Berisi tentang apakah surat al-maidah ayat 100 dalam kaitannya dengan seorang ulil albab

SUMUTPOS.CO – Istilah Ulul Albab dapat ditemukan dalam Al-quran sebanyak 16 kali di beberapa tempat dan topik yang berbeda, yaitu dalam QS Al-Baqarah; 179, 197, 269; QS Ali Imran: 7, 190; al-Maidah: 100; Yusuf: 111, al-Ra’d: 19, Ibrahim: 52; Shad: 29, 43; al-Zumar: 9, 18,21; al-Mu’min: 54, dan al-Thalaq:10.

Berisi tentang apakah surat al-maidah ayat 100 dalam kaitannya dengan seorang ulil albab

Berdasarkanayat-ayat tersebut di atas, para intelektual Muslim Indonesia memahami, memberikan definisi dan karakteristik Ulul Albab secara berbeda-beda. Quraish Shihab menyatakan, jika ditinjau secara etimologis, kata albab adalah bentuk plural dari kata lubb, yang berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang disebut lubb. Berdasarkan definisi etimologi ini, dapat diambil pengertian terminologi bahwa Ulul Albab adalah orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir (Quraish Shihab :16).

Sedikit berbeda, AM Saefuddin menyatakan, Ulul Albab adalah intelektual muslim atau pemikir yang memiliki ketajaman analisis atas fenomena dan proses alamiah, dan menjadikan kemampuan tersebut untuk membangun dan menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia (AM Saefuddin: 76).
Dengan bahasa yang lebih rinci lagi, Jalaluddin Rahmat mengemukakan lima karakteristik Ulul Albab, yakni: Pertama, Kesungguhan mencari ilmu dan kecintaannya mensyukuri nikmat Allah. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(QS. Ali Imran: 190)”.

Kedua, memiliki kemampuan memisahkan sesuatu dari kebaikan dan keburukan, sekaligus mengarahkan kemampuannya untuk memilih dan mengikuti kebaikan tersebut. “Katakanlah: tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan (QS. Al-Maidah: 100).

Ketiga, bersikap kritis dalam menerima pengetahuan atau mendengar pembicaraan orang lain, memiliki kemampuan menimbang ucapan, teori, proposisi dan atau dalil yang dikemukakan orang lain “yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal (QS. Al-Zumar: 18).

Keempat, memiliki kesediaan untuk menyampaikan ilmunya kepada orang lain, memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakat serta terpanggil hatinya untuk menjadi pelopor terciptanya kemaslahatan dalam masyarakat. “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), al-Ra’d: 19-22);

Kelima, Merasa takut hanya kepada Allah. “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekal lah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (QS. Al-Baqarah: 197),  ( Jalaluddin Rahmat: 82).

Karakteristik Ulul Albab yang dikemukakan oleh Jalaluddin di atas, item 1-3 dan 5 terkait dengan kemampuan berfikir dan berzikir, dan item keempat terkait dengan kemampuan berkarya positif dan kemanfaatannya bagi kemanusiaan. Dengan demikian, insan Ulul Albab adalah komunitas yang memiliki keunggulan tertentu dan berpengaruh besar pada transformasi sosial.

Kualitas dimaksud adalah terkait dengan kedalaman spiritualitas (zikir), ketajaman analisis (fikir) dan pengaruhnya yang besar bagi kehidupan (amal shaleh). Tegasnya, kualitas Ulul Albab adalah kualitas yang komprehensif atau dalam bahasa Dawam Rahardjo sebagai orang atau sejumlah orang yang memiliki kualitas yang berlapis-lapis.

Tiga elemen Ulul Albab, yakni zikir, fikir dan amal shaleh bukanlah kualitas yang satu sama lain saling berdiri sendiri. Di sini terdapat dialektika yang menyatakan, aspek zikir juga mencakup fikir. Artinya, kegiatan berzikir juga melibatkan fikir, namun memiliki tingkatan lebih tinggi, karena pemikiran tersebut mengarah kepada upaya maksimal mencapai kebenaran hakiki yang bersifat transendental. Dengan kata lain, zikir sesungguhnya juga aktivitas berfikir namun disertai dengan upaya sungguh-sungguh untuk mencapai hakikat sesuatu, yang mengarah kepada pengakuan atas keagungan Maha Karya Tuhan sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran: 190.

Realitas empiris yang harus diamati dan dipelajari, yakni pergantian siang dan malam dalam ayat tersebut, merupakan salah satu piranti kuat bagi seseorang yang memperhatikan kekuasaan Tuhan, untuk mencapai kesimpulan bahwa semua itu terjadi atas kemahakuasaan Tuhan. Dengan demikian, aktivitas zikir yang mengikutkan fikir merupakan kekuatan yang mengantarkan seseorang memperoleh derajat ulul albab.

Berdasarkan pemahaman terhadap ayat di atas, dapat dinyatakan bahwa kesombongan dan keangkuhan karena prestasi yang didapatkan seseorang dalam mengembangkan keilmuan, jauh dari kualitas ulul albab. Pengakuan akan kekuasaan Tuhan merupakan pernyataan yang selalu dikumandangkan oleh seseorang yang berkualitas ulul albab.

