artinya kurang menentu atau dalam hubungan kalimat kurang jelas.

Contoh :

Minuman beralkohol mempunyai arti yang lebih jelas dibandingkan dengan minuman keras

174. Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi .

Contoh :

6.   Pejabat negara meliputi direksi badan usaha milik negara dan direksi badan usaha milik daerah

175. Untuk mempersempit pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi.

Contoh :

5. Anak buah kapal tidak meliputi koki magang.

176. Hindarkan pemberian arti kepada kata atau frasa yang terlalu menyimpang dari arti yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari.

Contoh :

3. Pertanian meliputi pula perkebunan, peternakan, dan perikanan.

Seharusnya :

3 . Pertanian meliputi pula perkebunan.

177.  Hindarkan pemakaian :

a.    beberapa istilah yang berbeda untuk pengertian yang sama.

Contoh :

Istilah gaji, upah, atau pendapatan digunakan untuk pengertian penghasilan.

b.   satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda

Contoh :

Istilah penangkapan digunakan untuk pengertian penahanan atau pengamanan.

178.  Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, sedapat mungkin hindari penggunaan frasa tanpa mengurangi atau dengan tidak mengurangi atau tanpa menyimpang dari.

179.  Jika kata atau frasa tertentu digunakan berulang-ulang, maka untuk menyederhanakan rumusan peraturan perundang-undangan, kata atau frasa tersebut sebaiknya:

a.    didefinisikan dalam pasal yang memuat arti kata, istilah, atau pengertian.

Contoh :

a.    Menteri adalah Menteri Keuangan.

b.   Komisi Tetap Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Komisi Tetap Pemeriksa adalah . . .

b.   dibuat singkatan atau akronimnya.

Contoh :

a.    Angkatan Bersenjata Republik Indonesia disingkat ABRI

b.   Asuransi Kesehatan menjadi ASKES

180.  Jika karena sesuatu alasan dirasa perlu di dalam peraturan pelaksanaan untuk tencantumkan kembali definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam peraturan yang dilaksanakan rumusan, definsi atau batasan pengertian tersebut hendaknya tidak berbeda dengan rumusan definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam peraturan yang lebih tinggi dilaksanakan.

181.  Jika diperkirakan nama suatu Departemen tidak berubah, penyebutan Menteri dalam Undang-undang, Peraturan Pemerintah, atau Keputusan Presiden sebaiknya menggunakan penyebutan yang didasarkan pada tugas dan tanggung jawab di bidangnya.

Contoh :

Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi ……. (bidang ketenagakerjaan).

182.  Penyerapan kata atau frasa bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frasa tersebut :

a.    mempunyai konotasi yang cocok;

b.   lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia;

c.   mempunyai corak internasional ;

d.   lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau

e.   lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Contoh :

1) Devaluasi (penurunan nilai uang)

2) Devisa (alat pembayaran luar negeri)

183.  Penggunaan kata atau frasa bahasa asing hendaknya hanya digunakan di dalam Penjelasan peraturan perundang-undangan. Kata atau frasa bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam bahasa Indonesia, ditulis miring, dan di letakkan di antara tanda baca kurung ((...)).

Contoh :

a. penghinaan terhadap peradilan (contempt of court)

b. penggabungan (merger)

III.B. Pilihan Kata atau Istilah

184.  Untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman pidana atau batasan waktu digunakan kata paling.

Contoh :

…. di pidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau pidana penjara paling lama 20 (dua Puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

185.  Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan:

a. waktu, gunakan frasa paling singkat atau paling lama

b. jumlah uang, gunakan frasa paling sedikit atau paling banyak;

c. jumlah non-uang, gunakan frasa paling rendah dan paling tinggi

186.  a.    Untuk menyatakan makna “tidak termasuk”, gunakan kata kecuali.

         b.   Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat.

Contoh :

Kecuali A dan B setiap orang Wajib memberikan kesaksian di depan sidang pengadilan

         c.   Kata Kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya kata yang bcrsangkutan.

Contoh :

Yang di maksud dengan anak buah kapal adalah mualim, juru mudi, pelaut, dan koki, kecuali koki magang.

187.  Untuk menyatakan makna termasuk gunakan kata selain

Contoh :

Selain wajib memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 7, Pemohon wajib membayar biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.

188.  Untuk menyatakan makna “pengandaian” atau “kemungkinan”, gunakan kata jika atau frasa dalam hal.

a.    Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan, atau kondisi yang mungkin terjadi lebih dari satu kali.

Contoh :

Jika perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut

b.   Frasa dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan, atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi.

Contoh :

Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua.

189.  Frasa pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di masa depan.

Contoh :

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku , Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 Kitab Undaing-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku.

