Berikut yang bukan merupakan aspek penentuan kualitas lampu PENERANGAN jalan umum adalah

Jalan yang terang adalah kebutuhan setiap orang, meski setiap kendaraan diwajibkan memasang lampu depan sebagai standar keselamatan. Penerangan Jalan Umum adalah hal penting demi keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan. Jalan tanpa lampu penerangan merupakan jalan yang berbahaya dan lebih beresiko. Sebagaimana maksud Permenhub PM 27 tahun 2018 tentang Alat Penerangan Jalan.

Peraturan Menteri tentang Alat Penerangan Jalan ini memiliki pertimbangan utama di dalamnya yaitu untuk mengoptimalkan fasilitas perlengkapan jalan berupa alat penerangan jalan guna mewujudkan keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas serta kemudahan bagi pengguna jalan dalam berlalu lintas.

  1. Alat penerangan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d merupakan lampu penerangan jalan yang berfungsi untuk memberi penerangan pada Ruang Lalu Lintas.

  2. Lampu penerangan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan keselamatan.

  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan persyaratan keselamatan lampu penerangan jalan diatur dengan Peraturan Menteri.

PP 79 tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Jalan adalah seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel. Alat Penerangan Jalan adalah lampu penerangan jalan yang berfungsi untuk memberi penerangan pada ruang lalu lintas.

Lumens adalah arus listrik yang diubah menjadi arus cahaya oleh suatu sumber cahaya yangberupa peralatan elektronik. Iluminansi adalah kuat pencahayaan yang jatuh pada permukaan jalan akibat dari suatu sumber cahaya dalam satuan footcandle atau lux. Luminansi adalah pantulan kembali cahaya oleh suatu permukaan yang menerima pencahayaan dalam satuan candela per meter persegi.

Berdasarkan Jenisnya, alat penerangan jalan dibagi menjadi Alat Penerangan Jalan berdasarkan jenis lampu; Alat Penerangan Jalan berdasarkan catu daya; dan Alat Penerangan Jalan berdasarkan kuat pencahayaan.

Berdasarkan sistemnya APJ dibedakan menjadi APJ otonom, dan/atau APJ interkoneksi. Alat Penerangan Jalan otonom berdiri sendiri dengan pengaturan kuat pencahayaan dan penyediaan kebutuhan arus listrik diatur dan tersedia secara mandiri. Alat Penerangan Jalan interkoneksi adalah APJ dengan pengaturan kuat pencahayaan dan penyediaan kebutuhan arus listrik terkoordinasi dan terkoneksi dengan Alat Penerangan Jalan yang dipasang pada lokasi lain.

Alat Penerangan Jalan juga dapat dilengkapi dengan smart lighting system dengan minimalnya memiliki kontrol untuk pengaturan kuat pencahayaan; pencatatan konsumsi daya listrik atau kilo Watt hour (kWh) meter; pemantauan unjuk kerja perangkat elektronik; melakukan kontrol jarak jauh secara tersentralisasi; sensor dan pencatatan data kondisi lingkungan; dan kerusakan atau kegagalan Alat Penerangan Jalan.

Aplikasi PJU dengan Smart Lighting System dalam Peraturan Menteri Perhubungan PM 27 tahun 2018 tentang Alat Penerangan Jalan wajib bersumber dari aplikasi open source dan dapat diakses tanpa melalui software khusus tertentu sehingga mudah apabila akan diintegrasikan.

Lampu PJU atau Penerangan Jalan Umum berdasarkan jenis lampunya dibagi berdasarkan jenis lampu yang digunakan yaitu Light-Emitting Diode (LED); lampu gas bertekanan tinggi atau high-pressure discharge lamp; atau lampu gas bertekanan rendah kondisi vakum atau low-pressure discharge lamp.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 27 tahun 2018 tentang Alat Penerangan Jalan ditetapkan di Jakarta oleh Menhub Budi Karya Sumadi pada tanggal 26 Maret 2018. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 27 tahun 2018 tentang Alat Penerangan Jalan diundangkan Menkumham Yasonna H. Laoly di Jakarta pada tanggal 28 Maret 2018.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 27 tahun 2018 tentang Alat Penerangan Jalan ditempatkan pada Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 424. Agar setiap orang mengetahuinya.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 27 tahun 2018 tentang Alat Penerangan Jalan

Pertimbangan Permenhub PM 27 tahun 2018 tentang Alat Penerangan Jalan adalah:

  1. bahwa untuk mengoptimalkan fasilitas perlengkapan jalan berupa alat penerangan jalan guna mewujudkan keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas serta kemudahan bagi pengguna jalan dalam berlalu lintas, perlu diatur Peraturan Menteri Perhubungan mengenai alat penerangan jalan;

  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 44 ayat (3), Pasal 56, dan Pasal 57 Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tentang Alat Penerangan Jalan;

Dasar hukum Permenhub PM 27 tahun 2018 tentang Alat Penerangan Jalan adalah:

  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);

  2. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468);

  3. Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 75);

  4. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 189 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1844) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 117 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 189 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1891);

Berikut adalah isi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 27 tahun 2018 tentang Alat Penerangan Jalan, bukan format asli:

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG ALAT PENERANGAN JALAN

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Alat Penerangan Jalan adalah lampu penerangan jalan yang berfungsi untuk memberi penerangan pada ruang lalu lintas.

  2. Jalan adalah seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.

  3. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

  4. Kawasan Komersial adalah kawasan pusat kegiatan bisnis berupa perkantoran, perbankan, niaga, hiburan, perhotelan, atau kawasan yang memberi keuntungan bagi pengelolanya.

  5. Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

  6. Sertifikat Laik Operasi adalah bukti pengakuan formal suatu instalasi tenaga listrik telah berfungsi sebagaimana kesesuaian persyaratan yang ditentukan dan dinyatakan siap dioperasikan.

  7. Peralatan Hemat Energi adalah piranti atau perangkat atau fasilitas yang dalam pengoperasiannya memanfaatkan energi secara hemat sesuai dengan benchmark hemat energi yang ditetapkan.

  8. Lumens adalah arus listrik yang diubah menjadi arus cahaya oleh suatu sumber cahaya yangberupa peralatan elektronik.

  9. Iluminansi adalah kuat pencahayaan yang jatuh pada permukaan jalan akibat dari suatu sumber cahaya dalam satuan footcandle atau lux.

  10. Luminansi adalah pantulan kembali cahaya oleh suatu permukaan yang menerima pencahayaan dalam satuan candela per meter persegi.

  11. Efikasi adalah perbandingan antara jumlah arus cahaya atau lumens yang dihasilkan lampu terhadap daya listrik yang dibutuhkan dalam satuan lumens/watt.

  12. Rasio Kemerataan atau Uniformity Ratio adalah perbandingan iluminansi dan/atau luminansi antara nilai minimum dengan nilai rata-rata atau nilai minimum dan nilai maksimum pada suatu permukaan jalan.

  13. Indek Perlindungan atau Index of Protection (IP) adalah suatu kode yang menunjukan tingkat perlindungan komponen Alat Penerangan Jalan dari pengaruh luar baik dari gangguan benda padat maupun gangguan dari benda yang berupa cairan.

  14. Colour Rendering Index (CRI) yaitu kemampuan sumber cahaya untuk menghasilkan warna benda yang disinari mendekati warna benda yang sebenarnya.

  15. Panel surya adalah peralatan elektronik yang berfungsi menangkap energi sinar matahari dan mengubah menjadi energi listrik.

  16. Baterai adalah peralatan elektronik yang berfungsi untuk menyimpan energi listrik.

  17. Luminer adalah peralatan elektronik yang dapat menghasilkan, mengontrol, dan mendistribusikan cahaya.

  18. Tiang adalah penopang dari bahan logam dan/atau bahan non-logam yang digunakan untuk menambatkan Luminer serta komponen–komponen Alat Penerangan Jalan yang lain.

  19. Unit Pembangkitan Tenaga Listrik adalah badan usaha penyedia tenaga listrik yang diakui dan mendapat izin usaha resmi dari pemerintah.

  20. Lembaga Inspeksi Teknik adalah badan usaha yang melakukan usaha jasa penunjang tenaga listrik di bidang pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik yang diberikan hak untuk melakukan sertifikasi tenaga listrik, kecuali instalasi pemanfaatan tenaga listrik tegangan rendah.

  21. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.

  22. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perhubungan Darat.

Pasal 2

Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini meliputi:

  1. jenis Alat Penerangan Jalan;

  2. spesifikasi teknis Alat Penerangan Jalan;

  3. penyelenggaraan Alat Penerangan Jalan; dan

  4. pembuatan Alat Penerangan Jalan.

Alat Penerangan Jalan berdasarkan jenisnya, terdiri atas:

  1. Alat Penerangan Jalan berdasarkan jenis lampu;

  2. Alat Penerangan Jalan berdasarkan catu daya; dan

  3. Alat Penerangan Jalan berdasarkan kuat pencahayaan.

Pasal 4

  1. Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, menggunakan sistem:

    1. Alat Penerangan Jalan otonom; dan/atau

    2. Alat Penerangan Jalan interkoneksi.

  2. Alat Penerangan Jalan otonom sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Alat Penerangan Jalan yang berdiri sendiri dengan pengaturan kuat pencahayaan dan penyediaan kebutuhan arus listrik diatur dan disediakan oleh Alat Penerangan Jalan secara mandiri.

  3. Alat Penerangan Jalan interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan Alat Penerangan Jalan dengan pengaturan kuat pencahayaan dan penyediaan kebutuhan arus listrik terkoordinasi dan terkoneksi dengan Alat Penerangan Jalan yang dipasang pada lokasi lain.

Pasal 5

  1. Alat Penerangan Jalan interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, memiliki sistem komunikasi yang dapat diatur secara tersentralisasi dengan aplikasi perangkat lunak cerdas atau smart lighting system menggunakan koneksi peralatan kontrol nirkabel yang berbasis:

    1. gelombang radio atau wireless fidelity (WiFi); atau

    2. gelombang cahaya atau light fidelity (LiFi).

  2. Sistem komunikasi berbasis gelombang radio atau wireless fidelity (WiFi) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilengkapi dengan fasilitas uplink dan downlink komunikasi sebagai sarana pengiriman dan penerimaan data.

Pasal 6

  1. Aplikasi perangkat lunak cerdas atau smart lighting system sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), paling sedikit dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap status Alat Penerangan Jalan, meliputi:

    1. pengaturan kuat pencahayaan;

    2. pencatatan konsumsi daya listrik atau kilo Watt hour (kWh) meter;

    3. pemantauan unjuk kerja perangkat elektronik;

    4. melakukan kontrol jarak jauh secara tersentralisasi;

    5. sensor dan pencatatan data kondisi lingkungan; dan

    6. kerusakan atau kegagalan Alat Penerangan Jalan.

  2. Aplikasi perangkat lunak cerdas atau smart lighting system sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib bersumber dari aplikasi open source dan dapat diakses tanpa melalui software khusus tertentu sehingga mudah apabila akan diintegrasikan.

Alat Penerangan Jalan berdasarkan jenis lampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, paling sedikit menggunakan jenis lampu:

  1. Light-Emitting Diode (LED);

  2. lampu gas bertekanan tinggi atau high-pressure discharge lamp; atau

  3. lampu gas bertekanan rendah kondisi vakum atau low-pressure discharge lamp.

Pasal 8

Lampu Light-Emitting Diode (LED) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a berupa lampu solid atau padat.

Pasal 9

Lampu gas bertekanan tinggi atau high-pressure discharge sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dapat berupa:

  1. lampu sodium bertekanan tinggi atau high-pressure sodium (SON); atau

  2. lampu metal halide.

Pasal 10

Lampu gas bertekanan rendah kondisi vakum atau low-pressure discharge lamp sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c berupa lampu pendar (fluorescent) jenis Iluminansi tinggi (high output).

Pasal 11

Lampu gas bertekanan tinggi atau high-pressure discharge dan lampu gas bertekanan rendah kondisi vakum atau low-pressure discharge lamp sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 harus memiliki tingkat perlindungan tinggi dan umur pakai yang panjang agar ramah terhadap lingkungan.

Bagian Ketiga Alat Penerangan Jalan Berdasarkan Catu Daya

Pasal 12

  1. Alat Penerangan Jalan berdasarkan catu daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b menggunakan catu daya:

    1. listrik mandiri; dan

    2. listrik tersuplai atau konvensional.

  2. Catu daya listrik yang digunakan untuk Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan pertimbangan yang meliputi:

    1. kondisi geografis lokasi pemasangan;

    2. ketersediaan sumber listrik tersuplai atau konvensional;

    3. nilai keekonomian; dan

    4. adanya penemuan teknologi baru bahwa jenis catu daya mandiri lebih murah dan efisien serta ramah lingkungan daripada catu daya tersuplai atau konvensional.

Pasal 13

  1. Alat Penerangan Jalan catu daya listrik mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a, merupakan Alat Penerangan Jalan yang kebutuhan arus listriknya disediakan oleh peralatan elektronik yang menjadi satu kesatuan konstruksi bangunan dengan Alat Penerangan Jalan.

  2. Catu daya listrik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari:

    1. pemanfaatan energi sinar matahari; atau

    2. pemanfaatan sumber energi lain yang dapat dikonversi menjadi energi listrik dengan mengutamakan sumber energi terbarukan.

Pasal 14

  1. Alat Penerangan Jalan catu daya listrik tersuplai atau konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, merupakan Alat Penerangan Jalan yang kebutuhan arus listriknya tidak dapat disediakan oleh Alat Penerangan Jalan melainkan bersumber dari jaringan transmisi dan distribusi Unit Pembangkitan Tenaga Listrik di tempat lain.

  2. Pemakaian daya listrik pada Alat Penerangan Jalan catu daya listrik tersuplai atau konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tercatat dan terekam sehingga harus dipasang kWh (kiloWatt hour) meter.

  3. KWh (kiloWatt hour) meter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilengkapi dengan perangkat smart meter system berupa peralatan yang dapat memantau untuk memberikan informasi jumlah pemakaian energi listrik secara mandiri dan real time.

  4. Dalam hal kWh (kiloWatt hour) meter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah terpasang dan beroperasi, perlu dikalibrasi dan/atau diganti apabila sudah tidak dapat mencatat dan merekam pemakaian daya listrik secara akurat atau presisi.

  5. Alat Penerangan Jalan berdasarkan sumber catu daya listrik tersuplai atau konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan meter listrik pra-bayar.

Alat Penerangan Jalan berdasarkan kuat pencahayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, terdiri atas:

  1. pencahayaan tetap; dan

  2. pencahayaan adaptif.

Pasal 16

  1. Alat Penerangan Jalan dengan pencahayaan tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a, kuat pencahayaannya stabil sepanjang aktif menyala.

  2. Alat Penerangan Jalan dengan pencahayaan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipasang pada tempat yang memiliki densitas dan tundaan lalu lintas tinggi, yang meliputi:

    1. tanjakan;

    2. turunan;

    3. lintas atas (overpass);

    4. lintas bawah (underpass); dan

    5. perpindahan ruas jalan (interchange).

Pasal 17

  1. Alat Penerangan Jalan dengan pencahayaan adaptif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b merupakan Alat Penerangan Jalan yang kuat pencahayaannya dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan pencahayaan pada ruang lalu lintas berdasarkan kondisi atau lokasi tertentu.

  2. Alat Penerangan Jalan dengan pencahayaan adaptif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:

    1. aspek lalu lintas jalan, meliputi:

      1. volume lalu lintas;

      2. kecepatan lalu lintas;

      3. tundaan lalu lintas;

      4. jenis atau golongan kendaraan yang melintas;

      5. komposisi lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki; 6. distribusi arah pergerakan lalu lintas; dan

      6. geometri jalan.

    2. aspek lingkungan, meliputi:

      1. periode waktu, pada tengah malam atau waktu tertentu menyesuaikan kondisi lalu lintas; dan

      2. perubahan kondisi cuaca yang mengakibatkan penerangan alami siang hari berkurang secara signifikan.

  3. Alat Penerangan Jalan dengan pencahayaan adaptif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk kawasan perkotaan, kawasan komersial, dan kawasan pemukiman.

Pasal 18

Alat Penerangan Jalan dengan pencahayaan adaptif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dilakukan dengan metode, meliputi:

  1. memadamkan seluruh lampu mulai tengah malam atau periode waktu tertentu menyesuaikan kondisi lalu lintas;

  2. memadamkan seluruh lampu pada salah satu lajur jalan;

  3. memadamkan lampu secara berselang-seling pada penempatan lampu sistem parsial;

  4. memasang 2 (dua) Luminer tiap tiang dan memadamkan salah satu; dan

  5. menggunakan teknologi dimming atau peredupan yaitu dengan mengurangi kuat pencahayaan.

