Bersentuhan dengan siapa saja yang tidak MEMBATALKAN wudhu

SERAMBINEWS.COM - Apa hukum jika suami atau pun istri saling bersentuhan setelah berwudhu?

Bagi sebagian umat muslim khususnya yang sudah menikah, mungkin masih ada yang ragu atau belum mengetahui persoalan ini.

Di kalangan masyarakat, ada beberapa pendapat yang beredar soal hukum suami istri bersentuhan setelah berwudhu.

Pada umumnya, banyak masyarakat di Indonesia yang memegang pendapat bahwa batal wudhu jika bersentuhan dengan suami atau istri.

Sementara pendapat lain ada yang menyatakan sebaliknya, bahwa tak batal wudhu jika bersentuhan antara suami dengan istri.

Sebagaimana diketahui, setelah berwudhu, umat muslim dilarang bersentuhan dengan lawan jenis, terutama yang bukan mahramnya.

Sebab hal itu dapat membatalkan wudhu.

Baca juga: Apa Hukum Mengelap Air Wudhu dengan Handuk atau Cara Lainnya? Simak Penjelasan Ustadz Abdul Somad

Akan tetapi, disamping itu, antara pria dan wanita yang sudah resmi menikah, maka telah menjadi pasangan mahram dengan status suami istri.

Lalu, bagaimana hukum yang sebenarnya?

Batal atau tidak wudhu apabila suami dan istri yang sudah menjadi mahram ini bersentuhan kulit, baik itu secara sengaja atau tidak sengaja?

Halaman selanjutnya arrow_forward

Sumber: Serambi Indonesia

Bersentuhan dengan siapa saja yang tidak MEMBATALKAN wudhu
Suami Istri Adalah Muhrim, Apakah Batal Wudhunya Jika Bersentuhan Kulit? Simak Kata UAS & Buya Yahya.

SERAMBINEWS.COM - Antara pria dan wanita yang sudah resmi menikah, maka telah menjadi pasangan muhrim dengan status suami istri.

Akan tetapi, ada satu pertanyaan selama ini yang mungkin masih membuat banyak orang ragu.

Yaitu soal batal atau tidaknya wudhu jika bersentuhan kulit dengan suami atau istri.

Pada umumnya, banyak masyarakat di Indonesia yang memegang pendapat bahwa batal wudhu jika bersentuhan dengan suami atau istri.

Akan tetapi, disamping itu ada juga pendapat lain yang menyatakan sebaliknya, bahwa tak batal wudhu jika bersentuhan antara suami dengan istri.

Lalu, bagaimanakah hukum yang sebenarnya?

Suami istri yang sudah muhrim jika bersentuhan kulit setelah wudhu, batalkan wudhunya atau tidak?

Baca juga: Luar Biasanya Manfaat Wudhu,Termasuk Ibadah yang Bisa Hapus Dosa,Kata Guru Besar Fiqih UIN Ar Raniry

Persoalan ini sebenarnya sudah pernah dibahas oleh Dai Kondang Ustadz Abdul Somad alias UAS dan Buya Yahya.

Video kajian soal batal atau tidak wudhu jika suami istri bersentuhan kulit yang dibahas oleh kedua pendakwah nasional itu juga sudah banyak tersebar, seperti di YouTube.

Berikut adalah penjelasan UAS dan Buya Yahya yang dirangkum Serambinews.com dari berbagai sumber.

Halaman selanjutnya arrow_forward

Sumber: Serambi Indonesia

BERSENTUHAN KULIT MEMBATALKAN WUDHU’?

Pertanyaan
Apakah bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram membatalkan wudhu’ atau tidak? Manakah yang lebih râjih di antara keduanya? Dan apakah hadits yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium istrinya kemudian shalat tanpa berwudhu lagi , itu umum berlaku untuk kaum Muslimin juga? Jazâkallah khairan. `

Jawaban
Tentang masalah laki-laki menyentuh perempuan apakah membatalkan wudhu’ terdapat 3 pendapat Ulama tentang hal ini:[1]

  1. Membatalkan wudhu’. Ini merupakan pendapat Imam Syâfi’i dan Ibnu Hazm.  Juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu dan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma .
  2. Membatalkan wudhu’ jika dengan syahwat. Ini merupakan pendapat Imam Mâlik rahimahullah dan Imam Ahmad rahimahullah di dalam riwayat yang masyhur
  3. Tidak membatalkan wudhu’. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanîfah rahimahullah dan muridnya, yaitu Muhammad bin Hasan asy-Syaibâ Juga pendapat Ibnu ‘Abbâs, Thâwûs, Hasan Bashri, ‘Athâ’, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pendapat ketiga inilah yang rajih (kuat).

Pendapat kedua nampaknya tidak ada dalil yang mendukungnya. Pendapat pertama berdalil dengan firman Allah Azza wa Jalla :

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). [al-Mâidah/5:6]

Ibnu Mas’ûd dan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhma mengatakan bahwa makna ‘menyentuh wanita’ di sini adalah menyentuh kulit, bukan jimâ’.[2]

Namun Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu menyelisihi penafsiran di atas, dia berkata, ” (Kata) mass, lams, mubâsyarah (semua artinya menyentuh-red) maksudnya adalah jimâ‘, tetapi Allah Azza wa Jalla menyebutkan dengan kinâyah (sindiran) apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki.”[3]

Jika para Sahabat berbeda pendapat, maka kita memilih pendapat yang sesuai dengan al-Qur`ân dan Sunnah. Dan ternyata yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu. Karena banyak hadits yang menyebutkan bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengan wanita tidak membatalkan wudhu’. Inilah di antara dalilnya:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا قَالَتْ كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dia berkata, “Aku tidur di depan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang shalat-pen), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku”[4]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ   صلى الله عليه وسلم  لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِيْ عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Suatu malam aku kehilangan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur, kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud”.[5]

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa laki-laki menyentuh wanita, atau sebaliknya, tidak membatalkan wudhu’ dan shalat. Jika batal tentulah Nabi tidak melanjutkan shalatnya. Demikian juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium istrinya kemudian tidak berwudhu’, sebagaimana hadits berikut:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ   صلى الله عليه وسلم  قَبَّلَهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya, dan beliau tidak berwudhu’ (lagi).[6]

Hadits ini juga berlaku bagi umat beliau. Karena semua yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berlaku bagi seluruh umat beliau kecuali yang ditunjukan oleh dalil bahwa hal itu khusus bagi beliau. Sedangkan di sini tidak ada dalil pengkhususan, maka hukumnya juga berlaku bagi umat beliau. Wallâhu a’lam.

Peringatan:
Perbedaan pendapat seperti ini tidak boleh dijadikan alasan saling membenci, menjauhi, dan memusuhi. Karena perselisihan ini sudah ada semenjak zaman Sahabat dan mereka tetap bersatu, maka kita juga harus demikian.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] ________ Footnote

[1] Shahîh Fiqh Sunnah 1/138-140


[2] Riwayat at-Thabari, 1/502
[3] Riwayat at-Thabari, no. 9581 dan Ibnu Abi Syaibah 1/166
[4]HR al-Bukhâri, no. 382 dan lainnya
[5] HR Muslim, no. 486 dan lainnya
[6] HR Abu Dâwud, no. 178, dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah

Menyentuh istri termasuk dalam permasalahan ikhtilaf yang masyhur di antara para ulama madzhab. Semua pihak memiliki dalil pendukung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dari pendapat yang dipegang. Setiap mujtahid akan mendapatkan pahala.

Adapun ulama madzhab Syafii menyetakan bahwa bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram membatalkan wudhu, walaupun bersentuhan itu terjadi tanpa syahwat.

Dalil dalam hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6)

Imam Syafii rahimahullah menyatakan mengenai firman Allah Ta’ala,

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ

“atau LAAMASTUMUN NISAA’” yang dimaksudkan adalah bersentuhan kulit dan kulit, walaupun bukan berjimak. Tafsiran ini dengan beberapa alasan:

Pertama: Allah menyebutkan tentang junub pada awal ayat, lalu menyebutkan setelah itu “lamsun nisaa’” (menyentuh perempuan) dibarengkan dengan al-ghaith (buang hajat). Hal ini menunjukkan bahwa “lamsun nisaa’” termasuk jenis hadats ash-ghor (hadat kecil) seperti buang hajat, dan itu bukan karena junub. Sehingga yang dimaksudkan adlaah al-lams dengan tangan, bukan jimak.

