Jelaskan nilai PENDIDIKAN yang dapat kalian ambil dari cara dakwah para walisongo brainly

Menyongsong Dies Natalis UIN Walisongo ke-48

MENELADANI PERAN WALISONGO DALAM KEKINIAN

Oleh Fatah Syukur

Selamat untuk civitas akademika UIN Walisongo.Tepat tanggal 6 April 2018 ini, Universitas Islam Negeri Walisongo, yang semula Institut Agama Islam Negeri Walisongo genap berusia 48 tahun. Di usia yang hampir setengah abad ini UIN Walisongo memiliki mahasiswa lebih dari 15 ribu dengan delapan fakultas. Acara peringatan Dies Natalis ke-48 ini akan diselenggarakan di Aula Kampus III hari Kamis besuk dan akan dihadiri oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, yang juga alumni IAIN Sunan Ampel, Dr. (HC) Imam Nahrowi, S.Ag, M.Si.

Tradisi UIN Walisongo dua tahun terakhir ini, setiap peringatan Dies, telah diawali dengan ziarah ke makam para Walisongo. Saya tidak membahas, apakah ziarah ke makam Walisongo itu perbuatan syirik, bida’ah atau boleh. Tetapi sebagai sebuah institusi yang menyandang nama Walisongo sudah seharusnya civitas akademika di kampus ini harus memahami, bahkan meneladani dan mengambil ibrah dari nama yang disandangnya. Kalau IAIN atau UIN yang lain mengambil salah satu dari nama Walisongo, tetapi untuk UIN Semarang justru mengambil nama kesemuanya, “Walisongo”. Itu artinya karakteristik para wali di Jawa ini ada di kampus Walisongo.

Habib Luthfi mantan Ketua MUI Jawa Tengah sering mengatakan, bagaimana mungkin bangsa ini memiliki kebanggaan dan semangat mempertahankan NKRI, sementara generasi muda kita tidak tahu sejarah dan perjuangan para pendahulu dan pendiri negara ini. Oleh karena itu tepat sekali momentum Dies Natalis UIN Walisongo disertai dengan ziarah makam Walisongo, untuk menyegarkan ingatan civitas akademika tentang sosok dan peran para wali tersebut dalam penyebaran ajaran Islam rahmatan lil’alamin yang membumi di bumi pertiwi ini.”Walisongo” berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.

Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.

Kepiawaian para Wali dalam berdakwah membuat masyarakat nusantara yang majemuk tetap dapat hidup harmonis. Contoh dakwah yang sukses mengajarkan Islam dengan damai adalah contoh berdakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus. Pada masa itu umat Hindu menganggap bahwa lembu adalah binatang paling keramat, sehingga timbullah ide untuk menghias lembu tersebut sehingga menjadi istimewa. Masyarakat ketika itu langsung datang berbondong-bondong menyaksikan lembu yang sudah dihiasi oleh Sunan Kudus. Maka pada saat itu juga Sunan Kudus berdakwah kepada masyarakat sekitar dan akhirnya dari rasa simpati inilah masyarakat akhirnya dapat diislamkan. Kalaupun masyarakat Kudus tidak suka menyembelih sapi, itu tidak berarti ajaran Sunan Kudus supaya mengkultuskan sapi, tetapi lebih sebagai rasa toleransi terhadap pemeluk Hindu waktu itu yang mempercayai sapi sebagai dewanya.

UIN Walisongo dengan visinya, “Universitas Islam Riset Terdepan Berbasis pada Kesatuan Ilmu Pengetahuan untuk Kemanusiaan dan Peradaban Pada Tahun 2038” adalah sangat tepat untuk mengemban amanat “Walisongo”. Kajian tentang siapa, apa, bagaimana, mengapa, dimana dll tentang Walisongo masih sangat terbuka luas. Kajian yang ada selama ini lebih dominan sebagai sebuah cerita, belum ada kajian yang lebih serius dan mendalam. UIN Walisongo seharusnya memiliki pusat kajian itu, sehingga para peneliti dan pemerhati sejarah Islam khusus tentang perkembangan Jawa dapat mengakses dari sini.

