Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.[1] Hak jawab digunakan ketika pemberitaan di media, baik media cetak, media siber, maupun media elektronik, bertolak belakang dengan fakta yang terjadi dan mencemarkan nama baik seseorang atau sekelompok orang.[1] Peraturan tentang hak jawab ini dimuat Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999 dalam pasal 1, pasal 5, pasal 11, dan pasal 15.[2][3][4][5] Selain telah diatur dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, hak jawab juga merupakan bagian dari Kode etik jurnalistik yang harus dipatuhi oleh semua wartawan dan perusahaan media.[1] Berdasarkan pasal 5, sebuah pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.[3] Berdasarkan hal itu pula, pers dan wartawan wajib melayani hak koreksi dan hak jawab secara proporsional.[3][4] Hak jawab memilki fungsi yang sama dengan hak koreksi, yaitu sebagai kontrol sosial masyarakat dimana setiap orang dijamin haknya oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media dan dewan pers dengan berbagai bentuk dan cara dengan adanya hak jawab dan hak koreksi.[5] Hak jawab menjadi tugas dan peran pers nasional dalam memenuhi hak masyarakat terkait pemberitaan media.[1] Hak-hak tersebut diantaranya mencakup tentang hak masyarakat untuk mengetahui, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.[6] Penanggungjawab terhadap pemberitaan yang merugikan pihak lain adalah bidang yang telah ditunjuk oleh pihak pers.[7][8] Kedua bidang tersebut adalah penanggung jawab bidang usaha dan penanggung jawab bidang redaksi.[7][8] Mekanisme pertanggungjawaban yang dilakukan oleh wartawan diambil alih oleh perusahaan pers yang diwakili oleh penanggung jawab itu.[7][8] Hal tersebut sesuai dengan Pasal 12 Undang-undang Pers yang mengatakan bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan.[7][8] Hak jawab dan Hak koreksi tersebut merupakan kewajiban koreksi para pelaku pers sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 13 UU Pers.[7][8] Mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers adalah dengan menggunakan pemenuhan secara sempurna pelayanan hak jawab dan hak koreksi.[7][9] Hal ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara langsung kepada redaksi yang dalam hal ini mewakili perusahaan pers sebagai penanggungjawab bidang redaksi.[9] Pelapor yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan itu harus memberikan data atau fakta yang dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan itu tidak benar.[9] Implementasi pelaksanaan Hak Jawab tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode etik jurnalistik.[9] Dalam peraturan Dewan Pers tentang Kode etik jurnalistik yang telah diperbaharui, menyatakan bahwa wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.[9] Selain itu, pelaksanaan hak jawab dan hak koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers.[9] Hal itu disebutkan dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 pasal 15 ayat 2.[9][5] Salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.[9]
JAKARTA - Rapat Pleno Dewan Pers yang digelar Rabu, (29/10/2008) memutuskan untuk memberlakukan Pedoman Hak Jawab sebagai peraturan yang berlaku bagi pers Indonesia. Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA., telah menandatangani Pedoman tersebut dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab. Keputusan ini diambil menyusul telah disetujuinya Pedoman Hak jawab oleh perwakilan masyarakat dan komunitas pers dalam pertemuan yang digelar Dewan Pers di Jakarta, Rabu, (29/10/2008). Pedoman Hak Jawab memuat 17 poin. Penyusunannya dimulai sejak April 2008. Sebelah kali pertemuan digelar untuk menampung masukan, membahas draft, dan akhirnya mengesahkannya. Ketua Dewan Pers mengakui sulitnya merumuskan Pedoman Hak Jawab karena persoalannya kompleks. “Persoalan ini sangat rumit. Padahal kita tahu Hak Jawab ini hal penting sebagai ukuran salah satu cara mengekspresikan kebebasan pers,” katanya. Berikut ini Pedoman Hak Jawab secara lengkap: PEDOMAN HAK JAWAB Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud dari kedaulatan rakyat berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia. Kemerdekaan pers perlu dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Pelaksanaan kemerdekaan pers dapat diwujudkan oleh pers yang merdeka, profesional, patuh pada asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta Kode Etik Jurnalistik. Dalam menjalankan peran dan fungsinya, pers wajib memberi akses yang proporsional kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi memelihara kemerdekaan pers dan menghormati Hak Jawab yang dimiliki masyarakat. Untuk itu, Pedoman Hak Jawab ini disusun:
Sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers yang tidak melayani Hak Jawab selain melanggar Kode Etik Jurnalistik juga dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Jakarta, 29 Oktober 2008
|