Dapatkah pihak yang kalah dalam sengketa mengajukan perlawanan atau banding atas putusan arbitrase

Permohonan pembatalan putusan arbitrase merupakan hal yang umum diajukan oleh pihak yang kalah dalam perkara arbitrase. Dalam beberapa perkara, hal ini dilakukan untuk menunda pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut. Tentunya permohonan pembatalan tersebut harus diajukan atas dasar alasan-alasan yang telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”)

Namun ada kalanya putusan dari permohonan pembatalan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pihak pemohon. Sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (4) UU Arbitrase, dengan adanya putusan terhadap permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung. Lalu dalam penjelasan Pasal 72 ayat (4) tersebut dinyatakan, yang dimaksud dengan “Banding” adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70.

Dengan demikian menurut UU Arbitrase upaya hukum banding ke Mahkamah Agung, hanya dapat diajukan dalam hal Majelis Hakim yang memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase membatalkan putusan arbitrase tersebut. Sedangkan jika Majelis Hakim menolak permohonan tersebut dan putusan arbitrase tetap berlaku, maka seharusnya menurut UU Arbitrase tidak ada upaya hukum yang dapat diajukan.

Faktanya berdasarkan preseden yang ada, walaupun putusan pada tingkat pertama menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase, bagi pihak yang tidak puas atas putusan tersebut tetap dapat mengajukan banding ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri yang memeriksa permohonan tersebut pada tahap pertama. Namun hal tersebut tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada, sehingga memberikan celah bagi pihak lawan untuk mengajukan eksepsi atau keberatan dari segi formil atas permohonan banding tersebut.

Tentunya pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut berkaitan erat dengan didaftarkannya putusan arbitrase tersebut. Karena jelas berdasarkan ketentuan dalam UU Arbitrase suatu putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalannya setelah putusan tersebut didaftarkan. Pendaftaran suatu putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri setempat merupakan tanggung jawab dari arbiter/lembaga arbitrase atau kuasanya. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1) UU Arbitrase, yaitu sebagai berikut:

“Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.”

Adapun pengadilan negeri yang dimaksud yaitu pengadilan negeri yang termasuk dalam domisili hukum pihak termohon arbitrase dalam perkara arbitrase sebelumnya. Setelah arbiter/ kuasanya melakukan pendaftaran, kemudian akan ditindaklanjuti dengan dilakukannya pemberitahuan kepada para pihak yang berperkara. Pemberitahuan tersebut dilakukan dengan mengirimkan salinan putusan yang telah memuat cap keterangan telah dilakukannya pendaftaran di Kepaniteraan PN dengan memuat tanggal dan nomor pendaftarannya.

Setelah pemberitahuan ini dilakukan, barulah pihak yang tidak puas dan ingin membatalkan putusan arbitrase, dapat mengajukan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase, sebagaimana diatur dalam Pasal 71 UU Arbitrase.

BP Lawyers dapat membantu anda
Kami dapat membantu anda dalam memberikan solusi terbaik atas permasalahan atau sengketa terkait kontrak, penyelesaian melalui proses arbitrase maupun peradilan umum. Anda dapat menghubungi kami melalui:

E :
H : +62 821 1000 474

Author :

Bimo Prasetio, S.H. dan Fairus Harris, S.H., M.Kn.

Permohonan pembatalan putusan arbitrase merupakan hal yang umum diajukan oleh pihak yang kalah dalam perkara arbitrase. Dalam beberapa perkara, hal ini dilakukan untuk menunda pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut. Tentunya permohonan pembatalan tersebut harus diajukan atas dasar alasan-alasan yang telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”), yaitu:

a.    surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

b.    setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau

c.    putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Namun ada kalanya putusan dari permohonan pembatalan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pihak pemohon. Sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (4) UU Arbitrase, putusan terhadap permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung. Yang dimaksud dengan “banding” adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UU Arbitrase.

Dengan demikian menurut UU Arbitrase upaya hukum banding ke Mahkamah Agung, hanya dapat diajukan dalam hal Majelis Hakim yang memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase membatalkan putusan arbitrase tersebut. Sedangkan jika Majelis Hakim menolak permohonan tersebut dan putusan arbitrase tetap berlaku, maka seharusnya menurut UU Arbitrase tidak ada upaya hukum yang dapat diajukan.

Faktanya berdasarkan preseden yang ada, walaupun putusan pada tingkat pertama menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase, bagi pihak yang tidak puas atas putusan tersebut tetap dapat mengajukan banding ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri yang memeriksa permohonan tersebut pada tahap pertama. Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada, sehingga memberikan celah bagi pihak lawan untuk mengajukan eksepsi atau keberatan dari segi formil atas permohonan banding tersebut.

2.    Terkait pendaftaran Putusan BANI ke Pengadilan Negeri setempat, ini merupakan tanggung jawab dari arbiter/lembaga arbitrase atau kuasanya. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1) UU Arbitrase, yaitu sebagai berikut:

“Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.”

Dikarenakan perkara arbitrase yang Saudara jelaskan tersebut diselesaikan di BANI, maka pihak BANI berkewajiban untuk melakukan pendaftaran atas putusan arbitrase tersebut. Adapun pengadilan negeri yang dimaksud yaitu pengadilan negeri yang termasuk dalam domisili hukum pihak termohon arbitrase. Setelah BANI melakukan pendaftaran putusan di pengadilan negeri, BANI akan melakukan pemberitahuan kepada para pihak yang berperkara. Pemberitahuan tersebut dilakukan dengan mengirimkan salinan putusan BANI yang telah memuat cap keterangan telah dilakukannya pendaftaran di Kepaniteraan PN dengan memuat tanggal dan nomor pendaftarannya.

Setelah pemberitahuan ini dilakukan, barulah pihak yang tidak puas dan ingin membatalkan putusan arbitrase, dapat mengajukan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 71 UU Arbitrase yang menyebutkan sebagai berikut:

“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.”

Dengan demikian walaupun putusan arbitrase tersebut telah dibacakan dalam persidangan dan salinan putusan telah dikirimkan kepada para pihak yang berperkara, BANI tetap berkewajiban untuk melakukan pemberitahuan kepada para pihak yang berperkara, setelah putusan arbitrase tersebut didaftarkan.


Page 2

Dapatkah pihak yang kalah dalam sengketa mengajukan perlawanan atau banding atas putusan arbitrase
E-Learning IAIN Kediri


Page 3

E-Learning IAIN Kediri

Dapatkan aplikasi seluler