Drama yang dialognya diganti dengan tari klasik dan diiringi musik tradisional disebut

Drama yang dialognya diganti dengan tari klasik dan diiringi musik tradisional disebut
I Wayan Sugita. (BP/Istimewa)

Oleh I Wayan Sugita

Drama gong adalah salah satu bentuk seni pertunjukan Bali yang memadukan unsur-unsur kesenian teater tradisional Bali dengan drama modern (teater modern Barat). Unsur teater modern lebih difokuskan pada tata dekorasi, sound effect, akting dan tata busana.

Drama gong menarik untuk diperbincangkan, karena dia lahir di tengah situasi krisis sosial politik di tahun 1960-an dan tetap tegar bertahan seiring dengan berkembang kondusifnya kesenian Bali pada umumnya sejak digelindingkan Pesta Kesenian Bali (PKB) pada tahun 1979.

Sementara di sisi lain dominasi kesenian klasik Bali masih sangat kuat. Karena unsur teater klasik masih kuat, kesenian ini lebih disebut sebagai drama klasik pada awalnya. Penamaan ‘’drama klasik’’ menjadi drama gong pertama kali diganti oleh I Gusti Bagus Nyoman Panji. Pergantian itu merujuk pada dua unsur baku yakni drama dan iringannya, yakni gong kebyar.

Sebagai catatan, sebelum terciptanya drama ini, di Bali telah berkembang seni pertunjukan lain yakni drama janger yang menjadi bagian dari tari Janger. Istilah drama gong menjadi nama dari kesenian ini karena dalam hal pementasan, setiap gerak pemain serta peralihan suasana dramatis diiringi oleh gamelan gong atau gong kebyar. Kesenian ini usianya relatif muda. Diciptakan pada tahun 1966-an oleh Anak Agung Gede Raka Payadnya dari Desa Abianbase (Gianyar). Sang penciptanya pun mengakui bahwa drama ini diciptakan melalui percampuran drama tari tradisional seperti sendratari, arja dan prembon serta sandiwara yang dimaksudkan sebagai sebuah seni campuran modern.

Baca juga:  Jokowi akan Buka PKB XLI, Libatkan Ribuan Seniman

Lakon yang kerap dipentaskan dalam drama gong sendiri biasanya adalah cerita-cerita klasik romantis baik yang berasal dari cerita rakyat masyarakat Bali sendiri seperti Panji (Malat) maupun di luar budaya Bali seperti cerita Sampek Engtai dan cerita sejenisnya. Seperti halnya pada pertunjukan drama umumnya, dalam drama gong ini pun sama sekali tak menghadirkan kesenian tari di setiap pertunjukannya melainkan berakting dengan menyertakan dialog-dialog verbal berbahasa Bali.  Adapun para pemain yang dianggap penting dalam drama gong antara lain raja manis,  raja buduh, putri manis, putri buduh, raja tua, permaisuri, dayang-dayang, patih keras, patih tua, dan dua pasang punakawan.

Dalam setiap pementasannya, para pemain drama gong selalu mengenakan busana tradisional Bali, sesuai dengan tingkat status sosial dari peran yang dibawakan dan setiap gerak pemain, begitu pula perubahan suasana dramatik dalam lakon diiringi dengan perubahan irama gamelan gong kebyar. Meskipun selalu mengenakan busana tradisional untuk para pemainnya dan kerap dipentaskan untuk keperluan upacara adat dan agama, drama gong tetaplah sebuah kesenian sekuler karena bisa dipentaskan di mana dan kapan saja sesuai kebutuhan.

Maka dari itu, tak heran jika kemudian pentas drama gong merupakan satu-satunya pentas yang memberlakukan sistem karcis untuk para penontonnya karena sebelumnya pertunjukan kesenian bagi masyarakat setempat tidak pernah berbentuk komersial.

Baca juga:  PKB agar Jadi Panutan

Drama gong mulai berkembang di Bali sekitar tahun 1967 dan puncak kejayaannya adalah tahun 1980-an. Pada masa itu kesenian tradisional Bali seperti arja, topeng dan lain-lainnya ditinggalkan oleh penontonnya yang mulai kegandrungan drama gong. Panggung-panggung besar yang tadinya menjadi langganan arja tiba-tiba diambil alih oleh drama gong.

