Contoh sikap yang sesuai dengan Allah tempat meminta segala sesuatu

Islam mengajarkan tata cara dan etika dalam berhubungan dengan mahluk hidup yang ada di muka bumi ini. Dengan segala keterbatasan manusia, maka hal yang terpenting adalah bagaimana ia dapat memberikan manfaat yang banyak bagi orang lain, itulah sebaik-baik manusia yang beriman. Ikhtiar adalah berusaha, bekerja keras bergerak untuk menggapai sesuatu. Berikhtiar berarti melakukan sesuatu dengan segenap daya dan upaya untuk menggapai sesuatu yang di ridhoi oleh Allah I. Banyak ayat yang menjelaskan tentang pentingnya manusia untuk berikhtiar, sehingga daya dan upaya yang dilakukannya akan menjadi kebaikan bagi dirinya maupun orang lain serta bernilai ibadah di sisi Allah I. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang pentingnya ikhtiar ini adalah;

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (An Nisa [4] : 32)

Dari ayat tersebut banyak hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil darinya. Salah satunya adalah sesungguhnya karunia Allah I akan datang kepada mereka yang senatiasa berusaha dengan bersungguh-sungguh dalam berikhtiar. Kendati hasil dan karunia yang akan didapatkan tidak sesuai dengan apa yang ia perjuangkan. Namun, hal itu tidaklah menjadi kekecewaan bagi mereka orang-orang yang beriman. Karena mereka yakin, bahwa ketetapan Allah berupa hal yang baik atau buruk merupakan karunia terindah yang diberikan oleh Allah I kepada hamba-Nya. Setiap muslim yang beriman dan yakin akan adanya hari pembalasan maka mereka senantiasa berikhtiar dan memohon segala sesuatu (kebaikan) hanya kepada Allah I. Dan ia yakin setiap langkah dan benih-benih usaha yang ia lakukan tidak akan sia-sia karena akan bernilai ibadah di sisi sang Allah I ‘ yang maha Pencipta.

Seorang muslim sejati adalah mereka yang senantiasa berikhtiar atas apa yang ia lakukan walaupun ia mempunyai ilmu yang sangat matang dalam profesi yang ia miliki, sebagaimana seorang dokter yang ahli dalam bidangnya, maka ia harus sadar bahwa ilmu yang dimilikinya hanyalah salah satu karunia Allah I yang diberikan kepadanya. Maka peran dokter dalam menyembuhkan penyakit pasien adalah jalan ikhtiar, bukan sang penentu penyembuhan. Karena hak kesembuhan dan sehat seseorang adalah murni hak prerogratif Allah I. Maka tak heran jika banyak rumah sakit Islam yang tidak hanya mengobati penyakit yang ada di dalam tubuh, namun lebih dari itu, para dokter juga memberikan resep rohani yang akan mengantarkan pasien untuk tetap setiap beribadah dan berikhtiar agar mendapatkan kebaikan dari penyakit yang ia derita.

Begitupun juga dengan seorang ayah yang shalih, ayah yang shalih dan tinggi imannya kepada Allah I harus sadar bahwa, ia tidak akan mampu menjadikan anak-anak keturunannya menjadi shalih sebagaimana dirinya. Karena hak keshalihan datangnya dari Allah I yang menguasai tiap diri kita. Maka pendidikan yang ia berikan kepada anak-anaknya merupakan bulir-bulir embun keteladanan sebagai bentuk ikhtiar dan ibadah pengorbanan untuk anak yang telah di amanahkan Allah I kepadanya. Sebagaimana ketika Allah I menjadikan keluarga Nabi Ya’qub u sebagai bukti sejarah kebaikan yang dimiliki oleh umat Islam. Dalam al-Quran Allah I menjelaskan kisah Nabi Ya’qub u sebagai salah satu Nabi teladan bagi umatnya dalam kehidupan berkeluarga.

Namun keteladanan yang dimiliki oleh Nabi Ya’qub u tidak lantas menjadikan anak-anak yang dimilikinya menjadi anak-anak yang shalih. Maka kita temui dari kedua belas anak yang dimilikinya hanya dua orang yang soleh serta menjalankan perintah dan keteladanan yang ia ajarkan yaitu nabi Yusuf ‘alaihissalam dan Bunyamin saudaranya. Hal tersebut terukir dalam al-Qur’an surat Yusuf [12]: 7-8. Kebaikan dan keteladanan saja tidak cukup sebagai  bentuk ikhtiar untuk menjadikan anak-anak kita menjadi anak yang shalih serta taat dalam menjalankan perintah agama. Lebih dari itu, kita juga harus senantiasa bersyukur dan bersabar atas apa yang menimpa kita, sekalipun hal tersebut merupakah hal yang menyakitkan bagi kita, tapi yakin lah bahwa itu itu adalah skenario terbaik yang Allah berikan.

Bagitupun juga halnya dengan peristiwa yang pernah dituliskan dalam sejarah Islam tentang perjuangan bunda Hajar istri dari Nabi Ibrahim. Bunda Hajar adalah sosok wanita yang menjadikan setiap ikhtiarnya menjadi sebuah kebaikan. Maka dengan kesungguhannya, kita selalu mengenang peristiwa ini dalam rangakaian ibadah haji maupun umroh yaitu sa’i antara bukit Shafa dan Marwah. Bunda Hajar menaiki dua bukit ini sebagai bentuk ikhtiar kepada Allah I  dengan usaha tanpa lelah demi sang buah hati tercinta serta naluri seorang ibu serta kasih sayangnya. Hal inilah yang membawa bunda Hajar menjadikan ikhtiar sebagai satu-satunya senjata untuk mengharapkan karunia yang datang untuk kebaikan keluarganya.

Namun karunia itu tidak datang melalui dirinya, Allah I lebih suka memberikan karunia air zam-zam ini lebih dekat kepada anaknya tercinta yaitu Nabi Ismail u. Maka dengan kebaikan yang ikhlas dan perjuangan tanpa lelah, serta kerja keras dalam berusaha telah menjadikan peristiwa ini akan terus dikenang setiap masa oleh umat Islam. Maka perjuangan yang baik akan melahirkan kebaikan selanjutnya. Oleh sebab itulah pelajaran yang penting untuk kita semua dari kisah tersebut adalah do’a dan usaha adalah sebuah satu kesatuan, maka tak dapat dipisahkan satu sama lain, sehingga akan menjadi buah kebaikan pada masa yang akan datang.

Dan yang tidak kalah penting juga adalah ketika Allah I menceritakan peristiwa perjalanan Nabi Musa u yang mendapatkan kesusahan tatkala ia dikejar oleh musuh Allah I yaitu prajurit dari kerajaan Fir’aun seorang raja yang kejam lagi sombong. Maka dengan segenap usaha dan do’a yang selalu ia panjatkan. Ia pun berikhtiar dan berusaha untuk selalu melakukan kebaikan dengan memberikan pertolongan kepada siapapun. Walaupun dirinya sebenarnya juga pantas diberikan pertolongan. Oleh sebab itulah dengan komitmen ini Allah I mendatangkan ujian kebaikan kepada Nabi Musa u manakala ia melihat ada pengembala yang tak mampu memberikan minum kepada ternak-ternaknya. Dan Nabi Musa u pun menolong dengan ikhlas dan hanya mengharapkan imbalan hanya dari Allah I, kemudian seraya ia berdo”a, “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau Turunkan kepadaku.” (Q.S Al Qhasas [28] : 24).

Maka tak lama berselang Allah I mendatangkan salah seorang dari pengembala yang di tolongnya itu untuk menghampirinya dengan rasa malu. Dan ia pun meminta Nabi Musa u untuk menghadap ayah mereka tercinta. Dengan keikhlasan dan kebaikan yang telah usahakannya oleh nabi Musa u maka Ayah dari wanita pengembala ini memberikan hadiah kebaikan untuk Nabi Musa u dan menjadikan salah satu anaknya tersebut untuk menjadi istri bagi dirinya. Kita banyak mengenal sifat agung yang dimiliki oleh Nabi Musa u. Nabi yang mempunyai kekuatan lebih di antara manusia yang ada pada masa itu, nabi yang mempunyai banyak ilmu dan kebijaksanaan dalam berbuat dan bertindak. Bahkan  do’a-do’a yang keluar dari lisan beliau kita jadikan salah satu do’a dalam menuntut ilmu yaitu terdapat dalam al Quran surat Toha.

Tak sampai hanya di situ, beliaupun mendapatkan pekerjaan yang baik, dan dapat menghidupi keluarganya dengan baik serta diberi hadiah berupa tongkat yang akan digunakan untuk mengembalakan ternak dan menjadi mukjizat yang luar biasa dalam berdakwah. Maka salah satu pelajaran penting bagi kita dalam melakukan kebaikan adalah bersungguh-sungguh berusaha dan tetap istqomah dalam kebaikan walaupun kita harus menghadapi pahitnya perjuangan.

Senjata merupakan sebuah alat. Maka sebaik-baik senjata adalah menggunakannya dengan kebaikan pula. Oleh sebab itulah dalam mengahadapi ujian ini, berikhtiar dan tetap berusaha dengan segala daya dan upaya yang kita miliki adalah bentuk kebaikan yang akan melahirkan kebaikan-kebaikan berikutnya. Sehingga setiap langkah dan jalan yang kita pilih akan selalu mendapatkan pahala kebaikan di sisi Allah I. Sedangkan keberhasilan atas perjuangan yang kita lakukan adalah bonus dan hadiah terbaik yang Allah I berikan kepada kita sebagai bentuk karunia-Nya.

Hal lain yang perlu diperhatikan juga, bahwasannya ikhtiar bukanlah melakukan seuatu yang tanpa rencana dan strategi. Bukan pula melakukan sesuatu yang biasa-biasa saja. Maka dari itu sudah sepantasnya kita sebagai muslim sejati harus pandai untuk mengatur strategi kebaikan dalam berikhtiar. Membuat rencana yang terstruktur sehingga ikhtiar kita adalah senjata yang akan menghasilkan kebaikan berikutnya. Dengan strategi terbaik kita dalam berikhtiar, semoga do’a dan usaha menjadi satu senjata kebaikan yang ada di dalam hati setiap umat Islam.

Dalam ajaran Islam, pahala bukan saja didapatkan manakala kita sudah berbuat sesuatu. Namun Islam juga mengajarkan bahwasannya niat dalam perkara kebaikan juga akan menghantarkanya kepada pahala yang ada di sisi Allah I. Maka ingatlah selalu yang Allah I ajarkan melalui firman-Nya yang termaktub dalam al-Qur’an; “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.”. (Q.S al Isra [17] : 7).

Wallauhu’alam.

Romi Padli

Alumni Magister Ilmu Agama Islam 2018

Universitas Islam Indonesia

Sepenuhnya Menjadikan Allah Tempat Bergantung

Jumat 2 Agustus 2019      Hikmah

Oleh : Irham Muhammad, Lc,M.A.

Di media massa belakangan ini diberitakan beberapa orang yang dianggap terkenal di masyarakat kedapatan mengonsumsi obat-obatan terlarang. Bahkan ada yang sudah bertahun-tahun ketergantungan barang haram tersebut. Sontak muncul beragam reaksi di masyarakat. Banyak yang tak mengira orang-orang dengan tampilan baik-baik, ternyata memiliki sisi lain yang tidak banyak diketahui.

Pada dasarnya manusia punya sesuatu yang ia pendam sendiri atau hanya diketahui orang-orang terdekatnya. Seperti apa saja yang ia lakukan ketika sendirian, bagaimana caranya mengatasi permasalahan, dan kepada apa atau siapa ia menyandarkan dan mengatasi masalah hidupnya.

Dalam islam, manusia diperintahkan untuk taat kepada perintah dan larangan Rabb-nya. Baik itu dalam keadaan dilihat oleh orang lain maupun dalam keadaan sendiri. Taat disini seluruhnya merupakan konsekuensi keyakinan seseorang tentang aqidah islam yang harus dilakukan. Ia mengerjakan perintah dan menjauhi larangan bagaimana pun keadaannya.

Boleh jadi seseorang menampilkan hal-hal yang baik saja dari dirinya, akan tetapi menyembunyikan keburukan atau ketergantungan negatif akan sesuatu dari orang lain. Yang mana hal itu bisa menggambarkan jati diri sesungguhnya dari orang tersebut. Keadaan dirinya yang menunjukkan apakah ia sepenuhnya taat pada Allah di setiap waktu dan tempat, atau tidak.

Islam menuntut seseorang menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah yang Maha Kuasa. Ajaran-ajaran di dalam agama islam mengharuskannya bersandar hanya kepada Sang Pemilik Kekuasaaan. Dan diataranya adalah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya melalui amalan dan kegiatan yang Allah ridhoi. Permasalahan hidup apapun, dan beban yang ada di dalamnya semua ia hadapi dengan mendekatkan diri nya kepada Allah. Bukan bergantung kepada manusia ataupun benda. Karena segalanya tidak akan bisa bermanfaat apa-apa tanpa campur tangan kuasa-Nya.

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اَللهُ الصَّمَدُ

“Katakanlah (Muhammad) ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu’.”(QS. Al Ikhlash:1-2)

Ibnu ‘Abbas menafsirkan ayat kedua surah Al Ikhlas seperti yang diriwayatkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, bahwasanya Allah-lah tempat bergantung semua makhluk dalam segala keperluan dan masalah mereka.

Beberapa orang menghadapi masalah dalam hidupnya dengan cara yang tidak dibenarkan agama. Dengan bergantung sepenuhnya kepada makhluk atau pun benda. Yang mana seharusnya seorang muslim mengetahui bahwa hanya Allah lah tempat bersandar dan meminta. Seseorang sudah membuktikan aqidah tauhidnya jika ia menggantungkan seluruh permasalahan hidupnya pada Allah.

Ketika menemui masalah dalam hidup, bukan berarti sama sekali tidak boleh meminta tolong dan bantuan kepada manusia. Hanya saja semaksimal mungkin hendaknya seseorang mengurangi ketergantungannya kepada orang lain. Karena manusia sejatinya tidak memiliki apa-apa, Allah lah yang berkuasa atas segala sesuatu.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

“Wahai manusia! Kalianlah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya lagi Maha Terpuji.”(QS. Fathir:15)

Dengan hati yang bergantung pada Dzat yang Maha Kaya, seorang hamba juga hendaknya senantiasa berdoa kepada Allah. Memohon agar diringankan bebannya, dan dikabulkan keinginannya. Karena doa adalah senjatanya orang-orang beriman. Tentu dibarengi dengan usaha yang dilakukannya dalam mengatasi masalah, dan bukan sepenuhnya menyandarkan penyelesaian kepada orang lain.

Di dalam hadits, Rasulullah berpesan agar yang kita dahulukan dalam mengharap pertolongan adalah dengan meminta kepada Allah.

وَإِذَا سَأَلْتَ فاَسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ

“jika kamu meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika kamu memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah.” (HR. Ahmad)

Banyak hal yang bisa seseorang lakukan, akan tetapi hasil yang akan didapatkannya semua diserahkan kepada Allah. Yang utama adalah ia bersandar pada-Nya ketika masalah datang, bukan kepada makhluk lainnya. Dan jangan sampai seseorang merasa bisa melakukan banyak hal tanpa bantuan Allah. Manusia tetap butuh kepada bantuan-Nya sekalipun ia ahli dalam bidang tertentu.

فَكَفَرُوا وَتَوَلَّوْا وَاسْتَغْنَى اللهُ وَاللهُ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“lalu mereka ingkar dan berpaling; dan Allah tidak memerlukan (mereka). Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”(QS. At Taghabun:6)

Adapun dalam kasus menjadikan benda sebagai jalan keluar permasalahan hidup, alasan orang-orang melakukannya adalah untuk melepaskan beban yang dihadapinya. Walaupun yang terlihat biasanya orang itu sangat bahagia, akan tetapi sebenarnya ia menyimpan kesedihan dan penderitaan. Maka untuk meredakannya ia menggantungkannya kepada benda terlarang tersebut.

Padahal dalam islam, Allah mengajarkan banyak hal yang bisa dilakukan oleh seseorang untuk menghadapi kepahitan hidup. Yang belum adalah kesungguhannya untuk benar-benar berlepas dari segala makhluk dan benda apapun untuk dijadikan tumpuan. Dan kembali kepada Allah seutuhnya dengan memaknai ayat-ayat-Nya, bahwasanya Allah-lah tempat kembalinya segala sesuatu.