Kedua: Kalau secara tinjauan bahasa Arab, laamasa dalam ayat bermakna lamasa sebagaimana disebutkan dalam ayat yang lain,

وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ

“Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri.” (QS. Al-An’am: 7)

Baca juga: Tafsir Ayat Wudhu

Sebagaimana hadits ini menunjukkan al-lamsu bermakna meraba,

وَالْيَدُ زِنَاهَا اللَّمْسُ

“Zinanya tangan adalah dengan meraba.” (HR. Ahmad, 2:349. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Ketiga: Ada dalil dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَجَسُّهَا بِيَدِهِ مِنْ الْمُلَامَسَةِ فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ

Ciuman dan rabaan tangan laki-laki pada istrinya termasuk mulamasah. Barangsiapa yang mencium istrinya atau merabanya, wajib baginya berwudhu.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwatha’, dengan sanad sahih).

Disebutkan dalam Hasyiyah Al-Bujairami (1:211),

اعلم أن اللمس ناقض بشروط خمسة: أحدها: أن يكون بين مختلفين ذكورة وأنوثة. ثانيها: أن يكون بالبشرة دون الشعر والسن والظفر. ثالثها: أن يكون بدون حائل. رابعها: أن يبلغ كل منهما حدا يشتهى فيه. خامسها: عدم المحرمية” انتهى

“Ketahuilah bahwa al-lams termasuk pembatal wudhu dengan lima syarat:

  1. Antara lawan jenis, laki-laki dan perempuan
  2. Menyentuh kulit, bukan rambut, gigi, atau kuku.
  3. Tanpa penghalang (haa-il)
  4. Telah memiliki kecenderungan syahwat
  5. Sesama bukan mahram.”

Maksud dari al-lams adalah bersentuhan kulit dan kulit, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat, yang menyentuh itu tangan, badan, atau anggota tubuh lainnya, baik secara sengaja maupun tidak. Hal ini sebagaimana keumuman ayat surah Al-Maidah ayat 6 dan surah An-Nisaa’ ayat 43. Mulamasah itu mencakup makna jimak dan perkara yang tingkatannya di bawah jimak. Cara baca yang lainnya adalah “LAMASTUMUN NISAA'” (tidak memanjangkan “la“).

Ibnu Mas’ud sendiri memaknakan mulamasah dengan perkara yang lebih rendah dari jimak. (HR. ‘Abdurrazaq, 1:133; Ibnul Mundzir, 1:117; Ibnu Abi Hatim, 3:961; Ibnu Abi Syaibah, 1:153; Ath-Thabari, 7:68. Al-Baihaqi mengatakan bahwa sanad hadits ini mawshul dan sahih).

Ada riwayat dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar itu berwudhu setelah mencium istri. Ia berpendapat bahwa dalam hal itu mesti berwudhu. Karena mencium itu masuk dalam istilah mulamasah. (HR. Ath-Thabari, 7:71, sanad hadits ini sahih).

Lihat bahasan dalam Tashil Al-Intifa’ bi Matn Abi Syuja’ wa Syai’ mimma Tata’allaq bihi Min Dalilin wa Ijmaa’in min Ath-Thaharah il Al-Hajj, karya Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin Husain Al-Qadiri, hlm. 49-50.

Dalil yang Menunjukkan Tidak Membatalkan Wudhu

Hadits-hadits ini yang dijadikan dalil oleh ulama Hanafiyah termasuk juga Ibnu Taimiyah bahwa menyentuh lawan jenis tidaklah membatalkan wudhu, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat, baik menyentuh istri, bukan mahram, atau mahram.

Pertama: ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِى عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ

“Suatu malam aku kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau ternyata pergi dari tempat tidurnya dan ketika itu aku menyentuhnya. Lalu aku menyingkirkan tanganku dari telapak kakinya (bagian dalam), sedangkan ketika itu beliau sedang (shalat) di masjid …” (HR. Muslim, no. 486)

Kedua: ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَرِجْلاَىَ فِى قِبْلَتِهِ ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِى ، فَقَبَضْتُ رِجْلَىَّ ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا . قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ

“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku di arah kiblat beliau. Ketika ia hendak sujud, ia meraba kakiku. Lalu aku memegang kaki tadi. Jika bediri, beliau membentangkan kakiku lagi.” ‘Aisyah mengatakan, “Rumah Nabi ketika itu tidak ada penerangan.” (HR. Bukhari, no. 382 dan Muslim, no. 512)

Ketiga: ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

 أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ, ثُمَّ خَرَجَ إِلَى اَلصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ – أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَضَعَّفَهُ اَلْبُخَارِيّ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istri beliau, kemudian beliau pergi shalat tanpa mengulangi wudhunya lagi. (HR. Ahmad, 42:479; Abu Daud, no. 179; Tirmidzi, no. 86, Ibnu Majah, 1:168. Imam Bukhari mendhaifkan hadits ini. Namun, ulama belakangan mensahihkan hadits ini seperti Ibnu Jarir, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Katsir, Ibnu At-Turkumani, Az-Zi’la’i, Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Al-Albani, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz).

Komentar Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan untuk hadits ini: Hadits ini ma’lul, memiliki cacat. Hadits ini memiliki syawahid (penguat) yang juga ma’lulah (ada cacat). Syaikh Ahmad Syakir memiliki catatan berharga dalam Jami’ At-Tirmidzi, beliau berkata sebagian haditsnya sahih, sebagiannya mendekati sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:300.

Kesimpulan untuk hadits ketiga ini, masih ada perselisihan kuat di antara para ulama pakar hadits. Ulama yang mendhaifkan haditsnya di antaranya adalah Imam Al-Bukhari, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Bulugh Al-Maram.

Baca juga: Pembatal Wudhu dari Bulugh Al-Maram

Al-Lams Bermakna Jimak

Ada pula ayat yang menyebut al-lams, tetapi bermakna jimak. Seperti firman Allah tentang Maryam,

قَالَتْ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ ۖ قَالَ كَذَٰلِكِ اللَّهُ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۚ إِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

“Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun”. Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah”, lalu jadilah dia.” (QS. Ali Imran: 47). Sebagian sahabat menafsirkan al-lams dengan jimak seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas, dan ada riwayat dari ‘Umar bin Al-Khatthab.

Batal Jika dengan Syahwat

Ulama Malikiyah dan ulama Hambali telah mengompromikan dua dalil dalam masalah ini. Kesimpulan mereka adalah menyentuh wanita termasuk pembatal wudhu jika bersentuhan kulit dengan kulit disertai syahwat. Itulah yang dimaksudkan dalam ayat yang mulia. Adapun jika bersentuhan kulit dan kulit tanpa syahwat tidaklah membatalkan wudhu sebagaimana dua hadits dari Aisyah (hadits pertama dan kedua) yang disebutkan di atas.

Pendapat Terkuat

Yang lebih hati-hati adalah pendapat yang berpegang pada zhahir Al-Qur’an, yaitu menyentuh lawan jenis (bukan mahram) termasuk pembatal wudhu.

Adapun hadits ‘Aisyah yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ‘Aisyah saling bersentuhan adalah dengan adanya haa-il (penghalang). Itulah yang dimaksud “غَمَزَنِى” (ghomazanii) yaitu meraba dengan adanya penghalang (haa-il). Umumnya orang yang tidur pasti ada penghalang (haa-il)-nya.

Lihat Syarh Shahih Muslim, 4:182, pembahasan hadits no. 486 dan 4:205, pembahasan hadits no. 512.

Catatan:

  • Istri itu termasuk bukan mahram bagi suami karenanya boleh menikah dan setelah menikah hubungan keduanya menjadi halal. Namun, kalau bersentuhan, hukumnya tetap batal wudhu dalam madzhab Syafii.
  • Menurut Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa Al-Haditsiyyah, bahwa bersentuhan saat thawaf dengan lawan jenis tidaklah membatalkan wudhu.

Karena ada kaidah fikih:

مَا لاَ يُمْكِنُ الاِحْتِرَازُ مِنْهُ فَهُوَ مَعْفُوٌّ عَنْهُ

Sesuatu yang sulit untuk dihindari, maka hal itu dimaafkan.

* Ada alasan lainnya, sebagian ulama Syafiiyah menyatakan bahwa yang membatalkan wudhu adalah yang menyentuh saja, yang disentuh tidaklah batal wudhunya. Pendapat ini disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Minhaj. Kami mendengar hal ini dari salah satu Youtube guru kami, Syaikh Dr. Labib Najib.

Semoga Allah memberi tambahan ilmu yang bermanfaat.

Baca juga: Dalil Ulama yang Menyatakan Menyentuh Istri Tidak Membatalkan Wudhu

Referensi:

  • Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
  • Tashil Al-Intifa’ bi Matn Abi Syuja’ wa Syai’ mimma Tata’allaq bihi Min Dalilin wa Ijmaa’in min Ath-Thaharah il Al-Hajj. Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin Husain Al-Qadiri. www.alukah.net.
  • https://www.aliftaa.jo/Question2.aspx?QuestionId=1895#.YZcugS2l10s

13 Rabiul Akhir 1443 H @ Hotel Grand Rohan Jogja

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com