Berikut ini merupakan contoh jalur PEMIKIRAN Pancasila ditinjau secara akademis

jelaskan sejarah lahirnya pancasila di masa penjajahan​

8. Perhatikan gambar berikut! Tumbuhan tersebut dikembangbiakkan dengan cara ....​

waktu persidangan BPUPKI dan PPKI​

berikut yang bukan makna pancasila sebagai ideologi terbuka adalah A. Dasar pembentukan Pancasila adalah sekelompok orang B. Dalam pelaksanaannya dise … suaikan dengan kebutuhan dan tantangan C. Mengembangkan secara kreatif dan dinamis untuk menjawab kebutuhan zaman tanpa mengubah nilai dasar D. Senantiasa berinteraksi secara dinamis dengan nilai-nilai dasar yang tetapTolong dijawab sekarang mau dikumpulin hari ini juga​

Jelaskan kelahiran pancasila di zaman1.Kelahiran awal2.Kerajaan nusantara3.Masa penjajahan4.Kebangkitan nasional​

Bikin 5 soal tentang pancasila.harus ada kata jelaskan,mengapa.dan harus ada jawabannya​

1. Widi mengamalkan sila keempat Pancasila di sekolah. Apa saja perbuatan yan dilakukan oleh Widi? (HOTS)​

berikut yang merupakan contoh penerapan sila keempat pancasila adalah..A.mengumpulkan sumbangan untuk korban banjirB:tidak memaksakan pendapat ketika … berdiskusi C.menghormati agama dan kepercayaan temanD.membagi tugas kelompok dengan adil.​

Bagaimana Perbedaan sila Pertama Pancasila yang terdapat diagam Jakarta dengan Pancasila Terutama dalam Pembukaan undang- undang 1945​

II. Isilah titik-titik di bawah ini dengan singkat dan tepat! 1. Ideologi Pancasila bersumber dari nilai-nilai ... bangsa Indonesia. 2. Menerima hasil … keputusan rapat dengan lapang dada adalah cerminan sila..3. Dasar negara merupakan landasan dalam melaksanakan kehidupan bernegara untuk mengatur penyelenggaraan 4. Sila pertama Pancasila dipergunakan sebagai dasar pengatur dalam penyelenggaraan pemerintah, merupakan kedudukan Pancasila sebagai .... 5. Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk atau pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang meliputi berbagai bidang kehidupan, merupakan kedudukan Pancasila sebagai .... 6. Rumusan Pancasila yang sah dan resmi tercantum dalam .... 7. Prof. Dr. Drs. Notonagoro, S.H. membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu ..., 8. Nilai yang bersumber pada unsur akal manusia disebut nilai .... 9. Bagi bangsa Indonesia, lima sila dalam Pancasila merupakan 10. Ideologi negara menjadi pedoman dalam menjalankan pemerintahan demi mewujudkan ....​

odul Pelaksanaan Pancasila dalam Kehidupan Bernegara ini ditujukan untuk melatih Anda berpikir kritis, sehingga Anda mampu memahami Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara yang dinamis dan terbuka untuk dikritik dan dikembangkan dalam rangka menjawab permasalahan kehidupan bernegara. Anda juga diharapkan dapat berpikir secara kritis sehingga mampu melihat berbagai bentuk penyimpangan pelaksanaan Pancasila dan mencoba memberikan alternatif pemecahan secara konseptual.

Materi modul 7 ini terbagi dalam dua bagian yaitu bagian pertama berisi pemikiran dan pelaksanaan Pancasila yang mencoba menjelaskan tentang pengertian, prinsip-prinsip dan jalur-jalur pemikiran dan pelaksanaan Pancasila. Bagian kedua, berisi materi tentang reformasi sebagai kritik tentang pemikiran dan pelaksanaan Pancasila yang diupayakan untuk menjelaskan tentang pengertian, faktor-faktor yang menyebabkan munculnya reformasi, serta perlunya reformasi pemikiran dan pelaksanaan Pancasila.

Anda setelah menyelesaikan modul ini diharapkan dapat memahami dan menjelaskan pemikiran dan pelaksanaan Pancasila serta Reformasi pemikiran dan Pelaksanaan Pancasila.

Anda setelah menyelesaikan modul ini diharapkan dapat:

  1. menjelaskan pengertian pemikiran dan pelaksanaan Pancasila.
  2. menjelaskan prinsip-prinsip dalam pemikiran dan pelaksanaan Pancasila, baik ditinjau dari segi intrinsik (segi ke dalam), maupun segi ekstrinsik (segi ke luar).
  3. menjelaskan jalur-jalur pemikiran dan pelaksanaan Pancasila, baik jalur pemikiran dalam politik kenegaraan dan jalur akademis maupun jalur pelaksanaan yang bersifat objektif maupun subjektif.
  4. menjelaskan pengertian reformasi.
  5. menjelaskan faktor-faktor penyebab munculnya reformasi.
  6. menjelaskan arti pentingnya reformasi pemikiran dan pelaksanaan Pancasila.


Berikut ini merupakan contoh jalur PEMIKIRAN Pancasila ditinjau secara akademis

Materi ini diperkaya dengan pengayaan video yang bisa anda di akses pada link berikut.

V 7.1 Pelaksanaan Pancasila dalam Kehidupan Bernegara: Pemilu dengan Demokrasi

Source: https://www.youtube.com/watch?v=ItFQb9VXLM0

Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 1994 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No.15 Tahun 1975 (terakhir diubah dengan Kepres No. 55 Tahun 1993) dapat disebut sebagai contoh tentang ini. PP No. 20 tahun 1994 membolehkan modal asing masuk ke industri pers nasional sampai lebih dari 90% padahal UU Pokok Pers melarang masuknya modal asing ke dalam pers nasional. PMDN No. 15 Tahun 1975 dan Kepres No. 55 Tahun 1993 mengatur tentang pembebasan dan pengadaan tanah untuk keperluan pembangunan padahal sejak tahun 1961 telah ada UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah (Onteigening) yang mengatur cara-cara pengambilalihan tanah warga negara untuk kepentingan masyarakat dan negara.

Fenomena ini memperkuat kesan sering terjadinya “inkonsistensi” suatu peraturan dengan perauran yang lebih tinggi (vertikal) di samping (yang sering juga terlihat) tumpang tindih antara peraturan yang secara hierarkhis sederajat (horizontal).

Pemikiran akademis dengan demikian berfungsi sebagai sumber bahan dan kritik bagi pemikiran politik kenegaraan. Sebaliknya kasus-kasus yang tidak dapat dipecahkan oleh para pengambil kebijakan merupakan masukan yang berharga bagi pengembangan pemikiran akademis. Setiap pemikiran akademis belum tentu dapat diterapkan dalam kebijakan politik kenegaraan, sebaliknya setiap kebijakan politik kenegaraan belum tentu memiliki validitas atau tingkat kesahihan yang tinggi jika diuji secara akademis.


Berikut ini merupakan contoh jalur PEMIKIRAN Pancasila ditinjau secara akademis

Materi ini diperkaya dengan pengayaan video yang bisa anda di akses pada link berikut.

V 7.2 Pelaksanaan Pancasila dalam Pemilu

Source: https://www.ut.ac.id/

  1. JALUR-JALUR PELAKSANAAN PANCASILA

Notonagoro (1974) menunjukkan ada dua jenis pelaksanaan Pancasila, yaitu pelaksanaan objektif dan subjektif, yang keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Pelaksanaan objektif adalah pelaksanaan dalam bentuk realisasi nilai-nilai Pancasila dalam aturan hukum perundang-undangan pada setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, dan semua bidang kenegaraan dan terutama realisasinya dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia.

Penyelesaian permasalahan tentang negara dan hukum di bidang Filsafat Hukum telah memunculkan beberapa macam pendirian. Penyelesaian permasalahan khusus dalam bidang negara memunculkan tiga pendirian. Pertama, pandangan yang berpendirian, bahwa manusia dalam bernegara sepenuhnya terlepas dalam hubungan dengan asal mulanya (Tuhan) dan sebagai bagian universum artinya sifat manusia dalam bernegara hanya sebagai diri pribadi berdasar atas kekuasaan dirinya sendiri. Manusia dalam sifat diri pribadinya hanya sebagai makhluk individu. Kedua, pandangan yang berpendirian bahwa sifat diri pribadi manusia dalam bernegara hanya sebagai makhluk sosial. Ketiga, pandangan yang berpendirian bahwa manusia dalam sifat diri pribadinya mempunyai sifat kedua-duanya dalam kesatuan dwitunggal.

Penyelesaian permasalahan khusus dalam bidang hukum telah memunculkan dua pendapat. Pertama, pandangan yang berpendirian bahwa di dalam negara hanya ada satu hukum yang mengikat ialah hukum positif yang diadakan oleh negara dan yang berlaku atas kuasa negara. Kedua, pandangan yang berpendirian bahwa ada hukum lain di samping atau di atas hukum positif, yaitu hukum etis (hukum susila), hukum filosofis yang sifatnya abstrak, hukum kodrat yang tertanam pada diri manusia, dan hukum yang diberikan oleh Tuhan (Notonagoro, 1955: 10).

