Jika orang menuntut hak lebih besar daripada kewajiban maka ia akan

Jika orang menuntut hak lebih besar daripada kewajiban maka ia akan

Jika orang menuntut hak lebih besar daripada kewajiban maka ia akan
Lihat Foto

KOMPAS.com/Gischa Prameswari

Ilustrasi hak dan kewajiban harus seimbang dengan tanggung jawab

KOMPAS.com - Pelaksanaan hak dan kewajiban harus dilakukan seimbang dengan diiringi tanggung jawab. Tanpa sikap tanggung jawab, pelaksanaan hak kewajiban tidak bisa berlaku seimbang atau mengakibatkan ketidakadilan bagi satu pihak.

Hak dan kewajiban dilakukan seimbang artinya manusia tidak boleh selalu menuntut haknya terus menerus, dengan mengabaikan atau tidak menjalankan kewajibannya.

Antara hak dan kewajiban harus dilakukan dengan seimbang, yakni melakukan kewajibannya dengan bersungguh-sungguh dan setelah itu bisa menuntut apa yang menjadi haknya.

Menurut Tasum dan Rani Apriani dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (2019), jika pelaksanaan hak dan kewajiban tidak dilakukan secara seimbang, hal ini bisa menimbulkan pelanggaran hak serta pengingkaran kewajiban.

Baca juga: Hak dan Kewajiban Kita terhadap Tumbuhan

Akibatnya kehidupan sosial menjadi kurang harmonis. Hak seseorang dilanggar, sedangkan orang lain tidak mau menjalankan atau bertanggung jawab melaksanakan kewajibannya.

Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanggung jawab merupakan kondisi wajib menanggung sesuatu. Dalam konteks hak dan kewajiban, sikap tanggung jawab diperlukan supaya manusia bisa menjalankan dan tidak meninggalkan kewajibannya.

Alasan hak dan kewajiban harus dilaksanakan seimbang dengan tanggung jawab karena manusia sudah mempunyai porsi hak dan kewajibannya masing-masing. Umumnya kewajiban harus dilakukan terlebih dahulu sebelum mendapatkan hak.

Kita tidak boleh selalu menuntut hak kita, karena hal ini harus diimbangi dengan pelaksanaan kewajiban secara bertanggung jawab. Contohnya untuk mendapatkan uang (hak), kita harus bekerja (kewajiban).

Apabila kita tidak bertanggung jawab dalam melaksanakan hak dan kewajiban dengan seimbang, dikhawatirkan akan timbul ketidakadilan dan ketimpangan.

Ketidakadilan itu berupa hak seseorang dirampas, padahal ia sudah melaksanakan kewajibannya. Sedangkan orang lain tidak mau melaksanakan kewajibannya, tetapi selalu menuntut haknya.

Baca juga: Hak terhadap Hewan Peliharaan dan Contohnya

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

Pertanyaan:

Terdapat seorang pria yang menyewa jasa tenaga beberapa orang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, akan tetapi setelah pekerjaan tersebut ditunaikan orang tersebut tidak memenuhi hak mereka. Apakah dalam kondisi demikian, mereka diperbolehkan mengambil hak mereka secara paksa jika mampu untuk melakukannya atau mengambilnya secara sembunyi-sembunyi jika mereka dalam keadaan lemah. Salah seorang teman kami mendukung perbuatan tersebut karena selaras dengan hadits Hindun yang mengadukan kondisi suaminya yang pelit kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan teman kami tersebut menyatakan bahwa Ibnu Hazm rahimahullah juga berpendapat demikian.

Jawaban:

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه والتابعين لهم بإحسان، أما بعد

Apa yang terkandung dalam pertanyaan di atas dikenal dengan permasalahan azh-zhafr. Para ulama memiliki beberapa pendapat dalam permasalahan ini. Mayoritas ulama berpendapat disunnahkan (dianjurkan) untuk tidak membalas perbuatan buruk dengan keburukan berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dimana beliau menyatakan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أد الأمانة إلى من ائتمنك و لا تخن من خانك

“Tunaikanlah amanah terhadap orang yang memberikan amanah dan janganlah engkau berlaku khianat kepada orang yang mengkhianatimu.” [1]

Adapun dalil yang mendukung disunnahkan untuk tidak membalas keburukan dengan keburukan adalah firman Allah seperti,

 وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa” [Asy Syura: 40].

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوْقِبْتُمْ بِهِ

“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan” [An Nahl: 126].

Pendapat terkuat dalam permasalahan ini adalah pendapat yang menyatakan wajib mengambil harta dari orang tersebut sesuai dengan hak orang yang dizhalimi, baik harta itu sejenis dengan harta yang dizhalimi ataukah tidak sejenis namun harus proporsional, yaitu dengan cara menjual harta tersebut terlebih dahulu baru hak orang yang dizhalimi ditunaikan. Jika ada kelebihan, maka dikembalikan kepada pemilik harta atau ahli warisnya. Jika kurang dari hak orang yang dizhalimi, maka hal itu tetap menjadi tanggungan pihak yang menzhalimi dan statusnya tetap demikian hingga pihak yang dizhalimi merelakan (memaafkan) atau ada pihak lain yang menanggung.

Dalil yang mendukung pendapat ini adalah firman Allah ta’ala

وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ

Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka [Asy Syura: 41].

وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ

Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri [Asy Syura: 39].

وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ

Dan pada sesuatu yang patut dihormati , berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu [Al Baqarah: 194].

Adapun dalil dari hadits seperti sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun, istri Abu Sufyan,

خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف

“Ambillah hartanya yang dapat mencukupi kebutuhanmu dan kebutuhan anakmu secara proporsional” [2]. Beliau memerintahkan demikian karena Hindun berhak memperoleh nafkah dari suaminya.

Selain itu terdapat sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,

إن نزلتم بقوم فأمروا لكم بما ينبغي للضيف فاقبلوا، وإن لم يفعلوا فخذوا منهم حق الضيف

“Jika kalian singgah di suatu kaum, lalu mereka melayani kalian sebagaimana layaknya seorang tamu maka terimalah layanan mereka. Jika mereka tidak melayani kalian, maka kalian boleh mengambil dari mereka hak tamu yang pantas mereka berikan” [3].

Adapun hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu “ولا تخن من خانك” yang disebutkan sebelumnya, jikalau dinilai shahih, maka tidak tepat dijadikan dalil dalam permasalahan ini karena pembalasan yang dilakukan seseorang dalam rangka menuntut haknya tidak dapat dianggap sebagai pengkhianatan. Bahkan hal itu adalah hak dan wajib dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan pengkianatan adalah perbuatan khianat yang diwarnai unsur kezhaliman dan kebatilan, dilakukan oleh seorang yang tidak memiliki hak. Demikianlah yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm azh-Zhahiri dan ash-Shan’ani sejalan dengan pendapat beliau. Ash Shan’ani berkata,

(ويؤيد ما ذهب إليه حديث “أنصر أخاك ظالما أو مظلوما”(4) فإن الأمر ظاهر في الإيجاب و نصر الظالم بإخراجه عن الظلم وذلك بأخذ ما في يده لغيره ظلما)

“Pendapat ini didukung oleh hadits “tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim dan yang dizhalimi”. Perintah dalam hadits ini jelas mewajibkan untuk menolong pelaku kezhaliman dengan mengeluarkannya dari kezhaliman yang dilakukannya dan hal itu dapat terealisasi dengan mengambil harta yang telah diambil dari pihak lain secara zhalim.”

Komentar saya (Syaikh Farkus): Tindakan di atas dapat dilakukan jika tidak menimbulkan kerusakan yang sebanding atau lebih besar daripada maslahat yang ada. Jika menimbulkan kerusakan (yang sebanding atau lebih besar daripada maslahat), maka tindakan tersebut tidak boleh dilakukan berdasarkan kaidah  dar-u al-mafasid aula min jalbi al-mashalih (menolak bahaya lebih diprioritaskan daripada memperoleh manfaat).

Aljazair, 19 Ramadhan 1417 bertepatan dengan tanggal 28 Januari 1997.

www.ferkous.com

Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

__________ 1- أخرجه الترمذي كتاب البيوع ،(1264) و أبو داود (3535) كتاب الإجارة ، باب في الرجل يأخذ حقه من تحت يده، والدارمي كتاب البيوع باب في أداء الأمانة واجتناب الخيانة(2652). من حديث أبي هريرة رضي الله عنه. والحديث صححه الألباني في سلسلة الأحاديث الصحيحة رقم (424). 2- أخرجه البخاري كتاب النفقات، باب إذا لم ينفق الرجل فللمرأة أن تأخذ بغير علمه(5364)، ومسلم كتاب الأقضية، (4574)، وأبو داود، كتاب الإجارة، باب في الرجل يأخذ حقه من تحت يده(3534)، والنسائي في كتاب آداب القضاة، باب قضاء الحاكم على الغائب إذا عرفه(5437)، وابن ماجه: كتاب التجارات، باب ما للمرأة من مال زوجها(2381)، وأحمد (7/60رقم 23597) من حديث عائشة رضي الله عنها. 3- أخرجه البخاري كتاب المظالم باب قصاص المظلوم إذا وجد مال ظالمه(2461)، ومسلم كتاب اللقطة (4613)، وأبو داود كتاب الأطعمة، باب ما جاء في الضيافة(3754) وابن ماجه: كتاب الأدب، باب حق الضيف(3807)، وأحمد ( 5/145) رقم (16894)، من حديث عقبة بن عامر رضي الله عنه.

4- أخرجه البخاري في “المظالم “، باب أعن أخاك ظالما أو مظلوما: (2443)، والترمذي في “الفتن “: (2421)، وأحمد: (13421)، من حديث أنس بن مالك رضي الله عنه، وأخرجه مسلم في “البر والصلة والآداب “، باب نصر الأخ ظالما أو مظلوما (6582) من حديث جابر رضي الله عنه

🔍 Tadabbur Ayat Al Quran, Blog Islam Indonesia, Ayat Alquran Tentang Depresi, Kumpulan Hadits Shahih Bukhari