Istri gugat cerai apakah berhak atas harta gono gini?

Pada prinsipnya Islam tidak mengatur tentang harta bersama dalam baik dalam Al-Qur’an, maupun Hadits. Dalam kitab fikih klasikpun tidak ditemukan pembahasan tentang harta bersama. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang harta bersama, ada pendapat yang mengatakan tidak ada harta bersama antara suami dan isteri, sedangkan pakar hukum Islam yang lain berpendapat bahwa suatu hal yang tidak mungkin jika Islam tidak mengatur tentang harta bersama, sedangkan hal lain yang kecil-kecil saja diatur secara rinci dan termasuk dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam.

Tidak adanya aturan yang jelas tentang harta bersama dalam Alqur’an maupun hadits, mengilhami para Ahli Fiqih di Indonesia mengaturnya dalam Kompilasi Hukum Islam. Pengaturan tentang harta kekayaan dalam perkawinan tercantum dalam pasal 85-97 KHI. Pengaturan meliputi adanya harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing dalam perkawinan, tanggungjawab suami isteri dalam menjaga harta, kedudukan harta bersama jika terjadi perceraian karena kematian dan terakhir Pasal 97 yang mengatur bahwa bahwa janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Sedangkan Pasal 45 sampai dengan Pasal 52 memberikan hak kepada masing-masing pihak untuk mengadakan perjanjian sebelum perkawinan dilakukan. Dengan perjanjian ini diharapkan memperjelas kedudukan harta dalam perkawinan.

Perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing dan penetapan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang pembagian harta bersama, bahwa harta bersama dapat dibagi menurut ketentuan hukum masingmasing.

Sedangkan KHI mengatur bahwa harta bersama dibagi dua. Namun, pihak-pihak dapat melakukan kesepakatan tentang bagaimana pembagiannya. Apakah dibagi sama rata atau dibagi berdasarkan porsi masing-masing pihak dalam memperoleh harta. Namun perundang-undangan yang berlaku di Indonesia mengatur bahwa setiap harta yang diperoleh selama masa perkawinan dijadikan sebagai harta bersama tanpa membedakan siapa yang bekerja atau memperoleh harta tersebut dan terdaftar atas nama siapa, selama harta tersebut bukan merupakan harta bawaan, hadiah atau warisan dan atau tidak ada perjanjian perkawinan dalam hal kepemilikan harta bersama.

Namun demikian, apabila terkait dengan perkawinan melalui sebab pernikahan sirih, tentunya bukan merupakan domain hukum dari keberlakuan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melainkan semata-mata hanya suatu perjanjian perikatan keperdataan antara Suami dan Istri saja. Akibat bukan domain hukum dari keberlakuan Undang-Undang Perkawinan maka cara dan proses istri sirih bisa mendapatkan hak harta Gono Gini dapat dilakukan melalui proses mediasi atau negosiasi diantara Suami dan Istri dengan bantuan kuasa hukum ataupun keluarganya sendiri.

Cara dan proses seorang istri sirih bisa mendapatkan hak harta Gono Gini dilaksanakan apabila melalui bantuan kuasa hukum adalah dengan prosedur upaya non-litigasi (diluar upaya hukum lembaga peradilan) bahkan tidak tertutup kemungkinan untuk dilaksanakan suatu upaya hukum perdata dengan adanya gugatan di pengadilan.

Page 2

Pada prinsipnya Islam tidak mengatur tentang harta bersama dalam baik dalam Al-Qur’an, maupun Hadits. Dalam kitab fikih klasikpun tidak ditemukan pembahasan tentang harta bersama. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang harta bersama, ada pendapat yang mengatakan tidak ada harta bersama antara suami dan isteri, sedangkan pakar hukum Islam yang lain berpendapat bahwa suatu hal yang tidak mungkin jika Islam tidak mengatur tentang harta bersama, sedangkan hal lain yang kecil-kecil saja diatur secara rinci dan termasuk dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam.

