Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara

Opini Oleh : Dr. Sakka Pati, SH., MH., (Kapuslitbang Konflik Demokrasi Hukum dan Humaniora LPPM Unhas)

PORTALMAKASSAR.COM – Pada zaman yang semakin modern dan serba maju ini, ternyata kesenjangan ekonomi masyarakat masih menjadi “pekerjaan rumah” yang belum mampu diselesaikan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara

ADVERTISEMENT

Bahkan sama saat ini, begitu mudah dijumpai para pengemis dengan bermacam sebutan seperti gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak jalanan.

Mereka adalah cerminan kehidupan fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Masyarakat fakir, miskin, dan anak-anak yang terlantar dianggap sebagai kondisi ekstrim keterbelakangan kondisi perekonomian seseorang sehingga negara harus memberikan perhatian khusus.

Hal ini dilakukan dengan melakukan pemeliharaan terhadap mereka. Dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dinyatakan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.

Keberadaannya yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu menjadi pertanyaan besar, apakah benar fakir miskin dan anak terlatar “dipelihara” oleh negara?

Secara etimologi, kata “dipelihara” berasal dari kata dasar “pelihara” yang artinya dijaga atau dirawat. Apabila merujuk pada pengertian tersebut, maka memang benar fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, karena hingga saat ini keberadaannya masih ada dan dibiarkan terus bertambah.

Apabila arti yang demikian digunakan pada kalimat Fakir miskin dan anak terlantar “dipelihara” oleh negara maka berkembang dan bertambahnya masyarakat kaum fakir, miskin, dan anak terlantar merupakan tujuan yang diharapkan.

Masyarakat gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak-anak jalanan yang makin hari terus bertambah jumlahnya menunjukkan keberhasilan “pemeliharaan” terhadap mereka.

Namun jika merujuk pada terminology hukum, maka kata “dipelihara” tersebut mengarah pada makna “penanganan” fakir miskin. Untuk itu, penanganan fakir miskin dan anak-anak terlantar dapat merujuk pada makna penanganan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Fakir Miskin bahwa yang dimaksud dengan penanganan fakir miskin yaitu upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
Dengan kata lain, negara melalui penyelenggara negara yaitu pemerintah baik pusat maupun daerah harus mampu memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin dan anak-anak terlantar tersebut agar tidak terus bertambah angkanya. Untuk itu, pemerintah kabupaten/kota yang dapat melihat dari dekat kondisi dan keberadaan mereka harus mampu menyiapkan strategi-strategi khusus untuk menyelenggarakan program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin dan anak-anak terlantar tersebut.

Di Kota Makassar sendiri, sepanjang lampu merah akan ditemui banyak pengemis mulai dari orang tua hingga anak-anak yang masih berada di usia sekolah. Bahkan tidak jarang seorang “ibu” membawa bayinya untuk ke jalanan untuk mengemis.

Anak dengan usia sekolah, yang harusnya mampu menjadi generasi emas di masa mendatang, justru sejak dini telah diperkenalkan dengan dunia “mengemis”. Masa depannya telah dihancurkan, dan dunia anak-anaknya telah diwarnai dengan dunia orang dewasa yang harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya.

Gambaran ini harusnya mampu menarik perhatian khusus pemerintah agar fakir miskin dan anak-anak terlantar benar-benar dipelihara dalam terminology hukum. Akan menyedihkan sekali apabila kata “dipelihara” pada Pasal 34 ayat (1) UUD NRI 1945 diarahkan artinya pada mempertahankan eksistensi atau mengembangbiakkan fakir miskin dan anak terlantar.

Tentu saja, kita harus percaya bahwa makna kata “dipelihara oleh negara” dalam Pasal 34 ayat (1) UUD NRI 1945 mengarah pada terminology hukum yang artinya “penanganan”.

Oleh sebab itu, yang harus menjadi rujukan pemerintah dalam menangani hal tersebut yaitu Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Fakir Miskin. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk “memelihara” fakir miskin dan anak-anak terlantar dalam artian positif, yang salah satu bentuk tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam Pasal 14 jo. Pasal 1 angka 4 dan 5 UU Fakir Miskin yang secara tegas mengamanatkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk bertanggung jawab menyediakan pelayanan perumahan.

Yang dimaksud dengan ”penyediaan pelayanan perumahan” adalah bantuan untuk memenuhi hak masyarakat miskin atas perumahan yang layak dan sehat.

Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara

ABSTRAK Undang-Undang Dasar 1945 adalah landasan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai hukum dasar tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti halnya Pasal 34 Ayat 1 Undang -Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Fakir Miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Pasal 34 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut mempunyai makna bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara yang dilaksanakan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pada kenyataan dilapangan saat ini, Undang-Undang tersebut tidak berjalan sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Di kota Banda Aceh yang merupakan ibukota dari provinsi Aceh, kita dengan mudah menemukan para fakir miskin yang mendapat penghasilan dari mengemis di jalanan, pusat keramaian, warung kopi, lampu merah dan rumah ibadah. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat strategi dan faktor penghambat yang dialami pemerintah kota Banda Aceh dalam mengimplementasikan Pasal 34 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 di kota Banda Aceh. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara kualitatif dengan sumber observasi lapangan, dokumentasi dan wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini, strategi yang dilakukan pemerintah kota Banda Aceh adalah melakukan pembinaan, pemberdayaan dan penanganan terhadap fakir miskin dan anak terlantar sedangkan faktor yang menjadi kendala pemerintah kota banda aceh adalah masih kurangnya kesadaran masyarakat kota Banda Aceh, baik yang menjadi objek kebijakan maupun masyarakat umum. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi permasalahan fakir miskin dan anak terlantar di kota Banda Aceh. kurangnya kesadaran beberapa pihak yang belum mengerti bahwasanya permasalahan tersebut adalah tanggungjawab bersama masih menjadi kendala.

Kata Kunci: Implementasi, Strategi, Fakir Miskin, Anak Terlantar.

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Fakir Miskin Tanggung Jawab Siapa? yang ditulis oleh Dimas Hutomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 11 Desember 2018.

Fakir Miskin

Istilah “masyarakat miskin” sebagaimana Anda maksud dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin (“UU Fakir Miskin”) dengan sebutan “fakir miskin”.

Dalam pasal ini, yang dimaksud dengan fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.

Fakir Miskin dan Anak-Anak yang Terlantar Dipelihara oleh Negara

Secara hukum, fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi:

Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Pengejawantahan dari Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 ini dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dalam bentuk penanganan fakir miskin, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam UU Fakir Miskin.

Penanganan Fakir Miskin

Sebagai suatu upaya terhadap fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, dilakukan penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.[1] Kebutuhan dasar yang dimaksud yaitu kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.[2]

Dalam memenuhi amanat Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, pelaksanaan penanganan fakir miskin oleh pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Sosial.[3]

Adapun di tingkat daerah, pelaksanaan penanganan fakir miskin dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi di tingkat provinsi serta pemerintah daerah kabupaten/kota di tingkat kota, sesuai dengan wewenang masing-masing sebagaimana dituangkan dalam Pasal 28-32 UU Fakir Miskin.

Pendataan Fakir Miskin

Sebagai dasar untuk melaksanakan penanganan fakir miskin dalam upaya mewujudkan amanat Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, Menteri Sosial menetapkan kriteria fakir miskin berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait.[4]

Selanjutnya, Badan Pusat Statistik (“BPS”) akan melakukan pendataan berdasarkan kriteria tersebut.[5] Terhadap hasil pendataan tersebut, Menteri Sosial melakukan verifikasi dan validasi yang dilakukan secara berkala, minimal 2 tahun sekali.[6]

Selain itu, seorang fakir miskin yang belum terdata dapat secara aktif mendaftarkan diri kepada lurah atau kepala desa atau nama lain yang sejenis di tempat tinggalnya.[7] Artinya ada keaktifan secara 2 arah dari pemerintah dan dari pribadi fakir miskin.

Atas pendaftaran tersebut, lurah, kepala desa, atau nama lain yang sejenis menyampaikan pendaftaran tersebut kepada bupati/walikota melalui camat, untuk kemudian disampaikan kepada gubernur untuk diteruskan kepada Menteri Sosial.[8]

Selanjutnya, data fakir miskin yang telah diverifikasi dan divalidasi tersebut ditetapkan oleh Menteri Sosial sebagai dasar bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberikan bantuan dan/atau pemberdayaan.[9]

Bentuk Penanganan Fakir Miskin

Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk:[10]

  1. pengembangan potensi diri, yaitu upaya untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri seseorang, antara lain mental, spiritual, dan budaya.
  2. bantuan pangan dan sandang, yaitu bantuan untuk meningkatkan kecukupan dan diversifikasi pangan serta kecukupan sandang yang layak.
  3. penyediaan pelayanan perumahan, yakni bantuan untuk memenuhi hak masyarakat miskin atas perumahan yang layak dan sehat.
  4. penyediaan pelayanan kesehatan, yakni penyediaan pelayanan kesehatan untuk memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin.
  5. penyediaan pelayanan pendidikan, yakni penyediaan pelayanan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin dalam memperoleh layanan pendidikan yang bebas biaya, bermutu, dan tanpa diskriminasi gender.
  6. penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha, untuk memenuhi hak fakir miskin atas pekerjaan dan pengembangan usaha yang layak.
  7. bantuan hukum, yaitu bantuan yang diberikan kepada fakir miskin yang bermasalah dan berhadapan dengan hukum; dan/atau
  8. pelayanan sosial.

Kesimpulan

Menurut hemat kami, fenomena masih banyaknya fakir miskin yang tidur di pinggir jalan berhubungan dengan pendataan fakir miskin. Sebab, data fakir miskin yang telah diverifikasi dan divalidasi serta ditetapkan oleh Menteri Sosial merupakan dasar bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberikan bantuan dan/atau pemberdayaan kepada fakir miskin, salah satunya yakni penyediaan pelayanan perumahan.

Terkait pendataan ini, UU Fakir Miskin bahkan telah memberikan sanksi bagi orang yang memalsukan data verifikasi dan validasi atas data fakir miskin dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp50 juta.[11]

Oleh karenanya, pendataan fakir miskin serta optimalisasi pemberian bantuan dan/atau pemberdayaan kepada fakir miskin harus terus dimaksimalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, agar hak fakir miskin terpenuhi, salah satunya atas penyediaan pelayanan perumahan. Apabila hak ini tidak terpenuhi, berarti amanat dari Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 dan UU Fakir Miskin belum dijalankan sebagaimana semestinya.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

[1] Pasal 1 angka 2 UU Fakir Miskin

[2] Pasal 1 angka 3 UU Fakir Miskin

[3] Pasal 19 ayat (1) UU Fakir Miskin

[4] Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU Fakir Miskin

[5] Pasal 8 ayat (3) UU Fakir Miskin

[6] Pasal 8 ayat (4) dan (5) UU Fakir Miskin

[7] Pasal 9 ayat (1) UU Fakir Miskin

[8] Pasal 9 ayat (3) dan (4) UU Fakir Miskin

[9] Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Fakir Miskin

[10] Pasal 7 ayat (1) UU Fakir Miskin dan penjelasannya

[11] Pasal 42 UU Fakir Miskin