Namun sejak pertengahan tahun 1980, kesenian ini mulai menurun popularitasnya. Beberapa tudingan dialamatkan menjadi virus penyebab limbungnya seni pertunjukan ini. Misalnya tak ada upaya untuk meningkatkan mutu penampilannya di atas panggung. Tak ada gereget kreativitas. Lakon-lakon drama gong dituding konyol, enteng, khayal, pokoknya asal-asalan. Mudah ditebak dan klise. Intelektual penonton cenderung diremehkan. Terlalu memanjakan penonton dan sederet suara-suara sumbang lainnya. Belum lagi hujatan tentang hal-hal porno-vulgar yang dianggap sering diumbar dalam pentas kesenian ini.

Kendati kini teater rakyat drama gong menurun drastis pamornya, namun sebagai kesenian yang pernah begitu digemari masyarakat Bali, sejatinya ada jejak-jejak kultural yang ditorehkan dari perjalanannya hampir sepanjang tiga dekade, 1967-1990-an. Pada diri drama gong menggeliat semacam counter culture. Perlawanan budaya yang pertama, adalah dari segi ketegarannya mengentaskan trauma peristiwa berdarah di Bali pancameletusnya G-30-S di Jakarta. Rentetan pementasan drama gong di penjuru Bali pada tahun 1970-an, menjadi terapi penenang rekonsiliasi masyarakat yang sebelumnya saling mencurigai dan bermusuhan.

Baca juga:  Jati Diri Koperasi

Perlawanan budaya kedua, menundukkan kesenian modern (drama Barat) dengan elemen-elemen seni tradisi Bali. Budaya modern, termasuk seni modern di dalamnya, faktanya menghegemoni budaya lokal, termasuk dalam konteks ini kesenian lokal Bali. Gelombang modernisasi selain menjadi orientasi budaya masyarakat juga memunculkan kegerahan dan ketertekanan pada nilai-nilai tradisi, termasuk kesenian, masyarakat Bali. Terobosan drama gong yang menggunakan drama modern sebagai bingkai dari mozaik sejumlah seni pertunjukan Bali yang menjadi unsur pembentuk pokok teater ini, menumbuhkan rasa percaya diri bahwa kesenian lokal yang tradisional pun tidak harus tunduk dengan kesenian budaya modern.

Counter culture yang ketiga, muatan kritik sosial yang dihadirkan dalam pementasan drama gong menjadi katup pelepas yang mengekspresikan aspirasi dan unek-unek masyarakat yang diungkap secara verbal serius, misalnya melalui pesan moral lakon atau dilontarkan dalam dialog perdebatan para patih seperti antara Patih Agung versus Patih Anom. Sebagai seni pertunjukan yang pernah akrab dengan masyarakat penonton, aspirasi yang sebelumnya tabu dan tersembunyi pun menjadi guyonan dan tertawaan melalui adegan-adegan lucu atau dagelan-dagelan kocak para tokoh punakawan. Dalam pementasan drama gong, kritik sosial atau bahkan perlawanan budaya menjadi panggung pembacaan realita dari fenomena kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dalam wujud pagelaran seni teater nan merakyat beratmosfer ceria, nyaman, cair, dan elegan.

Penulis, Dekan Fakultas Dharma Acarya Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa

seni teater tradisional

Sejarah Teater

Kata tater atau drama berasal dari bahasa Yunani ”theatrom” yang berarti seeing Place (Inggris). Tontonan drama memang menonjolkan percakapan (dialog) dan gerak-gerik para pemain (aktif) di panggung. Percakapan dan gerak-gerik itu memperagakan cerita yang tertulis dalam naskah. Dengan demikian, penonton dapat langsung mengikuti dan menikmati cerita tanpa harus membayangkan.
Teater sebagai tontotan sudah ada sejak zaman dahulu. Bukti tertulis pengungkapan bahwa teater sudah ada sejak abad kelima SM. Hal ini didasarkan temuan naskah teater kuno di Yunani. Penulisnya Aeschylus yang hidup antara tahun 525-456 SM. Isi lakonnya berupa persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa.

Lahirnya adalah bermula dari upacara keagamaan yang dilakukan para pemuka agama, lambat laun upacara keagamaan ini berkembang, bukan hanya berupa nyanyian, puji-pujian, melainkan juga doa dan cerita yang diucapkan dengan lantang, selanjutnya upacara keagamaan lebih menonjolkan penceritaan.

Sebenarnya istilah teater merujuk pada gedung pertunjukan, sedangkan istilah drama merujuk pada pertunjukannya, namun kini kecenderungan orang untuk menyebut pertunjukan drama dengan istilah teater.