Tidak adanya aturan yang jelas tentang harta bersama dalam Alqur’an maupun hadits, mengilhami para Ahli Fiqih di Indonesia mengaturnya dalam Kompilasi Hukum Islam. Pengaturan tentang harta kekayaan dalam perkawinan tercantum dalam pasal 85-97 KHI. Pengaturan meliputi adanya harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing dalam perkawinan, tanggungjawab suami isteri dalam menjaga harta, kedudukan harta bersama jika terjadi perceraian karena kematian dan terakhir Pasal 97 yang mengatur bahwa bahwa janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Sedangkan Pasal 45 sampai dengan Pasal 52 memberikan hak kepada masing-masing pihak untuk mengadakan perjanjian sebelum perkawinan dilakukan. Dengan perjanjian ini diharapkan memperjelas kedudukan harta dalam perkawinan.

Perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing dan penetapan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang pembagian harta bersama, bahwa harta bersama dapat dibagi menurut ketentuan hukum masingmasing.

Sedangkan KHI mengatur bahwa harta bersama dibagi dua. Namun, pihak-pihak dapat melakukan kesepakatan tentang bagaimana pembagiannya. Apakah dibagi sama rata atau dibagi berdasarkan porsi masing-masing pihak dalam memperoleh harta. Namun perundang-undangan yang berlaku di Indonesia mengatur bahwa setiap harta yang diperoleh selama masa perkawinan dijadikan sebagai harta bersama tanpa membedakan siapa yang bekerja atau memperoleh harta tersebut dan terdaftar atas nama siapa, selama harta tersebut bukan merupakan harta bawaan, hadiah atau warisan dan atau tidak ada perjanjian perkawinan dalam hal kepemilikan harta bersama.

Namun demikian, apabila terkait dengan perkawinan melalui sebab pernikahan sirih, tentunya bukan merupakan domain hukum dari keberlakuan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melainkan semata-mata hanya suatu perjanjian perikatan keperdataan antara Suami dan Istri saja. Akibat bukan domain hukum dari keberlakuan Undang-Undang Perkawinan maka cara dan proses istri sirih bisa mendapatkan hak harta Gono Gini dapat dilakukan melalui proses mediasi atau negosiasi diantara Suami dan Istri dengan bantuan kuasa hukum ataupun keluarganya sendiri.

Cara dan proses seorang istri sirih bisa mendapatkan hak harta Gono Gini dilaksanakan apabila melalui bantuan kuasa hukum adalah dengan prosedur upaya non-litigasi (diluar upaya hukum lembaga peradilan) bahkan tidak tertutup kemungkinan untuk dilaksanakan suatu upaya hukum perdata dengan adanya gugatan di pengadilan.

Ada dua format dalam sidang perceraian yakni menggabungkan sidang gugatan cerai dan harta gono-gini atau melakukan gugatan kedua hal tersebut secara terpisah.

Bacaan 2 Menit

Ilustrasi: BAS

Membina mahligai kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis menjadi impian semua orang. Tak pernah ada yang berharap mengalami keretakan kehidupan rumah tangga yang telah mereka bina. Berbagai persoalan, seperti seringnya  bertengkar, KDRT, hilangnya rasa kecocokan hingga perselingkuhan sering jadi sumber masalah keretakan kehidupan rumah tangga yang berujung perceraian.

Namun, urusan perceraian bukan hal sederhana. Ada konsekuensi (akibat) hukum dalam sebuah perceraian. Misalnya, pembagian harta bersama (gono gini), hak asuh anak, nafkah anak dan nafkah istri. Timbul pertanyaan, bagaimana proses gugatan di pengadilan agama dan pengadilan negeri; bisakah gugatan perceraian dan harta gono-gini, digabung?

Dosen Hukum Perkawinan Universitas Indonesia, Neng Djubaedah menjelaskan pasangan suami istri (pasutri) yang beragama Islam berdasarkan UU Peradilan Agama boleh mengajukan permohonan cerai talak atau cerai gugat disertai pembagian harta gono gini di pengadilan agama, sehingga proses persidangannya dilakukan bersama-sama. “Boleh setelah (diputus) cerai, baru mengajukan harta gono gini boleh diajukan secara bersama-sama. Ini pilihan,” ujar Neng kepada Hukumonline, Rabu (10/1). Baca Juga: Terpidana Bikin Perjanjian Hingga Gugat Cerai dari Dalam Penjara, Begini Hukumnya

Berbeda dengan pasutri yang bukan beragama Islam, menurut Neng, tidak bisa dilakukan penggabungan sidang cerai dan harta gono gini. Sebab, mereka tunduk pada ketentuan Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau hukum acara perdata dan pidana. Berdasarkan HIR, kata Neng, proses persidangan diawali dulu dengan sidang perceraian, kemudian dilanjutkan dengan sidang gugatan harta gono gini di pengadilan negeri.

Sebelumnya, Dosen Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamarusdiana menjelaskan dasar hukum perceraian dalam Islam diatur Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 132 ayat (1) jo Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Soal penggabungan gugatan, kata Kamarusdiana, ada dua format gugatan yang biasa digunakan.

Pertama, sidang harta bersama didahului dengan putusan pengadilan tentang putusnya hubungan perkawinan karena perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap. Kemudian diajukan gugatan harta bersama. Kedua, bisa dilakukan penggabungan antara gugatan cerai dan gugatan harta bersama secara bersama-sama.

“Tapi prakteknya, seringkali dilakukan sidang cerai dulu, baru diajukan gugatan harta bersama agar proses cerai lebih cepat dibanding kasus cerai yang digabung dengan gugatan harta bersama,” jelas Kamarusdiana kepada Hukumonline, Jumat (23/1) lalu.

Page 2

Ada dua format dalam sidang perceraian yakni menggabungkan sidang gugatan cerai dan harta gono-gini atau melakukan gugatan kedua hal tersebut secara terpisah.

Bacaan 2 Menit

Soal penggabungan gugatan cerai dan harta bersama, kata Kamarusdiana, diatur Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989. Beleid itu menyebutkan gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (inkrach).

Pasal 86

Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu.

Dijelaskan Neng Djubaedah, tidak ada batasan waktu terkait berapa lama setelah cerai baru membagi harta gono-gini. Namun, tidak disarankan menunda-nunda pembagian harta gono-gini setelah selesainya rangkaian persidangan perceraian tersebut. “Mengapa harus ditunda? Kan ada hak orang disitu. Hak tersebut tidak akan hapus karena perceraian,” ujar Neng mengingatkan.

Neng menerangkan ada tiga jenis harta kekayaan dalam perkawinan yang dapat menjadi objek sengketa ketika terjadi perceraian:

Pertama, harta bawaan, yang dibawa calon suami dan calon istri. Harta tersebut diperoleh sebelum mereka melangsungkan perkawinan. (Pasal 35 UU Perkawinan). Untuk jenis harta ini dikuasai oleh suami-istri.

Kedua, harta masing-masing suami istri yang diperoleh melalui warisan, hibah, wasiat, hadiah dalam perkawinan. Jenis harta ini-pun penguasaannya ada pada masing-masing suami-istri.

Ketiga, harta bersama (harta gono-gini), yakni harta yang diperoleh suami atau istri secara bersama-sama selama masa perkawinan.

Page 3

Ada dua format dalam sidang perceraian yakni menggabungkan sidang gugatan cerai dan harta gono-gini atau melakukan gugatan kedua hal tersebut secara terpisah.

Bacaan 2 Menit

Lebih lanjut, Neng menuturkan jika terdapat perjanjian kawin tidak menyebutkan adanya penggabungan harta bawaan, berarti (secara otomatis) harta bawaan suami dan istri terpisah. Karenanya, tidak bisa menjadi objek harta yang dipersengketakan, sehingga menjadi harta bawaan tetap menjadi milik masing-masing.

Sementara harta bersama, jika tidak ada perjanjian kawin, maka harta tersebut otomatis tergabung sebagai harta bersama. Sebaliknya, jika ada perjanjian kawin yang memisahkan harta perolehan suami dan istri selama perkawinan, maka objek harta gono-gini (harta bersama) menjadi hilang.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA