Capability for communication anda teamwork termasuk kedalam kompetensi

A.   Pendahuluan

Banyak komponen penting yang dinilai turut menentukan keberhasilan proses pendidikan dalam upaya pencapaian output yang berkualitas. Salah satu di antara kompenen itu adalah partisipasi masyarakat sebagaimana tertulis dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 7 Ayat 1 yang berbunyi bahwa orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. Untuk itu perlu adanya jembatan antara sekolah dengan masyarakat atau yang lebih dikenal dengan hubungan masyarakat atau public relation. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah menegaskan bahwa seorang kepala sekolah/ madrasah harus memiliki lima dimensi kompetensi minimal.

Peran guru sebagai perangkai transisi keilmuan dari satu generasi ke generasilain sudah setua perjalanan peradaban manusia sendiri. Guru adalah orang dewasayang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaansebagai tujuan akhir dari suatu proses pendidikan (Uno, 2008: 15).

Proses perencanaan hubungan sekolah dan masyarakat berbentuk workshop dan melibatkan seluruh elemen sekolah di mana program-program yang direncanakan akan disampaikan dan disosialisasikan dengan demikian Humas mendapatkan saran, kritik, dan masukan untuk perbaikan program kerja satu tahun ke depan yang nantinya apabila sudah disetujui maka akan disahkan menjadi program kerja satu tahun kedepan. Di  dalam proses pelaksanaan hubungan sekolah dan masyarakat yaitu bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam hal sosialisasi pendidikan dan wawasan tentang pergaulan remaja. Kemudian bekerja sama dengan lembaga bimbingan belajar untuk mengadakan tryout sebagai tolak ukur siswa sebelum menghadapi ujian nasional.

Menurut Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005, kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi gurudapat dimaknai sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berwujud tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugassebagai agen pembelajaran. Berdasarkan pasal 28 ayat 3 PP Nomor 19 tahun 2005, kompetensi guru yang harus dimiliki adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompeten sisosial, dan kompetensi profesional.

Kompetensi Pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran untuk kepentingan peserta didik. Paling tidak harus meliputi pemahaman wawasan atau landasan kepemimpinan dan pemahaman terhadap pesertadidik. Selain itu, juga meliputi kemampuan dalam pengembangan kurikulum dansilabus termasuk perancangan dan pelaksanaan pembelajaran yang mendidik sertadialogis (Sembiring, 2009: 39). Kompetensi kepribadian seorang guru mencakup kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana. Tentunya berwibawa, berakhlak mulia, serta menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Secara objektif mampu mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.

Kompetensi profesional seorang guru adalah seperangkat kemampuan yang harus dimiliki seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil. Selain itu merupakan wujud nyata kemampuan penguasaan atas materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial seorang guru adalah menyangkut kemampuan berkomunikasi dengan peserta didik dan lingkungan mereka (seperti orang tua, tetangga dan sesama teman.

Definisi yang lebih luas kompetensi ini merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara harmonis dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua wali peserta didik, dan masyarakatsekitar. Indikasinya, guru mampu berkomunikasi dan bergaul secara harmonis dengan peserta didik, sesama pendidik, dan dengan tenaga kependidikan, dengan orang tua wali peserta didik dan masyarakat sekitar.

B.   Kompetensi Sosial

Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan perilaku (afektif) yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan (UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua atau wali peserta didik, dan masyarakat sekitar (Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat 3 butir d).

Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) menurut Aristolteles adalah makhluk yang senantiasa ingin hidup berkelompok. Pendapat senada menyatakan bahwa manusia adalah homo politicus. Manusia dalam hal ini tidak bisa menyelesaikan segala permasalahannya sendiri, dia membutuhkan orang lain baikuntuk memenuhi kebutuhannya maupun untuk menjalankan perannya selaku makhluk hidup (Rokib dan Nurfuadi, 2009: 131).

Guru juga manusia. Guru adalah individu yang merupakan bagian dari masyarakat. Guru membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan dan menjalankan perannya sebagai seorang pengajar dan pendidik. Yang dimaksud dengan orang lain di sini bisa peserta didiknya, tenaga kependidikan di sekolah maupun instansi, dan masyarakat pada umumnya tempat tinggal seorang guru. Peranan dan segala tingkah laku seorang guru di sekolah dan di masyarakat akan senantiasa dipantau oleh orang lain, baik itu peserta didik, sesama tenaga kependidikan maupun masyarakat. Di sini tingkah laku guru akan dijadikan contoh, dengan kata lain guru sebagai panutan. Dalam kalimat bahasa jawa bahwa guru itu digugu lan ditiru. Digugu berarti diikuti perkataan nasihatnya dan ditiru berarti diikuti tingkah lakunya.

1.    Pengertian

Menurut Buchari Alma (2008:142), kompetensi sosial adalah kemampuan guru dalam berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah (Wibowo dan Hamrin, 2012: 124). Seorang guru harus berusaha mengembangkan komunikasi dengan orang tua peserta didik sehingga terjalin komunikasi dua arah yang berkelanjutan. Dengan adanya komunikasi dua arah, peserta didik dapat dipantau secara lebih baik dan dapat mengembangkan karakternya secara lebih efektif pula. Suharsimi juga memberikan argumennya mengenai kompetensi sosial. Menurut beliau, kompetensi sosial haruslah dimiliki seorang guru, yang mana guru harus memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dengan siswa, sesama guru, kepala sekolah, dan masyarakat sekitarnya.

Dalam Standar Nasional Pendidikan, Pasal 28 ayat (3) butir d, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar (Mulyasa, 2007: 173). Hal tersebut diuraikan lebih lanjut dalam RPP tentang guru, bahwa kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya memiliki kompetensi untuk:

a. Berkomunikasi secara lisan, tulisan, dan isyarat.

b. Menggunakan tekhnologi komunikasi dan informasi secara fungsional.

c. Bergaul secara efektif dengan siswa, sesama pendidik, tenaga kependidikan, dan orang tua/wali peserta didik.

d. Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar (Mulyasa, 2007: 173).

Kompetensi sosial menurut Slamet yang dikutip oleh Sagala dalam bukunya kemampuan Profesional Guru dan tenaga Kependidikan terdiri dari sub kompetensi yaitu :

1) memahami dan menghargai perbedaan serta memiliki kemampuan untuk mengelola konflik dan benturan,

2) melaksanakan kerja sama secara harmonis,

3) membangun kerja team (team work) yang kompak, cerdas, dinamis dan lincah

4) melaksanakan komunikasi secara efektif dan menyenangkan,

5) memiliki kemampuan untuk memahami dan menginternalisasikan perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap tugasnya,

6) memiliki kemampuan menundukkan dirinya dalam system nilai yang berlaku di masyarakat,

7)  melaksanakan prinsip tata kelola yang baik (Sagala, 2009: 38).

Berdasarkan beberapa pengertian kompetensi sosial di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi sosial guru adalah kemampuan dan kecakapan seorang guru dalam berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif pada pelaksanaan proses pembelajaran serta masyarakat sekitar. Kompetensi sosial adalah kemampuan seseorang berkomunikasi, bergaul, bekerja sama, dan memberi kepada orang lain. Kompetensi sosial ialah kemampuan seorang guru dan dosen untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, guru, orang tua, dan masyarakat sekitar.

2.   Dimensi Kompetensi Sosial

a.     Bekerja sama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah/madrasah

Agar partsipasi masyarakat dapat ditingkatkan, selayaknya lembaga pendidikan melakukan hubungan-hubungan sosial. Hubungan-hubungan sosial ini harus dibangun, baik dengan tokoh-tokoh masyakat maupun dengan mereka yang berada pada posisi grass root. Lazimnya, ketika dengan elit atau tokoh masyarakat sudah dapat dibangun, maka hubungan dengan grass rootnya akan menjadi lancar.

Hubungan sosial adalah hubungan yang dijalin oleh suatu lembaga pendidikan dengan masyarakat. Masyarakat di sini, bisa berupa masyarakat yang terorganisir dan masyarakat yang tidak terorganisir. Masyarakat yang terganisir, juga dapat dikategorikan terorganisir formal dan terorganisir tidak formal. Sedangkan hubungan sosial sendiri, bisa bersifat formal dan tidak formal. Hubungan sosial juga bisa tertuju kepada tokoh atau elit masyarakat, dan bisa juga langsung ke masyarakat. Karena itu, saluran hubungan sosial ini juga bisa menggunakan saluran formal dan bisa menggunakan saluran tidak formal.

b.    Berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.

Kepala sekolah adalah seorang guru yang mempunyai kemampuan untuk memimpin segala sumber daya yang ada pada suatu sekolah sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan bersama. Bush dan Coleman mengutip Bottery (2012:84) dikatakan bahwa kepala kepala organisasi yang baik memiliki keinginan untuk melibatkan staf, murid, dan orang lain dapat memberikan masukan bahkan berdiskusi tentang kebijakan. Jadi profesionalisme kepemimpinan kepala sekolah berarti suatu bentuk komitmen para anggota suatu profesi untuk selalu meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya yang bertujuan agar kualitas profesinya dalam menjalankan dan memimpin segala sumber daya yang ada pada suatu sekolah untuk mau bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama.

Menurut pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah: seorang guru dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah jika memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus). Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin harus memiliki kemampuan atau potensi diri yang dapat dikembangkan secara optimal dan demokratis. Kepala sekolah sebagai komponen penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan dimanapun kepemimpinannya.

Kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan di sekolah. Jika pengertian kepemimpinan tersebut diterapkan dalam organisasi pendidikan, maka kepemimpinan pendidikan bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk menggerakkan orang-orang yang ada dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Sutikno (2012 : 122-123) menyatakan bahwa keberhasilan sebuah pengurus lembaga atau organisasi sekolah sangat berpengaruh pada bagaimana seorang kepala sekolah membawa pengurus lembaganya atau organisasinya dalam perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), dan pengawasan (controlling). Kepala sekolah menurut Peterson dan Deal (2009: 207) menyatakan:

Principals take on eight major roles : organizational planners, resource allocators, program coordinators, supervisors of staff and outcomes, disseminators of ideas and information, jurists of adjudicate disagreements and conflicts, gatekeepers of at the boundaries of the school and analysts who use systematic approaches to address complex problems.

Jadi seorang kepala sekolah harus mempunyai delapan kualitas peran antara lain perencana organisasi, pengalokasi sumber, koordinator program, supervisor atas staf dan atas apa yang sudah diputuskan, pemberi ide dan informasi, juri dari ketidak persetujuan dan konflik, penjaga gerbang dari batas sekolah dan analis yang menggunakan pendekatan yang sistematis untuk menghadapi masalah yang sulit. Kedelapan peran tersebut di atas adalah satu kesatuan yang saling berhubungan.

Kepala sekolah merupakan orang yang punya otoritas dalam mengelola sekolah guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Fungsi Kepala sekolah Permendiknas No 28 tahun 2010 adalah 1) menentukan visi, misi dan strategi sekolah, 2) mengembangkan budaya organisasi sekolah, 3) menciptakan iklim yang kondusif, 4) memahami dan mengembangkan kurikulum, 5) mengembangkan proses pembelajaran, 6) mengembangkan fasilitas pendidikan, 7) mengembangkan manajemen sekolah, 8) melaksanakan peran manajerial, dan 9) mengembangkan sumber daya manusia sekolah.

Kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan dituntut untuk mengembangkan sikap/perilaku dan nilai-nilai kepemimpinan yang diperlukan di sekolah, dan mampu menggerakkan bawahannya untuk melakukan perubahan sesuai tuntutan stakeholders. Menurut Leithwood, Jantzi, Marks, dan Printy dikutip oleh Hammond et.al (2010:15-16) mengatakan bahwa kepemimpinan instruksional secara langsung maupun tidak langsung melibatkan hal-hal seperti bekerja secara langsung dengan guru-guru untuk mengembangkan efektivitas dalam kelas melalui evaluasi, supervisi, menjadi contoh, dan memberi dukungan, mempersiapkan sumber-sumber dan pengembangan profesi dalam pengajaran, koordinasi dan evaluasi kurikulum dan pengajaran serta assesmen, secara regular memonitoring pengajaran dan perkembangan murid dan mengembangkan dan mempertahankan norma-norma yang ada dan harapan murid, staf, dan keluarga.

Dikatakan pula bahwa walaupun kepemimpinan transformasional tidak secara original menggambarkan kepemimpinan sekolah tetapi sudah menjadi gambaran umum tentang kegiatan kepemimpinan untuk mempredikasi pembelajaran dan perubahan organisasi. Adapun yang termasuk di dalamnya adalah berbagi visi dan misi dan mencapai tujuan; mengembangkan kepercayaan dan pekerjaan dan budaya sekolah; memiliki harapan yang tinggi dan mengembangkan individu dengan dukungan langsung maupun tidak langsung, mengembangkankan struktur kolaborasi dalam mengambil keputusan; dan memotivasi keluarga dan komunitas dalam pengembangan sekolah. Sanusi ( 2013 : 41) berpendapat mengenai kepemimpinan : Dalam kepemimpinan kepala sekolah diharapkan perubahan yang signifikan dari kepala sekolah yaitu untuk berhasilnya reformasi pendidikan yang gerakannya kemudian dihidup suburkan pada berbagai tingkat dan lapisan, akibat adanya desakan perubahan-perubahan sosial yang awalnya dikumandangkan pada tingkat mikro. Besar diharapkan pihak sekolah dapat memfasilitasi perubahan ini sehingga dapat menyesuaikan tuntutan kebutuhan hidup di masyarakat dengan tingkat yang paling kecil.

Hoog et al. dikutip oleh Moos, Johansson dan Day ( 2011 : 3) mengatakan bahwa In Sweden, successful principals work hard to convince teachers, students and parents to develop an emphasis on both academic knowledge and social goals in accordance with the way a successful school is defined in Swedish law and policy. Dapat diambil simpulan kepala sekolah yang sukses harus bekerja keras untuk meyakinkan semua pihak seperti guru, murid, orang tua, komite dan masyarakat untuk mengembangkan perhatian khusus terhadap proses pembelajaran di sekolah dan kehidupan sosial sebuah sekolah.

Dalam Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Potensi Kepemimpinan Calon Kepala Sekolah/Madrasah (2011:6) bahwa:

  Kepemimpinan pendidikan adalah kemampuan dalam menggerakkan faktor-faktor yang memengaruhi ketercapaian tujuan pendidikan di sekolah. Kepala sekolah/ madrasah sebagai pemimpin harus mampu mengembangkan seluruh potensi sekolah, di antaranya pendidik, tenaga kependidikan, siswa, sarana dan prasarana, kurikulum guna mencapai prestasi akademik dan non akademik secara maksimal. Selain itu, kepala sekolah juga dituntut mampu berperan sebagai pemimpin efektif yang selalu memfokuskan kepada pengembangan instruksional, organisasional, staf, layanan murid, serta hubungan dan komunikasi dengan masyarakat.

Seorang kepala sekolah harus memiliki kompetensi atau kecakapan dalam bekerja dalam pelaksanaan tugasnya. Wahyudi (2012:28) menyatakan:

   Kompetensi kepala sekolah adalah pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan kepala sekolah dalam kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten yang memungkinkannya menjadi kompeten atau berkemampuan dalam mengambil keputusan tentang penyediaan, pemanfaatan dan peningkatan potensi sumber daya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/ madrasah. Dalam peraturan tersebut terdapat lima dimensi kompetensi yaitu: kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial. Partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggung jawab bersama.

Partisipasi masyarakat merupakan keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Dari pendapat ahli di atas yang mengungkapkan definisi partisipasi dapat dibuat kesimpulan bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai pada tahap evaluasi. Pentingnya partisipasi masyarakat sekolah dikemukakan oleh Midlock (2011:102) adalah:

    An over looked area of importance in the role of an educational leader is that of the school community relations and strategic planning. Actually the two are inseparable; an educational leader can’t expect to have a good relationship with the school community unless he or she has been involved in the school’s strategic planning process, and the strategic planning process can’t be effective unless it is steeped in good school community relations.

Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan untuk jangka yang lebih panjang. Hal ini ditegaskan Daradjat bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama tidak bisa dibebankan ke salah satu pihak. Pendidikan yang dilandasi oleh kebersamaan dalam penyelenggaraannya akan terjamin keberlangsungan, mutu serta hasil dari pada proses belajar mengajar yang diharapkan.

c.     Memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain

Pakar psikologi pendidikan Gadner (1983) menyebut kompetensi sosial itu sebagai social intellegence atau kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial merupakan salah satu dari sembilan kecerdasan (logika, bahasa, musik, raga, ruang, pribadi, alam, dan kuliner) yang berhasil diidentifikasi oleh Gadner. Semua kecerdasan itu dimiliki oleh seseorang. Hanya saja, mungkin beberapa di antaranya menonjol, sedangkan yang lain biasa atau bahkan kurang. Uniknya lagi, beberapa kecerdasan itu bekerja secara padu dan simultan ketika seseorang berpikir dan atau mengerjakan sesuatu (Amstrong, 1994).

Relevansi dengan apa yang dikatakan oleh Amstrong itu ialah bahwa walau kita membahas dan berusaha mengembangkan kecerdasan sosial, kita tidak boleh melepaskannya dengan kecerdasan-kecerdasan yang lain. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa dewasa ini banyak muncul berbagai masalah sosial kemasyarakatan yang hanya dapat dipahami dan dipecahkan melalui pendekatan holistik, pendekatan komprehensif, atau pendekatan multidisiplin. Kecerdasan lain yang terkait erat dengan kecerdasan sosial adalah kecerdasan pribadi (personal intellegence), lebih khusus lagi kecerdasan emosi atau emotional intellegence (Goleman, 1995). Kecerdasan sosial juga berkaitan erat dengan kecerdasan keuangan (Kiyosaki, 1998). Banyak orang yang terkerdilkan kecerdasan sosialnya karena himpitan kesulitan ekonomi.

Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi sosial adalah kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar berhasil dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam kompetensi sosial ini termasuk keterampilan dalam interaksi sosial dan melaksanakan tanggung jawab sosial. Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for Teacher Education, menjelaskan kompetensi sosial guru adalah salah satu daya atau kemampuan guru untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang baik serta kemampuan untuk mendidik, membimbing masyarakat dalam menghadapi kehidupan di masa yang akan datang.

Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru. Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi sosial mengharuskan guru memiliki kemampuan komunikasi sosial baik dengan peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, bahkan dengan anggota masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, kompetensi sosial guru tercermin melalui indikator (1) interaksi guru dengan siswa, (2) interaksi guru dengan kepala sekolah, (3) interaksi guru dengan rekan kerja, (4) interaksi guru dengan orang tua siswa, dan (5) interaksi guru dengan masyarakat.

3.   Kompetensi Sosial Guru dalam Proses Pembelajaran

Dalam undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar,dan pendidikan menengah. Selanjutnya dijelaskan, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Dengan kata lain seorang guru minimal memiliki kualifikasi akademik sarjana strata satu (S.1) atau Diploma IV.

Sementara itu kompetensi yang harus dimiliki guru, meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Kata kompetensi berasal dari bahasa inggris competency sebagai kata benda competence yang berarti kecakapan, kompetensi dan kewenangan. Kompetensi guru juga berarti suatu kemampuan atau kecakapan yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang dimiliki dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan fungsi profesionalnya. Dalam kaitannya dengan interaksi guru dan siswa maka dibutuhkan kecakapan atau kompetensi sosial guru.

Pengertian kompetensi sosial guru dikemukakan oleh para ahli di antaranya; Menurut Suharsimi, kompetensi sosial berarti bahwa guru harus memiliki kemampuan berkomunikasi sosial dengan siswa, sesama guru, kepala sekolah dan masyarakatnya. Suherli Kusmana mendefinisikan kompetensi sosial dengan kompetensi guru dalam berhubungan dengan pihak lain. Rubin Adi Abraham mendefinisikan kompetensi sosial yaitu kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 pasal 10 tentang Guru dan Dosen dinyatakan bahwa kompetensi sosial guru adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan siswa, sesama guru, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat. Pakar psikologi pendidikan Gardner (1983) menyebut kompetensi sosial itu sebagai social intellegence atau kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial merupakan salah satu dari sembilan kecerdasan (logika, bahasa, musik, raga, uang, pribadi, alam skuliner) yang berhasil diidentifikasi oleh Gadner. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka kompetensi sosial guru berarti kemampuan dan kecakapan seorang guru (dengan kecerdasan sosial yang dimiliki) dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain yakni siswa secara efektif dalam pelaksanaan proses pembelajaran.

Mengajar di depan kelas merupakan perwujudan interaksi dalam proses komunikasi. Sedangkan kompetensi sosial guru dianggap sebagai salah satu daya atau kemampuan guru untuk mempersiapkan siswa menjadi anggota masyarakat yang baik serta kemampuan untuk mendidik dan membimbing masyarakat dalam menghadapi masa yang akan datang. Selain itu, guru dapat menciptakan kondisi belajar yang nyaman.

Dapat disimpulkan bahwa berkaitan dengan pelaksanaan proses pembelajaran, guru di tuntut untuk memiliki kompetensi sosial. Dalam melakukan pendekatan dengan siswa guru harus memperhatikan bagaimana berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa. Dengan demikian, guru akan diteladani oleh siswa.

4.   Kompetensi Sosial yang Harus Dimiliki Guru

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008,  guru sekurang-kurangnya harus memiliki kompetensi untuk:

a.  Berkomunikasi dengan baik secara lisan, tulisan, maupun isyarat. Bobbi DePorter dalam buku Quantum Teaching menyebutkan prinsip komunikasi ampuh yakni menimbulkan kesan, mengarahkan atau focus pada materi yang disampaikan, dan spesifik. Guru hendaknya kreatif untuk mengoptimalkan kemampuan kinerja otak sebagai tempat menimbulkan kesan. Maka guru dituntut mampu menentukan kata-kata yang tepat dalam memberi penjelasan pada siswa. Oleh karena itu, sebaiknya guru menyusun perkataan yang komunikatif serta santun untuk pembelajaran yang berkesan dan bermakna. Jika seorang guru tidak mampu untuk berkomunikasi, maka materi yang harus disampaikan kepada murid akhirnya tidak jelas tersampaikan yang mengakibatkan murid kebingungan dan tidak mengerti dengan penjelasan guru.

b.  Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi. Dalam derasnya arus perkembangan globalisasi yang semakin hari semakin meningkat, kebutuhan untuk menguasai teknologi komunikasi dan informasi sangat dibutuhkan, ketika seorang guru tidak menguasainya, maka dalam hal pembelajaran maupun cara komunikasi dengan siswa akan ketinggalan zaman, sekarang ini jaringan sosial untuk membangun komunikasi semakin luas misalnya dengan adanya facebook, twitter, blog, e-mail, e-learning maupun fasilitas internet lainnya yang bisa dijadikan sarana untuk berkomunikasi  dan mencari ilmu pengetahuan selain di kelas. Adapun manfaat adanya teknologi komunikasi dan informasi adalah: (1) memperluas kesempatan belajar, (2) meningkatkan efisiensi, (3) mningkatkan kualitas belajar, (4) meningkatkan kualitas mengajar, (5) memfasilitasi pembentukan keterampilan, (6) mendorong belajar sepanjang hayat berkelanjutan, (7) meningkatkan perencanaan kebijakan dan manajemen, dan (8) mengurangi kesenjangan digital.

c.  Bergaul secara efektif. Guru juga harus dapat bergaul secara efektif dengan peserta didik, antarsesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik. Adanya saling menghormati dan menghargai baik itu dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik.

d.  Bergaul secara santun. Dalam pergaulan sehari-hari dengan kelompok masyarakat di sekitar, guru harus dapat bergaul dan memperhatikan aturan yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai pribadi yang hidup di tengah-tengah masyarakat, guru perlu memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat misalnya melalui kegiatan olahraga, keagamaan, dan kepemudaan. Ketika guru tidak memiliki kemampuan pergaulan, maka pergaulannya akan menjadi kaku dan kurang bisa diterima oleh masyarakat. Untuk memiliki kemampuan pergaulan, hal-hal yang harus dimiliki guru adalah (1) pengetahuan tentang hubungan antar manusia, (2) memiliki keterampilan membina kelompok, (3) keterampilan bekerjasama dalam kelompok,dan (4) menyelesaikan tugas bersama dalam kelompok.

e. Menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan yang sejati dan semangat kebersamaan. Seorang guru hendaknya benar-benar mengajar dari hati, tanpa adanya keterpaksaan, sehingga membuat siswa lebih nyaman dengan guru tersebut, selain itu seorang guru selalu berusaha untuk saling terbuka, membangun persaudaraan dimana disini guru bukan hanya berperan sebagai seseorang yang mengajar di kelas, tapi juga dapat berperan sebagai orang tua, kakak, teman ataupun sahabat. Hal ini akan mempengaruhi karakter dari siswa yang guru tersebut ajarkan, sehingga mereka akan lebih mudah menerima dan mengikuti apa yang guru tersebut sampaikan. Guru juga harus memupuk semangat kebersamaan dengan adanya diskusi kelompok sehingga terbentuk ikatan emosional dengan teman-temannya.

Proses pembelajaran berkaitan erat dengan psikologi sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, di lingkungan belajar mengajar terjadi interaksi sosial. Interaksi dilakukan oleh guru dan siswa baik di dalam atau luar kelas. Interaksi tersebut akan mendukung terhadap kelancaran proses pembelajaran di sekolah. Abu Ahmadi mengatakan bahwa interaksi akan berjalan lancar bila masing-masing pihak memiliki penafsiran yang sama atas pola tingkah lakunya. Roueck and Warren mendefinisikan psikologi sosial sebagai ilmu pengetahuan yang mempunyai segi-segi psikologis dari tigkah laku manusia, yang dipengaruhi oleh interaksi sosial.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan pada tingkah laku dipengaruhi oleh interaksi sosial. Hal ini juga berlangsung dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran dapat terlaksana secara efektif dan menarik dari adanya interaksi guru dan siswa. Dengan demikian, penguasaan psikologi sosial menjadi salah satu kriteria guru yang memiliki kompetensi sosial. Guru harus memahami pola tingkah laku siswa, sehingga interaksi guru dan siswa dapat berjalan dengan lancar, Guru dapat dengan membantu siswa untuk memecahkan masalah yang mengganggu terhadap kelancaran belajar.

Memiliki keterampilan bekerjasama dalam kelompok, berkaitan dengan pemberian pemahaman kepada siswa, guru juga dituntut untuk memiliki keterampilan bekerja sama dalam kelompok, sehingga guru dapat mengembangkan keterampilannya dalam pembelajaran. Kemampuan guru tersebut dapat meningkatkan semangat belajar siswa dan membangun rasa percaya diri bagi siswa.

Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat Robert E. Slavin yang mengatakan bahwa akibat positif yang dapat mengembangkan hubungan antar kelompok adalah adanya penerimaan terhadap teman sekelas yang lemah dalam bidang akademik dan meningkatkan rasa harga diri.

5.   Karakteristik Kompetensi Sosial Guru

Suharsimi Arikunto mengemukakan, kompetensi sosial mengharuskan guru memiliki kemampuan komunikasi dengan siswa. Beberapa pendapat mengenai karakteristik guru yang memiliki kompetensi sosial. Menurut Musaheri, karakteristik guru yang memiliki kompetensi sosial adalah berkomunikasi secara santun dan bergaul secara efektif. Berkomunikasi secara santun. Made Pidarta dalam bukunya Landasan Kependidikan, menuliskan pengertian komunikasi adalah proses penyampaian pikiran dan perasaan seseorang kepada orang lain atau sekelompok orang.

Ada sejumlah alat yang dapat dipakai untuk mengadakan komunikasi. Alat dimaksud adalah:

1) melalui pembicaraan dengan segala macam nada seperti berbisik-bisik, halus, kasar dan keras bergantung kepada tujuan pembicaraan dan sifat orang yang berbicara,

2)  melalui mimik, seperti raut muka, pandangan dan sikap,

3) dengan lambang, contohnya bicara isyarat untuk orang tuna rungu, menempelkan telunjuk di depan mulut, menggelengkan kepala, menganggukkan kepala, membentuk huruf “o” dengan tujuan dengan tangan dan sebagainya,

4) dengan alat-alat, yaitu alat-alat eletronik, seperti radio, televisi, telepon dan sejumlah media cetak seperti; buku, majalah, surat kabar, brosur, dan sebagainya.

Empat alat di atas bisa digunakan guru ketika proses pembelajaran berlangsung. Dengan adanya komunikasi dalam pelaksanaan proses pembelajaran berarti guru memberikan dan membangkitkan kebutuhan sosial siswa. Siswa akan merasa bahagia karena adanya perhatian yang diberikan guru, sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar mereka.

Eggen dan Kauchack sebagaimana dikutip oleh Zuna Muhammad dan Salleh Amat dan dikutip kembali oleh Suparlan mengatakan, bahwa kemahiran berkomunikasi meliputi tiga hal yaitu, 1) model guru; sebagai orang yang tingkahlakunya mempengaruhi sikap dan perilaku siswa, 2) kepedulian atau empati guru; empati berarti guru harus memahami orang lain dari perspektif yang bersangkutan dan guru dapat merasa yang dirasakan oleh siswa, dan 3) harapan. Dalam buku Quantum Teaching disebutkan prinsip komunikasi ampuh yaitu, menimbulkan kesan, mengarahkan fokus, spesifik dan inklusif.

1) Menimbulkan kesan. Guru dituntut kreatif memanfaatkan kemampuan otak sebagai tempat menimbulkan kesan. Maka, menjadi penting sekali bagi guru untuk menentukan kata yang tepat dalam memberikan penjelasan kepada siswa. Oleh karena itu, sebaiknya guru menyusun perkataan yang komunikatif agar memberi kesan yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Misalnya, pembentukan kesan pertama terhadap orang lain memiliki tiga kunci utama. Pertama, mendengar tentang kepribadian orang itu sebelumnya. Kedua, menghubungkan perilaku orang itu dengan cerita-cerita yang pernah didengar. Ketiga, mengaitkan dengan latar belakang situasi pada waktu itu. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan proses pembelajaran, guru harus memperhatikan hal ini. Guru harus mampu memberi kesan pertama yang positif dan tetap untuk hari-hari berikutnya, sehingga motivasi belajar siswa dapat tetap terjaga.

2) Mengarahkan fokus. Mengarahkan fokus siswa merupakan langkah kedua yang menuntut guru untuk memusatkan perhatian siswa dalam mengingat pelajaran yang telah disampaikan sebelumnya. Misalnya, “Anak-anak, kemarin kita sudah belajar tentang 9 hal yang disunahkan ketika berpuasa. Bersiaplah untuk menyebutkannya jika Ibu/bpk menunjuk kalian.” Maka dengan cepat siswa akan berusaha untuk mengingat penjelasan guru tersebut.

3) Inklusif. Guru juga harus memilah dan memilih kata secara inklusif, komunikatif dan mengajak siswa untuk berperan aktif seperti,“Mari kita….”

4) Spesifik. Guru juga harus menggunakan bahasa yang spesifik dengan jumlah kata yang sedikit atau hemat bahasa. Hal tersebut bertujuan agar siswa dapat memahami penjelasan guru dengan baik dan benar.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa guru perlu memperhatikan hal-hal di atas agar pelaksanaan proses pembelajaran berlangsung maksimal dan tidak memunculkan suasana yang membosankan yang dapat berpengaruh negatif terhadap  siswa. Berkaitan dengan komunikasi secara santun, Les Giblin menawarkan lima cara terampil untuk melakukan komunikasi sebagai berikut:

1)  Ketahuilah apa yang ingin anda katakan

2)  Katakanlah dan duduklah

3)  Pandanglah pendengar

4)  Bicarakan apa yang menarik minat pendengar

5)  Janganlah berusaha membuat sebuah pidato

Guru dapat menggunakan lima cara di atas dalam berkomunikasi dengan siswa. Siswa akan merasa aman dan tenang dalam belajar, dengan adanya guru yang dapat mengerti kondisi siswa. Bergaul secara efektif. Menurut Musaheri, bergaul secara efektif mencakup mengembangkan hubungan secara efektif dengan siswa yang memiliki ciri; mengembangkan hubungan dengan prinsip saling menghormati, mengembangkan hubungan berasakan asah, asih, dan asuh. Sedangkan ciri bekerja sama dengan prinsip keterbukaan, saling memberi dan menerima.

Dari pernyataan di atas, jelas bahwa dalam pelaksanaan proses pembelajaran, guru memang harus memperhatikan pergaulan yang efektif dengan siswa. Hal tersebut dapat memotivasi siswa untuk lebih giat belajar. Sedangkan menurut Rubin Adi Abraham kompetensi sosial guru memiliki ciri di antaranya, memiliki pengetahuan tentang hubungan antar manusia, menguasai psikologi sosial dan memiliki keterampilan bekerjasama dalam kelompok serta Memiliki pengetahuan tentang hubungan antar manusia.

6.   Ruang Lingkup Kompetensi Sosial Guru

Berkaitan dengan ruang lingkup kompetensi sosial guru, Sanusi (1991) mengungkapkan bahwa kompetensi sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru. Menurut Permendiknas No. 16 tahun 2007 terdapat lima kompetensi sosial yang harus dimiliki oleh guru yang diuraikan secara rinci sebagai berikut:

a.  Terampil berkomunikasi dengan peserta didik dan orang tua peserta didik. b.  Bersikap simpatik. c.  Dapat bekerja sama dengan dewan pendidikan/komite sekolah. d.  Pandai bergaul dengan kawan sekerja dan mitra pendidikan.

e.  Memahami dunia sekitarnya (lingkungannya).

7.   Manfaat Kompetensi Sosial

Rubin Adi menguraikan manfaat guru yang berkompetensi sosial dengan mengatakan bahwa bila guru memiliki kompetensi, maka ia akan diteladani oleh siswa-siswanya. Sebab selain kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, siswa juga perlu diperkenalkan dengan kecerdasan sosial (sosial intellegence). Hal tersebut bertujuan agar siswa memiliki hati nurani, rasa peduli, empati dan simpati kepada sesama. Sedangkan pribadi yang memiliki kecerdasan sosial ditandai adanya hubungan yang kuat dengan Allah, memberi manfaat kepada lingkungan, santun, peduli sesama, jujur dan bersih dalam berperilaku. Dari pernyataan Rubin bahwa manfaat kompetensi sosial guru mengarahkan siswa untuk memiliki kecerdasan sosial yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari di tengah lingkungan sosial.

Guru merupakan sosok yang diteladani siswa. Pepatah yang terkenal dan sangat sering dilontarkan bahwa guru digugu dan ditiru yang berarti guru dianut dan diteladani. Maka dalam pelaksanaan proses pembelajaran, guru diharapkan mampu melakukan hubungan sosial yang baik dengan siswa melalui interaksi dan komunikasi. Walau bagaimana pun, kepribadian guru akan selalu menjadi perhatian setiap siswa. Dalam tulisannya, Suwardi mengatakan bahwa guru memang perlu memperhatikan hubungan sosial dengan siswa. Karena hubungan keduanya berlangsung di dalam dan di luar kelas, hubungan tersebut berpengaruh langsung terhadap tujuan pembelajaran. Kesuksesan hubungan guru dan siswa juga akan mendukung suasana pembelajaran yang menyenangkan.

Berkaitan dengan hubungan sosial guru dan siswa, maka perlu ada upaya-upaya dalam meningkatkan kompetensi sosialnya dengan cara mengembangkan kecerdasan sosial yang merupakan suatu keharusan bagi guru, hal ini bertujuan agar hubungan guru dan siswa berjalan dengan baik.

Berkaitan dengan pernyataan tersebut Gordon sebagaimana dikutip oleh Suwardi menulis bahwa terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru yaitu:

1) Baik guru maupun siswa memiliki keterbukaan, sehingga masing-masing pihak bebas bertindak dan saling menjaga kejujuran, membutuhkan, dan saling berguna.

2)  Baik guru maupun siswa merasa saling berguna.

3) Baik guru maupun siswa menghargai perbedaan, sehingga dapat berkembang kreativitasnya, keunikannya, dan individualisasinya.

4) Baik guru maupun siswa merasa saling membutuhkan dalam pemenuhan kebutuhannya.

Mengembangkan kecerdasan sosial dalam proses pembelajaran antara lain dengan belajar memecahkan masalah, misalnya memecahkan kasus sosial, bahkan menurut Rubin bisa dengan mengadakan diskusi dan melakukan kunjungan langsung ke masyarakat. Dengan demikian akan tertanam rasa peduli terhadap kepribadian siswa. Selain itu siswa juga akan dapat memecahkan masalah, khususnya yang berkenaan dengan hal-hal yang mengganggu belajar dirinya sendiri. Guru hendaknya mengikuti pelatihan berkaitan dengan kompetensi sosial guru, hal ini untuk mengembangkan kompetensi sosial guru hendaknya mengikuti pelatihanpelatihan berkaitan dengan kompetensi sosial. Namun sebelum itu juga perlu diketahui tentang target atau dimensi-dimensi kompetensi ini yaitu; kerja tim, melihat peluang, peran dalam kegiatan kelompok, tanggung jawab sebagai warga, kepemimpinan, relawan sosial, kedewasaan dalam berelasi, berbagi, berempati, kepedulian kepada sesama, toleransi, solusi konflik, menerima perbedaan, kerjasama dan komunikasi.

Hal yang terpenting juga bagi seorang guru yaitu beradaptasi di tempat bertugas. Beradaptasi maksudnya menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dalam arti positif, bukan dalam arti mengikuti keadaan apa adanya, sehingga larut integritas, beradaptasi dalam rangka untuk melakukan perbaikan-perbaikan, sehingga terwujud kemajuan bersama. Dari hal-hal tersebut, jelas bahwa guru hendaknya mengupayakan pengembangan kecerdasan sosialnya, karena kecerdasan sosial guru akan membantu memperlancar jalannya pembelajaran serta dapat menghilangkan kejenuhan siswa dalam belajar.

8.   Karakteristik Guru yang Memiliki Kompetensi Sosial

Menurut Musaheri, ada dua karakteristik guru yang memiliki kompetensi sosial, yaitu:

a. Berkomunikasi secara santun. Les Giblin menawarkan lima cara terampil dalam melakukan komunikasi dengan santun, yaitu 1) ketahuilah apa yang ingin anda katakan, 2) katakanlah dan duduklah, 3) pandanglah pendengar, 4) bicarakan apa yang menarik minat pendengar, dan 5) janganlah membuat sebuah pidato.

b. Bergaul secara efektif. Bergaul secara efektif mencakup mengembangkan hubungan secara efektif dengan siswa. Dalam bergaul dengan siswa, haruslah menggunakan prinsip saling menghormati, mengasah, mengasuh dan mengasihi.

Ada tujuh kompetensi sosial yang harus dimiliki agar guru dapat berkomunikasi dan bergaul secara efektif, baik disekolah maupun dimasyarakat, yakni: 1) Memiliki pengetahuan tentang adat istiadat baik sosial maupun agama, 2) Memiliki pengetahuan tentang budaya dan tradisi, 3) memiliki pengetahuan tentang inti demokrasi, 4) memiliki pengetahuan tentang estetika, 5) memiliki apresiasi dan kesadaran sosial, 6) memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan, dan 7) setia terhadap harkat dan martabat manusia (Mulyasa, 2007: 176).

Selain itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru berkaitan dengan kompetensi sosial dalam berkomunikasi dengan orang lain, antara lain:

a. Bekerja sama dengan teman sejawat. Jagalah hubungan baik dengan sejawat, buahnya adalah kebahagiaan. Guru-guru harus berinteraksi dengan sejawat (Usman, 1996: 16). Mereka harus dapat bekerja sama dan saling menukar pengalaman. Dalam bekerjasama, akan tumbuh semangat dan gairah kerja yang tinggi.

b. Bekerjasama dengan kepala sekolah. Kepala sekolah merupakan unsur pembina guru yang paling strategis dalam jabaran tugas di lingkungan pendidikan formal. Menurut Smith, mereka harus mampu menciptakan sistem kerja yang harmonis, menampakkan suatu tim kerja yang mampu mendorong guru bekerja lebih efektif.

c. Bekerja sama dengan siswa. Guru bertugas menciptakan iklim belajar yang menyenangkan sehingga siswa dapat belajar dengan nyaman dan gembira. Kreatifitas siswa dapat dikembangkan apabila guru tidak mendominasi proses komunikasi belajar, tetapi guru lebih banyak mengajar, memberi inspirasi agar mereka dapat mengembangkan kreatifitas melalui berbagai kegiatan belajar sehingga siswa memperoleh berbagai pengalaman belajar Hal itu dapat memberi kesegaran psikologis dalam menerima informasi. Disinilah terjadi proses individualisasi dan proses sosialisasi dalam mendidik (Sahaertian, 1994: 63).

Dalam ayat 7 kode etik guru disebutkan bahwa guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial. Ini berarti bahwa: (1) guru hendaknya menciptakan dan memelihara hubungan sesama guru dalam lingkungan kerjanya, dan (2) guru hendaknya menciptakan dan memelihara semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial didalam dan diluar lingkungankerjanya. Adapun hal-hal yang menentukan keberhasilan komunikasi dalam kompetensi sosial seorang guru adalah:

a. Audience atau sasaran komunikasi, yakni dalam berkomunikasi, guru hendaknya memperhatikan siapa sasarannya sehingga sang komunikator bisa menyesuaikan gaya dan irama komunikasi menurut karakteristik sasaran. Berkomunikasi dengan siswa SD tentu berbeda dengan siswa SMA.

b. Behaviour atau perilaku, yakni perilaku apa yang diharapkan dari sasaran setelah berlangsung dan selesainya komunikasi. Misalnya seorang guru sejarah sebagai komunikator ketika sedang berlangsung dan setelah selesai menjelaskan Peristiwa Pangeran Diponegoro, perilaku siswa apa yang diharapkan. Apakah siswa menjadi sedih dan menangis merenungi nasib bangsanya, atau siswa mengepalkan tangan seolah-olah akan menerjang penjajah Belanda. Hal ini sangat berkait dengan keberhasilan komunikasi guru sejarah tersebut.

c. Condition atau kondisi, yakni dalam kondisi yang seperti apa ketika komunikasi sedang berlangsung. Misalnya ketika guru Matematika mau menjelaskan rumus-rumus yang sulit harus. Seorang guru harus mengetahui kondisi siswa tersebut, apakah sedang gembira atau sedang sedih, atau sedang kantuk karena semalam ada acara. Dengan memahami kondisi seperti ini maka guru dapat menentukan strategi apa yang ia gunakan agar nantinya apa yang diajarkan bisa diterima oleh siswa.

d. Degree atau tingkatan, yakni sampai tingkatan manakah target bahan komunikasi yang harus dikuasai oleh sasaran itu sendiri. Misalnya saja ketika seorang guru Bahasa Inggris menjelaskan kata kerja menurut satuan waktunya, past tense, present tense dan future tense, berapa jumlah minimal kata kerja yang harus dihafal oleh siswa pada hari itu. Jumlah minimal kata kerja yang dikuasai oleh siswa dapat dijadikan sebagai alat ukur keberhasilan guru Bahasa Inggris tersebut. Apabila tercapai berarti ia berhasil, sebaliknya apabila tidak tercapai berarti ia gagal.

9.    Aspek-Aspek Kompetensi Sosial

Gullotta dkk (1990) mengemukakan beberapa aspek kompetensi sosial, yaitu:

a. Kapasitas kognitif, merupakan hal yang mendasari keterampilan sosial dalam menjalin dan menjaga hubungan interpersonal positif. Kapasitas kognitif meliputi harga diri yang positif, kemampuan memandang sesuatu dari sudut pandang sosial, dan keterampilan memecahkan masalah interpersonal.

b. Keseimbangan antara kebutuhan bersosialisasi dan kebutuhan privasi. Kebutuhan sosialisasi merupakan kebutuhan individu untuk terlibat dalam sebuah kelompok dan menjalin hubungan dengan orang lain. Sedangkan kebutuhan privasi adalah keinginan untuk menjadi individu yang unik, berbeda, dan bebas melakukan tindakan tanpa pengaruh orang lain.

c. Keterampilan sosial dengan teman sebaya, merupakan kecakapan individu dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya sehingga tidak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kelompok dan dapat terlibat dalam kegiatan kelompok (Mulyasa, 2007: 174).

10.   Upaya Meningkatkan Kompetensi Sosial Guru

Berbagai macam upaya dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi sosial guru. Kathy Paterson memberikan alternatif meningkatkan kompetensi sosial, yaitu:

a) sadari komunikasi non-verbal anda, siswa anda akan lebih mudah melihat ketidakselarasan antara gerak mata, mimik wajah, dan ucapan anda,

b) pastikan anda menyebut nama siswa atau rekan kerja anda yang sedang berbicara pada anda,

c) beri contoh seperti apa emosi negative itu. dan ajarkan keterampilan mengatasi emosi dan yang membuat mereka stress

d) reinforcement perilaku positif mereka secara konsisten,

e) berilah pertanyaan bersifat terbuka mengenai status emosi siswa  dan dengarkan baik-baik penuh empati,

f)  tampillah dengan senyum, rileks, terbuka dan siap diajak bicara. serta berikan sambutan yang tulus kepada siswa dengan penuh hangat dan hormat,

g) bila muncul ketegangan (konflik), batasi dan nyatakan apa yang anda percayai dan apa yang anda dengar. orientasi kebenaran bukan pada kesalahan-pahaman,

h) ungkap apa yang ada dalam pikiran anda atau pendapat anda secara sopan tanpa menunjukkan sifat arogansi atau sifat egois,

i)  akui apa yang menjadi kesalahan anda mengambil keputusan serta hindarilah menyalahkan orang lain, dan

j)  deskripsikan semua prilaku dengan cara yang positif.

Kemasan pengembangan kompetensi sosial untuk guru, calon guru (mahasiswa keguruan), dan siswa tentu berbeda. Kemasan itu harus memperhatikan karakteristik masing-masing, baik yang berkaitan dengan aspek psikologis maupun sistem yang mendukungnya.  Untuk mengembangkan kompetensi sosial seorang pendidik, kita perlu tahu target atau dimensi-dimensi kompetensi ini. Beberapa dimensi ini, misalnya, dapat kita saring dari konsep life skills.

Dari 35 life skills atau kecerdasan hidup itu, ada lima belas yang dapat dimasukkan ke dalam dimensi kompetensi sosial, yaitu: 1) kerja tim, 2) melihat peluang, 3) peran dalam kegiatan kelompok, 4) tanggung jawab sebagai warga, 5) kepemimpinan, 6) relawan sosial, 7) kedewasaan dalam berelasi, 8) berbagi, 9) berempati,  10) kepedulian kepada sesama, 11) toleransi, 12) solusi konflik, 13) menerima perbedaan, 14) kerjasama, dan 15) komunikasi. Kelima belas kecerdasan hidup ini dapat dijadikan sebagai pengembangan kompetensi sosial bagi para pendidik dan calon pendidik. Topik-topik ini dapat dikembangkan menjadi materi ajar yang dikaitkan dengan kasus-kasus yang aktual dan relevan atau kontekstual dengan kehidupan masyarakat kita. Cara mengembangkan kecerdasan sosial di lingkungan sekolah antara lain: diskusi, berani menghadapi masalah, bermain peran, kunjungan langsung ke masyarakat dan lingkungan sosial yang beragam.

upaya lain yang dapat dicobakan dalam meningkatkan kompetensi sosial antara lain sebagai berikut.

a.     Mengembangkan kecerdasan sosial

Mengembangkan kecerdasan sosial merupakan suatu keharusan bagi guru.hal tersebut bertujuan agar hubungan guru dan siswa berjalan dengan baik. Berkaitan dengan pernyataan tersebut Gordon sebagaimana dikutip oleh Suwardi menuliskan bahwa terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru yaitu:

1) baik guru maupun siswa memiliki keterbukaan, sehingga masing-masing pihak bebas bertindak dan saling menjaga kejujuran.

2) baik guru maupun siswa memunculkan rasa saling menjaga, saling membutuhkan, dan saling berguna.

3) baik guru maupun siswa merasa saling berguna

4) baik guru maupun siswa menghargai perbedaan, sehingga berkembang keunikannya, kreativitasnya, dan individualisasinya

5) baik guru maupun siswa merasa saling membutuhkan dalam pemenuhan kebutuhannya.

Dari hal-hal di atas jelas bahwa guru hendaknya mengupayakan pengembangan kecerdasan sosialnya. Karena kecerdasan sosial guru akan membantu memperlancar jalannya pembelajaran serta dapat menghilangkan kejenuhan siswa dalam belajar. Mengembangkan kecerdasan sosial dalam proses pembelajaran antara lain dengan mengadakan diskusi dan melakukan kunjungan langsung ke masyarakat. Dengan demikian akan tertanam rasa peduli terhadap kepribadian siswa. Selain itu siswa juga akan dapat memecahkan masalah, khususnya yang berkenaan dengan hal-hal yang mengganggu belajar dengan dirinya sendiri.

b.     Mengikuti pelatihan berkaitan dengan kompetensi sosial guru

Untuk mengembangkan kompetensi sosial guru hendaknya mengikuti pelatihan-pelatihan berkaitan dengan kompetensi sosial. Namun sebelum itu juga perlu diketahui tentang target atau dimensi-dimensi kompetensi ini yaitu; kerja tim, melihat peluang, peran dalam kegiatan kelompok, tanggung jawab sebagai warga, kepemimpinan, relawan sosial, kedewasaan dalam berelasi, berbagi, berempati, kepedulian kepada sesama, toleransi, solusi konflik, menerima perbedaan, kerjasama, dan komunikasi.

c.    Beradaptasi di tempat bertugas

a)  Guru dapat bekerja secara optimal di tempat tugas.

b)  Guru betah bekerja di tempat tugas.

c)  Guru menunjukkan kesehatan kerja di tempat tugas

11.   Pentingnya Kompetensi Sosial

Dalam menjalani kehidupan, guru menjadi seorang tokoh dan panutan bagi peserta didik dan lingkungan sekitarnya. Abduhzen mengungkapkan bahwa “ Imam Al-Ghazali menempatkan profesi guru pada posisi tertinggi dan termulia dalam berbagai tingkat pekerjaan masyarakat. Guru mengemban dua misi sekaligus, yaitu tugas keagamaan dan tugas sosiopolitik.” Yang dimaksud dengan tugas keagamaan menurut Al-Ghazali adalah tugas guru ketika ia melakukan kebaikan dengan menyampaikan ilmu pengetahuan kepada manusia guru merupakan makhluk termulia di muka bumi. Sedangkan yang dimaksud dengan tugas sosiopolitik adalah bahwa guru membangun, memimpin, dan menjadi teladan yang menegakkan keteraturan, kerukunan, dan menjamin keberlangsungan masyarakat (Mulyasa, 2007: 175).

Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan, guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Tuntutan akan kepribadian sebagai pendidik kadang-kadang dirasakan lebih berat dibanding profesi lainnya. Ungkapan yang sering digunakan adalah bahwa guru bisa digugu dan ditiru. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani. Untuk itu, guru haruslah mengenal nilai-nilai yang dianut dan berkembang di masyarakat tempat melaksanakan tugas dan bertempat tinggal. Apabila ada nilai yang bertentangan dengan nilai yang dianutnya, maka haruslah ia menyikapinya dengan hal yang tepat sehingga tidak terjadi benturan nilai antara guru dengan masyarakat. Apabila terjadi benturan antara keduanya maka akan berakibat pada terganggunya proses pendidikan. Oleh karena itu, seorang guru haruslah memiliki kompetensi sosial agar nantinya apabila terjadi perbedaan nilai dengan masyarakat, ia dapat menyelesaikannya dengan baik sehingga tidak menghambat proses pendidikan (Mulyasa, 2007: 175).

12.  Peran Guru di Masyarakat

Guru merupakan kunci penting dalam menjalin hubungan antara sekolah dengan masyarakat. Oleh karena itu, ia harus memiliki kompetensi untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut: a) Membantu sekolah dalam melaksanakan tekhnik-tekhnik hubungan sekolah dan masyarakat, b) Membuat dirinya lebih baik lagi dalam masyarakat karena pada dasarnya guru adalah tokoh milik masyarakat, dan c) Guru merupakan teladan bagi masyarakat sehingga ia harus melaksanakan kode etiknya. Adapun peran guru di masyarakat dalam kaitannya dengan kompetensi sosial dapat diuraikan sebagai berikut.

a.     Guru sebagai Petugas Kemasyarakatan

Guru memegang peranan sebagai wakil masyarakat yang representatif sehingga jabatan guru sekaligus merupakan jabatan kemasyarakatan. Guru bertugas membina masyarakat agar mereka dapat berpartisipasi dalam pembangunan.

b.    Guru sebagai Teladan di Masyarakat

Dalam kedudukan ini, guru tidak lagi dipandang sebagai pengajar di kelas, akan tetapi diharapkan pula tampil sebagai pendidik di masyarakat yang seyogyanya memberikan teladan yang baik kepada masyarakat.

c.    Guru Memiliki Tanggungjawab Sosial

Peranan guru di sekolah tidak lagi terbatas untuk memberikan pembelajaran, akan tetapi harus memikul tanggungjawab yang lebih besar, yakni bekerjasama dengan pengelola pendidikan lainnya di dalam lingkungan masyarakat. Untuk itu, guru harus lebih banyak melibatkan diri dalam kegiatan di luar sekolah.

Pustaka Acuan

Abu Ahmadi. 1990. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Abu Ahmadi. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Agus Wibowo dan Hamrin. 2012. Menjadi Guru Berkarakter : Strategi Membangun Kompetensi dan Karakter Guru. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Barnawi dan Arifin, M. 2012. Etika dan Profesi Kependidikan. Yogyakarta:  Ar-Ruzz Media

Bobbi DePorter dkk. 2003. Quantum Teachin: Mempraktikkan Quantum Learning di Luar Kelas, terjemahan oleh Ary Nilandari. Bandung: Kaifa.

Bush, Tony and Coleman, Marianne. 2010. Manajemen Mutu- Kepemimpinan Pendidikan. Penerjemah : Fahrurrozi. Yogyakarta : IRCiSoD.

Ebert, Edward S, dan Richard C.Culyer. 2011. School : An Introduction to Education. USA: Wadsworth.

Echos dan Shadily. 2004. Kamus Inggris–Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Fahmi, Irham. 2013. Manajemen Kepemimpinan-Teori dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta.

Hammond, L.D et.al. Editors. 2010. Preparing Principals for a Changing World: Lesson from Effective School Leadership Program. USA: Jossey Bass

Hersey, Paul dan Blanchard, Ken. 1982. Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources. USA: Prentice-Hall,Inc.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

Les Giblin. 2009. Skill With People, alih bahasa; Y. Dwi Helly Purnomo, Jakarta: Gramedia Pustaka.

Midlock, Stephen F. 2011. Educational Leadership-Solving Administrative Dilemmas. New Jersey: Pearson Education Inc

Moh. Rokib dan Nurfuadi. 2009. Kepribadian Guru. Yogyakarta: Grafindo Aitera Media

Moos, L. , Johanssons, O., dan Day,C. 2011. How School Principals Sustain Success Over Time. London New York : Springer Science+Business Media

Mulyasa, E. 2008. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyasa, E. 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Musaheri, ke-PGRI-an, Jogjakarta: DIVA Press, 2009

Northouse, Peter G. 2013. Kepemimpinan: Teori dan Praktik. Terjemahan oleh Dr. Ati Cahayani. Jakarta : PT. Indeks.

Nurdiansyah, Bambang. 2012. Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan.

Pasmore, William. 2013. Developing a Leadership Strategy. Center for Creative Leadership. E-book: bookboon.com.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah.

Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008

Peterson, Kent D., dan Deal, Terrence E. 2009. The Shaping School Culture Fieldbook. USA : John Wiley & Sons, Inc.

Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan; Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Robert E. Slavin. 2008. Cooperative Learning; Teori Riset dan Praktik, penerjemah: Nurulita, Bandung: Nusa Media.

Sahertian, Piet A. 1994. Profil Pendidik Profesional. Yogyakarta: Andi Offset.

Sanusi, Achmad. 2013. Kepemimpinan Pendidikan: Strategi Pembaruan, Semangat Pengabdian, Manjemen Modern. Bandung: Nuansa Cendekia.

Sembiring, M. Gorky. 2009. Mengungkap Rahasia dan Tips Manjur, Menjadi Guru Sejati. Yogyakarta: Best Publisher.

Sergiovanni, Thomas J. 1991. The Principalship. US: Allyn and Bacon.

Shaeffer, Sheldon. 1994. Participation for Educational Change: A Synthesis of Experience. Paris: UNESCO.

Simpson, Sarah. 2012. The Styles, Models & Philosophy of Leadership. E-book: bookboon.com.

Sudarwan Danim. 2011. Pengembangan Ptofesi Guru: Dari Pra-Jabatan, Induksi, ke Profesional Madani. Jakarta: Kencana.

Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi

Sutikno, M. Sobry. 2012. Manajemen Pendidikan : Langkah Praktis Mewujudkan Pengurus Lembaga Pendidikan yang Unggul. Lombok : Holistica.

Suwardi, Manajemen pembelajaran Mencipta Guru Kreatif dan Berkompetensi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005. Undang-Undang Tentang Guru dan Dosen. Bandung:Citra Umbara

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Sinar Grafika.

Uno, Hamzah B. 2008. Profesi Kependidikan, Problema, Solusi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi aksara

Usman, Moh. Uzer. 1996. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

UURI No.14 Th. 2005 tentang UU Guru dan Dosen pasal 10

Wahyudi. 2012. Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Organisasi Pembelajar. Bandung: Alfabeta

Westerberg, Tim R. 2009. Becoming a Great Hight School. Virginia USA:ASCD

Arsyad, Azhar. 2008. Media pembelajaran . Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Baharudin dan Wahyuni. 2012. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar- Ruzz Media

Cremer, Hildegard dan Siregar,M. 1993. Proses Pengembangan Diri. Jakarta: Grasindo

Hurlock, B. Elizabeth. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Indriana, Dina. 2011. Ragam Alat Bantu Media Pengajaran. Jogjakarta. Diva Press.

Ismail, Andang. 2006. Education Games. Yogyakarta: NuansaAksar

Latipun. 2010. Psikologi Eksperimen. Malang. UMM Press

Luthans, Fred. 2006. Perilaku Organisasi. (Alih Bahasa: Vivin Andhika Yuwono, Shekar Purwanti, dkk). Yogyakarta: ANDI

Muhammad, As’adi. 2009. The Power of Outbound Training. Jogjakarta. Power Books (IHDINA) Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Richardson, John G. 1994. Learning Best Through Experience. Journal Vol. 32, No.2. Available at http://www.joe.org/joe/1994august/a6.php (accesed 2012/08/9)

Rohman, Taufik dkk. 2005. Sosiologi suatu kajian Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Santosa, Selamet. 2004. Dinamika Kelompok. Jakarta: Bumi Aksara.

Santrock, John W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. (Alih Bahasa: Shinto B. adelar dan Sherly Saragih). Jakarta: Erlangga

Soekanto, Soejono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Soeparwoto, dkk. 2007. Psikologi Perkembangan. Semarang: UPT MKK UNNES

Sopiah. 2008. Perilaku Organisasional. Yogyakarta: ANDI

Sugiyarta. 2009. Dinamika Kelompok dan Kepemimpinan. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.

Sugiyo. 2005. Komunikasi Antar Pribadi. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.

Sugiyo. 2006. Psikologi Sosial. Semarang: FIP UNNES

Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta

Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi Offset.

Wena, Made. 2009. Strategi pembelajaran Inovatif dan Kontemporer. Jakarta: PT Bumi Aksara

Capability for communication anda teamwork termasuk kedalam kompetensi