Jelaskan maksud prinsip equal is usual dan contohnya dalam kehidupan bermasyarakat yang beragam

Digital. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Keyakinan dan kepercayaan bahwa setiap anggota masyarakat memiliki hak untuk diperlakukan sama dalam setiap bidang kehidupan dan anggota masyarakat yang lain wajib untuk melaksanakannya baik dalam pengertian formal maupun material banyak menduduki tempat utama dalam pemikiran modern. Gagasan bahwa pada dasarnya semua manusia sama adalah gagasan sejak masa lampau, terutama hal ini diekspresikan oleh agama yang menyatakan bahwa semua manusia sama di mata Tuhan. Dalam Islam dikatakan: Inna akramakum ‘indallahi athqakum, yang paling mulia diantaramu di sisi Allah adalah yang paling taqwa. Hal ini mengindikasikan penyamarataan derajat formal ataupun material dan melebihkan derajat moral. Di abad 20 cita-cita kesetaraan dianggap aboriginally sudah ada (minimal secara teoritis) dalam masyarakat maju dan perhatian sepenuhnya diarahkan untuk mencapai kesetaraan sosial.

Yang dimaksud dengan kesetaraan sosial adalah gagasan bahwa manusia harus diperlakukan sederajat dalam semua bidang institusional yang mempengaruhi kesempatan hidup mereka: pendidikan, pekerjaan, konsumsi, akses sosial relasi rumah tangga dan sebagainya. Tulisan ini selanjutnya lebih fokus pada kesetaraan dalam bidang pendidikan, yakni bagaimana siswa mendapatkan perlakuan yang sama baik oleh institusi sekolah maupun sesama temannya.

Dalam hal ini ada dua jenis kesetaraan untuk menjawab pertanyaan: apakah yang dimaksud dengan perlakuan yang sama atau setara?, yakni yang dinamakan kesetaraan hasil dan kesetaraan kesempatan.Dalam kesetaraan hasil yang menjadi fokus kajian adalah bagaimana orang-orang akhirnya mendapatkan hasil yang sama untuk setiap bidang. Hal ini menyisakan persoalan yang serius: jika dua orang siswa mendapatkan jam belajar yang sama oleh pengajar dengan metode yang sama sedangkan kebutuhannya berbeda—yang satu berorientasi lulus saja, misalnya, dan satunya berorientasi kompetisi—maka apakah mereka benar-benar dikatakan sudah setara dalam pengertian ini? Penyetaraan hasil, seperti digagas komunisme klasik Marxian, dimana setiap anggota berhak mendapatkan hasil yang sama adalah sesuatu yang absurd. Dalam lapangan sosial, kesetaraan hasil dalam versi apapun adalah kontroversial. Karena alih-alih menciptakan kesamarataan, hal ini malah memunculkan kesenjangan baru.

Faktanya, kesetaraan hasil inilah yang sedang banyak dipraktekkan dalam sistem pendidikan kita. Dalam kajian ini yang dimaksud adalah pengelompokan siswa dalam kelas-kelas secara kaku untuk menunjukkan level intelektual mereka. Beberapa kesalahan pokok asumsi dari pandangan ini adalah: pertama, pengelompokan hanya didasarkan pada ilmu dasar: alam, sosial dan bahasa. Mungkin benar bahwa tes psikologis bisa menunjukkan kecenderungan intelektual seseorang, namun kadang anomali tidak diperhatikan. Jadinya siswa terbagi menjadi tiga kelas besar, masuk IA, IS atau IB? tidak ada pilihan lain. Yang kedua, pembagian itu tidak diteruskan dalam pembagian atau pengkategorian dalam mata pelajaran: kalau sudah masuk kelas unggulan, seorang siswa dianggap unggul dalam semua mata pelajaran eksakta. Siswa yang masuk IA-1 misalnya, apakah ada jaminan dalam semua bidang pelajaran eksak lebih unggul dari siswa IA-3 atau siswa yang masuk IS-1 akan kalah dalam bahasa Inggris dari siswa IB?. Ketiga, dan ini yang menjadi permasalahan utama, adalah anggapan bahwa pengelompokan siswa berdasarkan tingkat penerimaan terhadap pembelajaran adalah marginalisasi. Siswa yang dikelompokkan dalam kelas IS-4 misalnya, cenderung merasa sebagai pelajar marginal yang inferior, tidak diperhatikan sekolah, dan hanya sebagai pelengkap jumlah siswa. Preseden buruknya, mereka menganggap bahwa sekolah adalah lawan, kelompoknya adalah oposan terhadap semua kebijakan sekolah dan sinis terhadap kelas yang dianggap unggulan.

Kesalahan pandangan ketiga inilah sumber masalahnya, karena menjadi pemicu pengambilan kebijakan distribusi tingkat penerimaan terhadap pembelajaran secara “merata” dengan harapan—yang tidak berdasar—bahwa siswa dengan pemahaman dan penerimaan cepat terhadap pelajaran (nama lain daricerdas) bisa menjadi gerbong (peer coaching—tutor sebaya) untuk menggeret pemahaman temannya yang kurang tanggap. Kenyataan di lapangan malah menunjukkan lain, siswa yang dianggap cerdas itu malah terseret pembelajaran yang lambat karena harus mengikuti ritme pembelajaran siswa kurang cerdas. Akhirnya dia terbelenggu keadaan ini, terjebak dalam kesalahan metodik dan lambat laun ritme penerimaannya juga merosot. Hal ini malahan menjadi hal yang tidak adil—dalam bahasa Freire, bukan pendidikan yang memanusiakan. Kenapa si A, misalnya, yang ditunjuk menjadi gerbong penggeret sedang si B dengan tingkat penyerapan setara dengannya dikumpulkan dalam kelas siswa dengan tingkat penyerapan setara?

Keempat, dalam kesetaraan hasil, yang dimaksud keberhasilan penerapan kesetaraan hasil itu bagaimana? Apakah jika siswa dalam satu kelas yang sama atau siswa antar kelas yang berbeda mendapatkan nilai yang relatif sama dalam mata pelajaran yang sama itu adalah kesetaraan? Ataukah pemenuhan standard minimal dianggap sebagai kesetaraan? Misalnya, si A yang duduk di kelas IS 1 mendapatkan nilai 9 dianggap setara dengan si B yang duduk di kelas IS 3 dengan asumsi metode pembelajaran yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa isu pengukuran bukan sekedar isu teknis, tetapi mencerminkan perbedaan pendapat tentang ide kesetaraan yang hendak ditangkap lewat pengukuran.

Kesetaraan yang lain, yakni kesetaraan kesempatan menjadi cita-cita yang kini banyak disepakati oleh pemikir modern. Dalam kesetaraan kesempatan, setiap orang diberikan peluang yang sama untuk meraih hasil yang beragam tergantung motivasi intrinsik dan usahanya. Jadi, perbedaan hasil yang digapai bukanlah masalah, perbedaan itu malah menunjukkan dinamika. Penyetaraan jenis ini mengindikasikan bahwa tidak boleh ada pemberian kans lebih—atau bahkan rintangan dan halangan yang berbeda—pada seseorang untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan yang diinginkan.

Dalam konteks equality and inequality, siswa harus mendapatkan peluang yang sama untuk mencapai prestasi sesuai dengan yang mereka inginkan. Artinya, kita tidak perlu risau dengan beragamnya hasil prestasi belajar siswa sejauh kesempatan yang kita berikan pada mereka untuk mengoptimalkan sumber daya sesuai kemampuan pribadi adalah sama untuk setiap siswa. Hal ini bermakna pengelompokan siswa berdasarkan tingkat penyerapan akan pelajaran harus dinamis dan tidak boleh ada pemaksaan metodik yang sama pada siswa dengan kemampuan yang berbeda. Beberapa implikasinya antara lain:

Pertama, kita tidak bisa secara sporadik membedakan siswa dalam kelas-kelas besar: ilmu alam, sosial atau bahasa. Biarkan saja secara natural—tentunya dengan tetap memberikan penjelasan informatif, deskriptif bahkan analitis terhadap relevansi pilihan siswa dengan kapabilitas dirinya—kelompok itu akan tercipta dengan sendirinya. Artinya begini, segregasi bebas itu mengandaikan pengelompokan tidak bersifat statis: kalau sudah masuk IA, kamu tidak bisa ikut pelajaran bahasa atau akuntansi dengan intensif!

Kedua, kalaupun pembagian kelas itu masih dilakukan, maka pengelompokan tidak dilakukan secara sama untuk semua mata pelajaran. Selama ini yang dipraktekkan di lapangan, kalau seseorang sudah diplot sebagai siswa unggulan, misalnya kelas IS-1 maka dia dianggap siswa unggulan dalam semua mata pelajaran. Akibatnya metode pengajaran yang diterimanya adalah sama untuk semua mata pelajaran tersebut tanpa mengindahkan apakah dia sebenarnya tidak unggul dalam mata pelajaran tertentu. Mestinya pengelompokan bisa dilakukan berdasarkan penerimaannya secara spesifik terhadap mata pelajaran tertentu. Jadi bisa jadi seseorang masuk kelas unggulan untuk mapel Fisika, kelas reguler untuk Biologi dan—mungkin—kelas intensif untuk matematika.

Ketiga, berarti menghilangkan distribusi siswa dengan kecerdasan diatas rata-rata untuk digabung dengan siswa yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata. Siswa dikelompokkan dengan sesamanya dengan tingkat penerimaan yang sama untuk mata pelajaran yang spesifik. Ini akan membuat siswa tersebut bisa lebih homogen yang akhirnya mengeliminir pembelengguan siswa cerdas dan mengintensifkan pembelajaran siswa kurang cerdas.

Keempat, keragaman metodik dalam pembelajaran mutlak digunakan untuk kelas-kelas dengan tingkat penerimaan pembelajaran yang berbeda. Untuk kelas cerdas, metode yang digunakan tidak boleh sama dengan kelas kurang cerdas. Ini artinya ada pemberian kesempatan dan peluang yang sama kepada masing-masing individu untuk berkompetisi dengan bekal yang sama dari sekolah. Terlepas dari apakah hasil yang didapat nanti berbeda—bisa siswa cerdas yang unggul atau malah sebaliknya—itu kemudian tergantung motivasi intrinsik dari masing-masing siswa.

Dari keempat hal diatas mungkin prinsip equality and inequality bisa dijabarkan dengan jelas. Tidak seperti selama ini yang sebenarnya kesetaraan yang diinginkan malah tidak tercapai dengan mengorbankan hak beberapa siswa atau pemaksaan kepada siswa yang lain karena berangkat dari kesalahan asumsi tentang prinsip equality and inequality. Jadi jelas, yang harus dilakukan lembaga pendidikan bukanlah penyetaraan hasil, tetapi penyetaraan kesempatan.[]