Keragaman definisi di atas, dapat dirangkum pengertian dan cakupan makna ulul albab dalam tiga pilar, yakni: zikir, fikir dan amal shaleh. Secara lebih detail, ulul albab adalah kemampuan seseorang dalam merenungkan secara mendalam fenomena alam dan sosial, yang hal itu mendorongnya mengembangkan ilmu pengetahuan, dengan berbasis pada kepasrahan secara total terhadap kebesaran Allah, untuk dijadikan sebagai penopang dalam berkarya positif.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakteristik dan ciri-ciri ulul albab adalah memiliki kualitas berupa kekuatan zikir, fikir dan amal shaleh. Atau dalam bahasa lain, masyarakat yang mempunyai status ulul alab adalah mereka yang memenuhi indikator berikut; 1. Memiliki ketajaman analisis, 2. Memliki kepekaan spiritual, 4. Optimisme dalam menghadapi hidup, 5. Memiliki keseimbangan jasmani-ruhani, individual-sosial dan keseimbangan dunia-akhirat, 6. Memiliki kemanfaatan bagi kemanusiaan, 7. Pioneer dan pelopor dalam transformasi sosial, 8. Memiliki kemandirian dan tanggung jawab, dan 9. Berkepribadian kokoh.

Bila dirumuskan, ulul albab adalah sama dengan intelektual plus ketakwaan, intelektual plus kesalehan. Di dalam diri ulul albab berpadu sifat-sifat ilmuwan, sifat-sifat intelektual, dan sifat orang yang dekat dengan Allah SWT. Sebetulnya Islam mengharapkan, dari setiap jenjang pendidikan lahir ulul albab, bukan sekadar sarjana yang tidak begitu banyak gunanya, kecuali untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutin. Islam mengharapkan dari jenjang-jenjang pendidikan lahir ilmuwan yang intelektual dan yang sekaligus ulul albab.(*)

Penulis adalah Dosen Agama Islam
STMIK TRIGUNA DHARMA
dan Mahasiswa Pascasarjana IAIN-SU

قُلْ لَّا يَسۡتَوِى الۡخَبِيۡثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوۡ اَعۡجَبَكَ كَثۡرَةُ الۡخَبِيۡثِ‌ ۚ فَاتَّقُوا اللّٰهَ يٰۤاُولِى الۡاَ لۡبَابِ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُوۡنَ

Qul laa yastawil khabiisu wattaiyibu wa law a'jabaka kasratul khabiis; fattaqul laaha yaaa ulil albaabi la'allakum tuflihuun

Katakanlah (Muhammad), "Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung."

Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, "Tidaklah sama yang buruk, kekufuran, kemusyrikan, kemunafikan, dan harta yang haram dengan yang baik, iman, tauhid, kejujuran, dan harta yang halal; meskipun banyaknya keburukan itu, kekayaan hasil korupsi dan harta yang diperoleh dengan cara yang haram secara lahiriah, menarik hatimu, karena tertarik kepada kenikmatan, kepuasan dan kemudahan, serta kebanggaan sebagai seorang yang kaya; maka bertakwalah kepada Allah dengan menjauhkan diri kamu dari kekufuran, kemusyrikan, dan kemunafikan, serta dari harta yang haram; wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat sehingga kamu berpikir jernih dan mendalam agar kamu beruntung dunia dan akhirat.

Pada ayat ini Allah menyuruh Rasul-Nya untuk menjelaskan ciri-ciri sesuatu perbuatan dan orang-orang yang melakukannya, yang akan menyebabkan mereka memperoleh pahala atau siksa-Nya. Ditegaskan, bahwa kejahatan dan kekejian tidaklah sama dengan kebajikan dan amal saleh. Harta benda yang baik atau yang diperoleh dengan jalan yang halal tidaklah sama dengan harta benda yang jelek atau yang diperoleh dengan jalan yang tidak halal. Barang-barang yang mendatangkan mudarat tidaklah sama dengan barang-barang yang bermanfaat. Demikian pula, orang-orang yang zalim tidaklah sama dengan orang-orang yang adil; dan orang-orang jahat tidaklah sama dengan orang-orang yang saleh; orang-orang yang durhaka tidaklah sama dengan orang-orang yang taat dan bertakwa. Masing-masing akan mendapat penilaian yang berbeda dari Allah dan akan diberi-Nya balasan pahala atau siksa, menurut sifat-sifat dan keadaan masing-masing. Kemudian Allah memperingatkan hamba-Nya, agar mereka jangan teperdaya melihat banyaknya perbuatan dan barang yang tidak baik. Perbuatan buruk memang sangat disenangi oleh orang yang lemah iman. Terutama di kota-kota besar di mana banyak orang mendirikan usaha yang menggunakan berbagai fasilitas yang memudahkan terjadinya kemaksiatan. Demikian pula barang yang jelek dan yang tidak halal, amat disenangi pula karena dapat diperoleh dengan cara yang mudah, seperti: riba, judi, suap, curi, rampok, dan lain-lain sebagainya. Tetapi orang-orang yang kuat imannya tidak akan teperdaya oleh semua godaan itu. Betapa pun banyaknya orang yang melakukan kejahatan itu disekitarnya, namun ia tetap berpegang kepada hukum-hukum dan petunjuk-petunjuk agamanya. Jumlah orang semacam ini mungkin tidak sebanyak jumlah mereka yang cenderung kepada kejahatan dan kekejian. Tetapi Allah bukan menilai banyaknya jumlah, melainkan Dia menilai hamba-hamba-Nya dari segi kebaikan sifat dan perbuatannya.

Pada akhir ayat ini Allah mengarahkan firman-Nya kepada orang yang berakal sehat, yang dapat membedakan antara yang baik dan yang jelek, antara yang bermanfaat dan yang mudarat, agar mereka tidak teperdaya oleh bermacam-macam godaan setan yang senantiasa ingin menjerumuskan manusia kepada kejahatan dan kesengsaraan. Keteguhan iman di tengah-tengah kemaksiatan yang beraneka ragam itulah yang akan dapat membawa mereka kepada kebahagiaan dan keberuntungan dunia dan akhirat.