Loading Preview Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above. Masa Rasulullah saw merupakan periode pembinaan aqidah dan peraturan-peraturan dengan prinsip kesatuan umatdan kedaulatan Islam. Segala masalah yang kabur dikembalikan langsung kepada Rasulullah saw sehingga berhasil menghilangkan perpecahan antara ummatnya. Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil, sebagaimana telah terjadi dlam agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah swt dan RasulNya serta menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan.
Allah swt berfirman dalam QS. al-Anfal ; 46, yang artinya: "Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar".
Dan QS. Al-Maidah; 15, yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)". "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk". Dengan demikian Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi penengahnya. Masa permulaan khalifah Islam khususnya khalifah pertama dan kedua, Ilmu Tauhid masih tetap seperti masa Rasulullah SAW,. Hal ini disebabkan kaum muslimin tidak sempat membahas dasar-dasar aqidah dimaksud. Waktu semuanya tersita untuk menghadapi musuh, mempererat persatuan dan kesatuan umat. Kaum muslimin tidak mempersoalkan bidang aqidah, mereka membaca dan memahami Al Quran tanpa takwil, mengimani dan mengamalkannya menurut apa adanya. Menghadapi ayat-ayat mutasyabihat segera mereka imani dan menyerahkan pentakwilannya kepada Allah swt sendiri. Masa khalifah ke tiga, Usman bin Affan, mulai timbul kekacauan yang berbau politik dan fitnah, sehingga Usman sendiri terbunuh. Usman Islam pecah berpuak-puak dengan pandangan sendiri. Untuk mendukung pandangan mereka tanpa segan mereka menakwilkan ayat-ayat suci dan Hadits Rasulullah SAW. Malahan ada diantara mereka menciptakan hadits-hadits palsu. Sejarah mencatat bahwa ketika Rasulullah SAW wafat, orang begitu sibuk mencari pengganti beliau sebagai pemimpin pemerintahan (sebagai Nabi dan Rasul tentu saja tidak bisa digantikan). Kesibukan dan pencurahan perhatian mencari khalifah (pengganti) Muhammad itu sedemikian rupa sehingga melalaikan mereka dari pemakaman Rasul sendiri. Hal ini disebabkan karena kawasan Islam pada saat itu sudah cukup luas, meliputi seluruh jazirah Arabia dan telah memperlihatkan potensi pengembangan yang lebih jauh lagi. Maka masalah kepemimpian menjadi sangat penting. Akhirnya Abu Bakar yang terpilih. Meskipun khalifah pertama ini dipilih dengan aklamasi formal, namun pasti ada yang tidak sepenuhnya rela hati. Pada waktu Abu Bakar meninggal, beliau digantikan oleh Umar bin Khattab, khalifah yang sangat kreatif dalam mengembangkan hukum maupun tata pemerintahan. Banyak kebijaksanaan Umar yang sesungguhnya kontroversial akan tetapi dengan dukungan wibawanya yang tinggi, orang mengikutinya dengan patuh. Ketika meninggal, Umar bin Khattab digantikan oleh Utsman bin Affan, seorang yang saleh dan berilmu tinggi. Sebagai anggota keluarga pedagang Makkah yang cukup terkemuka, Utsman memiliki kemampuan administratif yang baik, tetapi lemah dalam kepemimpinan. Beliau banyak melanjutkan kebijaksanaan Umar namun tanpa wibawa tinggi seperti Umar. Kelemahan Utsman yang mencolok dan mengakibatkan ketidaksenangan kepada beliau adalah ketidak-mampuan mencegah ambisi di lingkungan keluarganya untuk menempati kedudukan-kedudukan penting di lingkungan pemerintahan. Akibatnya banyak orang yang tidak senang. Lalu ada lagi orang-orang yang menggunakan kesempatan untuk mengipas-ngipas guna memperoleh keuntungan pribadi. Di Mesir, penggantian gubernur yang diangkat Umar bin Khattab, yakni Umar Ibnu Al Ash dengan Abdullah ibnu Sa'd, salah seorang keluarga Utsman, mengakibatkan pemberontakan. Mereka mengerahkan pasukan menyerbu Madinah dan berhasil membunuh Khalifah. Peristiwa pembunuhan Khalifah ini dikenal sebagai Al Fitnatul Kubro yang pertama. Ketika Utsman wafat, musyawarah para pemimpin kelompok dan suku menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Tetapi kemudian beliau ditentang oleh beberapa pihak, antara lain oleh Tholhah dan Zubeir, yang dibantu oleh Aisyah isteri Rasulullah SAW. Penentangan timbul terutama karena Ali dianggap tidak tegas dalam mengadili pembunuh Utsman. Tentara gabungan pimpinan Tholah, Zubeir dan Aisyah dikalahkan dengan telak. Tholhah dan Zubeir terbunuh, sedang Aisyah yang tertangkap kemudian dikirimkan kembali ke Madinah. Tentangan kedua datang dari Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Damaskus yang masih keluarga Utsman. Dia menuntut Ali agar segera mengadili para pembunuh khalifah ketiga itu. Beberapa waktu kemudian, ketika tuntutannya tidak dipenuhi dia malahan menuduh Ali turut serta dalam pembunuhan tersebut. Apalagi ketika salah seorang pemimpin pemberontakan yaitu Ibnu Abi Bakr, kemudian malahan diangkat sebagai Gubernur Mesir. Dalam pertempuran yang terjadi di Shiffin, Ali bin Abi Thalib yang merupakan pemimpin militer yang andal, dapat mendesak tentara Mu'awiyah. Tetapi pada saat kritis itu tangan kanan Mu'awiyah yang bernama Amr ibnu Al As minta berunding dengan mengangkat Kitab Al Qur’an ke atas. Permintaan itu diterima oleh Ali dengan tulus. Maka Amr ibnu Al As sebagai perunding kelompok Mu'awiyah yang seorang ahli diplomasi dapat mengalahkan Abu Musa Al Asy'ari yang mewakili pihak Khalifah Ali di meja perundingan. Peristiwa itu megecewakan sebagian dari pendukung Ali. Mereka sangat menyesalkan kesediaan Ali untuk menyelesaikan perselisihan melalui perundingan. Kelompok ini kemudian menyatakan memisahkan diri dari Ali bin Abi Thalib dan menamakan dirinya Khawarij (orang yang keluar). Hasil perundingan tersebut jelas merugikan Ali sebagai khalifah yang resmi karena harus mengundurkan diri bersama-sama Mu’awiyah, sedangkan Mu’awiyah sendiri ternyata tidak menepati kesepakatan. Maka beliau tidak mau meletakkan jabatan dan menghadapi dua front, yakni Mu'awiyah di satu pihak dan Khawarij di pihak lain. Tentara Ali menghadapi Khawarij terlebih dahulu dan dapat menghancurkannya. Namun mereka sudah menjadi lemah dan tidak mampu lagi meneruskan pertempuran dengan Mu'awiyah. Akhirnya beliau bahkan terbunuh pada tahun 661 M oleh seorang anggota Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam. (Peristiwa ini dikenal dengan istilah Al FitnatulKubro yang kedua).
|