Faktor faktor yang menjadikan masyarakat arab pra Islam menyimpang dari ajaran Tauhid

KOMPAS.com - Salah satu kebiasaan buruk bangsa Arab sebelum Islam adalah menyembah berhala dan membuat persembahan untuk berhala.

Padahal jauh sebelumnya, tepatnya pada masa Nabi Ibrahim, masyarakat Arab sudah mengenal Allah sebagai suatu zat maha terpuji yang layak disembah.

Saat itu, masyarakat Arab menganut ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, kemudian dilanjutkan oleh putranya, Nabi Ismail.

Lantas, bagaimana latar belakang bangsa Arab menyembah berhala?

Baca juga: Hubal, Berhala Paling Dimuliakan Masyarakat Mekkah Zaman Jahiliyah

Latar belakang masuknya berhala di Kota Mekkah

Perjalanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membuahkan sejumlah ajaran dan kebudayaan yang sampai sekarang masih terpelihara oleh umat Islam, seperti ibadah haji dan peristiwa kurban.

Namun, setelah Nabi Ismail wafat, masyarakat Arab melenceng dari ajaran Nabi Ibrahim dan memilih menyembah berhala.

Penyembahan berhala mulai masuk ke Mekkah setelah perjalanan Amru bin Luhai ke Syam (Suriah).

Amru bin Luhai adalah pembesar suku Khuza'ah yang pertama kali membawa berhala ke Kota Mekkah.

Pada saat perjalanannya ke Syam, ia melihat penduduk kota tersebut melakukan ibadah dengan cara berbeda dari masyarakat Arab, yakni menyembah berhala.

Amru bin Luhai tertarik untuk mempelajari dan kemudian mempraktikkannya di Mekkah.

Baca juga: Kisah Nabi Muhammad Sebelum Diangkat Menjadi Rasul

Akhirnya, Amru bin Luhai meminta sebuah berhala dari suku Amaliqah sebagai kenang-kenangan dan dijadikan alat beribadah masyarakat Mekkah.

Berhala yang dibawa itu diberi nama Hubal, yang diletakkan di Kabah.

Dari situlah tercipta penyimpangan-penyimpangan dari ajaran Hanif yang diajarkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Adapun faktor pendorong terjadinya penyimpangan pada masa Arab Jahiliyah adalah sebagai berikut.

  • Kecenderungan untuk mengagungkan leluhur yang telah berjasa terutama pada kabilah nenek moyang mereka
  • Rasa takut menghadapi kekuatan alam yang menimbulkan bencana mendorong mereka mencari kekuatan selain Allah
  • Adanya kebutuhan terhadap Tuhan yang selalu bersama, terutama saat mereka membutuhkan

Zaman sebelum datangnya Islam yang dipenuhi penyimpangan pun disebut sebagai zaman Jahiliyah, atau zaman kebodohan dan kegelapan.

Pasalnya, pada masa itu, masyarakat Arab tidak menggunakan akal dan pikirannya untuk mempertahankan ajaran yang benar. Mereka hanya mengikuti nafsu dan kesenangan.

Baca juga: Strategi Dakwah Nabi Muhammad di Madinah

Berhala terbesar di Mekkah

Hubal adalah berhala terbesar dan paling dimuliakan masyarakat Arab Jahiliyah.

Berhala Hubal, yang terbuat dari batu akik berwarna merah dan berbentuk manusia, diletakkan di Kabah dan menjadi pimpinan berhala lainnya, seperti Latta, Uzza, dan Manna.

Sebagai pembawa berhala ke Mekkah, Amru bin Luhai mengajarkan masyarakat tata cara menyembah berhala, sebagaimana yang ia pelajari di Syam.

Masyarakat pun mulai meyakini bahwa berhala adalah perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Dari situlah, mereka mulai membuat berhala-berhala lainnya hingga jumlahnya mencapai 360 berhala, yang diletakkan mengelilingi Kabah.

Sejak saat itu, Mekkah menjadi pusat penyembahan berhala. Orang-orang yang pada musim haji mengunjungi Mekkah dan melihat berhala, kemudian mengkuti tata cara ibadah yang melenceng itu di daerah asalnya hingga menyebar ke seluruh Jazirah Arab.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Jakarta -

Kondisi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam berada di masa jahiliah. Namun mengutip dari repository Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN SUSKA), jahiliah tidak merujuk pada bodoh.

"Arti dari kata jahiliah adalah kesombongan, kemarahan, dan ketidaktahuan. Penggunaan kata ini kepada masa pra Islam menunjukkan pada era saat ketiganya sangat menonjol di masyarakat," tulis respository mengutip bukku Fajr al-Islam yang ditulis Amin Ahmad.

