Istiqomah itu lebih baik daripada 1000

Selasa, 31 Juli 2012 | 14:30 WIB
Oleh : FMB

Show

Ilustrasi santri

Melaksanakan kegiatan secara konsisten berefek optimis, tidak pernah merasa takut, bersedih dan cemas.

Ada hadits Nabi Muhammad yang bunyinya begini: Al istiqomah khoirun min alfi karoomah. Artinya konsistensi itu seribu kali lipat lebih baik ketimbang karomah.

Kata Istiqomah yang berasal dari kata Istaqoma-Yastaqimu-Istiqomatan artinya mendirikan. Dalam bahasa Jawa berarti jejeg, dalam bahasa Sunda langgeng, dalam bahasa hukum adalah konsisten, dan dalam bahasa Inggrisnya adalah continue.

Mendirikan itu bukan sekedar melakukan tapi melaksanakan satu tindakan yang terus menerus tanpa henti. Orang yang bertindak istiqomah itu akan mendapatkan kemulian. Firman Allah dalam Surat Fushshilat ayat 30: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". Orang-orang yang istiqomah akan mendapatkan perlindungan baik di dunia maupun di akhirat dan apa-apa yang mereka minta dan hajatkan akan Allah penuhi. Sebagaimana Allah janjikan dalam ayat selanjut: "Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh [pula] di dalamnya apa yang kamu minta". Orang yang konsisten hidupnya selalu optimis, yakin terhadap tuhannya yaitu Allah SWT, mereka selalu konsisten tidak pernah merasa takut, bersedih dan cemas, karena ia merasa Allah SWT selalu bersamanya, dan ia yakin bahwa kehidupannya telah di jamin oleh Allah. Ada satu kisah bagaimana istiqomah melakukan hal-hal kecil bisa membawa keberentungan di masa yang akan datang. Tidak heran di pondok pesantren banyak kita temui santri-santri muda yang konsisten mengerjakan kebaikan walau kecil, misalnya selalu memilih sholat di pinggir tiang, selalu bangun dini hari untuk menegakkan sholat malam, menjadi muadzin setiap hari. Tersebutlah kisah nyata seorang santri di Pondok Pesantren Ilmu Qur'an [PIQ] Singosari Malang bernama Rofiuddin. Santri ini dikenal santri yang kurang pintar. Membedakan isim atau fi'il [kata benda atau kata sifat] saja tidak bisa. Tak heran kalau ia melalui sebagai santri hingga sepuluh tahun lamanya. Padahal santri lain sampai lulus cuma perlu enam tahun. Tapi begitu ia lulus dari pesantren, tiba-tiba membuat semua temannya kagum. Ia yang dianggap bodoh itu kini memimpin pondok dan sekolah di Gresik. Rupanya begitu lulus ia diminta orang baik yang kaya untuk memimpin pondok. Saking dicintainya para santri, beberapa kelas kalau tidak diajar dia, santrinya tidak konsern belajar, bahkan mogok belajar. Ternyata baru ketahuan selama ia menjadi santri di PIQ ia tidak pernah terlewat membersihkan aula. Setiap hari tidak pernah luput untuk menyapu, mengepel dan membuang sampah yang tercecer di aula. Aula di pondok adalah tempat untuk sholat jamaah, muhadhoroh dan sebagainya. Tidak heran setiap tahun PIQ selalu menjadi pondok yang menang dalam lomba kebersihan antar pesantren.

Kepandaian yang mendadak datang setelah lulus itu, menurut Kiai Basori Alwi, pengasuh Pondok PIQ karena ia selalu istiqomah. "Istiqomah itulah yang membuatnya memiliki ilmu laduni [ilmu yang datang didapat tanpa melalui tahap belajar]," kata Kiai Basori, seperti ditirukan salah seorang santrinya, Hadi Rahman kepada Beritasatu.com.


Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini

Islam Karomah keajaiban Kiai Ramadan


BAGIKAN

BERITA TERKAIT

PA 212 Akan Gelar Aksi Demo Diskriminasi Islam di India

BNPT: Terorisme Adalah Proksi untuk Hancurkan Islam dan Negara

Permintaan Kurma Hijra Meningkat Jelang Ramadan

Ekonomi Pulih, Brand Lokal Optimistis Hadapi Ramadan dan Idulfitri

Epidemiolog Unair: Kasus Covid-19 Terkendali Saat Ramadan dan Idulfitri

Ramadan dan Idulfitri Aman dari Covid-19, Ini Kuncinya

Bagikan:

Oleh: Ali Akbar bin Agil

Orang yang istiqamah selalu menjadikan ilmu sebagai makanan hati dan ruh
Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُون

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” [QS. Fusshilat: 30]

Al Wahidi dalam Asbaab Nuzuul Al-Qur`an menulis, Atha` menerima riwayat dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu `anhuma yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu `anhu yang memberikan bantahan atas ucapan Kaum Musyrik dan Yahudi.

Kaum Musyrik berkata, “Allah adalah Tuhan kami, sementara para malaikat adalah anak-anak-Nya.” Kemudian orang-orang Yahudi berkata, “Allah adalah Tuhan kami dan Uzair adalah anak-Nya, sementara Muhammad bukanlah seorang Nabi.” Baik ucapan kaum musyrik maupun yahudi menunjukkan kebodohan dan tidak istiqamah.

Mendengar ucapan dari dua golongan tersebut, Abu Bakar mengatakan dengan tegas, “Allah adalah Tuhan Kami Yang Mahaesa tiada sekutu bagi-Nya dan Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassalam adalah hamba sekaligus utusan-Nya.” Selanjutnya turun ayat, “Inna al-ladziina qaaluu rabbunal-Lah.”

Konteks Istiqamah

Kata istiqamah bisa dimaknai dalam berbagai situasi dan kondisi. Istiqamah dalam konteks akidah, amal, keikhlasan, ketakwaan, persaksian, dan ilmu. Konteks istiqamah telah banyak dijabarkan oleh sahabat-sahabat nabi yang menunjukkan kedalaman mereka dalam memandang jauh makna istiqamah.

Sayidina Abu Bakar radhiyallahu `anhu, contohnya, memberikan pengertian istiqamah sebagai teguh dalam beriman, memurnikan sesembahan, dan menjauhi kesyirikan. Imam Thabari meriwayatkan, Abu Bakar pernah ditanya tentang istiqamah yang terkandungan dalam bunyi ayat innalladziina Qaalu Rabbuna Allah Tsummas Taqaamuu,” kata beliau, “[Istiqamah adalah] kamu tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun.”

Di sisi lain, Sahabat Umar bin Khathtab radhiyallahu `anhu menegaskan makna istiqamah sebagai sebuah sikap teguh dalam, “melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, serta tidak berpaling seperti berpalingnya musang.”

Sementara, Sayidina Utsman bin Affan radhiyallahu `anhu memaknai istiqamah sebuah suatu sikap untuk memurnikan segala tindak-tanduk kita yang berkaitan dengan ibadah hanya untuk Allah, bukan selain-Nya. Beliau berkata tentang istiqamah, “Ikhlaskan [bersihkan] amal karena Allah semata.”

Adapun, Imam Ali bin Abi Thalib radhiyallahu `anhu memahami istiqamah sebagai bentuk ketegasan sikap dalam menjalankan kewajiban. Beliau mengatakan, “Kerjakanlah kewajiban-kewajiban.”

Dalam konteks yang berbeda, Al-Hasan menuturkan, “Mereka meneguhkan pendirian [istiqamah] di atas jalan perintah Allah Subhanahu Wata’ala, sehingga mereka melakukan perbuatan untuk taat kepada-Nya dan menjauhi kemaksiatan di jalan-Nya.”

Mujahid dan Ikrimah berujar, “Mereka meneguhkan pendirian dalam bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah sampai mereka bertemu dengan Allah.” Muqatil berkata, “Mereka meneguhkan pendirian dalam ilmu dan tidak keluar dari Islam.”

Imam Nawawi dalam salah satu karya populernya, Syarh Matn Al-Arba`in Al-Nawawiyyah, mengetengahkan sebuah hadits dengan judul Al-Istiqamah. Hadits ini jatuh pada urutan kedua puluh satu. Bunyinya, “Dari Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdullah Al-Tsaqafiy radhiyallahu anhu, ia berkata : “Aku telah berkata : ‘Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu.’ Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : ‘Katakanlah : Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu.” [HR. Muslim].

