Dan rendahkan dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang

(Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua) artinya berlaku sopanlah kamu terhadap keduanya (dengan penuh kesayangan) dengan sikap lemah lembutmu kepada keduanya (dan ucapkanlah, "Wahai Rabbku! Kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana) keduanya mengasihaniku sewaktu (mereka berdua mendidik aku waktu kecil.").

Tafsir Surat Al-Isra: 23-24 Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. Allah Swt. memerintahkan (kepada hamba-hamba-Nya) untuk menyembah Dia semata, tiada sekutu bagi-Nya. Kata qada dalam ayat ini mengandung makna perintah. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Waqada" bahwa makna yang dimaksud ialah memerintahkan. Hal yang sama dikatakan oleh Ubay ibnu Ka'b, Ibnu Mas'ud., dan Ad-Dahhak ibnu Muzahim; mereka mengartikannya, "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia." Selanjutnya disebutkan perintah berbakti kepada kedua orang tua. Untuk itu Allah Swt. berfirman: dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu. (Al-Isra: 23) Yakni Allah memerintahkan kepadamu untuk berbuat baik kepada ibu bapakmu. Makna ayat ini sama dengan yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman: 14) Adapun firman Allah Swt.: Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan 'ah' kepada keduanya (Al-Isra: 23) Artinya, janganlah kamu mengeluarkan kata-kata yang buruk kepada keduanya, sehingga kata 'ah' pun yang merupakan kata-kata buruk yang paling ringan tidak diperbolehkan. dan janganlah kamu membentak mereka. (Al-Isra: 23) Yakni janganlah kamu bersikap buruk kepada keduanya, seperti apa yang dikatakan oleh Ata ibnu Abu Rabah sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah kamu membentak mereka. (Al-Isra: 23) Maksudnya, janganlah kamu menolakkan kedua tanganmu terhadap keduanya. Setelah melarang mengeluarkan perkataan dan perbuatan buruk terhadap kedua orang tua, Allah memerintahkan untuk berbuat baik dan bertutur sapa yang baik kepada kedua. Untuk itu Allah Swt. berfirman: dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Al-Isra: 23) Yaitu bertutur sapa yang baik dan lemah lembutlah kepada keduanya, serta berlaku sopan santunlah kepada keduanya dengan perasaan penuh hormat dan memuliakannya. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan. (Al-Isra: 24) Yakni berendah dirilah kamu dalam menghadapi keduanya. dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (Al-Isra: 24) Maksudnya, berendah diriiah kepada keduanya di saat keduanya telah berusia lanjut, dan doakanlah keduanya dengan doa ini bilamana keduanya telah meninggal dunia. Ibnu Abbas mengatakan bahwa kemudian Allah menurunkan firman-Nya: Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik. (At-Taubah: 113), hingga akhir ayat. Hadis-hadis yang menyebutkan tentang berbakti kepada kedua orang tua cukup banyak, antara lain ialah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Anas dan lain-lainnya yang mengatakan bahwa pada suatu hari Nabi Saw. naik ke atas mimbar, kemudian beliau mengucapkan kalimat Amin sebanyak tiga kali. Maka ketika ditanyakan, "Wahai Rasulullah, apakah yang engkau aminkan?" Maka Nabi Saw. menjawab: Jibril datang kepadaku, lalu mengatakan, "Hai Muhammad, terhinalah seorang lelaki yang namamu disebut di hadapannya, lalu ia tidak membaca salawat untukmu. Ucapkanlah 'Amin'. Maka saya mengucapkan Amin lalu Jibril berkata lagi, "Terhinalah seorang lelaki yang memasuki bulan Ramadan, lalu ia keluar dari bulan Ramadan dalam keadaan masih belum beroleh ampunan baginya. Katakanlah, 'Amin'. Maka aku ucapkan Amin. Jibril melanjutkan perkataannya, "Terhinalah seorang lelaki yang menjumpai kedua orang tuanya atau salah seorangnya, lalu keduanya tidak dapat memasukkannya ke surga. Katakanlah, 'Amin'. Maka aku ucapkan Amin. Hadis lain. ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid, dari Zurarah ibnu Aufa, dari Malik ibnul Haris, dari seorang lelaki yang tidak disebutkan .namanya, bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Barang siapa yang menjamin makan dan minum seorang anak yatim yang kedua orang tuanya muslim hingga anak yatim itu tidak lagi memerlukan jaminannya, maka wajiblah surga baginya. Barang siapa yang memerdekakan seorang budak muslim, maka akan menjadi tebusan baginya dari neraka, setiap anggota tubuh budak itu membebaskan setiap anggota tubuhnya. Kemudian Imam Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, bahwa ia pernah mendengar Ali ibnu Zaid mengatakan hadis ini, lalu Imam Ahmad menuturkan hadis yang semakna. Hanya dalam riwayat ini disebutkan 'dari seorang lelaki dari kalangan kaumnya' yang dikenal dengan nama Malik atau Ibnu Malik, dan ditambahkan dalam riwayat ini: Barang siapa yang menjumpai kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya, lalu ia masuk neraka, maka ia adalah orang yang dijauhkan oleh Allah (dari rahmat-Nya). Hadis lainnya Imam Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Affan, dari Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid, dari Zurarah ibnu Aufa, dari Malik ibnu Amr Al-Qusyairi bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang memerdekakan seorang budak muslim, maka akan menjadi tebusannya dari neraka, karena sesungguhnya setiap tulang dari budak itu akan membebaskan setiap tulang (anggota tubuh)nya. Dan barang siapa yang menjumpai salah seorang dari kedua orang tuanya, kemudian masih belum diberikan ampunan baginya, maka semoga ia dijauhkan oleh Allah (dari rahmat-Nya). Dan barang siapa yang menjamin makan dan minum seorang anak yatim yang kedua orang tuanya muslim, hingga si anak yatim mendapat kecukupan dari Allah, maka wajiblah surga baginya. Hadis lain. ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj dan Muhammad ibnu Ja'far; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Qatadah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Zurarah ibnu Aufa menceritakan hadis berikut dari Abu Malik Al-Qusyairi yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang menjumpai kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya, kemudian ia masuk neraka sesudah itu, maka semoga ia dijauhkan dari (rahmat) Allah dan semoga Allah memhinasakannya." Abu Daud At-Tayalisi telah meriwayatkan dari Syu'bah dengan sanad yang sama, tetapi di dalamnya ada beberapa tambahan lainnya. Hadis lain. ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abu Awwanah, telah menceritakan kepada kami Suhail ibnu Abu Saleh, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Terhinalah seorang lelaki, terhinalah seorang lelaki, terhinalah seorang lelaki yang menjumpai salah seorang dari kedua orang tuanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut dalam jaminannya, lalu ia tidak masuk surga. Dari Jalur ini hadis berpredikat sahih, mereka tidak mengetengahkannya selain Imam Muslim melalui Hadis Abu Awwanah, dan Jarir, dan Suiaiman ibnu Bilal, dari Suhail dengan sanad yang sama. Hadis lainnya. "". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rab'i ibnu Ibrahim (saudara Ismail ibnu Ulayyah, dia lebih utama daripada saudaranya), dari Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari Sa'id Ibnu Abu Sa'id, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Terhinalah seorang lelaki yang namaku disebut di hadapannya, lalu tidak membaca salawat untukku. Dan terhinalah seorang lelaki yang memasuki bulan Ramadan, lalu keluar darinya, sedangkan ia masih belum mendapat ampunan baginya. Dan terhinalah seorang lelaki yang menjumpai kedua orang tuanya telah berusia lanjut dalam jaminannya, lalu kedua orang tuanya itu tidak dijadikannya sebagai perantara buat dirinya untuk masuk surga. Rab'i mengatakan, "Saya merasa yakin bahwa dia (Abdur Rahman ibnu Ishaq) mengatakan pula, 'Atau salah seorang dari kedua orang tuanya'." Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Ibrahim Ad-Dauraqi, dari Rab'i ibnu Ibrahim, kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa ditinjau dari jalur ini hadis berpredikat garib. Hadis lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnul Gasil, telah menceritakan kepada kami Usaid ibnu Ali. dari ayahnya, dari Abu Ubaid, dari Abu Usail (yaitu Malik ibnu Rabi'ah As-Sa'idi) yang menceritakan, "Ketika saya sedang duduk di hadapan Rasulullah Saw., tiba-tiba datanglah seorang lelaki dari kalangan Ansar. Lalu lelaki itu bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah masih ada jalan bagiku untuk berbakti kepada kedua orang tuaku sepeninggal keduanya?' Rasulullah Saw. menjawab: 'Ya, masih ada empat perkara, yaitu memohonkan rahmat bagi keduanya, memohonkan ampunan bagi keduanya, melaksanakan wasiat keduanya, dan menghormati teman-teman keduanya serta bersilaturahmi kepada orang yang tiada hubungan silaturahmi denganmu kecuali melalui kedua orang tuamu. Hal itulah yang masih tersisa bagimu sebagai jalan baktimu kepada kedua orang tuamu sesudah mereka tiada'. Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melaui hadis Abdur Rahman ibnu Sulaiman (yaitu Ibnul Gasil) dengan sanad yang sama. Hadis lainnya. ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Talhah ibnu Ubaid illah ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Mu'awiyah ibnu Jahimah As-Sulami, bahwa Jahimah pernah datang kepada Nabi Saw. lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, saya ingin berangkat berperang (di jalan Allah), dan saya datang untuk meminta nasihat darimu." Rasulullah Saw. balik bertanya, "Apakah kamu masih mempunyai ibu?" Jahimah menjawab, "Ya." Rasulullah Saw. bersabda: Rawatlah ibumu, karena sesungguhnya surga itu berada di bawah telapak kakinya. Kemudian diajukan pertanyaan yang serupa dan jawaban yang serupa untuk kedua kalinya hingga ketiga kalinya di tempat-tempat yang berlainan. Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Juraij dengan sanad yang sama. Hadis lain. ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnul Wahid, telah menceritakan kepada kami Ibnu Iyasy dari Yahya ibnu Sa'd, dari Khalid ibnu Ma'dan, dari Al-Miqdam ibnu Ma'di Kriba, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya Allah telah menitipkan kepada kalian ayah-ayah kalian, sesungguhnya Allah telah menitipkan kepada kalian ibu-ibu kalian, sesungguhnya Allah telah menitipkan kepada kalian ibu-ibu kalian, sesungguhnya Allah telah menitipkan kepada kalian ibu-ibu kalian, sesungguhnya Allah telah menitipkan kepada kalian keluarga kalian yang terdekat, kemudian yang dekat (hubungan) kekeluargaannya dengan kalian. Ibnu Majah telah mengetengahkannya melalui hadis Abdullah ibnu Iyasy dengan sanad yang sama. Hadis lain. [] Ahmad telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Asy'as ibnu Salim, dari ayahnya, dari seorang lelaki dari kalangan Bani Yarbu' yang mengatakan bahwa ia pernah datang kepada Nabi Saw. dan mendengarkan beliau sedang berbicara dengan orang-orang. Antara lain beliau bersabda: Orang yang paling utama menerima uluran tangan(mu) ialah ibumu, bapakmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, kemudian saudaramu yang terdekat, lalu yang dekat (denganmu). Hadis lain. Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Amr ibnu Abdul Khaliq Al-Bazzar telah mengatakan di dalam kitab Musnad-nya, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Mustamir Al-Aruqi, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Sufyan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Abu Ja'far, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Sulaiman ibnu Buraidah, dari ayahnya, bahwa pernah ada seorang lelaki sedang menggendong ibunya sambil melakukan tawaf, lalu lelaki itu bertanya kepada Nabi Saw., "Apakah saya telah menunaikan haknya?" Nabi Saw. bersabda, "Belum, masih belum menunaikannya barang sedikit pun," atau seperti apa yang dimaksud oleh sabdanya. Kemudian Al-Bazzar mengatakan, "Kami tidak mengenal riwayat hadis ini melainkan melalui jalur ini." Menurut kami, Al-Hasan ibnu Ja'far orangnya berpredikat daif."

Selanjutnya Allah menyatakan, Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang karena rasa hormat yang tulus kepada keduanya, dan ucapkanlah, yakni berdoalah, Wahai Tuhanku, yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, sayangilah keduanya, karena mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil dengan penuh kasih sayang. Dalam keadaan kedua orang tua sudah berumur lanjut dan berada dalam pemeliharaanmu, boleh jadi suatu waktu engkau berbuat kesalahan, secara tidak sengaja atau karena terpaksa. Dalam keadaan demikian itu, ketahuilah bahwa Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik dan tulus mengasihi kedua orang tuamu dan berbakti kepada keduanya dengan sepenuh hatimu. Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, maka sungguh, Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat dan menyertainya dengan berbuat kebaikan.

Kemudian Allah swt memerintahkan kepada kaum Muslimin agar bersikap rendah hati dan penuh kasih sayang kepada kedua orang tua. Yang dimaksud dengan sikap rendah hati dalam ayat ini ialah menaati apa yang mereka perintahkan selama perintah itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama. Taat anak kepada kedua orang tua merupakan tanda kasih sayang dan hormatnya kepada mereka, terutama pada saat keduanya sangat memerlukan pertolongan anaknya. Ditegaskan bahwa sikap rendah hati itu haruslah dilakukan dengan penuh kasih sayang, tidak dibuat-buat untuk sekadar menutupi celaan atau menghindari rasa malu pada orang lain. Sikap rendah hati itu hendaknya betul-betul dilakukan karena kesadaran yang timbul dari hati nurani. Di akhir ayat, Allah swt memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mendoakan kedua ibu bapak mereka, agar diberi limpahan kasih sayang Allah sebagai imbalan dari kasih sayang keduanya dalam mendidik mereka ketika masih kanak-kanak. Ada beberapa hadis Nabi saw yang memerintahkan agar kaum Muslimin berbakti kepada kedua ibu bapaknya: Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar bahwa sesungguhnya telah datang seorang laki-laki kepada Nabi saw meminta izin kepadanya, agar diperbolehkan ikut berperang bersamanya, lalu Nabi bersabda, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Orang laki-laki itu menjawab, "Ya." Nabi bersabda, "Maka berjihadlah kamu dengan berbakti kepada kedua orang tuamu." (Riwayat Muslim dan al-Bukhari dalam bab al-adab) Seorang anak belumlah dianggap membalas jasa kedua ibu bapaknya, kecuali apabila ia menemukan mereka dalam keadaan menjadi budak, kemudian ia menebus mereka dan memerdekakannya. (Riwayat Muslim dan lainnya dari Abu Hurairah) Saya bertanya kepada Rasulullah saw, "Amal yang manakah yang paling dicintai Allah dan Rasul-Nya?" Rasulullah menjawab, "Melakukan salat pada waktunya." Saya bertanya, "Kemudian amal yang mana lagi?" Rasulullah menjawab, "Berbuat baik kepada kedua ibu bapak." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud) Di dalam ayat yang ditafsirkan di atas tidak diterangkan siapakah yang harus didahulukan mendapat bakti antara kedua ibu bapak. Akan tetapi, dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa berbakti kepada ibu didahulukan daripada kepada bapak, seperti diriwayatkan dalam shahih al-Bukhari dan Muslim: Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw ditanya, "Siapakah yang paling berhak mendapat perlakuan yang paling baik dariku?" Rasulullah menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya, "Siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya, "Siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya, "Siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Bapakmu." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim) Berbakti kepada kedua orang tua, tidak cukup dilakukan pada saat mereka masih hidup, akan tetapi terus berlanjut meskipun keduanya sudah meninggal dunia. Adapun tata caranya disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah: Bahwa Rasulullah saw ditanya, "Masih adakah kebaktian kepada kedua orang tuaku, setelah mereka meninggal dunia?" Rasulullah saw menjawab, "Ya, masih ada empat perkara, mendoakan ibu bapak itu kepada Allah, memintakan ampun bagi mereka, menunaikan janji mereka, dan meng-hormati teman-teman mereka serta menghubungkan tali persaudaraan dengan orang-orang yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan kamu kecuali dari pihak mereka. Maka inilah kebaktian yang masih tinggal yang harus kamu tunaikan, sebagai kebaktian kepada mereka setelah mereka meninggal dunia." (Riwayat Ibnu Majah dari Abu Usaid).

AKHLAK MUSLIM (I)

Ayat-ayat ini, mulai dari sini, menerangkan dasar budi dan kehidupan Muslim. Pokok pertama budi terhadap Allah. Di sinilah pangkalan tempat bertolak.

Di sini pohon budi yang sejati. Yang berjasa kepada kita, yang menganugerahi kita hidup, memberi rezeki, memberikan perlindungan dan akal, tidak ada yang lain, hanya Allah.


Ayat 23

“Dan telah menentukan Tuhanmu, bahwa jangan engkau sembah, kecuali Dia"

Menyembah, beribadah, dan memuji kepada Maha Esa itulah yang dinamai Tauhid Uluhiyah.

Itulah pegangan pertama dalam hidup Muslim.

Dan tidaklah sempurna pengakuan bahwa Allah itu Esa kalau pengakuan tidak disertai dengan ibadah, yaitu pembuktian keimanan. Arti ibadah itu dalam bahasa Indonesia (Melayu) adalah menghambakan diri, atau pembuktian dari ketundukan. Mengerjakan segala yang telah dinyatakan baik oleh wahyu dan menjauhi segala yang telah dijelaskan buruknya.


KHIDMAT KEPADA IBU-BAPAK

Lanjutan ayat ialah, “Dan hendaklah kepada kedua ibu bapak, engkau berbuat baik.'

Dalam lanjutan ayatini terang sekali bahwa berkhidmat kepada ibu bapak, menghormati kedua orang tua yang telah menjadi sebab bagi kita dapat hidup di dunia ini, adalah kewajiban yang kedua sesudah beribadah kepada Allah.

Cobalah pahami dan perhatikan kewajiban berkhidmat, bersikap baik, dan berbudi mulia kepada ibu bapak ini. Manusia itu, apabila telah berumah tangga sendiri, beristri dan beranak-pinak, kerap tidak diperhatikan lagi hal khidmat kepada kedua ibu bapaknya. Harta benda dan anak keturunan kerap menjadi fitnah ujian bagi manusia di dalam perjuangan

hidupnya di sanalah kasih sayang ayah-bunda kepada anaknya. Namun, anak yang telah berdiri sendiri itu kerap lalai memerhatikan ayah-bundanya. Lalu, dalam ayatini seterusnya Allah melanjutkan ketentuan atau perintah-Nya tentang sikap terhadap kedua ibu bapak itu.

“Jika kiranya salah seorang mereka, atau keduanya, telah tua dalam pemeliharaan engkau, janganlah berkata “uff kepada keduanya."

Artinya, jika usia keduanya, atau salah seorang di antara keduanya, ibu dan bapak itu, sampai meningkat tua sehingga tidak kuasa lagi hidup sendiri, sudah sangat bergantung kepada belas kasihan putranya, hendaklah sabar berlapang hati memelihara orang tua itu. Bertambah tua kadang-kadang bertambah dia seperti anak-anakyang minta dibujuk, meminta belas kasih anak. Mungkin ada bawaan orang yang telah tua itu yang membosankan anak, maka janganlah telanjur dari mulutmu satu kalimat pun yang mengandung rasa bosan atau jengkel memelihara orang tuamu. Di dalam ayat ini disebut kata Uffin.

Abu Raja' al-Atharidi mengatakan bahwa arti “Uffin" ialah kata-kata yang mengandung kejengkelan dan kebosanan, meskipun tidak keras diucapkan.

Ahli bahasa mengatakan bahwa kalimat “Uffin" itu asal artinya adalah daki hitam dalam kuku.

Lalu, Mujahid menafsirkan ayat ini. Kata beliau, “Artinya ialah jika engkau lihat salah seorang atau keduanya telah berak atau kencing di mana maunya saja, sebagaimana yang engkau lakukan di waktu engkau kecil, janganlah engkau mengeluarkan kata yang mengandung keluhan sedikit pun."

Sebab itu, kata “Uffin" dapatlah diartikan mengandung keluhan jengkel, decak mulut, akh kerut kening, dan sebagainya.

Jelaslah bahwa rasa kecewa dan jengkel yang betapa kecil sekalipun hendaklah dihindari. Tersebutlah di dalam sebuah hadits yang dirawikan dari Ali bin Abi Thalib, sabda Nabi saw.,

“Kalau Allah mengetahui suatu perbuatan durhaka kepada orang tua perkataan yang lebih bawah lagi dari “uh' itu, niscaya itulah yang akan disebutkan-Nya. Karena itu, berbuatlah orang yang berkhidmat kepada kedua orang tuanya, apa sukanya, namun dia tidak akan masuk ke neraka. Dan berbuatlah orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, apa sukanya pula, namun dia tidaklah akan masuk ke surga."

Lanjutan ayat,

“Dan janganlah dibentak mereka, dan katakanlah kepada keduanya kata-kata yang mulia."

Sesudah dilarang mendecakkan mulut, mengeluh mengerutkan kening, walaupun suara tidak kedengaran, dijelaskan lagi bahwa jangan keduanya dibentak, jangan dihardik, dibelalaki mata. Di sinilah berlaku perumpamaan qiyas-aulawy yang dipakai oleh ahli-ahli ushul fiqih, yakni sedangkan mengeluh “Uffin" yang tak kedengaran saja tak boleh, apalagi membentak-bentak, menghardik-hardik.

“Orangtua pehiba hati" inilah ungkapan orang Minangkabau tentang perasaan orang tua. Disebut juga, “Awak tuo, atipaibo." Kalau awak sudah tua, hati kerap hiba-hiba saja.

Bagaimanalah perasaan seorang tua kalau anak yang diasuh dibesarkannya, yang bertahun-tahun diasuh dibelainya agar kelak anak itu menjadi manusia yang berarti, tiba-tiba setelah awak tua, awak dibentak-ben-taknya, ke mana dia akan pergi lagi, sedang segala tenaga waktu mudanya telah pindah kepada putranya. Orang tua pun insaf

bahwa usianya telah mendekati liang kubur, inengapalah anaknya tidak sabar menderita dalam memelihara orang tuanya.

Maka tersebutlah pada sebuah hadits Rasulullah saw. yang dirawikan oleh Abu Said al-Maqburi dari Abu Hurairah r.a.,

“Hidup sengsaralah seorang laki-laki jika disebut orang aku di dekatnya, namun dia tidak mengucapkan shalawat atasku. Hidup sengsaralah seorang laki-laki, yang telah tua salah seorang ibu bapaknya atau sekaligus kedua-nya, namun pemeliharaannya atas keduanya tidak menyebabkan dia masuk surga. Hidup sengsaralah seorang laki-laki jika telah masuk bulan Ramadhan (puasa) kemudian bulan itu pun habis sebelum Allah memberi ampun akan dia." (HR Abu Said al-Maqburi)

Berkata al-Qurthubi di dalam tafsirnya, “Berbahagialah orang yang cepat-cepat me-ngambil kesempatan berkhidmat kepada kedua ayah-bundanya sebelum kesempatan itu hilang karena mereka terburu mati. Maka menyesallah dia berlarat-larat karena belum sempat membalas guna. Nistalah orang yang tidak peduli kepada kedua orang tuanya apalagi jika perintah ini telah diketahuinya."

Selanjutnya, hendaklah katakan kepada kedua ibu bapak itu perkataan yang pantas, kata-kata yang mulia, kata-kata yang keluar dari mulut orang yang beradab bersopan santun.

Ucapkanlah kata yang baik, yang mulia, yang beradab. Imam Atha sampai mengatakan, “Sekali-kali jangan disebut nama beliau. Panggilkan saja “Ayah-Fbu!" “Abuya, Ummi", “Papi-Mami". Pendeknya, segala perkataan yang mengandung rasa cinta kasih. Tingkat yang mana yang telah dicapai si anak dalam masyarakat, entah dia menjadi presiden atau menteri, jadi duta besar atau Jenderal, per-lihatkanlah di hadapan ayahmu dan ibumu bahwa engkau adalah anaknya.

Rasulullah saw. dalam usia sekitar 60 tahun setelah menaklukkan Hunain dan Bani Sa'ad telah ditemui ibu yang menyusukannya, yang sudah sangat tua, yaitu Halimatus-Sa'-diyah. Ketika perempuan tua itu datang, beliau tanggalkan baju jubahnya, beliau memintanya duduk di atasnya, lalu beliau sandarkan kepalanya ke dada perempuan itu, dada yang pernah diisapnya air susunya.

Ayat selanjutnya lebih mengharukan lagi,


Ayat 24

“Dan hamparkantah kepada keduanya sayap merendahkan diri karena sayang."

Itulah yang telah kita katakan di atas tadi, walaupun engkau sebagai anak, merasa dirimu telah jadi orang besar, jadikanlah dirimu kecil di hadapan ayah-bundamu. Apabila dengan tanda-tanda pangkat dan pakaian kebesaran engkau datang mencium mereka, niscaya air mata keterharuan akan berlinang di pipi mereka tidak dengan disadari. Itu sebabnya maka di dalam ayat ditekankan Minar-rahmati, karena sayang, karena kasih mesra, yang datang dari lubuk hati yang tulus dan ikhlas.

Kadang-kadang, dua orang ibu bapak, atau tinggal salah seorang, hidup di antara anak-anaknya. Kian tahun anak-anak kian dewasa. Lalu, ayah-bunda mengawinkannya. Mereka pun pergilah membina rumah tangga sendiri, satu demi satu. Anak-anak laki-laki telah pergi membawa istrinya. Anak-anak perempuan telah pergi dibawa suaminya. Kian sepilah ayah-bunda atau salah seorang di antara keduanya dalam rumah besar tadi, salah seorang, karena seorang telah terlebih dahulu dipanggil Allah ke hadirat-Nya. Terkhayatlah dan terbayang ramai dalam rumah di zaman lampau, sekarang tak dapat diulang lagi. Si tua cuma menunggu harinya pergi buat selamanya. Datanglah kegembiraan itu sebentar apabila anak-anak itu datang beramai-ramai men-ziarahinya: anak, menantu, cucu-cucu. Dan sepi kembali apabila orang-orang yang dicintainya itu telah pergi.

Oleh sebab itu, ditekankan perintah oleh Allah, “Katakanlah kepada keduanya kata-kata yang mulia", yang membesarkan hatinya, yang menimbulkan kegembiraan kembali pada cahaya mata yang mulai kuyu karena tekanan umur.

Orang akan berkata bahwa tidak pun memakai ayat, rasa kemanusiaan saja pun sudah cukup. Tetapi, orang yang beriman beragama mereka bahagia karena Allah sendiri yang mengatakan bahwa khidmat kepada kedua ibu bapak itu pun termasuk ibadah kepada Allah. Termasuk menaati perintah Allah sehingga ada akibatnya (efeknya) sampai ke akhirat.

Tersebutlah di dalam sebuah hadits yang dirawikan Imam Ahmad bin Hambal dari sahabat Rasululiah saw, Malik bin Rabi'ah as-Saaldi. Dia berkata,

“Sedang kami duduk bersama di sisi Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang laki-laki dari kaum Anshar, lalu dia bertanya, ‘Masih adakah lagi kewajibanku yang wajib aku buktikan kepada kedua orang tuaku setelah beliau-beliau meninggal?'

Rasulullah menjawab,

“Memang, masih ada kewajibanmu empat macam: (1) Doakan keduanya, (2Mohonkan ampun kepada Allah untuk keduanya, (3) Laksanakan pesan-pesan (kebiasaan) keduanya, (4). Muliakan sahabat-sahabat keduanya; silatu-rahim (hubungan kasih sayang), yang tidak terhubung kepada engkau melainkan ciari pihak keduanya. Itulah yang tinggal untuk engkau sebagai bakti kepada keduanya setelah mereka meninggal.'" (HR Imam Ahmad)

Setelah dalam ayat yang tengah kita tafsirkan diperingatkan bahwa berbuat bakti kepada dua orang ibu bapak sesudah perintah menyembah Allah, maka di dalam sebuah hadits pula disamakan martabatnya di antara tiga kewajiban sebagai Muslim.

Dari Abdullah bin Mas'ud r.a., “Aku bertanya kepada Nabi saw., ‘Apakah amalan yang paling disukai Allah Ta'aala. Beliau menjawab, ‘Shalat pada awal waktunya.' Aku bertanya pula, ‘Sesudah itu apaV Beliau menjawab, ‘Berbakti kepada kedua ayah dan bunda.' Aku bertanya pula, ‘Sesudah itu apaV Beliau menjawab, ‘Berjihad pada jalan Allah (Sabilillah)."‘ (HR Bukhari dan Muslim)

Kemudian terdapat pula sebuah hadits yang dirawikan Bukhari dan Muslim juga bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. meminta izin hendak turut berjihad (berperang). Lalu, beliau bertanya, “Apakah ayah-bundamu masih hidup?" Orang itu menjawab, “Masih." Maka bersabdalah beliau,

“Untuk mereka berdualah supaya engkau berjihad."

Artinya, jaga dan peliharalah kedua orang tua itu baik-baik, tak usah engkau pergi ber-perang karena menjaga beliau-beliau sudah juga terrftasuk jihad.

Kemudian, tersebutlah pula sebuah hadits,

Dari Abi Bakrah Nufar bin al-Harits r.a., berkata dia, berkata Rasulullah saw., “Ketahuilah, aku hendak menerangkan kepadamu dosa besar yang lebih besar daripada segala yang besar." Sampai tiga kali beliau katakan. Lalu, kami bertanya, ‘Kami ingin tahu, ya Rasulullah1.' Lalu beliau bersabda, “Mempersekutukan yang lain dengan Allah dan mendurhaka kedua ibu bapak.' Ketika itu beliau sedang berbaring-baring lalu beliau duduk dan menyambung kata, ‘Dan kata-kata dusta dan kesaksian dusta. ‘" (HR Bukhari dan Muslim)

Di sini dijelaskan bahwa dosa mendurhakai ayah-bunda sama besarnya dengan memperserikatkan Allah.

Tersebut pula di sebuah hadits lagi, riwayat Bukhari dan Muslim juga, bahwa dosa besarlah seorang yang memaki-maki ayah-bundanya. Lalu, ada yang bertanya, “Adakah orang mencaci-maki ayah-bundanya, Rasul Allah?" Beliau jawab, “Memang ada! Seseorang mencaci ayah orang dan ibu orang. Lalu, orang itu membalas, mencaci-maki ayahnya pula dan ibunya pula."

Lalu datanglah penutup ayat,

“Dan ucapkanlah, Ya Tuhan! Kasiharilah keduanya sebagaimana keduanya memelihara aku di kota kecil."

Tampaklah pada ujung ayat ini, tergambar bagaimana susah payah ibu bapak mengasuh mendidik anak di waktu anak itu masih kecil; penuh kasih sayang. Kasih sayang yang tidak mengharapkan balasan jasa. Di dalam surah ai-'Ankabuut ayat 8 dijelaskan lagi oleh Allah betapa susah ibu, lemah di atas lemah", artinya kelemahan yang timpa bertimpa, sejak masih mengandung sampai menyusukan dan sampai mengasuh, sampai dewasa. Sari tulang-belulangnya dia bagikan untuk menyuburkan badan anaknya yang masih lemah itu. Perhatikanlah perempuan yang telah banyak melahirkan anak: giginya lekas rusak sebab zat kapur dalam dirinya telah dibagikan untuk menyuburkan badan anak.

Sebab itu maka tersebut pulalah di dalam sebuah hadits,

Dari Abu Hurairah r.a. berkata dia: “Datang .seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw., ‘Ya Rasul Allah! Siapakah manusia yang lebih wajib aku sahaban dengan baiki' Beliau menjawab, ‘Ibumu!' Orang itu berkata lagi, ‘Sesudah itu siapa?' Beliau saw. menjawab lagi, ‘Ibumu!' Orang itu bertanya lagi, ‘Sesudah itu siapa lagi?' Beliau saw. menjawab, ‘Ibumu.' Lalu, dia bertanya lagi, ‘Sesudah itu siapa?' Beliau jawab, ‘Ayahmu. (HR Bukhari dan Muslim)

Di sini jelaslah bahwa ayah dan bunda dihormati, namun kepada bunda berlipat-gan-da tiga kali. Selain kepayahannya mengandung, menyusukan, dan mengasuh, dia adalah ibu! Tegasnya, dia adalah perempuan! Perasaannya amat halus dan lekas tersinggung. Inilah yang harus ditanai dan ditating seperti menanai menating minyak penuh. Bahkan, dalam sebuah hadits lagi ada tersebut.

Dari Mu'awiyah bin Jahimah as-Sullami, bahwa ayah Mu'awiyah, Jahimah, pernah datang menghadap Nabi saw. lalu berkata, “Ya Rasul Allah! Aku ini hendak turut pergi berperang sebab itu aku datang kepada engkau bermusyawarah." Lalu berkata Rasul Allah saw., “Apakah ibumu masih ada?" Dia menjawab, “Na'am!" (Masih ada). Lalu bersabdalah beliau saw., “Jagalah dia karena sesungguhnya surga adalah di bawah telapak kakinya." (HR Imam Ahrnad, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah)

Demikianlah, dan banyak lagi hadits yang lain, yang memerintahkan kita berlaku khidmat dan bakti kepada kedua ibu bapak. Dan banyak pula ayat yang lain di dalam surah-surah yang lain di dalam Al-Qur'an yang menyuruh si anak berkhidmat kepada orang tuanya. Niscaya ayat-ayat itu akan kita tafsirkan pula pada tempo dan tempat kelak.

Maka di ujung ayat tadi diajarkan kepada dia doa untuk kedua orangtua kita, moga-mogalah kiranya Allah mengasihi keduanya sebagai kasih keduanya kepada kita di waktu kita masih kecil. Doa ini kita selalu baca, tatkala ayah-bunda masih hidup, apalagi setelah ayah-bunda meninggal dunia. Sama kita maklumi hadits yang terkenal bahwa hubungan yang masih ada di antara orang yang telah wafat dengan orang yang masih hidup hanya tinggal tiga perkara saja. Pertama, sedekah jariah, yaitu sedekah yang berlama-lama masih diambil orang faedahnya. Kedua, ilmu yang memberi manfaat, yang disebarkan oleh yang telah wafat itu di masa hidupnya. Ketiga, doa dari anak yang saleh.