Pengertian Teater
Teater secara etimologis berarti gedung pertunjukan. Berasal dari kata theatron yang juga merupakan turunan dari kata Theaomai yang dalam bahasa Yunani berarti takjub ketika melihat suatu fenomena. Pengertian teater sebagai seni pertunjukan disepakati bila ada penambahan kata seni di depan kata teater.

Seni Teater adalah istilah lain dari drama, walaupun terdapat beberapa perbedaan penting antara keduanya. Drama adalah penggambaran kehidupan manusia sesungguhnya yang dijabarkan melalui laku, perbuatan, atau gerak yang dipentaskan dan ditonton oleh manusia lainnya. Sedangkan Seni Teater adalah. salah satu bentuk kegiatan manusia yang secara sadar menggunakan tubuhnya sebagai unsur utama untuk menyatakan dirinya yang diwujudkan dalam suatu karya (seni pertunjukan) yang ditunjang dengan unsur gerak, suara, bunyi dan rupa yang dijalin dalam cerita pergulatan tentang kehidupan manusia. Drama adalah bagian dari proses berteater atau berkesenian teater.

arti luasx teater adalah segala tontonon yang dipertunjukan didepan orang banyak, misalnya wayang golek, lenong, akrobat, debus, sulap, reog, band dan sebagainya.

arti sempit adalah kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakanx diatas pentas, disaksikan oleh orang banyak, dengan media : percakapan,gerak dan laku dengan atau tanpa dekor, didasarkan pada naskah tertulis denga diiringi musik, nyanyian dan tarian.

Seni Teater terbagi dalam beberapa jenis menurut ideologinya, menurut sumber dananya, menurut karakteristiknya, dan masih banyak pembagian seni teater berdasarkan pengalaman masing-masing pelakunya. Menurut karakteristiknya, Seni Teater dibagi menjadi 2, yaitu seni teater Tradisional dan seni teater Modern.
Seni Teater tradisional adalah seni teater yang bersifat kedaerahan berdasarkan tradisi, bergerak dengan sistem kekerabatan yang kental. Sedangkan seni teater modern adalah seni teater yang mempunyai dasar-dasar keilmuan yang mapan. Penulisan yang sudah berpatern, penokohan, latihan yang bersistem, dan semua hal yang sudah dibakukan sebagai sebuah ilmu pengetahuan.

Unsur-unsur teater menurut urutannya :

• Tubuh manusia sebagai unsur utama (Pemeran/ pelaku/ pemain/actor) •

Gerak sebagai unsur penunjang (gerak tubuh,gerak suara,gerak bunyi

dan gerak rupa) • Suara sebagai unsur penunjang (kata, dialog, ucapan pemeran) • Bunyi sebagai efek Penunjang (bunyi benda, efek dan musik) • Rupa sebagai unsur penunjang (cahaya, dekorasi, rias dan kostum) •

Lakon sebagai unsur penjalin (cerita, non cerita, fiksi dan narasi)

Teater sebagai hasil karya (seni) merupakan satu kesatuan yang utuh antara manusia sebagai unsur utamanya dengan unsur -unsur penunjang dan penjalinnya. Dan dapat dikatakan bahwa teater merupakan perpaduan segala macam pernyataan seni.

Bentuk Teater Indonesia berdasarkan pendukungnya :

a. Teater rakyat yaitu teater yang didukung oleh masyarakat kalangan pedesaan , bentuk teater ini punya karakter bebas tidak terikat oleh kaidah-kaidah pertunjukan yang kaku, sifat nya spontan,improvisasi. Contoh : lenong, ludruk, ketoprak dll.

b. Teater Keraton yaitu Teater yang lahir dan berkembang dilingkungan keraton dan kaum bangsawan. Pertunjukan dilaksanakan hanya untuk lingkungan terbatas dengan tingkat artistik sangat tinggi,cerita berkisar pada kehidupan kaum bangsawan yang dekat dengan dewadewa . Contoh : teater Wayang

c. Teater Urban atau kota-kota. Teater ini Masih membawa idiom bentuk rakyat dan keraton . teater jenis ini lahir dari kebutuhan yang timbul dengan tumbuhnya kelompok-kelompok baru dalam masyarakat dan sebagai produk dari kebutuhan baru , sebagai fenomena modern dalam seni pertunjukan di Indonesia.

d. Teater kontemporer,yaitu teater yang menampilkan peranan manusia bukan sebagai tipe melainkan sebagai individu . dalam dirinya terkandung potensi yang besar untuk tumbuh dengan kreatifitas yang tanpa batas. Pendukung teater ini masih sedikit yaitu orang-orang yang menggeluti teater secara serius mengabdikan hidupnya pada teater dengan melakukan pencarian, eksperimen berbagai bentuk teater untuk mewujudkan teater Indonesia masa kini.

sejarah perkembangan teater di Indonesia

1. Teater Tradisional

Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya. Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbedabeda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir.