Pasal 19

  1. Pengaturan kuat pencahayaan dengan menggunakan teknologi dimming sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e dapat dilakukan dalam hal:

    1. volume lalu lintas mulai turun di bawah 10% (sepuluh) per seratus dari volume lalu lintas tiap satuan jam; atau

    2. periode waktu penyalaan yang terus berjalan mulai pukul 18.00 sampai dengan pukul 05.30 dimana aktifitas dan kegiatan di ruang lalu lintas mulai turun.

  2. Pengaturan kuat pencahayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sebesar 50% (lima puluh) per seratus sampai dengan 62% (enam puluh dua) per seratus dari nilai Luminansi rata–rata;

  3. Pengaturan kuat pencahayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sebesar 100% (seratus) per seratus mulai pukul 18.00 sampai dengan 24.00 serta paling tinggi sebesar 50% (lima puluh) per seratus mulai pukul 24.00 sampai dengan 05.30 dari nilai luminansi rata – rata.

Pasal 20

Alat Penerangan Jalan berdasarkan kuat pencahayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ditentukan berdasarkan fungsi jalan dan konflik pejalan kaki sesuai dengan standar yang tercantum dalam Lampiran I huruf a dan huruf b yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 21

Alat Penerangan Jalan berdasarkan kuat pencahayaan tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dapat ditetapkan pada daerah kepentingan khusus dan di lokasi tertentu, meliputi:

  1. kawasan pejalan kaki;

  2. persimpangan dan/atau bundaran;

  3. terowongan; dan

  4. perlintasan sebidang kereta api.

Pasal 22

  1. Alat Penerangan Jalan berdasarkan kuat pencahayaan tetap pada kawasan pejalan kaki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a ditentukan berdasarkan volume pejalan kaki dan adanya konflik pejalan kaki dengan kendaraan bermotor.

  2. Alat Penerangan Jalan berdasarkan kuat pencahayaan tetap pada kawasan pejalan kaki sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan standar yang tercantum dalam Lampiran I huruf c yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 23

  1. Alat Penerangan Jalan berdasarkan kuat pencahayaan tetap pada suatu persimpangan dan/atau bundaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b nilainya ditetapkan berdasarkan klasifikasi fungsi jalan yang saling bertemu membentuk persimpangan dan/atau bundaran.

  2. Pemasangan Alat Penerangan Jalan pada persimpangan dan/atau bundaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan:

    1. aturan kuat pencahayaan;

    2. tata ruang pemasangan yang tersedia;

    3. prinsip dasar keselamatan lalu lintas;

    4. kenyamanan lalu lintas; dan

    5. arah pergerakan kendaraan.

Pasal 24

Alat Penerangan Jalan berdasarkan kuat pencahayaan tetap pada suatu persimpangan dan/atau bundaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 sesuai dengan standar yang tercantum dalam Lampiran I huruf d yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 25

  1. Alat Penerangan Jalan berdasarkan kuat pencahayaan tetap pada terowongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c harus dapat memberikan penerangan yang tidak mengurangi kenyamanan dan keselamatan pengemudi di jalan terbuka pada siang hari dan malam hari.

  2. Kuat pencahayaan tetap pada terowongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa nilai Luminansi.

Pasal 26

  1. Kuat pencahayaan tetap berupa nilai Luminansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) digunakan pada terowongan dengan panjang lebih dari 75 (tujuh puluh lima) meter.

  2. Kuat pencahayaan tetap berupa nilai Luminansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan:

    1. Luminansi di luar terowongan;

    2. volume dan kecepatan lalu lintas;

    3. pantulan cahaya dari dinding;

    4. adaptasi pandangan pengemudi; dan

    5. resiko kesilauan atau glare.

Pasal 27

  1. Kuat pencahayaan berupa nilai Luminansi pada terowongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dibagi menjadi 3 (tiga) zona utama, meliputi:

    1. zona keluar/masuk atau threshold zone;

    2. zona adaptasi atau transition zone; dan

    3. zona dalam/tengah atau interior zone.

  2. Pembagian 3 (tiga) zona utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk adaptasi pengemudi saat masuk, berada, dan keluar terowongan.

Pasal 28

Alat Penerangan Jalan berdasarkan kuat pencahayaan tetap pada terowongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) sesuai dengan standar yang tercantum dalam Lampiran I huruf e yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 29

  1. Alat Penerangan Jalan berdasarkan kuat pencahayaan tetap pada perlintasan sebidang kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d harus mampu memberikan pencahayaan yang memberikan kejelasan daya pandang terhadap arah datang dan pergi kereta api serta kendaraan atau obyek lain di sekitar perlintasan sebidang.

  2. Kuat pencahayaan tetap pada perlintasan sebidang kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa nilai Iluminansi dan Luminansi.

Pasal 30

Alat Penerangan Jalan berdasarkan kuat pencahayaan tetap pada perlintasan sebidang kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sesuai dengan standar yang tercantum dalam Lampiran I huruf f yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Alat Penerangan Jalan wajib memenuhi spesifikasi teknis utama paling sedikit:

  1. catu daya;

  2. jenis arus listrik;

  3. waktu operasi;

  4. daya cadangan operasi;

  5. tinggi pemasangan Luminer;

  6. jenis lampu;

  7. umur teknis lampu;

  8. umur operasi lampu;

  9. umur pemeliharaan lampu;

  10. proteksi operasi;

  11. kabel kelistrikan;

  12. pabrikasi bahan/konstruksi;

  13. rumah lampu atau armature; dan

  14. lokasi pemasangan;

Pasal 32

Spesifikasi teknis utama Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sesuai dengan standar yang tercantum dalam Lampiran II huruf a yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Bagian Kedua Komponen Utama Alat Penerangan Jalan

Paragraf 1 Umum

Pasal 33

  1. Komponen utama Alat Penerangan Jalan, meliputi:

    1. bangunan konstruksi;

    2. catu daya;

    3. Luminer;

    4. peralatan kontrol; dan

    5. peralatan proteksi.

  2. Komponen utama Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e berupa peralatan atau piranti atau perangkat elektronik yang berfungsi untuk instalasi atau distribusi kelistrikan harus menggunakan peralatan hemat energi.

Paragraf 2 Bangunan Konstruksi

Pasal 34

Bangunan konstruksi Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a, terdiri atas:

  1. bangunan pondasi;

  2. tiang utama;

  3. tiang pengaman;

  4. lengan Luminer; dan

  5. jari-jari pelindung anti panjat.

Pasal 35

  1. Bangunan pondasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a berupa bangunan konstruksi beton cor atau pre-cast concrete berkerangka besi pejal penuh atau full- frame yang memiliki kemampuan untuk menopang beban konstruksi Alat Penerangan Jalan.

  2. Bangunan pondasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan cara:

    1. pra-cetak atau pre-cast, yaitu dibuat di bengkel fabrikasi menggunakan tempat cetakan atau moulding; atau

    2. dicetak langsung di lokasi pemasangan atau cast on site.

  3. Bangunan pondasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanam di dalam tanah dengan kedalaman paling sedikit 1.200 (seribu dua ratus) milimeter dan bangunan pondasi harus timbul dengan ukuran tinggi paling sedikit 100 (seratus) millimeter di atas permukaan tanah.

  4. Bangunan pondasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada sisi permukaan pondasi bagian atas dibuat dan/atau ditempatkan dengan posisi tegak lurus terhadap tiang utama.

  5. Bangunan pondasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan memperhatikan:

    1. dimensi Alat Penerangan Jalan;

    2. berat total Alat Penerangan Jalan;

    3. struktur tanah lokasi pemasangan;

    4. daya dukung tanah; dan

    5. faktor cuaca lokasi pemasangan.

Pasal 36

Spesifikasi teknis bangunan pondasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a sesuai dengan standar yang tercantum dalam Lampiran II huruf b yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 37

  1. Tiang utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b terdiri atas:

    1. tiang dengan lengan; dan

    2. tiang tanpa lengan.

  2. Tiang utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai tempat penambat perlengkapan jalan lain selama tidak mengurangi dan/atau mengganggu fungsinya.

  3. Tiang utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperbolehkan sebagai media untuk menempatkan papan iklan atau keperluan komersial lain yang dapat mengurangi fungsinya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pasal 38

Tiang dengan lengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a terdiri atas:

  1. lengan tunggal;

  2. lengan ganda; dan

  3. lengan jamak.

Pasal 39

  1. Tiang tanpa lengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b yaitu Alat Penerangan Jalan jenis menara atau high mast lighting.

  2. Tiang tanpa lengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk Alat Penerangan Jalan dengan ketinggian pemasangan Luminer paling rendah 20 (dua puluh) milimeter diukur dari permukaan tanah.

Pasal 40

Tiang Utama Alat Penerangan Jalan dengan tiang tanpa lengan sebagaimana dimaksud pada pasal 39 dipasang pada:

  1. persimpangan jalan yang merupakan jalur jalan lebar serta terdiri atas beberapa lajur;

  2. persimpangan jalan yang merupakan pertemuan dari banyak jalur jalan; dan

  3. tempat istirahat atau tempat parkir.

Pasal 41

Tiang utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 pada penampang sisi bagian bawah dilengkapi dengan:

  1. plat dasar atau base plate; dan

  2. plat penguat atau bracket.

Pasal 42

  1. Plat dasar atau base plate sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a memiliki ukuran ketebalan paling kecil 16 (enam belas) millimeter.

  2. Ukuran ketebalan plat dasar atau base plate sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan memperhitungkan beban yang diterima, yaitu gaya geser dan gaya tarik yang timbul akibat pengaruh luar dan berat dari Alat Penerangan Jalan itu sendiri.

  3. Plat dasar atau base plate sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan lubang sebagai tempat baut angkur pengikat yang menjadi komponen penerus sambungan antara tiang utama dan bangunan pondasi.

  4. Lubang sebagai tempat baut angkur pengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki jumlah paling sedikit 4 (empat) buah dengan posisi penempatan lubang sebagai berikut:

    1. jarak dari tepi plat dasar atau base plate tidak boleh kurang dari 40 (empat puluh) milimeter diukur dari pusat lubang; dan

    2. jarak dari tepi plat dasar tidak boleh lebih dari 60 (enam puluh) milimeter diukur dari pusat lubang.

Pasal 43

  1. Plat penguat atau bracket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b memiliki spesifikasi teknis sebagai berikut:

    1. berbentuk segitiga siku–siku dengan sisi yang menopang Tiang lebih panjang daripada sisi yang meneruskan gaya ke plat dasar atau base plate;

    2. ukuran ketebalan plat penguat paling kecil 10 (sepuluh) milimeter; dan

    3. pada setiap ujungnya dibuatkan chamfer.

  2. Plat penguat atau bracket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki jumlah paling sedikit 4 (empat) buah dalam 1 (satu) Tiang Alat Penerangan Jalan dan dipasang simetris mengelilingi Tiang dengan jumlah jarak antar sudut sebesar 360 (tiga ratus enam puluh) derajat.

Pasal 44

  1. Tiang utama, plat dasar atau base plate, dan plat penguat atau bracket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dihubungkan menjadi satu kesatuan konstruksi menggunakan sambungan pengelasan penuh jenis sambungan las tegak lurus atau tee-joint welding.

  2. Permukaan tiang utama, plat dasar atau base plate, dan plat penguat atau bracket, serta sambungan las sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilapisi proteksi anti korosi berupa pelapisan zinc yang berfungsi sebagai anoda korban melalui proses galvanisasi.

Pasal 45

  1. Tiang utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dapat terbuat dari bahan:

  2. Tiang utama yang terbuat dari bahan beton cor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipasang pada daerah atau lingkungan yang bersifat korosif.

  3. Daerah atau lingkungan yang bersifat korosif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

    1. pelabuhan;

    2. dermaga; dan

    3. jalan di pinggir pantai.

  4. Tiang utama yang terbuat dari bahan beton cor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memperhitungkan kekuatan struktur serta memperhatikan metode penanganannya (handling), dikarenakan sifat bahan beton cor sebagai berikut:

    1. memiliki berat jenis yang besar;

    2. mudah patah saat pengangkutan; dan

    3. pondasi dan Tiang utama merupakan satu kesatuan sehingga tidak dapat dibuat secara terpisah.

  5. Tiang utama yang terbuat dari bahan kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan ketentuan sebagai berikut :

    1. mendukung budaya lokal yang menjadi simbol atau ciri khas identitas kearifan lokal suatu daerah;

    2. keperluan estetika atau seni;

    3. memiliki konstruksi kokoh dan kuat;

    4. umur teknis paling singkat 5 (lima) tahun;

    5. bagian permukaan dilapisi bahan proteksi untuk melindungi kayu dari pengaruh perubahan cuaca atau kondisi lingkungan;

    6. tinggi pemasangan paling tinggi 4.000 (empat ribu) milimeter.

  6. Tiang utama yang terbuat dari bahan kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dipasang di lokasi:

    1. tempat parkir;

    2. taman atau ruang publik;

    3. kawasan wisata;

    4. median jalan dengan lebar paling sedikit 3.000 (tiga ribu) milimeter;

    5. pulau lalu lintas yang berupa bangunan yang ditinggikan; atau

    6. bagian jalan di luar ruang milik jalan.

Pasal 46

Tiang utama Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 memiliki ukuran ketinggian yang ditentukan berdasarkan fungsi dan geometri jalan, yaitu:

  1. jalan bebas hambatan, ketinggian Tiang paling rendah 13.000 (tiga belas ribu) milimeter;

  2. jalan arteri, ketinggian tiang paling rendah 9.000 (sembilan ribu) milimeter;

  3. jalan kolektor, ketinggian tiang paling rendah 7.000 (tujuh ribu) milimeter;

  4. jalan lokal, ketinggian tiang paling tinggi 7.000 (tujuh ribu) milimeter;

  5. jalan lingkungan, ketinggian paling tinggi 5.000 (lima ribu) milimeter; atau

  6. taman dan ruang parkir, ketinggian tiang disesuaikan dengan ruang yang tersedia dan kebutuhan pencahayaan.

Pasal 47

  1. Tiang pengaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf c memiliki spesifikasi teknis sebagai berikut:

    1. tiang pengaman berupa Tiang dari bahan besi baja karbon;

    2. berjumlah paling sedikit 2 (dua) buah dengan pondasi terpisah dari tiang utama; dan

    3. dipasang dengan jarak paling jauh 800 (delapan ratus) milimeter dari tiang utama.

  2. Tiang pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilapisi dengan pengecatan berupa:

    1. cat dasar menggunakan jenis cat anti korosi; dan

    2. cat permukaan menggunakan jenis cat yang memiliki reflektifitas terhadap cahaya; dan

    3. warna cat permukaan merupakan kombinasi warna hitam dan kuning atau warna hitam dan putih, dengan warna hitam di bagian paling atas.

Pasal 48

  1. Tiang utama dan tiang pengaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 47 dipasang lembaran retro reflektif dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. warna merah untuk Tiang yang berada disebelah kiri arah lalu lintas; dan

    2. warna putih untuk Tiang yang berada disebelah kanan arah lalu lintas.

  2. Lembaran retro reflektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang paling sedikit 150 (seratus lima puluh) milimeter dan lebar paling sedikit 80 (delapan puluh) milimeter serta dapat berfungsi secara optimal.

  3. Lembaran retro freflektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipasang dengan kriteria ukuran sebagai berikut:

    1. pada Tiang utama, yaitu memiliki ukuran ketinggian paling rendah 1.500 (seribu lima ratus) milimeter dan paling tinggi 1.750 (seribu tujuh ratus lima puluh) milimeter; atau

    2. pada tiang pengaman, yaitu disesuaikan dengan sudut pandang pengemudi pada ujung bagian atas tiang.

Pasal 49

Spesifikasi teknis tiang pengaman dan tiang utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b dan huruf c sesuai dengan standar yang tercantum dalam Lampiran II huruf c yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 50

  1. Lengan Luminer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf d merupakan bangunan konstruksi sebagai tempat untuk menambatkan Luminer.

  2. Lengan Luminer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

    1. konstruksi tanpa sambungan dengan lengan Luminer menjadi satu kesatuan fabrikasi dengan Tiang utama; dan

    2. konstruksi dengan sambungan atau knock-down terhadap Tiang utama.

  3. Lengan Luminer dengan sambungan atau knock-down sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dihubungkan ke Tiang utama dengan sambungan berupa:

    1. sambungan flens;

    2. sambungan slip fitter berpengunci atau latching; dan/atau

    3. sambungan klem atau clamp.

  4. Permukaan lengan Luminer dilapisi dengan bahan pelapis anti korosi berupa cat anti korosi atau pelapisan zinc melalui proses galvanisasi.

