Jelaskan maksud dari surah al- maun ayat ke 4

Oleh: Ust.Deni Prasetio, SKM

Lanjut lagi kajian tafsirnya ya… menurut versi Eri sudah sampe ayat 3 maka sekarang masuk ay at 4 dan 5. Grup ini dipake karena banyak yg kirim doa via japri ke Agus, jadilah grup ini dikembalikan ke aslinya.

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ٱلَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,

Ini kutukan ! ini ancaman dengan kecelakaan bagi orang yang sholat tetapi lalai dari sholatnya.

Kehancuran dan siksa untuk orang2 munafik yang sholat dan memiliki sifat2 buruk ini : (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, mereka lupa akan sholat mereka dengan meremehkan dan mengakhirkannya.

Kata wail (ﻭﻳﻞ) digunakan dalam arti kebinasaan dan kecelakaan yang menimpa akibat ulah yang bersangkutan. 27 kali kata ini terulang dalam Al Quran, semuanya digunakan untuk ancaman. Allah mengancam, habislah mereka !

Ibnu Abbas berkata, “Dia adalah orang yang jika sholat tidak mengharapkan pahala dan jika tidak sholat dia tidak takut siksanya”. Abu Aliyah berkata, “Mereka tidak sholat pada waktunya, tidak ruku dan sujud dengan sempurna”. Nabi ﷺ pernah ditanya tentang ayat ini dan beliau menjawab, “Mereka adalah orang2 yang mengakhirkan sholat dari waktunya”.

Yang diancam adalah yang melalaikan sholat, yang diistilahkan dengan kata sahun. Sahun (ﺳﺎﻫﻮﻥ) terambil dari kata saha (ﺳﻬﻰ) yang diartikan lalai, lupa. Kata ini ditemukan 2 kali dalam Al Quran, keduanya digunakan dalam konteks celaan. Dalam surah ini dan surah Adz Dzariyat ayat 10-11

قُتِلَ ٱلْخَرَّٰصُونَ ٱلَّذِينَ هُمْ فِى غَمْرَةٍ سَاهُونَ

Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta,  (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai,

Dalam kamus bahasa kata saha dijelaskan sebagai “seseorang yang hatinya menuju kepada sesuatu yang lain sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya”.

Tujuan pokok sholat adalah ibadah kepada Allah, ini malah demi pencitraan. Tujuan sholat adalah penghambaan dan penyerahan totalitas di hadapan Allah, ini malah membuat tandingan atas syariat Allah. Wajar saja jika orang dengan niat seperti ini akan menyepelekan dan mengakhirkan sholat. Dan inilah perilaku orang munafik.

Ulama tafsir berkata, “Firman Allah dalam ayat ini menggunakan ‘an (ﻋﻦ) menunjukkan ayat ini untuk orang munafik.

Itulah sebabnya sebagian ulama salaf berkata, “Segala puji bagi Allah yang berfirman عَن صَلَاتِهِمْ (‘an sholatihim) dan tidak berfirman ﻓﻰ صَلَاتِهِمْ   (fii sholatihim/dalam sholatnya). Seandainya Allah berfirman ﻓﻰ صَلَاتِهِمْ  , tentu sasarannya kaum muslimin.”

Jika ayat ini berbunyi fii sholatihim berarti celakalah orang2 yang pada saat sholat hatinya lalai, menunjuk sesuatu diluar sholat. Celakalah orang2 yang tidak khusyuk dalam sholatnya dan celakalah orang2 yang lupa jumlah rakaat sholatnya.

Untungnya ayat ini tidak berbunyi demikian, bisa habis kita terkena ancaman dan kutukan Allah gara2 lupa jumlah rakaat atau gara2 tidak khusyu. Begitulah Al Quran satu kata menimbulkan perbedaan makna yang dahsyat.

Kalo gitu mendingan gak sholat dong, gak kena ancaman pikir orang sekuler. Syaikh Asy Syaqinthi berkata, “Jika ada ancaman terhadap orang lalai dari sholat, lalu bagaimana dengan orang yang sengaja meninggalkannya ?”

Pada bagian pertama ayat 1-3 menjelaskan siapa yang mendustakan agama tanpa menjelaskan kecelakaan yang menimpa mereka. Sedang bagian kedua (ayat 4-5) mengandung ancaman kecelakaan yang akan mereka hadapi tanpa menjelaskan mereka pada hakikatnya mendustakan agama (hari pembalasan). Kedua bagian surah ini saling melengkapi. Apa yang diinformasikan pada bagian pertama tidak dijelaskan pada bagian kedua, demikian sebaliknya. Itu sebabnya digunakan kata penghubung fa (ﻑ) dalam kalimat fa waillul.

