Bagaimana jika bangsa Indonesia tidak bersatu padu dan mereka hanya berjuang bersama daerahnya saja?

Semarang – Tantangan-tantangan bangsa Indonesia, terutama pada era milenial seperti sekarang tidak bisa diatasi hanya sekelompok orang. Harus ada persatuan dan kesatuan semua komponen bangsa.

Hal itu disampaikan anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Mohamad Mahfud MD, saat memaparkan materi pada Seminar Nasional ‘Kompleksitas Ideologi Pancasila di Era Milenial” di Kampus Universitas Semarang (USM), Sabtu (16/3/2019). Hadir pula sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut, Ketua Pembina Yayasan Alumni Undip Prof Muladi dan Kapolda Jateng Irjen Pol Condro Kirono.

Dalam kesempatan tersebut, juga dilakukan penandatanganan memorandum of understanding (MoU) antara Universitas Semarang dengan Ikatan Keluarga Alumni Lemhanas (IKAL) Komisariat Jateng. Penandatanganan dillakukan oleh Sekda Jateng yang sekaligus Ketua IKAL Komisariat Jateng Sri Puryono KS dengan Rektor USM Andy Kridasusila.

Menurut Mahfud, selain kemiskinan, masih mempunyai banyak tantangan yang dihadapi.

“Seperti ketimpangan ekonomi, pendidikan serta persoalan lain yaitu terkait radikalisme, terorisme yang harus diatasi bersama bukan hanya perorangan,” ujarnya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menjelaskan, saat ini generasi milenial siap mengambil alih kepemimpinan bangsa. Generasi milenial sebagai generasi yang dikuasai secara masif oleh teknologi informasi yang canggih.

Ia mencontohkan kasus peledakan bom di Sibolga belum lama ini, semua instruksinya melalu telepon seluler. Selain itu di era digitalisasi sekarang, orang akan bepergian jauh tidak perlu repot-repot mencari tiket kendaraan ke tempat pembelian. Berbelanja apapun semakin mudah, bahkan membeli makanan hanya menggunakan telepon seluler.

Yang tidak kalah penting berkaitan dengan Pancasila, mudahnya generasi bangsa menerima beragam masukan dan materi-materi persoalan melalui media sosial. Kondisi ini menjadi catatan sendiri karena faktanya banyak kasus radikalisme, terorisme, ataupun intoleransi itu berkembang menjadi tantangan di era digitalisasi.

“Contohnya paham ISIS yang disebar melalui internet. Kemudian membuat orang terpengaruh lalu melakukan hal yang mereka sebut ‘jihad’, melawan ideologi bangsa dan lainnya,” bebernya.

Mahfud menambahkan, bangsa Indonesia berdiri untuk hidup bersatu, karena cita-cita sama untuk memperhankan NKRI berdasarkan Pancasila.

“Kita merdeka karena kita ingin maju bersama dan di dalam Pancasila kita bersatu,” tegas Mahfud.

Ditambahkan, belasan ribu pulau dan ratusan penduduk bisa bersatu. Meskipun latar belakang berbeda, baik keyakinan, suku, maupun ras tidak sama tetapi semua bersatu karena mempunyai tujuan sama, dan sudah bersumpah untuk bersatu pada 28 Oktober 1928 melalui Sumpah Pemuda.

“Modal Indonesia bersatu karena negara Indonesia merebut kemerdekaan dengan kekuatan rakyat, bukan karena hadiah dari bangsa lain. Indonesia satu-satunya negara di dunia yang mengusir penjajah,” tandasnya.

Direktur Kemahasiswaan Ditjen Belmawa Kemristekdikti, Dr Didin Wahidin dalam sambutannya mengatakan, seluruh rakyat Indonesia terutama generasi muda harus melangkah bersama untuk mencapai cita-cita, membangun, dan mencerdaskan bangsa.

Apabila semua sudah memiliki jalan pikiran sama untuk mencapai tujuan yang sama, berbagai kepentingan baik pribadi maupun golongan atau pihak lain yang merupakan komponen bangsa akan terabaikan. Sebab, semua dengan ikhlas dan rela melakukan berbagai hal demi kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Ketika berbicara tentang Pancasila, maka kita akan berbicara tentang tantangan Indonesia ke depan yang tidak ringan,” katanya.

Era milenial sekarang ini berhubungan dengan usia generasi bangsa yang lahir antara tahun 1980 hingga 2000. Artinya apa yang dilakukan saat ini akan menentukan apa yang akan terjadi pada bangsa ini dikemudian hari.

“Seperti kita ketahui dalam upaya mencapai cita-cita besar bangsa Indonesia akan memiliki berbagai tantangan yang harus diatasi bersama,” pungkasnya.