Pasal 51

Lengan Luminer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dipasang berdasarkan pada distribusi dan kuat pencahayaan, dengan mempertimbangkan:

  1. data fotometri hasil pengujian;

  2. panjang lengan;

  3. sudut kemiringan lengan terhadap bidang horizontal jalan;

  4. tinggi posisi pemasangan Luminer; dan

  5. lebar jalan.

Pasal 52

  1. Jari-jari pelindung anti panjat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf e memiliki spesifikasi teknis sebagai berikut:

    1. memiliki paling sedikit 2 (dua) segmen dan dipasang kuat pada Tiang utama dengan sambungan klem dan/atau baut tanam; dan

    2. memiliki ukuran diameter luar pemasangan paling kecil 750 (tujuh ratus lima puluh) milimeter dengan diameter batang paling kecil 10 (sepuluh) milimeter.

  2. Jari–jari pelindung anti panjat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipasang pada ketinggian paling rendah 5.000 (lima ribu) milimeter dari permukaan pondasi.

  3. Jari – jari anti panjat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipasang dengan jumlah dapat lebih dari 1 (satu) buah pada 1 (satu) tiang Alat Penerangan Jalan.

  4. Seluruh bagian permukaan konstruksi jari–jari pelindung antipanjat dilapisi dengan bahan pelapis anti korosi yang berupa cat anti korosi atau pelapisan zinc melalui proses galvanisasi.

Komponen catu daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b, terdiri atas:

  1. komponen utama catu daya mandiri, yaitu:

    1. panel surya

    2. baterai; dan

    3. perangkat untuk sumber energi lain.

  2. komponen umum catu daya, yaitu:

    1. kabel;

    2. konektor kabel;

    3. terminal; dan

    4. kontrol manajemen catu daya.

  3. catu daya listrik tersuplai atau konvensional berupa sumber saluran tegangan listrik.

Pasal 54

  1. Panel surya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf a angka 1 harus memiliki kemampuan untuk menyuplai arus listrik sesuai dengan kapasitas komponen penyimpan arus berupa baterai dengan waktu pengisian efektif paling sedikit 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari di daerah dengan iklim tropis.

  2. Panel surya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbuat dari bahan silikon atau bahan lain yang ramah terhadap lingkungan.

  3. Panel surya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi pemasangan bypass diode untuk menghindari mengalirnya arus ke arah bagian sel yang tidak dapat menangkap sinar matahari secara sempurna atau yang terkena efek shading.

  4. Panel surya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipasang dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. memperhatikan arah pergerakan dan sudut datang sinar matahari pada titik koordinat lokasi pemasangan Alat Penerangan Jalan;

    2. dipasang secara kokoh pada penumpu struktur (supporting structure) tiang Alat Penerangan Jalan dan diperhitungkan untuk mampu menahan beban angin sampai dengan kecepatan 180 (seratus delapan puluh) kilometer per jam;

    3. dipasang dengan sudut kemiringan tertentu sehingga posisinya secara alami dapat dengan mudah membuang kotoran atau material berupa cairan di bagian sisi permukaannya; dan

    4. dibuatkan rumah atau casing sebagai pengaman dengan tidak mengurangi efektifitas fungsinya;

Pasal 55

  1. Panel surya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 memiliki kapasitas yang ditentukan dengan mempertimbangkan kebutuhan energi listrik Alat Penerangan Jalan, yaitu:

    1. daya lampu;

    2. kapasitas baterai;

    3. efisiensi instalasi serta peralatan; dan

    4. intensitas sinar matahari di lokasi pemasangan.

  2. Panel surya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perlu mendapatkan pendinginan agar efisiensi, unjuk kerja, dan umur pakai terjaga yaitu dengan cara:

    1. memasang sirip-sirip atau fins sebagai media penyerap dan pembuang panas (heat sink); dan

    2. pendinginan dengan memanfaatkan sirkulasi udara yang mengalir secara alami pada permukaan sisi atas dan sisi bawah sel surya.

Pasal 56

Spesifikasi teknis panel surya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 sesuai dengan standar yang tercantum dalam Lampiran II huruf d yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 57

Perangkat untuk sumber energi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf a angka 3 harus memiliki kemampuan untuk menyuplai arus listrik sesuai dengan kapasitas komponen penyimpan arus berupa baterai.

Pasal 58

  1. Baterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf a angka 2 menggunakan jenis baterai bebas perawatan atau maintenance free.

  2. Baterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan Battery Management System (BMS) yang berfungsi sebagai regulator untuk mengatur dan memonitor kondisi baterai, yaitu:

    1. tegangan;

    2. kuat arus;

    3. suhu baterai;

    4. sel baterai;

    5. mengatur siklus charging dan discharging; dan

    6. mengatur balancing cell serta proteksi kelebihan daya.

  3. Baterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kapasitas berupa volt-ampere hour tersimpan yang paling sedikit mampu menyediakan cadangan energi listrik untuk menyalakan lampu selama 3 (tiga) malam berturut-turut atau 36 (tiga puluh enam) jam operasi tanpa adanya suplai pengisian arus listrik dengan depth of discharge (DoD) baterai maksimal 80 (delapan puluh) per seratus.

  4. Baterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipasang di lokasi yang aman dan dapat dibuatkan rumah tempat baterai atau dapat pula dipasang pada bagian dari Alat Penerangan Jalan untuk menghindari:

    1. panas sinar matahari;

    2. hujan;

    3. pencurian; dan

    4. kesulitan penggantian atau perawatan.

  5. Rumah tempat baterai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyediakan cukup ruang untuk memungkinkan sirkulasi aliran udara sebagai pendingin alami baterai.

Pasal 59

Pemasangan instalasi kabel ke terminal baterai menggunakan sambungan konektor dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. jenis joint sleeve yang terdiri dari konektor plug dan konektor socket;

  2. terbuat dari bahan tembaga atau aluminium; dan

  3. harus terpasang secara kokoh untuk menghindari arus hubung pendek.

Pasal 60

Spesifikasi teknis baterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sesuai dengan standar yang tercantum dalam Lampiran II huruf e yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 61

  1. Kabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf b angka 1 meliputi:

    1. kabel distribusi daya;

    2. kabel instalasi penghantar arus antar komponen;

    3. kabel instalasi sistem pembumian; dan

    4. kabel instalasi bawaan komponen.

  2. Kabel distribusi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:

    1. kabel distribusi daya lintas udara; dan

    2. kabel distribusi daya bawah tanah atau tanam.

  3. Kabel instalasi penghantar arus antar komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib menyesuaikan dengan kebutuhan:

    1. jumlah fase;

    2. luas penampang;

    3. jenis insulasi;

    4. suhu operasi; dan

    5. kondisi lingkungan.

  4. Kabel instalasi sistem pembumian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditentukan berdasarkan sifat kondisi tahanan tanah di lokasi pemasangan sampai diperoleh tahanan terkecil yang dapat dicapai, yaitu dengan memperhatikan:

    1. luas penampang;

    2. panjang batang; dan

    3. jumlah batang.

  5. Kabel instalasi sistem pembumian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memiliki tahanan sebesar 5 (lima) ohm.

  6. Kabel instalasi bawaan komponen sebagaimana dimaksud pada (1) huruf d merupakan kabel instalasi yang menjadi bawaan fabrikasi komponen kelistrikan.

Pasal 62

Pengadaan dan pemasangan Alat Penerangan Jalan wajib dilengkapi dengan diagram pemasangan kabel atau wiring diagram secara lengkap dan disertai dengan kode spesifikasi kabel yang digunakan.

Pasal 63

  1. Pemasangan baru kabel distribusi daya pada Alat Penerangan Jalan tidak diperbolehkan menggunakan sambungan dalam bentuk dan jenis apapun.

  2. Dalam hal pemeliharaan, kabel distribusi daya diperbolehkan disambung dengan memperhatikan faktor keselamatan.

  3. Penyambungan kabel distribusi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dipasang di bawah tanah hanya boleh disambung dengan sambungan jenis selongsong disekrup atau dipres dan diisolasi dengan material khusus resin epoksi, dengan nilai resistensi insulasi sistem 1 (satu) Mega ohm pada tegangan uji 500 (lima ratus) volt.

Pasal 64

Kabel instalasi penghantar arus antar komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dipasang dengan tidak menyisakan kelebihan panjang sehingga dapat menimbulkan medan magnet disekitar kabel.