Walaupun sosok Walisongo terdapat beberapa versi, namun dari “petilasannya” dapat tergambarkan betapa para Wali itu adalah orang-orang yang sholeh dan memiliki peran utama dalam berjuang untuk bangsa dan agama. Ini terlihat dari besar kunjungan para peziarah setiap harinya, dan ini berarti potensi ekonomi yang sangat besar. Dalam istilah Habib Luthfi dikatakan, “orang yang sudah meninggal saja masih bisa memberi penghidupan kepada yang masih hidup, sementara kita yang masih hidup belum tentu dapat memberikan penghidupan kepada yang hidup”.  Sangat kecil kemungkinannya orang yang tidak sholeh diziarahi oleh orang-orang yang sholeh.

Belum lagi kalau berziarah ke makam Sunan Gunung Jati, ternyata bukan hanya orang Islam saja yang hadir di sana, akan tetapi dari pemeluk agama lain juga ada. Dan mereka rukun, tidak saling mencela dalam berdoa. Sekali lagi, “orang yang sudah meninggal bisa mendamaikan rukun orang-orang yang hidup dan berbeda agama”. Sungguh ini merupakan perjuangan para wali dalam membangun kemanusiaan dan peradaban.

Tantangan Global

UIN Walisongo sebagaian bagian dari Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Karena itu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) secara keseluruhan juga tidak bisa mengisolasikan diri dari perubahan paradigma, konsep, visi dan orientasi baru pengembangan pendidikan tinggi/Perguruan Tinggi nasional, dan bahkan internasional. Sebab kalau tidak, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) akan ditinggalkan oleh masyarakat karena tidak akomodatif terhadap perubahan dan cepat menjadi usang.

Dalam konteks ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, kajian ulang terhadap Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) menjadi keniscayaan dan semakin menemukan momentumnya dengan terjadinya krisis moneter, yang disusul krisis ekonomi, politik, sosial, moral dan maraknya berita-berita hoak di berbagai media sosial. Semua krisis ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan mendalam dari kalangan masyarakat akademik, tetapi juga merata pada semua lapisan masyarakat dengan berbagai ragam latar belakang pendidikan, profesi dan tingkat kesejahteraan. Namun yang tak kalah penting dari semua itu adalah semakin merosotnya efektivitas dan efisiensi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) dalam menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang memiliki kompetensi yang memiliki daya saing yang andal dan tangguh dalam zaman globalisasi yang penuh tantangan.

Pengembangan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), juga harus dilihat dalam konteks perubahan yang terjadi begitu cepat, masif dan kadang tanpa kompromi. Pengembangan tersebut baik pada ranah ideal-normatif-ideologis maupun pada ranah ideal-historis-sosiologis, sehingga Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) disamping mampu membumikan dan menunaikan pesan-pesam Ilahiah juga mampu menjawab kebutuhan pragmatis masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi, pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) harus pula mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi dan politik nasional dan global. ***

Prof. Dr. H. Fatah Syukur, M.Ag. Senator UIN Walisongo Semarang dan Wakil Dekan Bidang Akademik FITK UIN Walisongo Semarang

Jelaskan nilai PENDIDIKAN yang dapat kalian ambil dari cara dakwah para walisongo brainly

Wali Songo memiliki peran yang sangat signifikan dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara, utamanya. Bagaimana tidak, selama tujuh abad lamanya –sejak abad ke-7 hingga ke-14- Islam ‘tertolak’ di wilayah Jawa. Namun pada saat akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15, hampir semua masyarakat di pesisir pantai utara Jawa sudah memeluk Islam. Tidak lain itu diyakini sebagai hasil dakwah dari Wali Songo. 

Oleh sebab itu, ada penilaian kalau dakwah Wali Songo adalah dakwah yang paling sukses dan berhasil karena mampu mengislamkan masyarakat Jawa. Yang tidak kalah menarik, perubahan masyarakat Jawa, dari agama sebelumnya –Hindu, Budha, Kapitayan, dan lainnya, menjadi Muslim, hanya berlangsung sekitar 50 tahunan. Lagi-lagi, itu merupakan hasil dari kecanggihan dan kejeniusan dakwah Wali Songo.

