Hukum jual beli yang dapat merusak harga pasar adalah

TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Persaingan antar pedagang, terkadang memicu mereka untuk banting harga. Fenomena ini menyebabkan pedagang modal cekak terancam gulung tikar. Agar tidak terjebak kesalahan, kita perlu memahami pandangan islam terkait permainan harga pasar.

Pada Kajian Muamalah dan Wirausaha Ramadhan di Masjid Jabalussu'ada BDI, Balikpapan, Sabtu (2/7) lalu dibahas mengenai hal ini. Kajian dibimbing ustad Muflih Safitra Msc yang membedah Majalah Pengusaha Muslim.

Dinamika di sebuah pasar sangat beragam, tapi semuanya berawal dari satu keinginan yaitu mencari untung. Para pedagang memiliki cara berbeda untuk mewujudkan keinginannya itu. Ada yang mencukupkan diri dengan jalan halal, dan pada saat yang sama, banyak pula yang menghalalkan segala macam cara.

Di antara cara manjur untuk mewujudkan untung ialah dengan menguasai harga jual atau harga beli. Semakin seseorang memiliki keleluasaan mengatur harga jual atau beli, semakin besar keuntungannya.

Islam memberi kebebasan kepada pemeluknya untuk menentukan harga jual harta miliknya. Karena itu, penentuan harga jual dalam Islam biasanya diserahkan kepada kesepakatan antara penjual dan pembeli. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sejatinya yang disebut dengan jual-beli ialah yang dilakukan dengan asas suka sama suka." (HR. Ibnu Majah)
Walau demikian, biasanya ada beberapa aspek yang mempengaruhi pedagang atau pembeli dalam menentukan harga. Di antaranya:

Tingkat kesulitan dan lama waktu produksi barang, biaya produksi barang, fungsi barang bagi masyarakat umum, fungsi barang bagi pembeli atau penjual-misal barang-barang antik dan yang serupa, penawaran dan permintaan (supply and demand) dan metode pembayaran.

"Di saat barang yang mereka inginkan sedikit, biasanya mereka rela membelinya dengan harga yang tidak akan mereka berikan bila barang sedang berjumlah banyak. Sebagaimana dipengaruhi pula oleh banyaknya jumlah peminat (calon pembeli), karena segala barang yang banyak peminatnya niscaya nilai jualnya menjadi mahal, berbeda dengan barang yang kurang peminatnya," ujar Muflih.

Demikian pula dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan masyarakat. Di saat tingkat kebutuhan mereka kepada suatu barang meningkat, otomatis nilai jual barang tersebut turut terkerek naik. Dan dipengaruhi pula oleh calon pembelinya, bila ia orang yang mampu lagi dapat dipercaya, biasanya penjual rela menjual barangnya dengan harga murah. Berbeda halnya bila calon pembelinya diyakini kurang mampu, atau akan menunda-nunda pembayaran atau malas melunasi pembayarannya.

Berbagai faktor tersebut secara dinamis silih berganti dan kadang secara bersamaan mempengaruhi naik-turunnya harga jual. Dan secara garis besar Islam merestui kondisi ini terjadi di pasar, karena itu semua terjadi secara alami, alias sesuai kodrat Ilahi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sejatinya Allah-lah yang menentukan harga, yang menyempitkan, melapangkan rizki dan Yang memberi rezeki. Sungguh aku berharap untuk menghadap kepada Alla tanpa seorangpun dari kalian yang menuntutku dalam suatu tindak kezaliman, baik dalam urusan jiwa ataupun harta." (HR. Abu Dawud)

Uraian tersebut berlaku dalam kondisi normal. Yakni ketika perubahan harga terjadi secara dinamis, selaras dengan kondisi masyarakat, tanpa rekayasa dari pihak mana pun. Namun Anda menyadari, dalam banyak kesempatan, beberapa kalangan dengan sengaja merekayasa kondisi tertentu guna mempengaruhi harga jual barang. Mereka lakukan guna mendapatkan keuntungan pribadi, walau dengan mengorbankan kepentingan orang lain, atau bahkan masyarakat.

Harga Pasar

Di antara ulah nakal sebagian orang guna mempengaruhi harga jual sebuah barang yang berlaku di pasar ialah dengan cara menimbun barang. Akibatnya, stok barang di pasar menipis, sedangkan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap barang itu tetap tinggi. Kondisi ini memaksa masyarakat untuk bersaing dengan menaikkan penawaran masing-masing agar berhasil mendapatkan barang yang diinginkan. Perilaku menimbun barang sangat merugikan masyarakat umum. Islam mengharamkannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa menimbun barang maka ia telah berdosa." (HR. Muslim)

"Di antara ulah nakal sebagian pedagang merekayasa harga ialah dengan membuat persekongkolan dengan orang lain untuk berpura-pura menawar atau membeli. Keberadaan para calon konsumen palsu ini, mengesankan kepada calon konsumen asli bahwa barang tersebut banyak yang meminati, sehingga wajar dijual dengan harga tinggi," ujar Muflih.
Persekongkolan semacam ini oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disebut dengan kata najesy (menjebak calon mangsa). Sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan, "Nabi melarang perbuatan najesy".