Pasal 65

  1. Kabel instalasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d memiliki spesifikasi bahan sebagai berikut :

    1. konduktor;

    2. isolator; dan

    3. lapisan pelindung luar.

  2. Konduktor kabel instalasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan bahan penghantar arus listrik berupa kabel berinti tunggal atau berinti banyak (twisted pair) yang terbuat dari bahan tembaga atau aluminium.

  3. Isolator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan bahan dielektrik sebagai sekat pemisah kontak langsung antara penghantar dan lingkungan yang terbuat dari bahan thermoplastik atau polyvinyl chloride (PVC), polyethylene (XLPE) dan/atau ethylene propylene rubber (EPR) dengan suhu penghantar paling tinggi 70 (tujuh puluh) derajat celcius.

  4. lapisan pelindung luar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan lapisan yang memberikan perlindungan terhadap kerusakan mekanis, bahan kimia, api, dan pengaruh luar yang merugikan.

Pasal 66

  1. Kabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), dipakai dan dipilih dengan mempertimbangkan:

    1. Kemampuan Hantar Arus (KHA);

    2. Kondisi lingkungan pemakaian;

    3. nilai keekonomian; dan

    4. suhu operasi dan suhu lingkungan.

  2. Kabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan standar pewarnaan sesuai dengan Persyaratan Umum Instalasi Listrik (PUIL) yaitu:

    1. kabel tenaga dengan warna:

      1. coklat;

      2. hitam;

      3. kuning; dan

      4. merah;

    2. kabel penghantar netral berwarna biru; dan

    3. kabel pembumian atau earthing berwarna kuning bergaris hijau.

Pasal 67

  1. Kemampuan Hantar Arus (KHA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a ditentukan berdasarkan besar tegangan dan kuat arus yang mengalir dalam satuan luas penampang inti dan dinyatakan dalam milimeter persegi.

  2. Luas penampang inti penghantar arus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan mempertimbangkan:

    1. suhu maksimum yang diizinkan;

    2. susut tegangan yang diizinkan;

    3. stres elektromagnetis yang mungkin terjadi akibat hubung pendek atau short circuit;

    4. stres mekanis; dan

    5. impedans maksimum.

Pasal 68

Seluruh kabel yang digunakan untuk pemasangan Alat Penerangan Jalan wajib telah terdaftar dan memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) berikut dengan perubahannya.

Pasal 69

Spesifikasi teknis kabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 sesuai dengan yang tercantum dalam Lampiran II huruf f yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 70

  1. Konektor kabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf b angka 2, harus tersambung dengan kabel secara rigid sehingga arus listrik dapat terhantar dengan mudah dan lancar serta mengurangi terjadinya hubung pendek.

  2. Konektor kabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:

    1. sambungan baut;

    2. sambungan solder;

    3. sambungan clamp;

    4. sambungan tusuk kontak dan kotak kontak; dan

    5. sambungan puntir atau sambungan emergency, dengan ketentuan hanya untuk ukuran penghantar paling besar 2,5 (dua koma lima) milimeter persegi.

Pasal 71

Konektor kabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 terbuat dari bahan aluminium atau tembaga yang tahan terhadap lingkungan asam serta tahan terhadap suhu tinggi apabila terjadi hubung pendek.

Pasal 72

Dalam hal konektor kabel bersifat terbuka wajib diberi perlindungan sekaligus sebagai bahan isolator dengan ketentuan besarnya mampu memproteksi arus terhadap lingkungan sekitar untuk mencegah kebocoran arus.

Pasal 73

  1. Terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf b angka 3 berupa:

    1. terminal penghantar; dan

    2. terminal pembumian;

  2. Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditempatkan dan dipasang pada lokasi yang memudahkan untuk perawatan dan perbaikan.

  3. Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki dudukan yang terbuat dari bahan yang tidak mudah pecah atau rusak oleh gaya mekanis dan gaya termis, akibat dari penghantar yang disambung pada terminal.

Pasal 74

Kontrol manajemen catu daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf b angka 4 harus mampu untuk melakukan pencatatan, pengaturan, dan proteksi terhadap:

  1. Alat Penerangan Jalan catu daya mandiri, yaitu:

    1. kapasitas daya baterai;

    2. kondisi sel baterai;

    3. suhu baterai;

    4. kondisi sel panel surya;

    5. konsumsi pemakaian energi; dan

    6. peralatan proteksi.

  2. Alat Penerangan Jalan catu daya tersuplai atau konvensional, yaitu:

    1. konsumsi pemakaian energi;

    2. proteksi manusia dan/atau makhluk hidup terhadap sengat listrik;

    3. proteksi sistem;

    4. jadwal penyakelaran; dan

    5. cadangan catu daya bila arus listrik padam.

Pasal 75

  1. Catu daya listrik tersuplai atau konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf c memiliki kriteria dan sifat yang sesuai dengan catu daya listrik yang umum dipakai sebagai catu daya komponen alat kelistrikan standar yang berlaku di Indonesia.

  2. Spesifikasi teknis catu daya listrik tersuplai atau konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan standar yang tercantum dalam Lampiran II huruf g dan huruf h yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  1. Luminer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf c terdiri atas:

    1. lampu;

    2. komponen optik;

    3. rumah lampu atau lantern; dan

    4. komponen mekanik penambat Luminer.

  2. Luminer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki tingkat perlindungan atau Indeks Perlindungan (IP) terhadap:

    1. beban benda padat; dan

    2. perlindungan terhadap cairan.

  3. Tingkat perlindungan atau Indeks Perlindungan (IP) Luminer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit 65 (enam puluh lima).

  4. Luminer sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki kekedapan dengan memasang perepat atau gasket packing pada daerah alur buka tutup untuk memberi perlindungan terhadap:

    1. hujan;

    2. debu;

    3. uap air;

    4. serangga dan binatang kecil; dan

    5. kabut garam air laut (salt fog) pada Alat Penerangan Jalan yang dipasang di pinggir pantai atau laut.

  5. Luminer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bentuk dan konstruksi guna memudahkan proses pemeliharaan dan pergantian komponen sumber cahaya, lensa optik, driver, unit pengatur panas, dan perangkat lainnya tanpa harus menggunakan peralatan khusus atau special tools.

Luminer untuk Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 wajib disertai data hasil uji dari laboratorium uji independen dan terakreditasi.

Pasal 78

  1. Lampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a harus menghasilkan kualitas dan kuantitas pencahayaan sesuai dengan persyaratan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan ruang lalu lintas serta ruang pejalan kaki.

  2. Lampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki temperatur warna atau Correlated Colour Temperature (CCT) yang disesuaikan dengan ruang lalu lintas dan kawasan pemasangan.

  3. Dalam hal Lampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan pada daerah berkabut seperti di gunung maka dapat digunakan lampu dengan temperatur warna rendah atau penampakan panas.

Pasal 79

  1. Rasio daya lihat Luminansi scotopic terhadap photopic atau S/P ratio disesuaikan dengan temperatur warna serta jenis lampu yang dapat menghasilkan persyaratan S/P ratio.

  2. Rasio cahaya yang dihasilkan komponen sumber cahaya terhadap daya listrik yang dibutuhkan atau efikasi paling sedikit sebesar 100 (seratus) lumen/watt dengan toleransi 85% (delapan puluh lima) per seratus dari nilai efikasi minimum.

  3. Indeks rendering warna atau Color Rendering Index (CRI) cahaya yang dihasilkan oleh lampu atau sumber cahaya dari Luminer paling sedikit sebesar 70 (tujuh puluh).

Pasal 80

Komponen optik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b, harus memenuhi persyaratan:

  1. memantulkan, meneruskan, dan menyebarkan cahaya tanpa mengurangi kualitas dan kuantitas pencahayaan yang dihasilkan sumber cahaya;

  2. tahan terhadap beban benturan mekanis;

  3. tahan suhu tinggi; dan

  4. tidak mengalami perubahan sifat dan warna pada struktur.

Pasal 81

Rumah Lampu atau Lantern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf c terbuat dari bahan yang tahan terhadap pengaruh lingkungan meliputi:

  1. panas sinar matahari;

  2. korosi lingkungan akibat kualitas udara yang buruk;

  3. korosi air laut pada Alat Penerangan Jalan yang dipasang di pinggir pantai atau laut;

  4. tidak bersifat menyerap panas;

  5. mampu membuang panas; dan

  6. tahan terhadap beban mekanis dari luar.

Pasal 82

Komponen mekanik penambat Luminer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf d berupa sambungan kopling atau slip joint fitting yang disertai pengunci antara lengan Luminer dan rumah Luminer, dengan kriteria:

  1. kokoh pada posisinya saat terpasang;

  2. tahan terhadap beban statik berat Luminer;

  3. tahan terhadap beban angin;

  4. tahan korosi; dan

  5. tahan panas akibat radiasi sinar matahari.

Pasal 83

Spesifikasi teknis Luminer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 sesuai dengan standar tercantum dalam Lampiran II huruf i yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Paragraf 5 Peralatan Kontrol

Pasal 84

  1. Peralatan kontrol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf d merupakan peralatan elektronik yang berupa:

    1. komponen elektronik atau smart controller; dan

    2. driver atau control gear.

  2. Peralatan kontrol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk melakukan pengaturan terhadap unjuk kerja Alat Penerangan Jalan, meliputi:

    1. kuantitas pencahayaan;

    2. gawai penyakelaran;

    3. informasi status keadaan normal dan abnormal komponen; dan

    4. informasi cuaca.

  3. Spesifikasi teknis peralatan kontrol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan standar tercantum dalam Lampiran II huruf j yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Paragraf 6 Peralatan Proteksi

Pasal 85

  1. Peralatan proteksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf e berupa peralatan proteksi untuk memberikan perlindungan keselamatan terhadap manusia serta makhluk hidup lain, seperti hewan ternak atau binatang liar, termasuk terhadap peralatan itu sendiri.

  2. Peralatan proteksi untuk keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:

    1. proteksi elektronik; dan

    2. proteksi mekanis.

  3. Peralatan proteksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat memberikan pencegahan terhadap:

    1. efek thermal;

    2. efek sengat atau kejut listrik;

    3. efek arus lebih;

    4. efek arus sisa;

    5. efek tegangan lebih; dan

    6. efek hubung pendek.

Pasal 86

  1. Proteksi elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) huruf a berupa peralatan atau perangkat elektronik yang dapat bekerja secara otomatis saat terjadi kondisi berbahaya yang diakibatkan oleh gangguan tegangan dan arus listrik baik akibat dari luar dan dari dalam sistem Alat Penerangan Jalan.

  2. Proteksi mekanis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) huruf b berupa perlindungan komponen terhadap pengaruh langsung dari luar, baik berupa beban mekanis atau pengaruh perubahan kondisi lingkungan berupa temperatur dan/atau kekedapan terhadap air hujan.

  1. Penyelenggaraan Alat Penerangan Jalan meliputi kegiatan:

    1. perencanaan;

    2. penempatan dan pemasangan;

    3. pengoperasian;

    4. pemeliharaan;

    5. penggantian; dan

    6. penghapusan.

  2. Penyelenggaraan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:

    1. Menteri untuk jalan nasional;

    2. Gubernur untuk jalan provinsi;

    3. Bupati untuk jalan kabupaten dan jalan desa; dan

    4. Walikota untuk jalan kota.

  3. Dalam hal penyelenggaraan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh penyelenggara jalan tol harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.

Penyelenggaraan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. produksi dalam negeri sesuai dengan kemampuan industri nasional;

  2. menggunakan penyedia barang/jasa nasional;

  3. wajib mencantumkan persyaratan penggunaan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar lain yang berlaku dan/atau standar internasional yang setara dan ditetapkan oleh instansi terkait yang berwenang; dan

  4. besaran penggunaan komponen dalam negeri pada setiap barang/jasa yang ditunjukan dengan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang mengacu pada Daftar Inventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri yang diterbitkan oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang perindustrian.

Bagian Kedua Perencanaan

Pasal 89

  1. Perencanaan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan metodologi dan optimasisasi dengan memperhatikan:

    1. teknologi pencahayaan;

    2. sistem jaringan jalan;

    3. geometri jalan;

    4. fungsi jalan;

    5. jenis perkerasan jalan;

    6. kelengkapan bagian konstruksi jalan;

    7. situasi arus lalu lintas;

    8. keselamatan lalu lintas;

    9. tata guna lahan; dan

    10. struktur tanah.

  2. Metodologi dan optimasisasi perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipedomani dalam proses pengadaan dan pemasangan Alat Penerangan Jalan serta disusun dalam bentuk dokumen data dukung.

Pasal 90

Dokumen data dukung perencanaan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2), terdiri atas:

  1. spesifikasi teknis;

  2. daftar, merek, dan nomor seri komponen;

  3. detail gambar teknis lengkap;

  4. posisi koordinat global;

  5. pedoman desain pencahayaan atau lighting design;

  6. pedoman instalasi kelistrikan; dan

  7. pedoman pemeliharaan.

Pasal 91

Spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 huruf a memuat:

  1. spesifikasi teknis Luminer, wajib sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI);

  2. spesifikasi teknis peralatan utama;

  3. spesifikasi teknis bangunan konstruksi; dan

  4. spesifikasi teknis instalasi kelistrikan.

Pasal 92

Daftar, merek, dan nomor seri komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 huruf b, memuat:

  1. daftar nama komponen;

  2. merek komponen;

  3. nomor seri atau part number komponen;

  4. jumlah komponen; dan

  5. bahan atau spesifikasi komponen.

Pasal 93

Detail gambar teknis lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 huruf c berupa gambar komponen utama Alat Penerangan Jalan dan diagram pengkabelan.

Pasal 94

Posisi koordinat global sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 huruf d merupakan titik koordinat global pemasangan Alat Penerangan Jalan berdasarkan peta geospasial.

Pasal 95

  1. Pedoman desain pencahayaan atau lighting design sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 huruf e, berupa data-data perencanaan dan perhitungan pencahayaan Alat Penerangan Jalan berupa:

    1. kuat pencahayaan lampu atau Iluminansi;

    2. rasio kemerataan;

    3. tinggi pemasangan Luminer;

    4. jarak antar tiang utama; dan

    5. klasifikasi perkerasan jalan.

  2. Pedoman desain pencahayaan atau lighting design sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan panduan pemeliharaan sistem Alat Penerangan Jalan pada suatu ruas jalan atau pada lokasi pemasangan.

Pasal 96

Pedoman instalasi kelistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 huruf f, meliputi:

  1. gambar wiring diagram;

  2. ukuran dan kode kabel;

  3. besar voltase dan kuat arus;

  4. gambar alur suplai catu daya; dan

  5. terminal utama.

Pasal 97

Pedoman pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 huruf g berupa panduan dalam melakukan perbaikan dan penggantian komponen Alat Penerangan Jalan.

Pasal 98

  1. Perencanaan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a dapat dilakukan dengan simulasi menggunakan aplikasi perangkat lunak komputer atau software.

  2. Aplikasi perangkat lunak komputer atau software sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit harus mengolah data masukan dan keluaran simulasi, meliputi:

    1. kalkulasi kuat pencahayaan;

    2. kemerataan cahaya;

    3. jarak penempatan antar tiang;

    4. ketinggian Luminer;

    5. sudut lengan Luminer; dan

    6. panjang lengan Luminer.

  3. Kondisi batas atau boundary conditions yang digunakan dalam proses simulasi menggunakan aplikasi perangkat lunak komputer atau software harus sesuai dengan kondisi data riil desain rencana pemasangan.

Bagian Ketiga Penempatan dan Pemasangan

Pasal 99

  1. Penempatan dan pemasangan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf b, dilakukan pada:

    1. jaringan jalan, meliputi:

      1. jalan bebas hambatan;

      2. jalan arteri;

      3. jalan kolektor;

      4. jalan lokal; dan

      5. jalan lingkungan.

    2. pertemuan jalan, meliputi:

      1. persimpangan jalan dan/atau bundaran;

      2. perlintasan sebidang jalan dengan jalur kereta api.

    3. perlengkapan jalan, meliputi:

      1. pulau lalu lintas;

      2. jalur perhentian darurat;

      3. fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di luar badan jalan, meliputi:

        1. jalur khusus angkutan umum;

        2. jalur sepeda motor;

        3. jalur kendaraan tidak bermotor; dan

        4. tempat istirahat.

    4. fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan, meliputi:

      1. trotoar; dan

      2. lajur sepeda.

    5. bangunan pelengkap jalan yang berfungsi sebagai jalur lalu lintas, meliputi:

      1. jembatan;

      2. lintas atas;

      3. lintas bawah;

      4. jalan layang; dan

      5. terowongan.

  2. Penempatan dan pemasangan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan dengan memperhatikan:

    1. fungsi jaringan jalan;

    2. geometri jalan;

    3. situasi arus lalu lintas;

    4. keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan; dan

    5. perlengkapan jalan terpasang.

Pasal 100

  1. Penempatan dan pemasangan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dilakukan pada lokasi yang menjadi bagian dari ruang milik jalan.

  2. Penempatan dan pemasangan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh merintangi dan/atau mengurangi ruang lalu lintas kendaraan atau pejalan kaki.

Pasal 101

Penempatan dan pemasangan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 di sebelah kiri dan/atau kanan jalan menurut arah lalu lintas pada jarak paling sedikit 600 (enam ratus) milimeter diukur dari bagian terluar bangunan konstruksi Alat Penerangan Jalan ke tepi paling kiri dan/atau kanan jalur ruang lalu lintas atau kerb.

Pasal 102

Penempatan dan pemasangan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 pada pemisah jalur dan/atau lajur ruang lalu lintas jalan paling sedikit berjarak 300 (tiga ratus) millimeter diukur dari bagian terluar bangunan konstruksi Alat Penerangan Jalan ke tepi paling luar jalur dan/atau lajur ruang lalu lintas atau kerb.

Pasal 103

Pendirian dan/atau pemasangan bangunan, utilitas, media informasi, iklan, atau bangunan konstruksi lain tidak boleh menghalangi bangunan konstruksi serta jatuhnya cahaya Alat Penerangan Jalan yang mengakibatkan berkurangnya fungsi Alat Penerangan Jalan.

Pasal 104

Dalam hal tidak tersedianya ruang untuk penempatan dan pemasangan tiang dan/atau bangunan pondasi, Alat Penerangan Jalan dapat dipasang pada:

  1. dinding tembok;

  2. kaki jembatan;

  3. bagian jembatan layang; dan

  4. tiang bangunan utilitas.

Pasal 105

Penempatan dan pemasangan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 menggunakan sistem:

  1. parsial;

  2. menerus; dan

  3. kombinasi parsial dan menerus.

Pasal 106

  1. Sistem penempatan dan pemasangan Alat Penerangan Jalan parsial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 huruf a dilakukan pada satu titik lokasi tertentu atau pada suatu panjang jarak tertentu sesuai dengan keperluannya.

  2. Sistem penempatan dan pemasangan Alat Penerangan Jalan menerus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 huruf b dilakukan pada banyak atau beberapa titik pada satu ruas dan/atau segmen jalan tertentu yang dibedakan:

    1. jarak antar Alat Penerangan Jalan yang tetap; dan

    2. jarak antar Alat Penerangan Jalan yang bergradasi sesuai kebutuhan kuantitas pencahayaan.

  3. Sistem penempatan dan pemasangan Alat Penerangan Jalan kombinasi parsial dan menerus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 huruf c, dipasang pada daerah yang memiliki median jalan sangat lebar dengan ukuran lebih dari 10 (sepuluh) meter dan jalan yang memiliki banyak lajur dengan ukuran lebih dari 4 (empat) lajur setiap arah.

Pasal 107

  1. Sistem penempatan dan pemasangan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dengan memperhatikan:

    1. kemudahan akses untuk perawatan Luminer;

    2. keamanan dan keselamatan lalu lintas;

    3. efek silau atau glare;

    4. visibilitas siang dan malam hari terhadap rambu dan sinyal lalu lintas;

    5. estetika;

    6. lokasi pepohonan eksisting; dan

    7. lokasi persimpangan yang memiliki Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL).

  2. Sistem pemasangan instalasi listrik pada Alat Penerangan Jalan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.

Pasal 108

Jarak penempatan dan pemasangan Luminer Alat Penerangan Jalan ditentukan dengan memperhatikan:

  1. acuan standar kualitas pencahayaan;

  2. panjang jalan;

  3. geometri jalan;

  4. fungsi jalan; dan

  5. utilitas fungsi tiang.

Pasal 109

Tata cara penempatan dan pemasangan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 sesuai dengan standar tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Bagian Keempat Pengoperasian

Pasal 110

  1. Alat Penerangan Jalan yang sudah terpasang secara lengkap harus dapat beroperasi secara mandiri maupun terkontrol sesuai dengan desain perencanaan.

  2. Setiap instalasi Alat Penerangan Jalan sebelum dipasang dan dioperasikan wajib memiliki Sertifikat Laik Operasi (SLO).

  3. Sertifikat Laik Operasi (SLO) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diterbitkan oleh Lembaga Inspeksi Teknik, sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang ketenagalistrikan.

Bagian Kelima Pemeliharaan

Pasal 111

Pemeliharaan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf d, dilakukan secara:

Pasal 112

  1. Pemeliharaan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf a meliputi:

    1. pemeliharaan bangunan konstruksi;

    2. pemeliharaan instalasi kelistrikan;

    3. pembersihan komponen optik dari debu dan/atau kotoran;

    4. pengecekan dan perbaikan kerusakan;

    5. pengecekan komponen catu daya;

    6. menghilangkan benda di sekitar armatur yang dapat menghalangi dan/atau mengurangi intensitas pencahayaan; dan

    7. pengecekan kebocoran isolasi arus listrik atau meger test..

  2. Pemeliharaan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit setiap 6 (enam) bulan sekali.

  3. Pemeliharaan instalasi kelistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.

Pasal 113

  1. Pemeliharaan secara insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf b dilakukan apabila ditemukan adanya kerusakan pada Alat Penerangan Jalan.

  2. Pemeliharaan secara insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

    1. mengganti komponen Alat Penerangan Jalan yang mengalami kerusakan; dan

    2. mengganti Alat Penerangan Jalan secara keseluruhan atau utuh apabila mengalami kerusakan berat.

Bagian Keenam Penggantian dan Penghapusan

Pasal 114

  1. Penggantian dan penghapusan Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf e dan f ditentukan berdasarkan:

    1. umur teknis;

    2. kondisi fisik;

    3. adanya pengembangan atau perubahan geometri jaringan jalan;

    4. kebijakan pengaturan lalu lintas; atau

    5. unjuk kerja atau efisiensi; dan

  2. Penggantian Alat Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan apabila terdapat teknologi baru yang lebih unggul.

Pasal 115

  1. Umur teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf a dibedakan berdasarkan kemampuan daya tahan masing – masing komponen paling singkat yaitu:

    1. tiang lampu 20 (dua puluh) tahun;

    2. panel surya 15 (lima belas) tahun;

    3. baterai 3 (tiga) tahun;

    4. lampu LED 36.000 (tiga puluh enam ribu) jam operasi;

    5. lampu gas tekanan tinggi 25.000 (dua puluh lima ribu) jam operasi;

    6. lampu gas tekanan rendah 20.000 (dua puluh ribu) jam operasi;

    7. rumah lampu 5 (lima) tahun.

  2. Kondisi fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf b meliputi:

    1. kerusakan; dan

    2. kehilangan.

  3. Pengembangan atau perubahan geometri jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf c meliputi:

    1. perubahan geometri lebar jalan;

    2. adanya pembangunan jaringan jalan baru dan memotong jaringan jalan lama; dan

    3. penghapusan jaringan jalan.

  4. Kebijakan pengaturan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf d dilakukan apabila terjadi perubahan pengaturan lalu lintas oleh pejabat yang berwenang.

  5. Unjuk kerja atau efisiensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf e berupa tingginya konsumsi daya listrik.

  6. Teknologi baru yang lebih unggul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) berupa teknologi yang memiliki kelebihan dari segi efisiensi, umur pakai, kekuatan, dan/atau komponen biaya.

BAB V PEMBUATAN ALAT PENERANGAN JALAN

Pasal 116

  1. Pembuatan Alat Penerangan Jalan dilakukan oleh badan usaha yang telah memenuhi persyaratan:

    1. administrasi sebagai badan usaha;

    2. bahan, perlengkapan, dan peralatan produksi; dan

    3. sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang Alat Penerangan Jalan.

  2. Untuk memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan penilaian oleh Direktur Jenderal.

  3. Badan usaha yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdaftar di Direktorat Jenderal Perhubungan Darat sebagai badan usaha pembuat perlengkapan jalan bidang Alat Penerangan Jalan.

  4. Tata cara penilaian dan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

BAB VI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 117

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Alat Penerangan Jalan yang telah dipasang sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini dinyatakan tetap berlaku.

BAB VII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 118

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Demikianlah bunyi Peraturan Menteri Perhubungan PM 27 tahun 2018 tentang Alat Penerangan Jalan.