Lantas, bagaimana ada apa strategi dakwah yang dilakukan Wali Songo sehingga membuahkan hasil yang gemilang seperti itu? Dalam buku Islam Indonesia, Islam Paripurna: Pergulatan Islam Pribumi dan Islam Transnasional (Imdadun Rahmat, 2017), setidaknya ada lima pendekatan dakwah yang digunakan Wali Songo. 

Pertama, pendekatan teologis. Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Ampel adalah yang menggunakan pendekatan ini. Mereka berdakwah bahkan hingga ke tingkat lapisan masyarakat paling bawah (waisya dan sudra) saat itu. Masyarakat diajari tentang nilai-nilai Islam, perbedaan antara pandangan hidup Islam dengan yang lainnya, dan menanamkan dasar-dasar Islam.

Kedua, pendekatan ilmiah. Tidak seperti dua sunan sebelumnya, Sunan Giri berdakwah dengan cara menggunakan pendekatan ilmiah. Ia membangun pesantren, membuat pelatihan dan pengkaderan, serta menugaskan muridnya untuk berdakwah di suatu tempat. 

Tidak hanya itu, Sunan Giri juga menggunakan permainan sebagai medium untuk berdakwah. Oleh karena itu, ia menciptakan permainan anak-anak seperti jemblongan, tembang syair seperti ilir-ilir, padang bulan, dan lainnya. Singkatnya, Sunan Giri mengembangkan dakwah secara sistematis dan metodologis.  

Ketiga, pendekatan kelembagaan. Tidak semua anggota Wali Songo berdakwah di masyarakat langsung. Ada juga yang berdawah di pemerintahan. Mereka adalah misalnya Sunan Kudus dalam Kesultanan Demak Bintoro dan Sunan Gunung Jati di Kesultanan Cirebon. Mereka ikut serta mendirikan kesultanan dan aktif di dalamnya. Mereka memiliki pengaruh yang besar di kalangan bangsawan, birokrat, pedagang, dan kalangan elit lainnya.

Keempat, pendekatan sosial. Sunan Muria dan Sunan Drajat lebih senang hidup jauh dari keramaian. Mereka memilih untuk berdakwah pada masyarakat kecil di desa-desa atau kampung-kampung. Mereka mengajarkan masyarakat kecil untuk meningkatkan pemahaman keagamaannya. Mereka juga membina masyarakat agar kehidupan sosialnya meningkat.

Kelima, pendekatan kultural. Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang lebih menonjol menggunakan pendekatan kultural. Mereka sadar bahwa budaya adalah sesuatu yang sudah mendarah daging di masyarakat. Jika langsung ditolak, maka masyarakat akan emoh mengikutinya. Solusinya, keduanya melakukan islamisasi budaya. Budaya-budaya yang sudah ada dan berkembang disisipi dengan ajaran-ajaran Islam. Tidak hanya itu, mereka juga menciptakan budaya-budaya baru yang mengandung nilai-nilai Islam. Diantara produk budaya yang mereka ciptakan dan masih ada hingga hari ini adalah Gamelan Sekaten (dari kata syahadatain), Gapura Masjid (berasal dari kata ghofura), baju takwo (dari kata takwa), dan lain sebagainya.   

Disadari atau tidak, dakwah merupakan kunci utama untuk memperkenalkan Islam kepada mereka yang tidak atau belum tahu tentangnya. Berhasil atau tidaknya dakwah sangat dipengaruhi oleh orang yang melakukan dakwah itu sendiri. Sejauh mana ia memahami ajaran agama Islam. Sejauh mana ia mengenal sasaran dakwahnya (masyarakat). Dan seberapa lihai ia mentransformasikan ajaran agama Islam kepada masyarakat sehingga diterima dengan baik. 

Melalui lima pendekatan di atas, Wali Songo terbukti mampu mengislamkan hampir seluruh masyarakat di pesisir pantai utara Jawa dalam tempo waktu yang cukup singkat. Diakui atau tidak, itulah dakwah yang sangat gemilang. Dari situ, umat Islam kini bisa saja mencontoh atau meneladani apa yang telah dikerjakan Wali Songo. Tentunya dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dengan situasi dan kondisi masa kini. (A Muchlishon Rochmat)

Kisah-Kisah Nabi Isa