ViralCuplikan video dalam sebuah dialog dengan beberapa perwira tinggi itu sempat viral di media sosial. Dikutip dari dpr.go.id, Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, Habib Aboe bakar Alhabsy pernah membicarakan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme lahir sebagai adalah sejarah perjuangan bangsa dalam mempertahankan keberadaan Pancasila. Makanya selalu diperingati setiap 1 Oktober. Dikutip dari Bisnis berikut isi TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966: Pasal 1, Menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung dibawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3/1966, dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut diatas menjadi Ketetapan MPRS. Pasal 2, Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang. Pasal 3, Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila dapat dilakukan secara terpimpin dengan ketentuan bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan Pasal 4, Ketentuan-ketentuan di atas, tidak mempengaruhi landasan dan sifat bebas aktif politik luar negeri Republik Indonesia. Demikian isi lengkap TAP MPRS yang melatari pernyataan Jenderal Andika Perkasa ihwal keturunan PKI diizinkan mendaftar menjadi anggota prajurit TNI yang sempat viral. WINDA OKTAVIA
(2014-01-15) Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu instrumen penting dalam pembangunan. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pungutan yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ...
Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa memastikan tidak ada larangan untuk menerima anak atau keturunan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mengikuti seleksi penerimaan prajurit TNI. Baca juga: Keturunan PKI tidak Bisa Ikut Seleksi Prajurit TNI, Panglima: Dasar Hukumnya Apa? Menurut Panglima TNI, larangan yang sempat tercatat dalam seleksi prajurit TNI itu tidak memiliki dasar hukum. Adapun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXV/MPRS/1966 tidak melarang keturunan PKI mengikuti seleksi calon prajurit TNI. Baca juga: Yenny Wahid: Isu PKI Digulirkan untuk Konsolidasi Politik Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 adalah tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme Tap MPRS itu diambil oleh MPRS yang bersidang pada 20 Juni hingga 5 Juli 1966. Dan pada 5 Juli, Tap MPRS itu ditandatangani oleh Jenderal AH Nasution selaku Ketua MPRS beserta Wakil Ketua MPRS yang terdiri dari Osa Maliki, HM Sumchan ZE, M Siregar, dan Brigjen TNI Mashudi. Baca juga: Mahfud: TAP MPR Soal PKI Tidak Bisa Dicabut Ketetapan itu adalah penguatan dari Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 tentang Pembubaran PKI. Keputusan tersebut didasarkan hasil pemeriksaan serta putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap para tokoh PKI yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S. G30S adalah upaya penculikan yang menewaskan enam orang jenderal, satu perwira TNI AD, dan beberapa tokoh lainnya. Gerakan ini memunculkan gejolak ketidakpuasan rakyat yang menuntut Tri Tuntutan Rakyat atau Tritura 1966. Salah satu isi dari Tritura adalah pemerintah membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya. Sehingga, pemerintah membubarkan PKI pada 12 Maret 1966 seusai Soeharto mengambil alih kekuasaan lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Baca juga: SMRC: Mayoritas Masyarakat Tidak Termakan Isu Kebangkitan PKI Berikut ini isi dari Tap MPRS.Pasal 1 Menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seasas/berlindung/bernaung di bawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3/1966, dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut di atas menjadi Ketetapan MPRS. Pasal 2 Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang. Pasal 3 Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada universitas-universitas, paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila dapat dilakukan secara terpimpin dengan ketentuan bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan. Pasal 4 Ketentuan-ketentuan di atas, tidak memengaruhi landasan dan sifat bebas aktif politik luar negeri Republik Indonesia. Usul dicabutMendiang Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa Gus Dur sempat gencar menyuarakan agar Tap MPRS itu dicabut. Menurut Gus Dur, penjelasan tentang maksud pencabutan Tap tersebut karena ia ingin mendudukkan masalahnya secara tepat. Presiden menandaskan bahwa UUD 1945 tidak melarang komunisme. Menurutnya, MPRS membuat Tap itu hanya melihat kepada PKI yang telah dua kali mengadakan pemberontakan. Hanya saja, kata Gus Dur, Tap MPRS No XXV/1966 dibuat serampangan. Sebab, lanjutnya, hak hukum dengan hak politik disamakan, padahal itu berbeda sekali. "Ada anak PKI yang tidak boleh apa-apa, sementara mereka tidak tahu tentang komunisme. Maka, kita jangan gebyah-uyah (pukul rata). Itu yang saya maksudkan." (Media Indonesia, 22 April 2000). (X-15) |