Hubungan antara makassar dan voc semula berjalan baik namun kemudian menjadi permusuhan karena

Makassar -

Perang Makassar 1666-1669 menjadi peristiwa penting bagi kerajaan-kerajaan di timur Nusantara. Perang yang terbilang singkat, namun mengakibatkan kerugian sangat besar.

Perebutan hegemoni dagang antara Kerajaan Gowa dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di timur Nusantara ini menjadi salah satu peperangan yang sangat sengit. Dari sini pula awal mula munculnya Perjanjian Bungaya atau biasa juga disebut Perjanjian Bongaya.

"Perang Makassar merupakan salah satu perang terbesar yang dihadapi oleh Belanda (VOC) di Nusantara setelah perang Diponegoro. Tidak berlangsung lama tapi mengakibatkan kerugian sangat besar bagi Belanda baik materi maupun korban jiwa," ungkap Sejarawan Universitas Negeri Makassar (UNM) Dr Bahri M.Pd, kepada detikSulsel Sabtu (19/3/2022).


Dalam perang ini, Kerajaan Gowa juga sangat dirugikan. Kerajaan Gowa harus membayar kerugian perang sesuai dengan Perjanjian Bungaya. Dominasi ekonomi di timur Nusantara juga jatuh pada VOC.

"Politik devide et impera yang dilakukan oleh VOC di masa itu mengakibatkan kerajaan di Sulsel bahkan dari daerah lain terlibat langsung dalam perang tersebut. Baik yang pro ke Belanda maupun Gowa," sebut mantan Ketua Prodi Pendidikan Sejarah UNM itu.

Seperti apa Perang Makassar 1666-1669 itu terjadi? Berikut diceritakan Bahri kepada detikSulsel.

Hasrat VOC Kuasai Timur Nusantara Picu Perang Makassar 1666-1669

Pelabuhan Somba Opu yang strategis karena penghubung nusantara di Barat (Malaka) dan di Timur (Maluku), juga karena kebijakan ekonomi pintu terbuka kepada semua bangsa menjadikan Somba Opu sangat ramai. Hasrat VOC untuk menguasai wilayah ini begitu besar.

Si pemilik rumah (Kerajaan Gowa) tidak membiarkan hal itu terjadi. Tercatat 2 perang besar yang melibatkan VOC dan Kerajaan Gowa dalam memperebutkan hegemoni politik dan ekonomi di Nusantara Timur, yaitu pada tahun 1653-1655 dan perang tahun 1666-1669.

Perang di episode kedua ini yang dahsyat karena telah melibatkan banyak pihak yang bersekutu pada dua pihak yang bertikai. Perang ini disebut perang Makassar, salah satu perang terbesar yang pernah dihadapi oleh VOC di Nusantara.

Perang melibatkan dua aktor utama, yakni Kerajaan Gowa dan VOC. Namun figuran dalam perang tersebut melibatkan banyak kerajaan, seperti Bone dan kerajaan lainnya. Banyak faktor yang menjadi pemicu terjadinya perang tersebut, di antaranya adalah upaya VOC menguasai pusat perdagangan yang sebelumnya milik Kerajaan Gowa.

Selain itu adanya pencaplokan wilayah Kerajaan Gowa atas hasutan dari VOC seperti penyerahan Pulau Muna oleh Ternate kepada Buton karena hasutan Belanda, padahal Muna sebelumnya adalah wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin murka, Kerajaan Gowa dipimpin oleh Karaeng Bontomarannu menyerang Buton dan Ternate.

Hubungan antara makassar dan voc semula berjalan baik namun kemudian menjadi permusuhan karena
Benteng Rotterdam peninggalan Belanda di Makassar. (Foto: Noval/detikcom)

Belanda turut campur dengan membantu Buton. Inilah episode awal meletusnya perang Makassar 1666-1669 yang berpengaruh terhadap konstalasi politik antar kerajaan di Sulawesi Selatan pada episode-episode sejarah selanjutnya.

Dengan kerajaan lokal lainnya, utamanya Kerajaan Bone, Gowa pun terlibat dalam perebutan hegemoni di Semenanjung Sulawesi Selatan. Bermula pada masa pemerintahan La Maddaremmeng (1631-1634) yang memerintah berasaskan syariat Islam dengan mengucilkan bissu, pelarangan perjudian, minuman arak, dan kegiatan takhayul.

Pemberontakan yang dilakukan oleh para bangsawan Bone dipimpin oleh Ibunda La Maddaremmeng Datu Pattiro we Tenrisoloreng yang dibantu oleh Gowa yang dengan cepat merespons dengan melakukan invasi militer. Bone takluk, Gowa berhasil menjadikan tawanan La Maddaremmeng dengan 30.000 pengikutnya. Pemberontakan Bone akhirnya dapat diredam, Bone akhirnya menjadi koloni Gowa yang menyebabkan masyarakat dan bangsawan Bone memiliki dendam yang berakar.

Perang Makassar Konflik Terbuka Sejak 1615

Perang Makassar merupakan konflik terbuka yang dimulai sejak 1615, ketika terjadi insiden penipuan terhadap bangsawan Gowa di atas kapal VOC Enkhuysen, yang dikenal peristiwa Enkhuysen. Kapten Kapal, Abraham Sterck dan De Vires (Komisaris VOC di Makassar) mengundang pembesar Gowa untuk bersilaturahmi di atas kapal.

Bangsawan Makassar memenuhi undang tersebut tanpa rasa curiga akan diserang dan ditawan. Inilah awal kebencian Gowa terhadap VOC. Berselang setahun setelah peristiwa tersebut, kapal VOC kembali berlabuh bernama De Endracht. Para awaknya diamuk sehingga tewas semua, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen mengumumkan perang terbuka kepada Gowa.

Gowa menaggapinya dengan perluasan wilayah kekuasaan ke daerah pelayaran dan perdagangan, utamanya Maluku dalam upaya mengusir VOC, penaklukan Kutai dan Bima pada 1618. Upaya penaklukan Bima usaha menghadapi ancaman penetrasi VOC yang secara terbuka menyatakan perang dengan Gowa pasca peristiwa Enkhusyen dan De Endracht.

Gowa pun berhasil mengislamkan Bima 1621 dengan raja yang bergelar Islam Abdul Kahir. Islamisasi terhadap Bima mendapat keuntungan bagi Gowa karena dalam perang Makassar, Bima menjadi sekutu bagi Makassar dalam melawan VOC dan sekutunya.

Peristiwa Enkhuysen dan De Endracht dan rentetan peristiwa yang mengikutinya, klimaks di tahun 1660 dengan awal meletusnya perang Makassar. Belanda dapat menduduki Benteng Panakkukang di awal peperangan yang memaksa terwujudnya perjanjian tanggal 19 Agustus 1660. Dari draft perjanjian tersebut jelas menempatkan Kerajaan Gowa pada pihak yang dirugikan.

Adapun isi pokok dari perjanjian tersebut di antaranya:

1) Kerajaan Gowa tidak akan mencampuri urusan terkait Buton dan Ambon2) Gowa tidak boleh mengadakan pelayaran ke Banda dan Ambon3) Portugis harus meninggalkan Gowa4) kerugian selama peperangan dibebankan kepada Gowa

5) VOC tetap akan menduduki Benteng Panakkukang selama Gowa tidak menandatangani perjanjian tersebut yang direbut 12 Juni 1660.

Sultan Hasanuddin dengan keras menolak kerja sama dan perjanjian yang disodorkan VOC, terutama pelarangan pelayaran Gowa ke Banda dan Ambon, serta pelarangan bermukim orang-orang Portugis di ibu kota kerajaan pada saat itu. Pelarangan perdagangan ke Banda dan Ambon berarti mematikan sumber penghasilan kerajaan yang menjadi penopang ekonomi kerajaan.

Terkait dengan orang Portugis adalah alasan nilai kemanusian yang harus dijunjung. Sultan Hasanuddin pun mengumumkan bahwa berperang adalah jalan terbaik daripada memenuhi segala tuntunan VOC.

Kapal VOC De Walfis Disita

Konstalasi semakin memuncak ketika penyitaan kapal VOC De Walfis yang kandas di Perairan Makassar tahun 1622. Selanjutnya penyitaan terjadi pada kapal De Leeuwin yang kandas di Pulau Doang-Doang. Meriam dan uang dirampas, sementara komisaris VOC Cornelis Kuyff dan 4 anak buahnya terbunuh. Peristiwa ini terjadi pada 24 Desember 1664.

Pada kondisi lain, VOC melakukan tindakan provokasi pada wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa dengan menjadi dalang ketika Sultan Ternate Mudarsyah menyerahkan Muna kepada Buton yang notabenenya adalah sekutu VOC dan musuh Gowa.

Membalas dengan cara lain, manfaatkan kondisi tersebut Sultan Hasanuddin protes dengan mengirimkan utusan ke Batavia tapi tidak ditanggapi. Gowa menempuh jalan konfrontasi dengan melakukan ekspedisi penyerangan. Ekspedisi pertama berhasil merebut Sula, sedangkan ekspedisi kedua Buton berhasil diduduki.

Kerajaan Gowa memanfaatkan rakyat koloni dari Bone dengan mempekerjakan menggali tanggul dalam upaya menghalau kemungkinan serangan dari darat. Bangsawan Bone termasuk Arung Palakka melarikan diri ke Buton dan menawarkan diri bersekutu dengan VOC untuk melawan Gowa. Peperangan terus berlangsung, VOC, Bone, Ambon, Buton, dan Ternate dibawah bersekutu melawan Gowa.

Kapten Jonker dari Maluku dan dan La Tenritatta dari Bone turut serta bersama VOC dalam menyerang Gowa yang diberangkatkan dari Batavia ke Gowa pada 24 November 1666. Armada tersebut sejak 19 Desember sudah mendekati sasaran, memaksa Kerajaan Gowa melengkapi persenjataan pada setiap benteng pertahanan.

Konflik antara Kerajaan Gowa-Tallo dan VOC sejak terjadinya peristiwa enkhuysen pada 28 April 1667 terus berlanjut, kepentingan ekonomi pada perdagangan rempah-rempah di Maluku menjadi pemicu. VOC ingin memperluas monopoli daganganya, sementara Gowa pada status ingin mempertahankan monopoli dagangnya di bagian Timur Nusantara, termasuk di Maluku dengan kebijakan perdagangan bebas. Konflik terus berlanjut yang memaksakan kedua belah pihak memperkuat armada perangnya untuk mengalahkan lawannya.

Perang Makassar, VOC-Sekutu Serang Bantaeng dan Galesong

Pada 19 Agustus 1667 VOC dan sekutunya menyerang Bantaeng dan Galesong dengan meriam kapal dan berhasil melakukan pendaratan, meskipun mendapat perlawanan sengit dari Gowa. Lumbung pangan di Galesong berhasil dibakar sebagai strategi untuk melemahkan perlawanan Gowa.

Target berikutnya adalah Benteng Barombong pada September dihujani tembakan meriam. Gowa membalasnya dengan meriam caliber 18 ponders. Secara tidak terduga Arung Palakka dan pasukannya menyerang dari arah timur, namun Gowa dapat mempertahankan Benteng Barombong, Arung Palakka dipukul mundur, sementara VOC belum mampu melakukan pendaratan langsung.

Pada 3 September 1667, armada VOC dan Bone berhasil mendarat di Batu-batu Selatan Benteng Barombong. Kemudian membuat tanggul pertahanan dari Barombong di selatan hingga Tallo di utara. VOC dan Bone berhasil mendaratkan pasukannya di Sungai Aeng.

Belanda membuat daerah konsentrasi agar pasukan berikutnya dimudahkan untuk mendarat. Pasukan Gowa Tallo terus mengamati pergerakan pasukan Arung Palakka yang memimpin penyerangan pos pantai Kerajaan Gowa.

Pada 17 September 1667 peperangan berlanjut, VOC dan Bone terus menyerang, namun pertahanan Gowa tetap kokoh. Bahkan Gowa mempersiapkan untuk menyerang Bone dengan 300 perahu yang berlayar dari Tallo, laut Ajattappareng mendarat di Alitta dan di sekitar Danau Tempe.

Jelas ini menimbulkan kegelisahan bagi pasukan Bone, yang hilang ketika mendengar berita bahwa pasukan Gowa hanya berjumlah 1.000 yang akan dipimpin oleh Karaeng Garassi. Spelman menempatkan armadanya di Tallo untuk mencegah pasukan Gowa.

Dalam pertempuran pada 26 Oktober 1667, pasukan VOC berhasil memukul mundur pasukan Makassar hingga mendekati Benteng Somba Opu. Hal itu menimbulkan kegusaran pada pasukan Makassar yang berada pada sejumlah benteng pertahanan hingga mengundurkan diri ke Benteng Somba Opu yang merupakan benteng utama untuk mempertahankannya.

Speelman Kirim Surat ke Sultan Hasanuddin

Inilah saat yang tepat untuk menawarkan perundingan daripada melancarkan serangan atas Benteng Somba Opu. Akhirnya Speelman mengirim sepucuk surat yang isinya menawarkan perundingan pada 29 Oktober 1667. Dalam surat balasan Sultan Hasanuddin diusulkan gencatan senjata selam tiga hari utuk memikirkan tentang rencana perdamaian, dan permintaan gencatan senjata itu dikabulkan.

Kemenangan Speelman dengan bantuan sekutunya, Bone, Soppeng, Mandar, dan Luwu, disambut dengan gembira oleh Batavia, Mereka berkeliling kanal-kanal di Batavia di atas perahu-perahu yang dihias.

Tidak demikian keadaan yang dialami oleh Speelman dan kawan-kawan di Makassar. Speelman dalam suratnya pada 5 November 1667 memberikan laporan kepada atasannya tentang keadaan dan semangat anak buahnya. Dikatakan Ick ben Godt dank, noch gesont en sterk (saya bersyukur pada tuhan, bahwa saya masih sehat dan kuat), namun sewaktu-waktu dapat dijangkiti penyakit. 182 serdadu dan 95 matros jatuh sakit, demikian juga orang Bugis, Buton, dan Ternate menderita sakit perut.

Perundingan mulai dilaksanakan pada 13 November 1667 di Kampung Bungaya, dekat Barombong. Dalam perundingan Sultan Hasanuddin menggunakan serangan penerjemah dan dialog. Namun hal itu dipandang berlarut-larut sehingga Speelman mengajukan menggunakan bahasa Melayu atau bahasa Portugis, karena umumnya para penguasa dan bangsawan mengerti dua bahasa itu.

Hubungan antara makassar dan voc semula berjalan baik namun kemudian menjadi permusuhan karena
Kawasan Benteng Rotterdam salah satu tempat terjadinya perang Makassar (Foto: Noval/detikcom)

Akhirnya diputuskan menggunakan bahasa Portugis, juru bicara pihak Kerajaan Makassar adalah Karaeng Karunrung dan di pihak VOC tampil Speelman. Speelman mengawali dengan mengajukan 26 butir tuntutan kepada pihak penguasa Kerajaan Makassar.

Ketika tuntutan itu dibacakan, para utusan Makassar terlihat gempar karena sangat memberatkan. Tawar menawar dalam perundingan itu terus berlangsung hingga dicapai kesepakatan untuk menandatangani butir-butir dalam perjanjian yang disodorkan oleh VOC pada 18 November 1667. Belanda dari laut dan Bone dari darat.

Sepakat Tanda Tangan Perjanjian Bungaya Akhiri Perang Makassar

Setelah melalui perang yang dahsyat dan berlarut-larut, sekutu sejati Makassar hanya komunitas Wajo dan Melayu Sultan Hasanuddin akhirnya menandatangani Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667. Perjanjian itu mewajibkan Makassar membongkar sebagian besar benteng, menyerahkan seluruh perdagangan rempah, menghentikan semua impor dari sumber-sumber lain selain VOC, Belanda mengusir orang-orang Portugis, dan melepaskan negara bawahan baik pulau lain maupun di tanah Bugis, pada 1669 Sultan Hasanuddin turun tahta .

Rentetan peristiwa tersebut merupakan liku terjalnya Perang Makassar. Bagi Belanda, Gowa telah melakukan pelanggaran berat dengan melakukan perampasan dan pembunuhan terhadap orang VOC. Sementara Gowa beranggapan bahwa VOC telah melakukan kejahatan dengan memprovokasi Ternate dan Buton untuk melawan Makassar. Gowa tidak menerima kelakuan VOC yang melindungi pelarian Arung Palakka dan pengikutnya.

Tatanan baru telah tercipta dengan tampilnya dua kekuatan besar di kawasan ini. Kerajaan Bone di bawah ketokohan Latenritatta Arung Palakka dan VOC dengan tokoh utama Speelman.

Setelah perang Makassar, setidaknya ada tiga kekuatan yang bersaing, baik secara diam-diam dan tersembunyi ataupun secara terang-terangan dan terbuka. Kekuatan yang dimaksud adalah, kekuatan kompeni Belanda (VOC), di bawah pimpinan Speelman, kekuatan sekutu Bone-Soppeng di bawah pimpinan Arung Palakka, dan terakhir kekuatan sekutu Gowa-Wajo yang merasa tidak terikat oleh perjanjian Bungaya ini.

Tiga kekuatan besar di atas saling menunjukkan kekuatan masing-masing. Namun untuk kekuatan yang terakhir tersebut, Gowa-Wajo tidak menjadi kekuatan superior untuk selanjutnya, walaupun dalam keadaan tertentu mereka tetap menjadi "duri dalam daging" bagi dua kekuasaan lainnya. Terlepas dari tiga kekuatan yang saling menunjukkan keunggulannya.

Secara nyata tahun 1674 perdamaian tercapai di kawasan ini. Sulawesi Selatan berada dalam kendali terpusat dengan ketokohan Latenritatta Arung Palakka. Pada tahun 1670 secara politis, Arung Palakka kemudian menjadi orang terkuat di Sulawesi Selatan sampai ia wafat pada tahun 1696.

Perjanjian Bungaya yang dicapai untuk mengakhiri Perang Makassar (1666-1667), sesungguhnya suatu pergolakan politik yang sangat rumit dipecahkan. Kesediaan Arung Palakka bersekutu dengan kompeni dengan tujuan dapat membebaskan Kerajaan Bone dan Kerajaan Soppeng yang ketika itu berada dalam pengaruh kekuasaan Kerajaan Makassar.

Pada sisi lain, kesediaan kompeni untuk berkolaborasi dengan Arung Palakka bertujuan untuk dapat meruntuhkan emporium Kerajaan Makassar demi melapangkan kebijakan monopoli rempah-rempah di Maluku. Jika usaha itu berhasil, maka Belanda merupakan satu-satunya negeri memegang kedudukan utama dan terutama dalam pemasaran produksi rempah-rempah di Eropa.

Ambisi untuk monopoli perdagangan rempah-rempah dan menempatkan negaranya menjadi pusat pemasaran komoditi itu mendorong dan memberanikan kompeni untuk menyatakan perang terhadap Kerajaan Makassar.

Perang Makassar sebagai suatu momentum perubahan. Perubahan dari segala aspek. Bukan hanya perubahan dari aspek politik, namun juga sosial, budaya, dan ekonomi. Perang yang berlangsung kurang lebih empat tahun lamanya, terhitung dari tahun 1666-1669 yang kemudian berakhir dengan Perjanjian Bungaya.

Jika perang Makassar sebagai suatu proses maka Perjanjian Bungaya adalah akhir dan hasil dari proses itu. Suatu konsekuensi logis, bahwa dalam perang maka akan memunculkan pihak sebagai pemenang dan di lain sisi ada pihak yang kalah. Pihak yang menang akan menjadi penguasa baru dan yang kalah akan menjadi bawahan.

Penguasa baru akan mewarnai zamannya dengan ciri tersendiri yang membedakan dengan ciri penguasa sebelumnya. Hal inilah kemudian yang terjadi di Jazirah Sulawesi Selatan atau kawasan Indonesia timur umumnya. Kerajaan kembar Gowa-Tallo sebagai penguasa atasan dan superior di kawasan ini kini berakhir dan terganti oleh keunggulan Kerajaan Bone, Soppeng bersama dengan sekutunya VOC (Kompeni Belanda).

Simak Video "Kapal Perang Ikut Latihan Penanggulangan Bencana di Makassar"


[Gambas:Video 20detik]
(asm/nvl)