Para ulama ahli fikih menyatakan, bila persekongkolan ini merugikan konsumen dalam jumlah di luar kewajaran, maka konsumen dibenarkan untuk membatalkan pembeliannya.

Ulah nakal sebagian orang dapat merusak harga jual barang yang berlaku di pasar. Dan rusaknya harga jual barang tentu merugikan dan mengakibatkan kekacauan banyak pihak. Sedangkan syariat Islam sangat anti kekacauan. Tanpa terkecuali dalam urusan harga jual harta kekayaan umatnya.

Di antara ulah nakal sebagian orang guna mewujudkan keuntungan pribadi, walau dengan mengorbankan kepentingan masyarakat luas, adalah menjatuhkan harga jual barang. Dengan jatuhnya harga jual barang, akan banyak pedagang atau produsen yang berguguran. Dan bila hal itu benar-benar terjadi, hanya para pedagang dengan modal besar yang mampu bertahan dan akhirnya menguasai pasar. Dan bila pasar telah dikuasai segelintir pedagang, mereka akan dengan leluasa mempermainkan harga.

Anda pasti mengetahui bahwa ketatnya persaingan antar-pedagang sering menjadikan sebagian dari mereka kehilangan rasa iba dan toleransi sesama pedagang. Bagi mereka hanya ada satu pilihan: hidup dengan menjatuhkan kompetitor, atau mati dibunuh kompetitor.

Praktek nakal semacam itu tentu tidak selaras dengan kaidah-kaidah umum dalam syariat Islam. Hal ini mengingat Islam senantiasa mengedepankan kepentigan masyarakat luas dibanding kepentingan segelintir orang. Sebagaimana Islam juga dengan tegas menggariskan satu prinsip dasar. "Tidak dibenarkan merugikan orang lain sebagaimana tidak dibenarkan membalas perbuatan orang lain dengan cara yang lebih kejam." (HR. At Thabrany)

"Semua orang menyadari, mempermainkan harga jual barang dapat merugikan orang lain, terutama pedagang lain," kata Muflih.

Hukum Melanggar "Harga Pasar"
Para pedagang sering saling menjatuhkan harga jual demi menarik konsumen sebanyak-banyaknya, dan kalau bisa sekaligus menyingkirkan seluruh kompetitornya. Sebagai buktinya, lihatlah bagaimana produk-produk yang dipasarkan di sekitar Anda.

Ada yang dipasarkan dengan diskon. Ada pula yang dengan menambahkan komposisi barang. Banyak pula yang disertai tawaran hadiah barang lain, atau kupon undian berhadiah. Belum lagi bila Anda mencermati toko atau pusat-pusat perbelanjaan. Mereka pun tidak ingin ketinggalan berdiskon-ria. Semuanya berlomba membanting harga.

Praktek-praktek semacam itu sering berubah menjadi kompetisi kurang sehat yang berujung pada tersingkirnya pengusaha kecil bermodal cekak. Walau demikian, apakah ini semua cukup menjadi alasan untuk mengharamkan praktek semisal?

Namun pendapat ini tidak diamini oleh ulama penganut mazhab lainnya. Mereka lebih memilih untuk mengedepankan asas "suka sama suka" yang telah ditegaskan dalam banyak dalil, dibandingkan pertimbangan-pertimbangan yang diutarakan di atas.

Adapun adanya kekacauan atau tersingkirnya sebagian pedagang karena tidak kuasa mengikuti dinamika harga yang menurun, itu wajar, dan terlalu kecil bila dibanding sisi positifnya. Adanya persaingan ketat antar-pedagang menjadi berkah bagi konsumen. Sebagaimana persaingan antar-pedagang mendorong mereka kreatif dan inovatif serta mempertahankan dan bahkan meningkatkan mutu produk dan layanannya, sehingga roda-roda perdagangan dan industri terdorong maju. Dan bila Anda bandingkan antara dua pendapat tersebut, pendapat kedua lebih kuat secara pendalilan. Walau demikian, , permasalahan ini tidak dapat dilepaskan dari dua hal penting.

Pertama, Niat Pedagang Ketika Berkompetisi
Islam membolehkan para pedagang untuk berkompetisi bukan berarti mengizinkan mereka saling membunuh dan menjatuhkan. Yang demikian itu, mengingat Allah telah menentukan rezeki masing-masing manusia, tanpa terkecuali para pedagang. Karenanya tidak pantas khawatir jatah rezeki hilang atau terkurangi orang lain. Sukses Anda bukan berarti kehancuran kompetitor Anda sebagaimana sukses kompetitor Anda bukan berarti kehancuran Anda. Anda dan kompetitor, bahkan yang lain, bisa bersama-sama sukses.

"Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun telat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Cukupkanlah dirimu dengan rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram." (HR. Ibnu Majah)

Kedua, Pemerintah Berwenang Mengatur Harga
Para ulama walaupun berbeda pendapat, namun akhirnya sepakat bahwa pemerintah memiliki wewenang campur tangan dalam hal ini. Bila persaingan antar-pedagang menimbulkan keresahan dan tidak wajar, pemerintah berwenang membuat aturan mengikat. Semua itu demi mewujudkan maslahat bagi semua pihak dan menjaga stabilitas perekonomian masyarakat. (*)

Sumber Foto: www.bandidav.com

Pertanyaan:

Kepada Pengasuh Rubrik Tanya Jawab , saya ingin mengajukan pertanyaan, apakah ada ancaman hukumannya bila kita membeli barang dengan harga dibawah harga pasar. Hal ini saya tanyakan, karena beberapa kali saya ditawarkan barang antara lain telepon genggam (HP) maupun komputer jinjing (laptop) dengan harga yang murah dan dibawah harga pasar, namun saya takut untuk membelinya, karena khawatir bila ada konsekuensi hukumnya.

Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan yang diajukan. Jawaban yang kami berikan diawali dengan pembahasan Pasal 480 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi:

Pasal 480: Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-, dihukum:

1e. karena sebagai sekongkol, barangsiapa yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau  karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan, atau menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan.

Menurut buku Yurisprudensi Mahkamah Agung 2018 yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pasal 480 ke-1 KUHP menyatakan bahwa melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, yang diantaranya adalah menjual dan membeli terhadap barang yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, dikategorikan sebagai kejahatan penadahan.

Menjadi soal, KUHP tidak memberikan definisi, batasan atau penjelasan kondisi barang seperti apakah yang patut dikategorikan sebagai barang yang”patut diduga berasal dari kejahatan atau tindak pidana”, akibatnya memungkinkan terjadi penafsiran yang berbeda-beda ketika peristiwa pembelian barang di bawah harga pasar terjadi.

Menjawab keadaan itu, Mahkamah Agung telah konsisten berpendapat bahwa apabila sebuah barang dijual atau dibeli di bawah harga pasar/ standar, maka barang tersebut patut diduga berasal dari tindak pidana. Pada buku Yurisprudensi Mahkamah Agung 2018 yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia halaman 35 menegaskan, pendapat ini memang tidak dinyatakan tegas dalam putusan-putusan Mahkamah Agung. Namun, dari pertimbangan-pertimbangan yang diberikan, dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Agung berpendapat demikian.

Hal ini dapat dibaca dalam pertimbangan hukum putusan Nomor 170 K/Pid/2014 yang menyebutkan:

“ Bahwa alasan kasasi Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, karena putusan Judex Factie Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri adalah putusan yang telah mempertimbangkan pasal aturan hukum surat dakwaan secara tepat dan benar berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dan sesuai dengan alat bukyti yang diajukan dimuka sidang, yaitu Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penadahan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 480 Ke-1 KUHP

Bahwa seharusnya Terdakwa curiga dengan harga 1 (stau) unit pompa air milik PDAM seharga Rp. 3.000,00 (tiga ribu rupiah) yang tidak sesuai dengan harga pasar ”

Pada halaman 36 juga diuraikan adanya pertimbangan dalam Putusan Nomor 1008 K/Pid/2016 yang mempertimbangkan bahwa Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana penadahan karena telah membeli 1 (satu) unit Laptoip merk Toshiba dengan processor core i5 beserta charger-nya dan 1 (satu)  unit power bank serta 1 (satu) tas warna hitam seharga Rp. 2.200.000,- (dua juta dua ratus ribu rupiah), padalah harga pasar/standar untuk barang tersebut  adalah Rp. 5.500.000,- (lima juta lima ratus ribu rupiah).

Pada putusan-putusan  lainnya, pandangan ini juga digunakan untuk melihat apakah barang yang diperjualbelikan patut diduga berasal dari tidak pidana walaupun digunakan untuk menyatakan bahwa Terdakwa tidak terbukti melakukan penadahan.

Hal ini juga terdapat dalam putusan 770 K/Pid/2014 dan Nomor 607 K/Pid/2015, dimana Terdakwa dalam putusan-putusan tersebut membeli barang dengan harga yang sama dengan harga pasar/standar, sehingga barang tersebut tidak patut diduga berasal dari tindak pidana dan Terdakwa tidak terbukti melakukan penadahan, (dalam pandangan Penjawab, hal ini sebagai bentuk perlindungan terhadap Pembeli beritikad baik). Dikarenakan sikap hukum ini telah digunakan secara konsisten, maka sikap hukum ini telah menjadi yurisprudensi di Mahkamah Agung.

Demikian jawaban yang kami berikan, semoga memberikan bermanfaat.

Irawan Harahap

Founder & Owner www.yuridis.id

Founder & Owner Harahap Legal Training

Founder & Owner Kantor Hukum dan Konsultan Kekayaan Intelektual Terdaftar Irawan Harahap & Rekan

Advokat – Konsultan HKI – Mediator Bersertifikat – Auditor Hukum – Perancang Kontrak

WA (only): 081266753056