Macammacam teater tradisional Indonesia adalah :wayang kulit, wayang wong, ludruk , lenong, randai, drama gong, arja, ubrug, ketoprak, dan sebagainya.

Contoh-Contoh Seni teater Tradisional
10. Ubrug

Quote: “Ubrug” di Pandeglang dikenal sebagai kesenian tradisional rakyat yang semakin hari semakin dilupakan oleh penggemarnya. Istilah ‘ubrug’ berasal dari bahasa Sunda ‘sagebrugan’ yang berarti campur aduk dalam satu lokasi. Kesenian ubrug termasuk teater rakyat yang memadukan unsur lakon, musik, tari, dan pencak silat. Semua unsur itu dipentaskan secara komedi. Bahasa yang digunakan dalam pementasan, terkadang penggabungan dari bahasa Sunda, Jawa, dan Melayu (Betawi). Alat musik yang biasa dimainkan dalam pemenetasan adalah gendang, kulanter, kempul, gong angkeb, rebab, kenong, kecrek, dan ketuk. Selain berkembang di provinsi Banten, kesenian Ubrug pun berkembang sampai ke Lampung dan Sumatera Selatan yang tentunya dipentaskan menggunakan bahasa daerah masing-masing. Teater Ubrug pada awalnya dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda daun kelapa atau rubia.

Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah yang bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong atau lampu petromak. Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya dari segala arah.

Spoiler for Wolu (8):
8. Ludruk

Quote: Ludruk merupakan salah satu kesenian Jawa Timuran yang cukup terkenal, yakni seni panggung yang umumnya seluruh pemainnya adalah laki-laki. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari (cerita wong cilik), cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik. Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski kadang-kadang ada bintang tamu dari daerah lain seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan logat yang berbeda. Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh kalangan non intelek (tukang becak, peronda, sopir angkutan umum, dll). Quote: Spoiler for Pitu (7):

7. Ketoprak

Quote: Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak. Kata ‘kethoprak’ berasal dari nama alat yaitu Tiprak. Kata Tiprak ini bermula dari prak. Karena bunyi tiprak adalah prak, prak, prak. Serat Pustaka Raja Purwa jilid II tulisan pujangga R. Ng. Rangga Warsita dalam bukunya Kolfbunning tahun 1923 menyatakan “… Tetabuhan ingkang nama kethoprak tegesipun kothekan” ini berarti kethoprak berasal dari bunyi prak, walaupun awalnya bermula dari alat bernama tiprak. Kethoprak juga berasal dari kothekan atau gejogan. Alat bunyi-bunyian yang berupa lesung oleh pencipta kethoprak ditambah kendang dan seruling. Ketoprak merupakan salah satu bentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggahungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu: – Bahasa Jawa biasa (sehari-hari) – Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi) – Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi) Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kethoprak adalah seni pertunjukan teater atau drama yang sederhana yang meliputi unsur tradisi jawa, baik struktur lakon, dialog, busana rias, maupun bunyi-bunyian musik tradisional yang dipertunjukan oleh rakyat. Quote: Spoiler for Nem (6):

6. Longser

Quote: Longser merupakan salah satu bentuk teater tradisional masyarakat sunda, Jawa barat. Longser berasal dari akronim kata melong (melihat dengan kekaguman) dan saredet (tergugah) yang artinya barang siapa yang melihat pertunjukan longser, maka hatinya akan tergugah. Longser yang penekanannya pada tarian disebut ogel atau doger. Sebelum longser lahir dan berkembang, terdapat bentuk teater tradisional yang disebut lengger.

Busana yang dipakai untuk kesenian ini sederhana tapi mencolok dari segi warnanya terutama busana yang dipakai oleh ronggeng. Biasanya seorang ronggeng memakai kebaya dan kain samping batik. Sementara, untuk lelaki memakai baju kampret dengan celana sontog dan ikat kepala.

Quote: Spoiler for Gangsal (5):

5. Mamanda

Quote: Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup. Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri). Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata “mama” (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan. Asal muasal Mamanda adalah kesenian Badamuluk yang dibawa rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka tahun 1897. Dulunya di Kalimantan Selatan bernama Komedi Indra Bangsawan. Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan Komedi Indra Bangsawan melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk. Kesenian ini hingga saat ini lebih dikenal dengan sebutan mamanda. Bermula dari kedatangan rombongan bangsawan Malaka (1897 M) yang dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa di Tanah Banjar, kesenian ini dipopulerkan dan disambut hangat oleh masyarakat Banjar. Setelah beradaptasi, teater ini melahirkan sebuah teater baru bernama “Mamanda”. Seni drama tradisional Mamanda ini sangat populer di kalangan masyarakat kalimantan pada umumnya Quote: Spoiler for Sekawan (4):

4. Randai

Quote: Randai adalah kesenian (teater) khas masyarakat Minangkabau, Sumatra Barat yang dimainkan oleh beberapa orang (berkelompok atau beregu). Randai dapat diartikan sebagai “bersenang-senang sambil membentuk lingkaran” karena memang pemainnya berdiri dalam sebuah lingkaran besar bergaris tengah yang panjangnya lima sampai delapan meter. Cerita dalam randai, selalu mengangkat cerita rakyat Minangkabau, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Konon kabarnya, randai pertama kali dimainkan oleh masyarakat Pariangan, Padang Panjang, ketika mereka berhasil menangkaprusa yang keluar dari laut. Kesenian randai sudah dipentaskan di beberapa tempat di Indonesia dan bahkan dunia. Bahkan randai dalam versi bahasa Inggris sudah pernah dipentaskan oleh sekelompok mahasiswa di University of Hawaii, Amerika Serikat. Kesenian randai yang kaya dengan nilai etika dan estetika adat Minangkabau ini, merupakan hasil penggabungan dari beberapa macam seni, seperti: drama (teater), seni musik, tari dan pencak silat. Quote: Spoiler for Tigo (3):

3. Drama Gong

Quote: Drama Gong adalah sebuah bentuk seni pertunjukan Bali yang masih relatif muda usianya yang diciptakan dengan jalan memadukan unsur-unsur drama modern (non tradisional Bali) dengan unsur-unsur kesenian tradisional Bali. Dalam banyak hal Drama Gong merupakan pencampuran dari unsur-unsur teater modern (Barat) dengan teater tradisional (Bali). Karena dominasi dan pengaruh kesenian klasik atau tradisional Bali masih begitu kuat, maka semula Drama Gong disebut “drama klasik”. Nama Drama Gong diberikan kepada kesenian ini oleh karena dalam pementasannya setiap gerak pemain serta peralihan suasana dramatik diiringi oleh gamelan Gong (Gong Kebyar). Drama Gong diciptakan sekitar tahun 1966 oleh Anak Agung Gede Raka Payadnya dari desa Abianbase (Gianyar). Drama Gong mulai berkembang di Bali sekitar tahun 1967 dan puncak kejayaannya adalah tahun1970. Namun semenjak pertengahan tahun 1980 kesenian ini mulai menurun popularitasnya, sekarang ini ada sekitar 6 buah sekaa Drama Gong yang masih aktif. Quote: Spoiler for Kaleh (2):

2. Makyong

Quote: Makyong adalah seni teater tradisional masyarakat Melayu yang sampai sekarang masih digemari dan sering dipertunjukkan sebagai dramatari dalam forum internasional. Makyong dipengaruhi oleh budaya Hindu-Buddha Thai dan Hindu-Jawa. Nama makyong berasal dari mak hyang, nama lain untuk dewi sri, dewi padi. Makyong adalah teater tradisional yang berasal dari Pulau Bintan, Riau. Makyong berasal dari kesenian istana sekitar abad ke-19 sampai tahun 1930-an. Makyong dilakukan pada siang hari atau malam hari. Lama pementasan ± tiga jam Quote: Spoiler for Setunggal (1):

1. Wayang

Quote: Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam bahasa/kata Jawa berarti: bayangan , dalam bahasa melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya bayangan, samar-samar, menerawang. Bahasa Bikol menurut keterangan Profesor Kern, bayang, barang atau menerawang. Semua itu berasal dari akar kata “yang” yang berganti-ganti suara yung, yong, seperti dalam kata: laying (nglayang)=yang, dhoyong=yong, reyong=yong, reyong-reyong, atau reyang-reyong yang berarti selalu berpindah tempat sambil membawa sesuatu, poyang-payingen, ruwet dari kata asal: poyang, akar kata yang. Menurut hasil perbandingan dari arti kata yang akar katanya berasal dari yang dan sebagainya tadi, maka jelas bahwa arti dari akar kata: yang, yung, yong ialah bergerak berkali-kali, tidak tetap, melayang.