Apa hubungannya menghardik yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin dengan lalai dari sholat ? Awal semua perilaku ini adalah kafir dengan kebangkitan dan mendustakan hari kiamat, demikian kata mufasirin. Jadi jangan antm harap nenek banteng yang telah mendustakan hari pembalasan rajin sholat. Dan jangan pula antm harap dia menyantuni anak yatim dari uang pribadinya, coba aja cari di google cuma ketemu satu. Masih kalah ama alumni FKM yang uda 2 kali ngadain santunan walau ekonominya pas2an.

Ini mengherankan bagi seorang pejabat. Mereka bisa buat kegiatan amal tanpa mengeluarkan uang sepersenpun. Dulu ada menristek jaman Gusdur bernama AS Hikam, pas bulan puasa bikin santunan yatim di rumahnya. Dia bilang ke bagian keuangan, siapin uang 200 juta buat acara buka puasa bersama dan santunan. Yang jadi juru bayar tetangga saya. Artinya bukan hal aneh kalo pejabat bikin acara amal. Yang aneh kalo punya uang banyak dan punya kekuasaan tak terbatas tapi bikin santunan yatim aja gak bisa.

Begitulah jika Allah sudah mengunci mati hati mereka, bahkan untuk kegiatan yang tinggal menjentikkan jari seperti yang dilakukan Thanos pun mereka tak mampu. Beruntung dan benar2 sungguh beruntung kita tidak termasuk kelompok tersebut. Ekonomi boleh ngepas tapi hati seluas samudera jauh lebih baik daripada orang yang dijadikan ekonomi seluas samudera tapi hatinya sesempit lubang semut.

Santunan 7 Juli kemarin bikin saya trenyuh. Sedari awal panitia sudah briefing anak yatim silakan cari sepatu sekolah terserah mau merek apa. Takut kemahalan ibunya nanya berapa budgetnya. Feri kasi tau budget sepatu 500 ribu. Angka ini masih masuk untuk sepatu sekolah yang ada di Matahari Dept Store. Muter2 nyari sepatu malah bingung sampe timbul opsi bisa gak angka tersebut dijadiin sepatu dan sandal. Saya liat sandalnya, masya Allah… tuh anak pake sandal karet. Ke mall pake sandal kumuh begitu. Duh… kalo saya punya uang banyak, uda saya borong tuh mall. Biar selamanya mereka tak perlu membeli sandal lagi. 😢😢

Kegiatan santunan ini adalah bukti pembeda keislaman kita dengan mereka. Orang yang disantuni jelas keberadaannya, panitianya pun jelas amanahnya. Jika tak mampu bersedekah maka jadilah jalan bagi orang lain untuk bersedekah. Jangan berpandangan acara ini bukan urusan saya. Sesungguhnya santunan ini urusan kita semua selama kita menjaga sholat. Ini namanya hablu mina Allah wa hablu minan naas, tak bisa dipisahkan. Hubungan kita dengan Allah akan baik selama kita menjaga hubungan dengan manusia. Dan begitu sebaliknya

Shalat menjadi salah satu pembuktian atas penghambaan kita kepada Allah swt. Ibadah 5 waktu ini benar-benar ditekankan dalam ajaran Islam. Karena perintah ini langsung disampaiakan Allah swt kepada Nabi Muhammad tanpa perantara. Namun demikian masih ada dari kita yang justru menggampangkan ibadah ini. Padahal dalam Surat Al-Ma’un ayat 4-7 telah diingatkan tentang celakanya mereka yang lalai dalam melaksanakan Shalat.

Tafsir Surat al-Ma’un ayat 4-7

Surat al-Ma’un merupakan salah satu surat dari sekian banyak surat/ayat yang mengintakan umat Islam agar tidak melalaikan Shalat. Adapun bunyi ayat tersebut ialah:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)

“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang yang berbuat riya’, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”

Pada 3 ayat sebelumnya telah dijelaskan perihal para pendusta agama dengan menjelaskan sikap-sikap yang tercela terhadap sesama manusia. Sedangkan pada ayat berikutnya lebih menguraikan tentang perbuatan buruk terhadap Allah swt.

Seperti yang dijelaskan dalam Tafsir al-Munir, Wahbah az-Zuhaili mengambil riwayat dari ibn ‘Abbas yang mengatakan bahwa ayat ke-empat ini turun berkaitan dengan orang munafik yang menunaikan shalat jika orang mukmin melihatnya. namun ketika sendirian, mereka tidak melaksanakannya serta menahan untuk menolong dengan sukarela. Riwayat ini juga dikutip dalam Tafsir Jalalain.

Adanya huruf ف pada awal ayat ke 4 menjadi penghubung dengan kalimat sebelumnya sehingga menurut Quraish Shihab kalimat sebelum dan sesudahnya seperti hubungan sebab akibat. Ini seperti yang juga dijelaskan oleh Husain Thabathaba’i dalam tafsir al-Mizan bahwa adanya huruf ف menunjukan keterkaitan antara orang yang mendustakan agama/hari pembalasan dengan mereka yang lalai dalam sahalatnya.

Baca juga: Al Qur’an Maghribi, Mushaf Unik yang Huruf Qaf-nya Bertitik Satu

Mereka yang Lalai

dalam Tafsir al-Quran al-Adzim, Ibn kathir menjelaskan bahwa makna lil mushallin menunjukan pada mereka yang ahli shalat dan biasa melakukannya Adapun kata سَاهُونَ pada ayat ke 5, Nasir Makarim Syirazi dalam Tafsir al-Amtsal menjelaskan bahwa kata saahun berakar pada kata sahwun dan ini merupakan sumber kelalaian manusia. Sedangkan pada ayat ini, kata tersebut lebih menekankan pada kelalaian terhadap seluruh bagian-bagian shalat.

Ibn kathir dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa makna lil mushallin menunjukan pada mereka yang ahli shalat dan biasa melakukannya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kelalaian ini terjadi pada tiga hal, pertama ialah mereka yang lalai dalam melaksanakan shalat seperti lalai terhadap syarat maupun rukun dalam shalat. Kedua ialah mereka yang lalai dalam waktu shalat, yakni yang mengakhirkan waktu shalat (tanpa ada udzur) dan menjadikannya kebiasaan. Dan ketiga ialah mereka  yang lalai dalam kekhusyuan.

Berbeda dengan al-Zamakshsyari, dalam al-kasysyaf disebutkan bahwa penggunaan kata عَنْ ini dipahami bahwa yang dimaksud lalai ialah mereka yang meninggalkan shalat dan minimnya kepedulian mereka terhadap ibadah tersebut. Al-Qurthuby juga sependapat akan hal itu, ia menambahkan dalam tafsirnya bahwa jika lalai yang dimaksud ialah dalam salat, tentu ancaman itu akan menimpa seluruh orang beriman karena dalam shalat tidak menutup kemungkinan mereka mendapat bisikan setan maupun lupa dengan sendirinya. Dan itu hal yang manusiawi.

Baca juga: Memahami Kalimat Ta’awwudz Sebelum Membaca Al-Quran dengan Metode Tadabbur

Mereka yang Riya’ dan Enggan Membantu

Perbuatan riya’ merupakan hal yang sulit terlihat, bahkan mustahil untuk diketahui orang lain. riya’ sendiri merupakan penyakit hati dimana seseorang beramal bukan karena Allah melainkan untuk mendapat popularitas semata. Bahkan Rasul menyamakan perbuatan riya’ dengan syirik kecil seperti sabdanya yakni:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ ” قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: ” الرِّيَاءُ “

Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah syirik kecil” mereka bertanya: Apa itu syirik kecil Wahai Rasulullah?, Rasul menjawab : Riya”(HR. Ahmad)

Adapun pada ayat terakhir, Husain Thabathaba’i mengatakan bahwa al-Ma’un yakni membantu orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti memberi makanan atau meminjamkan barang-barang yang diperlukan orang lain.

Quraish Shihab berpandangan bahwa ayat 6 dan 7 masih memiliki keterkaitan erat dengan ayat-ayat sebelumnya. Menurutnya kelalaian dalam shalat senantiasa dilakukan oleh orang-orang yang selalu berbuat riya’, tidak ikhlas, munafik, dan suka menghalangi dirinya dan orang lain dalam membantu sesama. Dalam tafsir al-Misbah, ia malanjutkan bahwa azab dan kecelakaan akan menimpa bagi mereka yang bersembahyang dengan hati yang lalai, beramal dengan riya’ dan tidak mau meminjamkan barang-barang miliknya kepada orang yang membutuhkan. 

Baca juga; Tidak Sama yang Buruk dengan yang Baik, Jangan Terjebak Keburukan yang Melenakan!

Sebuah Renungan dan Introspeksi Diri

Kemukjizatan al-Quran begitu sangat jelas terlihat dari isi-sisnya yang seimbang. Tidak hanya membawa kabar gembira (Basyiran) tapi juga menyampaikan ancaman (Nadliron). Ini sudah menjadi konsekuensi umat Islam dalam beriman dan bertaqwa.

Tak bisa dipungkiri juga bahwa semua hal yang disinggung dalam surat al-Ma’un banyak dilakukan oleh umat Islam hingga sekarang. Kecaman bagi mereka yang lalai dalam menjalankan ibadah hingga tidak mau membantu kepada sesama menjadi cambuk peringatan bagi kita untuk senantiasa bermuhasabah diri dan tak henti-hentinya selalu bertaubat dengan memperbaiki kesahalan yang telah lalu. Wallahu A’lam