Penulis : Mn, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Foto : Bin, Humas Jateng

Lihat Foto

Dok. Kompas

28 Oktober 1928 di halaman depan Gedung IC, Jl. Kramat 106, Jakarta. Tampak duduk dari kiri ke kanan antara lain (Prof.) Mr. Sunario, (Dr.) Sumarsono, (Dr.) Sapuan Saatrosatomo, (Dr.) Zakar, Antapermana, (Prof. Drs.) Moh. Sigit, (Dr.) Muljotarun, Mardani, Suprodjo, (Dr.) Siwy, (Dr.) Sudjito, (Dr.) Maluhollo. Berdiri dari kiri ke kanan antara lain (Prof. Mr.) Muh. Yamin, (Dr.) Suwondo (Tasikmalaya), (Prof. Dr.) Abu Hanafiah, Amilius, (Dr.) Mursito, (Mr.) Tamzil, (Dr.) Suparto, (Dr.) Malzar, (Dr.) M. Agus, (Mr.) Zainal Abidin, Sugito, (Dr.) H. Moh. Mahjudin, (Dr.) Santoso, Adang Kadarusman, (Dr.) Sulaiman, Siregar, (Prof. Dr.) Sudiono Pusponegoro, (Dr.) Suhardi Hardjolukito, (Dr.) Pangaribuan Siregar dan lain-lain.

KOMPAS.com - Merdeka! Kalimat itu begitu sakral di saat masa perjuangan Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Kemerdekaan itu kemudian didapat pada 17 Agustus 1945, yang tentunya tak bisa lepas dari pengaruh dan kerja keras para pemuda.

Pemuda memang memiliki peran penting dalam sejarah Republik Indonesia. Berkat desakan pemuda yang "menculik" Soekarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok, Jawa Barat, Indonesia kemudian memproklamasikan kemerdekaannya.

Meski begitu, peran pemuda dalam mengupayakan kemerdekaan jauh telah dilakukan sebelum 1945.

Tujuh tahun setelah berdirinya Budi Oetomo pada 1908 misalnya, para pemuda mulai bangkit meskipun masih dalam suasana kesukuan.

Bangkitnya pemuda didasari seorang bernama Satiman yang memiliki semangat berkobar yang menjadi motor penggerak bagi pergerakan pemuda. Tri Koro Darmo menjadi wadah awal dari perhimpunan pemuda.

Kelak, para pemuda menyatukan tekadnya demi Indonesia dalam sebuah momentum yang dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Baca juga: Sumpah Pemuda, Menjunjung Dharma dalam Kebinekaan Indonesia

Tri Koro Dharmo

Dilansir dari buku Indonesia dalam Arus Sejarah (2013), organisasi Tri Koro Dharmo merupakan perkumpulan pelajar yang berdiri pada 7 Maret 1915.

Anggotanya didapat dengan menjaring pelajar bumiputra yang berasal dari perguruan dan sekolah-sekolah yang ada di Jawa. Pelajar dari Jawa dan Madura menjadi inti dari perkumpulan ini.

Tri Koro Dharmo yang secara bahasa memiliki makna tiga tujuan mulia (sakti, bukti, bakti), menginginkan sebuah perubahan dari cara pandang pemuda akan kondisi yang terjadi di Indonesia.

Karena terdapat sebuah desakan akan keanggotaan Tri Koro Dharmo lebih luas, maka nama dari perkumpulan ini diubah menjadi Jong Java. Seluruh pelajar dari Jawa, Madura, Bali dan Lombok bisa bergabung dalam wadah ini.

Lihat Foto

Wikipedia

Tentara Belanda merebut benteng Fort Kuto Reh pada 14 Juni 1904 di tahap-tahap akhir Perang Aceh yang berlangsung selama 30 tahun. Perang Aceh menjadi salah satu perang dengan durasi paling panjang dalam sejarah dunia.

KOMPAS.com- Perjuangan bangsa Indonesia mengusir penjajah sudah berlangsung cukup lama sejak masa kerkerajaan.

Kedatangan bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-16 awalnya hanya untuk berdagang rempah-rempah dan disambut baik.

Namum lama-lama mereka menerapkan kolonialisme dan imperalisme yang ingin menguasai Indonesia.

Karena pada masa itu Indonesia merupakan negara penghasil rempah-rempah di dunia yang dimiliki nilai jual tinggi.

Sehingga muncul perlawanan kepada negara penjajah di berbagai daerah. Kondisi tersebut berlangsung cukup lama sebelumnya akhirya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

Hanya saja perjuangan yang dilakukan di berbagai daerah mengalami kegagalan dan mampu ditaklukan.

Baca juga: Faktor Pendorong Munculnya Pergerakan Nasional

Faktor kegagalan

Dikutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sebelum abad ke-20 perjuaangan dan perlawanan bangsa Indonesia masih mengalami kegagalan dalam mengusir penjajahan.

Ada beberapa beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan, yakni:

  • Perjuangan bersifat lokal atau kedaerahan tidak secara serentak.
  • Secara fisik menggunakan senjata tradisional, seperti bambu runcing, golok, atau senjata tradisional lainnya. Sehingga kalah dalam persenjataan.
  • Dipimpin oleh tokoh-tokoh karismatik, seperti tokoh agama, atau bangsawan.
  • Bersifat sporadis atau musiman.
  • Efektifnya politik adu domba (devide et impera).

Perlawanan tersebut tidak menampakan hasilnya. Bahkan selalu gagal dan dapat diberantas oleh penjajah.

Pada waktu itu mereka berjuang bukan untuk Indonesia merdeka. Tapi bagaimana cara untuk mengusir penjajah dari daerahnya.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA