Bertemunya antara penjual dan pembeli yang belum meninggalkan tempat disebut

Oleh : Taufik Chavifudin, SE.MM.

Tanpa disadari, bahwa dalam hiruk-pikuk keseharian, kita tidak bisa dilepaskan dari kosa kata pasar. Dalam definisi ekonomi baku, pasar di terakan sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli yang bertransaksi jual beli barang atau jasa.

Secara gradual hidup kita bisa dianalogikan dikelilingi oleh pasar. Dari pengertian pasar tradisional, modern hingga virtual. Atau klasifikasi lain, semacam pasar serba ada (super market) hingga pasar yang memperdagangkan saham. Daftar akan semakin panjang bila kita memasukkan nama-nama tempat, hari atau atribut lain setelah kata “pasar”. Sebut saja pasar minggu, pasar malam, pasar kaget dan lain-lain. Tulisan singkat ini akan mengangkat pasar tradisional, sebuah tempat yang oleh sebagian orang dihindari sekaligus dicintai. Banyak orang merasa enggan masuk pasar tradisional yang becek, kotor dan bau. Meskipun kedekatan antara penjual dan pembeli lebih terasa, karena interaksi sosial yang hangat dan personal secara berulang kali kerap terjadi. Keramahtamahan persuasi penjual, tak jarang membuat pembeli takluk. Memang di pasar tradisional tidak ada senyum ramah pramuniaga yang baunya wangi menawarkan barang. Tidak terdengar bunyi ketok sepatu ketika kaki ringan melangkah menyusuri los-los yang agaknya secara penampilan, seperti sebuah komoditi yang tampil dengan bentuk, warna, aroma dan tekstur yang kurang menggugah. Terkesan mengabaikan kebersihan dan estetika. Blusak-blusuk di pasar tradisional yang lengkap dengan seni tawar menawar belum jadi tujuan favorit untuk avonturir. Pasar Tradisional memang makin sepi, oligarki dan etalasenya makin terasing dari katalisator politik yang dulu demikian kuat. Sebagai sebuah institusi yang membangunkan ekonomi rakyat kecil, pasar tradisonal hakekatnya bisa menjadi katup pengaman sosial ekonomi masyarakat, sekaligus pilar kekuatan ekonomi yang bersifat informal. Sesungguhnya pasar tradisional justru banyak membantu dan memberi andil besar dalam mengurangi pengangguran. Kendati demikian, peran pasar tradisional makin tergerus. Perlahan, para pemilik modal raksasa masuk dalam bisnis eceran dan kecil-kecilan, namun dengan suntikan modal besar serta manajemen canggih, Bisnis ritel, waralaba, franchise ”memaksa“ masyarakat semakin konsumtif dengan pelayanan kebutuhan yang memuaskan. Secara tidak langsung pemilik modal telah memotong jalur perdagangan para pelaku usaha di pasar tradisional. Tapi kenyaatannya, pasar tradisional telah jadi sebuah metafora yang menyesakkan, semakin terdesak dan tergusur. Kita saksikan apa yang terjadi di sekitar kita, komunitas yang beragam, yang bersifat lokal telah retak. Kebersamaan manusia berubah jadi massa. Kemudian terjadi kerumunan dimana segala macam jual beli berlangsung. Itulah garis besar yang kita alami sekarang, suatu masyarakat tradisional yang bergerak ke sesuatu yang “ modern “. Pada akhirnya, ia juga bisa melukiskan satu episode dalam proses embourgeoisment (atau jika kita bersedia meng-Indonesia-kannya secara riskan, pemborjuisan ) dunia yang kini sedang terjadi. Kini, bahkan kita bisa berbicara tentang maraknya dua hal yang oleh Daniel Bell disebut sebagai ‘’ dua penemuan manusia paling menakutkan sejak ditemukannya mesiu’’ : iklan dan cara beli barang tanpa bayar kontan. Yang pertama tak putus-putusnya menggoda, dan kemudian mengubah di kepala kita, keinginan jadi keperluan. Yang kedua memungkinkan orang memperoleh benda- benda tak terjangkau dengan gampang, dengan mencicil atau mengangsur, dengan kartu kredit atau ilusi ‘’ mudah dapat ‘’ yang lain. Secara kontradiksi filosofis, gejala ini menyentil kesadaran dan pikiran sehat kita. Karena bangsa Indonesia tidak hanya dibangun oleh orang kaya saja, tapi juga dibangun diatas peluh dan keringat orang miskin. Maka bentuk-bentuk marginalisasi peran pasar tradisional tidak akan menghasilkan sesuatu yang optimal. Sebagai suatu struktur yang telah built-in lewat kegiatan massa, sebenarnya pasar tradisional tinggal dibenahi kembali sebagai fenomena yang bernilai guna bagi pengembangan perekonomian kita. Sebagai kawasan yang stimulatif dan perlu diolah secara strategis, pasar tradisional adalah bangunan sawah yang perlu dikokohkan sebagai sendi penopang jika bangunan atas ditimpa langit yang runtuh. Pasar tradisional punya kepekaan untuk tetap berkembang mengikuti trend ekonomi kita yang semakin kapitalistik. Inilah refleksi kecil perihal pasar tradisional, yang barangkali tampak terlalu silam untuk dibicarakan berkaitan dengan kekhawatiran postmodern kita saat ini. Akan seperti apa pasar tradisional jika pergulatan pembangunan yang memukau ini meninggalkan perhatian kita pada vitalitas ekonomi yang jadi entitas masyarakat kebanyakan? Memang, kapitalisme adalah bagian dari modernitas yang lahir bersama penaklukan dunia. Yang mendukung kemajuan tak selamanya benar, dunia modern tidak dengan sendirinya membawa manfaat. Modern dengan dinamika kemajuannya, menampilkan diri laksana mesin yang berfungsi ganda, pelindas sekaligus pembangun, perenggut sekaligus menjanjikan segalanya. Oleh karena itu, kita ingin melihat dan merasakan ekonomi yang stabil, maju, kuat dan tahan banting, dan tidak hanya sibuk mengurusi pasar modern dan sophisticated saja, tetapi fokus pada penataan pasar tradisional yang lingkungannya bersih, transaksi yang semakin aman dan nyaman dalam kohesivitas sosial hingga keintiman penjual dan pembeli layaknya seperti sebuah keluarga. Memang tidak semuanya jadi ideal. Tapi ada gambaran lain : dikancah pasar tradisional bisa ada persuasi, persaingan, namun juga ada dialog, proses belajar dan kesempatan kreatif. Dari tengah pasar tradisional juga ada dorongan yang bisa menggairahkan dan menciptakan dinamika.