190.  Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan

         Contoh :

A dan B dapat menjadi ……

191.  Untuk menyatakan sifat alternative, gunakan kata atau

Contoh :

A atau B wajib memberikan ……

192.  Untuk menyatakan sifat alternatif, gunakan frasa dan atau.

Contoh :

A dan atau B dapat memperoleh ……

193.  Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak .

Contoh :

Setiap orang berhak mengemukakan pendapat dimuka umum.

194.  Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga, gunakan kata berwenang.

Contoh :

Presiden berwenang menolak dan mengabulkan permohonan grasi.

195.  Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang atua lembaga, gunakan kata dapat.

Contoh :

Meteri Kehakiman dapat menolak atau mengabulkan permohonan pendartaran paten.

196.  Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib.

Contoh :

Untuk membangun rumah, seseorang Wajib memiliki Izin Mendirikan Bangunan

197.  Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan gunakan kata harus.

Contoh :

Untuk memperoleh Izin Mendirikan Bangunan; seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

198.  Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.

III.C. Teknik Pengacuan

199. Pada dasarnya setiap pasal merupakan satu kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namum untuk menghindari pengulangan rumusan dapat digunakan teknik pengacuan.

200. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari peraturan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau peraturan perundang-undangan yang lain dengan menggunakan frasa sebagaimana dimaksud dalam.

Contoh :

a. …. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2).

b. …. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

201.  Pengacuan ke dua, atau lebih pasal atau ayat yang berumusan tidak perlu menyebutkan Pasal demi pasal atau ayat demi ayat , tetapi cukup dengan menggunakan frasa sampai dengan

Contoh :

a. …. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12.

b. …. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (4).

202.  Pengacuan kedua atau lebih pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan mengikuti ketentuan pada nomor 201, namun menyebutkan juga pasal atau ayat yang dikecualikan itu dengan menggunakan kata kecuali.

Contoh :

a. …. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 berlaku juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1)

b. …. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat sampai dengan ayat (5) berlaku juga bagi tahanan, kecuali ayat (4) huruf a.

203.  Kata “Pasal ini” tidak perlu digunakan jika yang diacu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan.

Contoh :

(3) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 60 (enam puluh) hari.

204.  Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dan pengacuan dimulai dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (jika ada), kemudian dikuti dengan pengacuan ke pasal atan ayat lain tersebut yang dimulai dari pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil.

Contoh :

(4) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 12, dan Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Menteri Pertambangan

215.  Pengacuan sedapat mungkin dilakukan dengan mencantumkan pula secara singkat materi pokok yang diacu.

Contoh :

Izin penambangan batubara sebagaimana dimaksud Pasal 15 diberikan oleh

206.  Pengacuan hanya dapat dilakukan ke peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.

207.  Hindarkan pengacuan ke pasal atau ayat yang letaknya berada sesudah pasal atau ayat dalam peraturan perundang-undangan yang sama.

Contoh :

Pasal 5

Permohonan izin pengelolaan hutan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dibuat dalam rangkap 5 (lima)

208.  Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu dan hindarkan penggunaan frasa pasal yang terdahulu atau pasal tersebut diatas.

209.  Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan peraturan perundangan-undangan yang tidak disebutkan secara rinci, mengunakan frasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

210.  Untuk menyatakan bahwa (berbagai) peraturan pelaksanaan dan suatu peraturan perundang-undangan masih diberlakukan atau dinyatakan berlaku selama belum diadakan penggantian dengan peraturan perundang-undangan yang baru, gunakan frasa tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam …..(jenis peraturan yang bersangkutan).

211.  Jika yang dinyatakan masih tetap berlaku hanya sebagaian dari ketentuan peraturan perundang-undangan , gunakan frasa tetap berlaku, kecuali ...

Contoh :

Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor ….Tahun ….. (Lembaran Negara Tahun …. Nomor …., Tambahan Lembaran Negara Nomor ….) tetap berlaku, kecuali Pasal 5 sampai dengan Pasal 10.

LAMPIRAN II

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor 44 Tahun 1999

Tanggal : 19 Mei 1999

I.    BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG

I.1. RANCANGAN UNDANG-UNDANG

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA   }

NOMOR …. TAHUN ……              } 1 ½ Spasi

TENTANG

(Nama Undang-undang)

} 2 Spasi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA           } 2 Spasi

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 } 3 Spasi

Menimbang : a. bahwa ..................................                        } ½ Spasi

                                                ............................

} 2 Spasi

b. bahwa ..................................                                   } ½ Spasi

} 2 Spasi

c. dan seterusnya ........;

} 2 Spasi

Mengingat :    1. .........................                                          } 1 ½ Spasi

} 2 Spasi

2. . ..........................                                        } 1 ½ Spasi

} 2 Spasi

3. dan seterusnya..........;

                                                } 2 Spasi

Dengan persetujuan

                              } 2 Spasi

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

} 2 Spasi

MEMUTUSKAN:

                                                                        } 2 spasi

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ………….

(Nama Undang-undang)

} 2 Spasi

BAB I

} 2 Spasi

Pasal 1

} 2 Spasi

BAB II

} 2 Spasi

Pasal ….

} 2 Spasi

BAB ……

dan seterusnya …..

} 2 Spasi

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia                                                                       } 1 ½ Spasi

} 3 Spasi

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal

} 1 ½ Spasi

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tanda tangan

} 3 Spasi

NAMA

Diundangkan di Jakarta                                                         } 2 Spasi

Pada tanggal

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA                                         } 1 ½ Spasi

REPUBLIK INDONESIA,

Tanda tangan

} 3 Spasi

NAMA

} 3 Spasi

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

NOMOR

I.2 RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENETAPAN (A)

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR ... TAHUN ….

TENTANG

PENETAPAN BERBAGAI PERATURAN PEMERINTAH

PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ;

b. bahwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ;

c. dan seterusnya . . . .;

Mengingat : 1. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ;

2. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

2.      dan seterusnya . . .

3.       

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan     :  UNDANG-UNDANG NOMOR ……. TAHUN …….. TENTANG PENETAPAN BERBAGAI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANGUNDANG.

Pasal 1

Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang sebagaimana dimuat dalam lampiran Undang-undang ini ditetapkan menjadi Undang-undang .

Pasal 2

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK

INDONESIA.

Tanda tangan

NAMA

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal

MENTERI NEGAR SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA ,

Tanda tangan

NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN……….NOMOR……………

I.3. RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENETAPAN (B) - .7 -

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR ... TAHUN ….

TENTANG

PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

NOMOR……. TAHUN…….. TENTANG………. MENJADI UNDANG-UNDANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ;

b. bahwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ;

c. dan seterusnya . . . .;

Mengingat : 1. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ;

2. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

3. dan seterusnya . . .

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan     :  UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN BERBAGAI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR ……. TAHUN ……...MENJADI UNDANG-UNDANG

Pasal 1

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor …… Tahun ….. tentang ….. (Lembaran Negara Tahun …….. Nomor ….) ditetapkan menjadi Undang-undang yang berbunyi sebagai berikut :.

Pasal 1 (Pasal Perpu)

Pasal 2 (Pasal Perpu)

Dan seterusnya semua Pasal Perpu

Pasal 2

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK

INDONESIA.

Tanda tangan

NAMA

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal

MENTERI NEGAR SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA ,

Tanda tangan

NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN……….NOMOR……………

I.4.    RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR ... TAHUN ….

TENTANG

PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI ………

(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi) ….

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ;

b. bahwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ;

c. dan seterusnya . . . .;

Mengingat : 1. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ;

2. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

3. dan seterusnya . . .

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan     :  UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI ………(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi) ….

Pasal 1

Mengesahkan Convention …… (Konvensi …. bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi) ….yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal …….. dengan persyaratan (reservation) terhadap Pasal ……. Tentang ….. yang salinannya dalam bahasa Inggris serta terjemahannya dalam Bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Pasal 2

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK

INDONESIA.

Tanda tangan

NAMA

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA ,

Tanda tangan

NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN……….NOMOR……………

I.5. RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR ... TAHUN ….

TENTANG

PERUBAHAN ATAS ……..UNDANG-UNDANG

NOMOR……. TAHUN…….. TENTANG……….

(untuk perubahan pertama)

atau

PERUBAHAN KEDUA ATAS ……..UNDANG-UNDANG

NOMOR……. TAHUN…….. TENTANG……….

(untuk perubahan kedua dan seterusnya)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ;

b. bahwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ;

c. dan seterusnya . . . .;

Mengingat : 1. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ;

2. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

3. dan seterusnya . . .

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KE…….UNDANG-UNDANG NOMOR ……. TAHUN ……...TENTANG

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor ……Tahun ….. tentang ….. diubah sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal …. (bunyi rumusan tergantung keperluan)

Pasal II

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

Tanda tangan

NAMA

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA ,

Tanda tangan

NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN….….NOMOR………

I.6. RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR ... TAHUN ….

TENTANG

PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR……. TAHUN……..

TENTANG……….

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ;

b. bahwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ;

c. dan seterusnya . . . .;

Mengingat : 1. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ;

2. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

3. dan seterusnya . . .

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan     :  UNDANG-UNDANG NOMOR ….. TAHUN ………TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR ……. TAHUN ……...TENTANG ……..

Pasal I

Undang-undang Nomor …… Tahun ….. tentang ….. (Lembaran Negara Tahun …….. Nomor ….,Tambahan Lembaran Negara Nomor….) dinyatakan dicabut (bagi Undang-undang yang sudah berlaku) atau dinyatakan ditarik kembali (bagi Undang-undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku).

Pasal II

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK

INDONESIA.

Tanda tangan

NAMA

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal

MENTERI NEGAR SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA ,

Tanda tangan

NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN……….NOMOR………