Imam Nawawi mengatakan yang dimaksud ungkapan Nabi, Qul Aamantu Bil-Laah Tsummas-Taqim,” [Katakanlah, ‘Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’] adalah, “Beristiqamahlah sebagaimana kamu telah diperintahkan dan dilarang mengerjakan suatu perbuatan.” Menurut Imam Nawawi, Istiqamah adalah, “Menetapi sebuah jalan dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan.”

Makna istiqamah yang dibawakan oleh Imam Nawawi itu selaras dengan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan [juga] orang yang telah taubat besertamu.” [QS. Huud: 112]. Ayat inilah yang membuat uban tumbuh lebih cepat di kepala Rasulullah. karena begitu beratnya perintah yang terkandung di dalamnya, yaitu istiqamah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam besabda: “Aku menjadi beruban karena turunnya Surat Hud dan sejenisnya.”

Sikap Muslim dalam Istiqamah

Lewat pengetahuan pemaparan makna istiqamah dalam berbagai konteksnya seperti diungkap oleh para sahabat dan ulama, kita dapat mengetahui bahwa istiqamah adalah suatu sikap konsisten, ajeg, dalam berbagai aspek kehidupan.
Seorang muslim, kapanpun dan di manapun, ia dituntut untuk bersikap teguh, tidak maju mundur, tetap berpendirian teguh dalam memurnikan iman dan akidah dari segala bentuk kesyirikan dan kekufuran.

Teguh dalam iman berarti memegang erat-erat dalam hati bahwa tiada tuhan yang layak disembah selain Allah Subhanahu wa Ta`ala. Segala bentuk penyembahan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta`ala merupakan sikap tidak istiqamah.

Seorang Muslim, tentunya juga bersikap teguh berdiri dalam ketakwaan, melaksakan perintah Allah Subhanahu wa Ta`ala dan menjauhi larangannya. Bertakwa tidak hanya saat berada di bulan Ramadhan saja, atau pada momen-momen tertentu, namun harus dilaksanakan dalam segala kondisi. Tujuannya, membangun jiwa dan pribadi yang muttaqin yang bercirikhaskan : beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian harta, beriman kepada Al Qur`an dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, dan yakin akan adanya kehidupan akhirat. [Qs. Al-Baqarah : 3-4].

Selain itu, ciri lain ketakwaan yang Allah Subhanahu wa Ta`ala paparkan adalah, mereka istiqamah dalam menafkahkan harta baik di waktu lapang maupun sempit, cerdas dalam meluapkan emosi, mudah memaafkan, dan bergegas memohon ampunan kepada Allah di tiap perbuatan dosa yang dilakukan. [QS. Ali Imran : 134-135].

Seorang Muslim, kapanpun dan di manapun, dituntut untuk beristiqamah dalam mencari ilmu sebagai landasan perkataan dan perbuatan kita. Artinya, orang yang istiqamah tidak akan melakukan dan melepas suatu ucapan seleum diketahui sumber ilmu guna menegaskan kebenaran dari perbuatan dan ucapannya.

Orang yang istiqamah selalu menjadikan ilmu sebagai makanan hati dan ruh. Jika tubuh menjadi lunglai dan lemas akibat tidak mengonsumsi makanan dan minuman, maka hati kita akan mati, sunyi, berselimut kegelapan, ketika ia kosong dari asupan ilmu yang bermanfaat.

Karenanya, ilmu mestilah diprioritaskan sebelum berbuat dan berkata. Istiqamah berarti berpendirian teguh, konsisten dalam belajar, mencari ilmu, menghadiri kajian ilmu, majlis-majlis ta`lim, demi terwujudnya istiqamah yang sebaik-baiknya.*/ bersambung >> “Buah Istiqomah Jaminannya Surga”

Penulis adalah pengasuh Majlis Ta`lim dan Ratib Al-Haddad di Plaosan, Malang, Jawa Timur

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Terkait

Bagikan:

Video yang berhubungan