Kekuatan pasar tradisional justru terletak pada sifatnya yang tidak seperti perangkap. Pasar tradisional adalah sesuatu yang cair, luwes dan di dalamnya ternyata tidak semua manusia jadi komoditi. Oleh karenanya identitas sebenarnya tak pernah datang sendiri, ia dirumuskan oleh nama dan bahasa. Sebuah bangunan simbol yang disusun bernama Peraturan Daerah tentang Perlindungan Pasar Tradisional sudah selayaknya mulai digagas.(*)

*Anggota DPRD Kabupaten Kediri dari Partai Persatuan Pembangunan

Bertemunya antara penjual dan pembeli yang belum meninggalkan tempat disebut

Perbesar

Pedagang merapikan barang dagangannya di Tebet, Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Setelah membahas pengertian, fungsi dan jenis-jenis pasar, selanjutnya Liputan6.com Rabu (16/1/2019) menyajikan macam macam pasar yang ada di Indonesia beserta dengan kegunaannya. Macam macam pasar ini menurut strukturnya dibedakan menjadi empat macam, yaitu pasar persaingan sempurna, monopoli, persaingan monopolistik, dan oligopoli.

1. Pasar Persaingan Sempurna

Macam macam pasar yang pertama adalah pasar persaingan sempurna. Merupakan pasar yang terdapat banyak penjual dan pembeli dan mereka suda sama-sama mengetahui keadaan pasar.

Ciri-ciri dari pasar persaingan sempurna adalah banyak penjual dan pembeli, barang yang diperjualbelikan sejenis (homogen), penjual maupun pembeli memiliki informasi yang lengkap tentang pasar, harga ditentukan oleh pasar, semua faktor produksi bebas masuk dan keluar pasar, dan tidak ada campur tangan pemerintah.

Contoh pasar persaingan sempurna seperti  pasar hasil-hasil pertanian.

2. Pasar Persaingan Tidak Sempurna

Macam macam pasar yang kedua adalah pasar persaingan tidak sempurna. Pasar ini kebalikan dari pasar persaingan sempurna yaitu pasar yang terdiri atas sedikit penjual dan banyak pembeli.

Pada pasar ini penjual dapat menentukan harga barang. Barang yang diperjualbelikan jenisnya heterogen (berbagai jenis barang). Pasar persaingan tidak sempurna mempunyai beberapa bentuk pasar.

Contoh dari pasar persaingan tidak sempurna adalah:

- Pasar Monopoli.

Pasar monopoli adalah pasar yang terjadi apabila seluruh penawaran terhadap jenis barang pada pasar dikuasai oleh seorang penjual atau sejumlah penjual tertentu.

Cir ciri pasar monopoli adalah hanya ada satu penjual sebagai pengambil keputusan harga (melakukan monopoli pasar), penjual lain tidak ada yang mampu menyaingi dagangannya, pedagang lain tidak dapat masuk karena ada hambatan dengan undang-undang atau karena teknik yang canggih.

Jenis barang yang diperjualbelikan hanya satu macam, juga tidak adanya campur tangan pemerintah dalam penentuan harga, contohnya seperti PT Pertamina (persero), PT Perusahaan Listrik Negara (persero), dan PT Kereta Api (persero).

- Pasar Persaingan Monopolistis.

Pasar ini adalah pasar dengan banyak penjual yang menghasilkan barang yang berbeda corak. Pasar ini banyak dijumpai pada sektor jasa dan perdagangan eceran. Misalnya jasa salon, angkutan, toko obat/apotik, dan toko kelontong.

Ciri-ciri pasar persaingan monopolitis seperti terdiri atas banyak penjual dan banyak pembeli, barang yang dihasilkan sejenis, hanya coraknya berbeda, terdapat banyak penjual yang besarnya sama, sehingga tidak ada satu penjual yang akan menguasai pasar.

Penjual mudah menawarkan barangnya di pasar. Penjual mempunyai sedikit kekuasaan dalam menentukan hingga memengaruhi harga pasar. Adanya peluang untuk bersaing dalam keanekaragaman jenis barang yang dijual.

- Pasar Oligopoli.

Pasar oligopoli adalah pasar yang hanya terdiri atas beberapa penjual untuk suatu barang tertentu. Sehingga antara penjual yang satu dengan yang lainnya bisa memengaruhi harga.

Contoh: perusahaan menjual mobil dan sepeda motor, perusahaan rokok, industri telekomunikasi, dan perusahaan semen.

Ciri-ciri pasar ini adalah hanya terdapat sedikit penjual, sehingga keputusan dari salah satu penjual akan memengaruhi penjual lainnya, produk-produknya berstandar, kemungkinan ada penjual lain untuk masuk pasar masih terbuka, dan peran iklan sangat besar dalam penjualan produk perusahaan.