Jelaskan yang dimaksud dengan hukum positif serta sebutkan hukum positif yang berlaku saat ini

Kata ‘fatwa’ tiba-tiba menjadi pusat perhatian orang di pengujung tahun 2016 hingga awal 2017. Istilah ‘fatwa’ dibahas mulai tingkat bawah hingga para elit; diperdebatkan banyak kalangan dan dibahas dengan melibatkan para pakar hukum tata negara, penegak hukum serta ulama. Nyaris tidak pernah ada perhatian yang demikian besar pada fatwa pada tahun-tahun sebelumnya melebihi apa yang terjadi sekarang.

Besarnya perhatian itu tak lepas dari perkara penodaan agama yang kini disidangkan PN Jakarta Utara serta ucapan petinggi negara. Dalam sidang perkara penodaan agama, Penuntut Umum merujuk pada Sikap dan Pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menguatkan uraian surat dakwaan terhadap terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sebaliknya, tim pengacara Ahok menyebut Sikap dan Pandangan MUI bukan hukum positif.

Dalam ceramahnya di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), 19 Desember 2016, Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga sempat menyebut Fatwa MUI bukan hukum positif yang bisa dijadikan rujukan oleh polisi untuk menjalankan fungsi penegakan hukum. Kapolri bicara dalam konteks fatwa tentang pakaian karyawan Muslim menjelang Natal. Kini, muncul lagi istilah ‘hukum positif’ yang berhubungan dengan fatwa.

Kalau ditelusuri sebenarnya ‘Sikap dan Pandangan’ MUI tidak sama persis dengan ‘Fatwa’ MUI. Fatwa hanya dikeluarkan oleh satu divisi dari organisasi MUI, yaitu oleh Komisi Fatwa. Sedangkan ‘Sikap dan Pandangan’ dikeluarkan oleh lembaga MUI. Karena itu, yang terakhir ini lebih luas pengertiannya dari fatwa. Dan, yang menjadi pokok perdebatan, adalah fatwa. (Baca juga: Kedudukan Fatwa MUI dalam Hukum Indonesia).

MUI bukan satu-satunya lembaga yang selama ini mengeluarkan produk hukum bernama fatwa. Mahkamah Agung juga bisa mengeluarkan fatwa atas permintaan lembaga negara. Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (terakhir diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009) menegaskan MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dengan UU tersebut. Fatwa MA berisi pendapat hukum MA atas sesuatu masalah, yang diberikan atas permintaan lembaga negara. (Baca juga: Kekuatan Hukum Produk-Produk Hukum MA (Perma, SEMA, Fatwa, SKMA).

Pertanyaan awal yang pasti mengemuka: apa sebenarnya arti ‘fatwa’? Dalam bahasa Arab, fatawa diartikan sebagai jawaban atau penjelasan. Dalam setiap fatwa ada  mustafti (peminta fatwa), dan mufti (pemberi fatwa). Dalam bahasa Arab dikenal fata, yaftu, dan fatwan yang berarti muda, baru, penjelasan atau penerangan. Kata mufti berarti orang yang memiliki kekuatan dalam memberikan penjelasan atau penerangan tentang suatu masalah yang dihadapi sebagaimana kekuatan yang dimiliki pemuda pada umumnya.

Lema ‘fatwa’ adalah salah satu contoh serapan dari bahasa Arab, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (versi 2015: 389) lantas diartikan sebagai (i) jawaban (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah; (ii) nasihat orang alim; pelajaran baik, petuah. Kalau disebut ‘memfatwakan’ berarti memberikan fatwa, menasihatkan, memberikan petuah.

Dalam ‘Kamus Hukum’ karya Sudarsono (2009: 127), fatwa diartikan sebagai pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam. Buku Kamus Hukum karya Charlie Rudyat (tanpa tahun: 177), fatwa diartikan sebagai nasehat, petunjuk, atau keputusan yang disampaikan oleh ahli hukum Islam; jawaban terhadap satu pertanyaan yang diajukan pada seorang ahli di bidangnya yang tidak begitu jelas hukumnya. Dalam Kamus Hukum karya Yan Pramadya Puspa (2008: 241), fatwa disebut juga advice karena ia merupakan nasehat, petunjuk atau keputusan yang disampaikan oleh ahli hukum Islam.

Tesaurus Bidang Hukumyang terbitkan Badan Pembinaan Hukum Nasional (2008: 53) menjelaskan fatwa sebagai jawaban, keputusan, keterangan, nasihat, opini, pelajaran, pendapat, petunjuk. Konsep yang relevan adalah fatwa waris.

Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amin, dalam makalahnya “Proses Pembentukan dan Dikeluarkannya Fatwa MUI” (2017), menuliskan fatwa merupakan jawaban terhadap problem dan permasalahan yang dihadapi oleh ummat Islam yang semakin hari semakin bertambah kompleks dan beragam. Fatwa merupakan ‘jalan keluar yang memberikan jawaban keagamaan terhadap permasalahan yang muncul’. (Baca juga: Polemik Status Fatwa, Begini Pandangan MUI).

Lema ‘fatwa’ dipakai dalam perundang-undangan Indonesia. Misalnya dalam istilah ‘fatwa peruntukan tanah’ dalam Pasal 30 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. Penjelasan pasal ini menyebutkan ‘fatwa peruntukan tanah’ (advies planning) adalah suatu keterangan yang memuat lokasi yang dimaksud terhadap lingkungan sekitarnya beserta penjelasan peruntukan tanah dengan perincian  mengenai kepadatan dan garis sempadan bangunan.

Dengan demikian, istilah fatwa ada dalam hukum positif Indonesia sesuai dengan konteksnya. Bahkan fatwa dijadikan sebagai bagian dari konsiderans peraturan perundang-undangan nasional, seperti dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Hukum positif


Istilah hukum positif merujuk pada pengertian hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum). Hukum dalam arti luas tak hanya peraturan perundang-undangan, tetapi juga dapat berupa kebiasaan. Bahkan dalam konteks kaidah sosial yang berlaku dalam masyarakat, dikenal kaidah hukum, kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan. (Baca juga: Arti Ius Constitutum dan Ius Constituendum).

Bagir Manan, dalam bukunya ‘Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik)’, edisi 2004, mengartikan hukum positif (Indonesia) sebagai ‘kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia (hal. 1).

Pengertian ini menekankan frasa ‘pada saat ini sedang berlaku’. Secara keilmuan (rechtwetenschap), pengertian hukum positif diperluas kepada hukum yang pernah berlaku di masa lalu. Secara keilmuan, hukum positif itu memasukkan unsur ‘berlaku pada waktu tertentu dan tempat tertentu’.

Dalam konteks yang lebih sempit Bagir Manan mengartikan hukum positif sebagai hukum yang sedang berlaku atau sedang berjalan, tidak termasuk hukum di masa lalu. Mantan Ketua Mahkamah Agung itu menyimpulkan unsur-unsur hukum positif Indonesia, yakni: (1) pada saat ini sedang berlaku; (2) mengikat secara umum atau khusus; (3) ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan; (4) berlaku dan ditegakkan di Indonesia. Jika hukum keagamaan dianggap sebagai hukum positif artinya hukum dari agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan suatu kebijakan Pemerintah yang mengakui semua sistem keyakinan atau sistem kepercayaan yang oleh pengikutnya dipandang sebagai agama.

Setidaknya, menurut Bagir Manan (2004: 32-33), ada tiga cara menyatakan hukum agama menjadi hukum positif. Pertama, mengakui bahwa hubungan atau peristiwa hukum tertentu berlaku hukum agama. Misalnya, pernyataan bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut agamanya masing-masing (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Kedua, memasukkan atau mentransformasikan asas dan ketentuan agama tertentu ke dalam ketentuan undang-undang. Misalnya, dalam UU Kesejahteraan Anak disebutkan pengangkatan anak tidak memutuskan nasab (hubungan darah dari orang tuanya).

Ketiga, membiarkan hukum agama tertentu berlaku sebagai hukum positif. Misalnya, ketentuan dalam perbankan syariah (UU No. 21 Tahun 2008), atau pada tingkat lokal ada beragam qanun di Aceh. (Baca juga: Pluralisme Hukum di Aceh).

Bahkan menurut Bagir, positivisasi hukum agama bisa juga terjadi karena putusan hakim. Hakim Bismar Siregar, misalnya, dikenal sebagai hakim yang sering mengutip ajaran-ajaran agama para pihak yang bersengketa, dan memuatnya dalam putusan. (Baca juga: Mengenang Bismar: Putusan-Putusan Berona Hati Nurani).

Hukum positif merupakan salah satu bagian hukum, ditinjau menurut waktu berlakunya.  Hukum positif atau bisa dikenal dengan istilah Ius Constitutum yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu. Singkatnya bahwa hukum positif sendiri merupakan hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, dalam suatu tempat tertentu. Tentunya hukum positif yang dianut oleh setiap negara didunia akan berbeda-beda sebagaimana macam-macam hukum publik . Hal tersebut tergantung dari sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan.

Sebagai negara hukum tentunya di Indonesia menganut hukum positif sebagai sistem hukum yang berlaku di indonesia saat ini. Meskipun dimasa lalu terdapat hukum yang berlaku namun, hukum positif yang dimaksud disini tidak mencakup akan hal tersebut. Dalam kajian ini, hukum positif diartikan sebagai aturan hukum yang sedang berlaku atau sedang berjalan, tidak termasuk aturan hukum di masa lalu . Selain unsur “pada saat ini sedang berlaku,” didapati pula unsur-unsur lain dari hukum positif.

Hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini dapat berupa hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis sebagai prinsip-prinsip demokrasi yang ada di indonesia . Baik hukum tertulis maupun tidak merupakan jenis hukum yang berlaku di Indonesia saat ini. Hukum tidak tertulis sebagaimana yang ada salah satu contohnya adalah hukum adat, sedangkan  hukum yang tidak terrulis bukan hanya pidana dan perdata. Untuk merungkasnya lebih jelas, maka berikut Macam Macam Hukum Positif yang berlaku di indonesia.

1. Hukum Pidana

Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya sebagaimana kelebihan demokrasi pancasila . Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya.

Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut:

  • Hukuman mati
  • Hukuman penjara
  • Hukuman kurungan
  • Hukuman denda
  • Hukuman tutupan

2. Hukum Perdata

di Indonesia pada dasarnya bersumber pada Hukum Noapoleon kemudian berdasarkan Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 tentang burgerlijk wetboek voor Indonesie (disingkat BW) atau disebut sebagai KUH Perdata. BW sebenarnya merupakan suatu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang ditujukan bagi kaum golongan warganegara bukan asli yaitu dari Eropa, Tionghoa dan juga timur asing. Namun berdasarkan kepada pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945 dalam prinsip-prinsip demokrasi pancasila , seluruh peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda berlaku bagi warga negara Indonesia (asas konkordasi).

Beberapa ketentuan yang terdapat di dalam BW pada saat ini telah diatur secara terpisah/tersendiri oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya berkaitan tentang tanah, hak tanggungan dan fidusia. Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan Undang-Undang baru berdasarkan Undang–Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda merupakan induk hukum perdata Indonesia. [AdSense-B]

3. Hukum Tata Negara

Hukum Tata Negara pada dasarnya adalah hukum yang mengatur organisasi kekuasaan suatu negara beserta segala aspek yang berkaitan dengan organisasi negara tersebut. Beberapa para ahli kemudian mendefinisikan mengenai pengertian hukum tata negara. Salah satunya adalam menurut Van Vollehoven Hukum Tata Negara adalah Hukum Tata Negara yang mengatur semua masyarakat hukum atasan dan masyarakat Hukum bawahan menurut tingkatannya dan dari masing-masing itu menentukan wilayah lingkungan masyarakatnya. dan akhirnya menentukan badan-badan dan fungsinya masing-masing yang berkuasa dalam lingkungan masyarakat hukum itu serta menentukan sususnan dan wewenang badan-badan tersebut sebagai contoh kasus perlindungan konsumen .

Hukum Tata Negara adalah salah satu cabang ilmu hukum, yaitu hukum kenegaraan yang berada di ranah hukum publik. Hukum tata negara dalam arti luas mencakup baik hukum yang mempelajari negara dalam keadaan diam (staat in rust) maupun mempelajari negara dalam keadaan bergerak (staat in beweging). Definisi hukum tata negara telah dikembangkan oleh para ahli, sehingga tidak hanya mencakup kejian mengenai organ negara, fungsi dan mekanisme hubungan antar organ negara itu, tetapi mencakup pula persoalan-persoalan yang terkait mekanisme hubungan antar organ-organ negara dengan warga negara

4. Hukum Tata Usaha Negara

Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara sebagai contoh kasus hukum eropa kontinental . Hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara dimana negara dalam “keadaan yang bergerak”. Hukum tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit.

5. Peraturan Perundang-Undangan 

Peraturan perundang-undangan, dalam konteks negara Indonesia, adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU No. 12/2011 (yang menggantikan UU No. 10/2004) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan: [AdSense-C]

UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. UUD 1945 adalah produk hukum yang disusun oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan kemudian ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. Pada saat ini UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen (pengubahan) yang dilakukan oleh MPR. Sistematika UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan Batang Tubuh.

Ketetapan MPR atau TAP MPR merupakan produk hukum MPR yang mengikat ke dalam dan ke luar MPR. Contohnya Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan.

  • Undang-undang / Peraturan Pengganti Undang-Undang

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh presiden karna keadaan yang memaksa. Perpu dibuat presiden tanpa harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR, dengan ketentuan sebagai berikut.

Peraturan Pemerintah ditetapkan oleh presiden dengan tujuan menjalankan undang-undang. UUD 1945 Pasal 5 ayat 2 menegaskan bahwa presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Peraturan pemerintah ditetapkan oleh presiden sebagai pelaksana kepala pemerintahan.

Keputusan Presiden adalah keputusan yang ditetapkan oleh presiden. Keputusan Presiden merupakan peraturan yang dibentuk presiden berdasarkan Pasal 4 UUD 1945. Keputusan Presiden dibuat dalam rangka menjalankan UUD 1945, UU, dan PP.

Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten atau kota. Perda termasuk dalam peraturan perundang-undangan karena sejalan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Macam Macam Hukum Positif yang berlaku di indonesia. Tentunya dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi anda. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.