Jahiliah juga berkaitan dengan kepercayaan sesat, peribadatan yang salah, kekuasaan yang sewenang-wenang, dan ketidakadilan hukum. Kondisi ini menimbulkan rasa takut, khawatir, dan kekacaauan yang tidak kunjung berakhir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kondisi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam ditulis Masudul Hasan dalam History of Islam. Buku tersebut menceritakan, masyarakat Arab mengalami kemerosotan moral. Minuman keras, judi, cabul, dan seks bebas adalah hal biasa.

"Kaum wanita diperlakukan seperti barang bergerak yang dapat dijual atau dibeli. Para penyair mendendangkan
keburukan moral dengan penuh kebanggaan. Jika ada yang meninggal, maka anak mewarisi ibu tiri dan barang lainnya," tulis buku tersebut.

Anak bahkan bisa menikahi ibu tiri mereka. Yang lebih parah, anak perempuan yang baru lahir akan dicekik atau dikubur hidup-hidup. Selain itu, perbudakan adalah hal wajar dengan majikan yang berkuasa penuh hingga hidup mati.

Dengan kondisi tersebut, mereka yang kaya hidup bergelimang harta sedangkan yang miskin semakin kekurangan. Jurang pemisah antara masyarakat kaya dan miskin terasa makin dalam dan jauh. Masyarakat kaya dapat mengeksploitas yang lebih miskin.

Kondisi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam ini berubah usai kedatangan Rasulullah SAW, yang membawa ajaran Islam dari Allah SWT. Namun Islam sejatinya tidak mengubah seluruh tatanan dan nilai yang dianut masyarakat Arab.

Repository yang mengutip The Makkan Crubicle karya Zakaria Bashier menyatakan, Islam mengarahkan nilai-nilai masyarakat Arab hingga sesuai syariat. Nilai yang baik dipertahankan meski cara dan tujuan mencapainya diubah.

Tentunya tradisi dan kebiasaan buruk yang tidak sesuai ajaran Islam dihapus. Misalnya membunuh anak perempuan baru lahir, seks bebas, berjudi, dan merendahkan wanita. Perubahan dilakukan meski membutuhkan pengorbanan dan waktu yang tidak sebentar.

Dengan penjelasan ini, semoga kondisi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam dan perubahannya dapat digambarkan dengan baik. Selamat membaca detikers.

Lihat juga Video: Arab Saudi Buka Pintu untuk Warga Indonesia, Ini Syaratnya!

[Gambas:Video 20detik]

(row/erd)

Nabi Muhammad saw membawa ajaran Islam di tengah bangsa Arab yang sudah mapan dengan akidahnya. Hanya saja, agama yang mereka anut sudah jauh dari garis wahyu yang sudah disampaikan oleh Allah melalui Nabi Ibrahim as jauh sebelumnya. Di sini lah peran Rasulullah untuk meluruskan kembali sekaligus memperbarui akidah masyarakat jahiliah.


Agama Hanif

Untuk bisa mengkaji sejarah dakwah Nabi Muhammad saw dengan utuh, kita tidak boleh melupakan kondisi sosial religius masyarakat Makkah ketika itu, baik saat masa jahiliah ataupun sebelumnya. Sebelum masa jahiliah, bangsa Arab telah menganut agama Hanif, yaitu agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Hal demikian terjadi karena bangsa Arab sendiri merupakan anak cucu Nabi Ismail as, putra Ibrahim. Allah swt menegaskan dalam Al-Qur’an,


قُلۡ صَدَقَ ٱللَّهُۗ فَٱتَّبِعُواْ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ  


Artinya: “Katakanlah: ‘Benarlah (apa yang difirmankan) Allah’. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. (QS. Ali Imran [3]: 95)


Kata ‘Hanif’ disebutkan jelas pada ayat di atas sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Dalam beberapa ayat lain, Allah swt juga menyebutkan jelas kata tersebut. Seperti dalam surat Al-An’am ayat 161 dan surat An-Nahl ayat 123.


Berdasarkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, ayat tersebut memerintahkan umat Muslim untuk mengikuti agama yang dibawa Nabi Ibrahim tersebut. Karena pada dasarnya ajaran Ibrahim sama dengan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. (Ibnu Katisr, Tafsir Al-Qur’anil ‘Adzim, juz II, h. 66) 


Maksud agama Nabi Ibrahim sama dengan Nabi Muhammad adalah dalam hal bertauhid, yaitu sama-sama memerintahkan untuk hanya menyembah Allah swt, sebagaimana esensi setiap ajaran nabi-nabi pada umumnya.


Setelah sekian abad berlalu, ajaran Nabi Ibrahim mulai mengalami banyak penyimpangan oleh pemeluknya sendiri. Agama yang dulu hanya menyembah satu Tuhan, kini tidak lagi. Kian hari, parktik-praktik kemusyrikan semakin marak di kalangan masyarakat Arab. Kebodohan bangsa saat itu membuat mereka akhirnya terjerumus dalam taklid buta kepada para nenek moyang untuk menyembah berhala dan banyak laku kemusyrikan lainnya. Karena itulah Nabi Muhammad diutus.


Berhala pertama

Sebelum bangsa Arab terjerumus dalam kemusyrikan, mereka adalah bangsa yang berpegang teguh pada akidah yang bersumber dari wahyu Allah swt. Semuanya berubah ketika seseorang bernama Amr bin Luhay bin Qam’ah (leluhur Suku Khuza’ah) membawa berhala pertama ke Makkah dan mengajak orang-orang untuk menyembahnya. Berhala itu bernama Hubal yang ia bawa dari Syam.


Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah-nya menjelaskan, seorang yang bernama Amr bin Luhay pergi dari Makkah menuju ke Syam untuk suatu kepentingan. Begitu ia tiba di daerah bernama Maarib, di wilayah Balqa yang didiami oleh suku Amaliq (keturunan dari Imlaq), Amr melihat orang-orang itu menyembah berhala dan bertanya, “Berhala-berhala model apakah yang kalian sembah itu?”


Mereka menjawab, “Kami memuja para berhala untuk meminta hujan, kemudian mereka pun menurunkannya. Kami memohon kepada mereka, dan mereka mengabulkan permohonan kami.” Rupanya Amr begitu saja mempercayai semua itu dan membuatnya tertarik untuk meminta satu berhala yang bernama Hubal untuk dibawa ke Jazirah Arab dan disembah penduduk setempat.


Dalam versi lain disebutkan, kemunculan berhala murni karena faktor internal orang-orang Makkah sendiri. Dikisahkan, saat masyarakat penduduk Makkah mengalami kesulitan, mereka akan pergi ke negeri-negeri lain dengan membawa batu-batu dari tanah suci Makkah sebagai bentuk penghormatan. Jika sampai di sebuah tempat, mereka berhenti dan meletakkan batu tersebut untuk diputari, persis seperti saat thawaf mengelilingi Ka’bah.


Lambat laun, tradisi ini mengalami pergeseran paradigma dan penyimpangan makna. Sikap hormat yang berlebihan pada batu-batu tersebut kebablasan dan dijadikan berhala untuk disembah. Kian hari, penyimpangan akidah mereka kian parah, hingga ajaran-ajaran agama Nabi Ibrahim lenyap begitu saja. Kendati demikian, masih ada beberapa orang yang mengajarkan agama Ibrahim tersebut, seperti Qass bin Sa’idah al-Iyyadi, Ri’ab asy-Syinni, dan Buhaira sang Rahib. 


Meski begitu, ajaran-ajaran yang dibawa kelompok setia tersebut juga tidak lagi murni sebagaimana apa yang dulu Nabi Ibrahim sampaikan. Seperti redaksi kalimat talbiyah yang mengalami reduksi sebagai berikut,


لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ. لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ إِلَّا شَرِيْكٌ هُوَ لَكَ. تَمْلِيْكُهُ وَ مَا لَكَ


Artinya: “Aku menyambut seruan-Mu ya Allah, aku menyambut seruan-Mu. Tiada sekutu kecuali sekutu yang Engkau miliki. Yang Engkau miliki dan dia miliki pula.” (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, juz I, h. 94-96)


Dalam catatan Ibnu Hisyam dijelaskan, begitu penduduk Makkah meninggalkan agama Nabi Ismail, mereka menamai berhala-berhala dengan nama mereka sendiri, baik yang masih memiliki garis keturunan dengan Nabi Ismail ataupun bukan. Seperti Hudzail bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar yang membuat berhala dengan nama Suwa’ dan Kalb bin Wabrah dari Qudha’ah dengan berhala bernama Wadd. (Ibnu Hisyam, juz I, h. 97)


Demikianlah kondisi sosial religius bangsa Arab ketika Nabi Muhammad saw diutus. Artinya, masyarakat saat itu benar-benar berada dalam penyimpangan agama yang serius. Meski begitu, mereka pernah memiliki rekam historis keagamaan yang benar dengan memeluk agama Hanif. Di sini lah tugas Nabi untuk mengembalikan mereka ke dalam ajaran yang lurus. 


Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta