Show Ilustrasi infrastruktur KOMPAS.com - Kebijakan Indonesia dalam masalah ekonomi terus dilakukan dan dikembangkan. Hal ini untuk menjaga stabilitas makroekonomi. Dilansir dari situs resmi Bank Indonesia, untuk menjaga stabilitas makroekonomi diperlukan dua kebijakan penting, yaitu:
Kombinasi kebijakan tersebut didukung partisipasi swasta secara aktif. Diyakini mampu mengatasi berbagai permasalahan dalam perekonomian Indonesia seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial ekonomi. Kebijakan IndonesiaTerdapat lima kesepakatan kebijakan yang konsisten dan bersinergi, yaitu: Mendorong percepatan infrastruktur akan mendukung tumbuhnya sektor-sektor ekonomi. Upaya pembangunan infrastruktur dan pengembangan sektor ekonomi potensial juga memerlukan adanya keselarasan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Baca juga: Ekonomi Makro di Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Bisnis Peningkatan peran proaktif dari pemerintah daerah untuk memperbaiki infrastruktur di daerah juga diperlukan. Hal tersebut dilakukan melalui:
Mendorong berkembangnya sektor ekonomi potensial daerah sebagai sumber pertumbuhan baru yang disesuaikan dengan karakter daerah.
Mendorong berkembangnya sektor industri berdaya saing tinggi. Selain pengembangan infrastruktur fisik juga dilakukan upaya sebagai berikut:
Pengembangan sektor pertanian difokuskan pada upaya meningkatkan nilai tambah hasil produksi pertanian. Dengan beberapa cara sebagai berikut: Baca juga: Ekonomi Makro: Pengertian, Tujuan, dan Ruang Lingkupnya Memperkuat kelembagaan petani melalui pengembangan corporate farming. Sehingga agroindustri-agrobisnsis berkembang.
Habibie menerbitkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter dan membawa perekonomian Indonesia ke masa kebangkitan. Kurs rupiah juga menguat dari sebelumnya Rp 16.650 per dollar AS pada Juni 1998 menjadi Rp 7.000 per dollar AS pada November 1998. Pada masa Habibie, Bank Indonesia mendapat status independen dan keluar dari jajaran eksekutif. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay Mantan Presiden BJ Habibie menghadiri pembukaan Sidang Tahunan MPR Tahun 2017 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8). Sidang tersebut beragendakan penyampaian pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo tentang kinerja lembaga-lembaga negara. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww/17. Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Gus Dur menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Pemerintah membagi dana secara berimbang antara pusat dan daerah. Kemudian, pemerintah juga menerapkan pajak dan retribusi daerah. Meski demikian, ekonomi Indonesia pada 2001 tumbuh melambat menjadi 3,64 persen. Kompas/Agus Susanto Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (kanan) tertawa ketika berbincang bersama Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) KH Cholil Bisri dalam Musyawarah Pimpinan Partai Kebangkitan Bangsa di Hotel Kartika Chandra Jakarta, Senin (10/6). Megawati Soekarnoputri (2001-2004)
Kemudian, pada 2003, ekonomi tumbuh menjadi 4,78 persen. Di akhir pemerintahan Megawati pada 2004, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03 persen. Tingkat kemiskinan pun terus turun dari 18,4 persen pada 2001, 18,2 persen pada 2002, 17,4 persen pada 2003, dan 16,7 persen pada 2004. "Saat itu mulai ada tanda perbaikan yang lebih konsisten. Kita tak bisa lepaskan bahwa proses itu juga dipengaruhi politik. Reformasi politik juga mereformasi ekonomi kita," kata Lana. Perbaikan yang dilakukan pemerintah saat itu yakni menjaga sektor perbankan lebih ketat hingga menerbitkan surat utang atau obligasi secara langsung. Saat itu, kata Lana, perekonomian Indonesia mulai terarah kembali. Meski tak ada lagi repelita seperti di era Soeharto, namun ekonomi Indonesia bisa lebih mandiri dengan tumbuhnya pelaku-pelaku ekonomi. ALIF ICHWAN Presiden Megawati Soekarnoputri memberikan sambutan dalam rangka acara halal bi halal keluarga besar Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) dengan masyarakat sekitanya, di kediaman Presiden di Jalan Kebagusan Besar IV No 45, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Minggu (22/12/2002). Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)
Pada 2006, pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit melambat jadi 5,5 persen. Di tahun berikutnya, ekonomi Indonesia tumbuh di atas 6 persen, tepatnya 6,35 persen. Lalu, pada 2008, pertumbuhan ekonomi masih di atas 6 persen meski turun tipis ke angka 6,01 persen. Saat itu, impor Indonesia terbilang tinggi. Namun, angka ekspor juga tinggi sehingga neraca perdagangan lumayan berimbang. Pada 2009, di akhir periode pertama sekaligus awal periode kedua kepemimpinan SBY, ekonomi Indonesia tumbuh melambat di angka 4,63 persen.
Perlambatan tersebut merupakan dampak krisis finansial global yang tak hanya dirasakan Indonesia tetapi juga ke negara lain. Pada tahun itu, Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga yang membuat harga komoditas global naik. "Saat Bank Sentral AS menarik dana dari publik, tidak injeksi lagi, harga komoditas melambat lagi. Kita mulai keteteran," kata Lana. "Ekspor kita memang tinggi, tapi impornya lebih tinggi," tambah dia. Meski begitu, Indonesia masih bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi walaupun melambat. Pada tahun itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masuk tiga terbaik di dunia. Lalu, pada 2010, ekonomi Indonesia kembali tumbuh dengan capaian 6,22 persen. Pemerintah juga mulai merancang rencana percepatan pembangunan ekonomi Indonesia jangka panjang. Pada 2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,49 persen, berlanjut dengan pertumbuhan di atas 6 persen pada 2012 yaitu di level 6,23 persen. Namun, perlambatan kembali terjadi setelah itu, dengan capaian 5,56 persen pada 2013 dan 5,01 persen pada 2014. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyampaikan konferensi persnya di Istana Negara, Jakarta, Senin (8/10/2012). Dalam kesempatan tersebut Presiden menegaskan bahwa penanganan kasus Simulator SIM di Korlantas Mabes Polri, yang melibatkan Irjen (Pol) Djoko Susilo, sepenuhnya ditangani KPK, penanganan kasus penyidik KPK, Novel Baswedan, dan rencana revisi UU KPK, ditangguhkan karena waktunya tidak tepat. Joko Widodo (2014-2019)PADA masa pemerintahannya, Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa Jokowi merombak struktur APBN dengan lebih mendorong investasi, pembangunan infrastruktur, dan melakukan efisiensi agar Indonesia lebih berdaya saing. Namun, grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia selama empat tahun masa pemerintahan Jokowi terus berada di bawah pertumbuhan pada era SBY. Pada 2015, perekonomian Indonesia kembali terlihat rapuh. Rupiah terus menerus melemah terhadap dollar AS. Saat itu, ekonomi Indonesia tumbuh 4,88 persen. "Defisit semakin melebar karena impor kita cenderung naik atau ekspor kita yang cenderung turun," kata Lana. Di era Jokowi kata Lana, arah perekonomian Indonesia tak terlihat jelas. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) seolah hanya sebagai dokumen tanpa pengawasan dalam implementasinya. Dalam kondisi itu, tak diketahui sejauh mana RPJMN terealisasi. Ini tidak seperti repelita yang lebih fokus dan pengawasannya dilakukan dengan baik sehingga bisa dijaga. Pada 2016, ekonomi Indonesia mulai terdongkrak tumbuh 5,03 persen. Dilanjutkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,17. ANTARA FOTO/ABRIAWAN ABHE Presiden Joko Widodo memperhatikan turbin kincir angin usai meresmikan Pembangkit Listirk Tenaga Bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Senin (2/7/2018). Presiden Joko Widodo meresmikan PLTB dengan kapasitas 75 megawatt yang akan membantu pasokan listrik di Wilayah Sulselbar dengan kekuatan putaran 30 buah turbin kincir angin. Berdasarkan asumsi makro dalam APBN 2018, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomis 2018 secara keseluruhan mencapai 5,4 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2018 ternyata tak cukup menggembirakan, hanya 5,06 persen. Sementara pada kuartal II-2018, ekonomi tumbuh 5,27 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hanya ada sedikit perbaikan dibandingkan kuartal sebelumnya. Pada Senin (5/11/2018), BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2018 sebesar 5,17 persen, malah melambat lagi dibandingkan kuartal sebelumnya. Untuk kuartal IV-2018, pertumbuhan ekonomi diprediksi meleset dari asumsi APBN. Bank Indonesia, misalnya, memprediksi pertumbuhan Indonesia secara keseluruhan pada 2018 akan berada di batas bawah 5 persen. Namun, fakta mendapati, ekonomi Indonesia pada 2018 tumbuh 5,17 persen. Ini menjadi pertumbuhan ekonomi tertinggi di era Jokowi. Konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama dengan porsi 5,08 persen. Baca juga: Ekonomi 2018 Tumbuh 5,17 Persen, Tertinggi di Era Jokowi Pada 2018, investasi menyumbang porsi 6,01 persen bagi pertumbuhan ekonomi, ekspor 4,33 persen, konsumsi pemerintahan 4,56 persen, konsumsi lembaga non-rumah tangga 10,79 persen, dan impor 7,10 persen. Total PDB pada 2018 tercatat Rp 56 juta atau 3.927 dollar AS memakai kurs saat itu. Tahun pemilu, 2019, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi 5,02 persen. Perang dagang AS-China, tensi geopolitik Timur Tengah, dan harga komoditas yang fluktuatif dituding sebagai penyebab penurunan kinerja ekonomi ini dibanding capaian pada 2018. "Saya pikir angka 5,02 (persen) dengan pelemahan pada 2019 ini cukup baik," kata Suhariyanto di Gedung BPS, Jakarta, Rabu (5/2/2020). Baca juga: Turun, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2019 Hanya 5,02 Persen. Konsumsi rumah tangga memberi andil 2,73 persen pada kinerja ekonomi 2019, sementara investasi menyumbang 1,47 persen. PDB Indonesia pada 2019 tercatat Rp 59,1 juta atau setara 4.175 dollar AS memakai kurs saat itu. |