Soal-soal pokok Filsafat Hukum pernah dikesampingkan pada abad XIX. Ilmu hukum dipandang mampu menyelesaikan soal kenegaraan dan hukum dengan mendasarkan diri atas hukum positif saja. Sikap ilmu hukum ini akhirnya tidak dapat dilanjutkan, karena dalam semua lapangan hidup timbul soal-soal yang pemecahannya di luar batas kemampuan hukum positif dan ilmu hukum, serta hanya mungkin diselesaikan atas dasar ideal, spekulatif, dan teoritis, yaitu dengan menggunakan hasil-hasil Filsafat Hukum. Ajaran-ajaran di bidang Filsafat Hukum telah menjadi pedoman dan pegangan yang fundamental bagi hidup kenegaraan dan hukum positif pada jaman perubahan-perubahan besar, antara lain ketika di dunia Barat terjadi pembentukan negara-negara atas dasar agama, pada jaman pemisahan negara dari agama, dan pada jaman keunggulan demokrasi di Inggris, Perancis, Amerika Serikat, ketika revolusi di Rusia, jaman nasional sosialis di Jerman, dan jaman Fasis di Italia (Notonagoro, 1955: 11).

Negara dan tertib hukum di Indonesia perlu menyusun pertanggungjawaban dan mengusahakan memecahkan soal-soal pokok kenegaraan dan tertib hukum berdasarkan pengalaman negara-negara lain. Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum di Indonesia perlu menemukan pedoman dan pegangan yang fundamental bagi hidup kenegaraan dan tertib hukum Indonesia. Pedoman dan pegangan yang fundamental yang perlu mendapat perhatian adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, karena Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 merupakan penjelmaan Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia. Persoalan utama Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang perlu diperhatikan adalah tentang isi, tujuan, asal, hakikat, dan kedudukan, serta tentang kemungkinannya dipergunakan sebagai dasar penyelesaian soal-soal pokok kenegaraan dan tertib hukum Indonesia ditinjau dari sudut pandang Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum (Notonagoro, 1955: 12).

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 terdiri atas empat bagian. Bagian pertama merupakan pernyataan hak segala bangsa atas kemerdekaan, bagian kedua merupakan pernyataan tentang berhasilnya perjuangan kemerdekaan Indonesia, bagian ketiga merupakan pernyataan kemerdekaan rakyat Indonesia, dan bagian keempat mengikrarkan pernyataan pembentukan pemerintahan negara dengan dasar kerohanian lima sila yang disebut Pancasila.

Bagian-bagian pertama, kedua, dan ketiga Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 merupakan pernyataan yang tidak ada hubungan organis dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Bagian-bagian tersebut menguraikan keadaan dan peristiwa yang mendahului terbentuknya negara Indonesia, sedangkan bagian keempat merupakan pernyataan tentang keadaan setelah negara Indonesia ada, serta mempunyai hubungan kausal dan organis dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hubungan kausal dan organis tersebut meliputi beberapa sudut. Pertama, Undang-Undang Dasar ditentukan akan ada. Kedua, yang akan diatur di dalam Undang-Undang Dasar adalah tentang pembentukan pemerintah negara, yang memenuhi berbagai syarat. Ketiga, negara Indonesia berbentuk Republik yang berkedaulatan rakyat. Keempat, ditetapkannya dasar negara Pancasila. Susunan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tersebut akan menjadi unsur penting bagi penentuan hakikat dan kedudukannya (Notonagoro, 1955: 13 ).

Bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang keempat sebenarnya menjadi Pembukaan dalam arti yang murni bagi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Isi bagian keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dapat digolongkan menjadi empat macam. Pertama, tentang tujuan negara, tercantum dalam kalimat: untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kedua, tentang ketentuan diadakannya Undang-Undang Dasar tercantum dalam kalimat: maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Ketiga, tentang bentuk negara tercantum dalam kalimat: yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Keempat, tentang dasar kerohanian (filsafat negara) tercantum dalam kalimat: dengan berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penjelasan resmi tentang isi Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 termuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II nomor 7, seluruhnya mengenai bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang keempat tersebut. Penjelasan yang resmi itu menyebutkan, bahwa Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di samping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.

Penjelasan resmi juga menyebutkan, bahwa pokok-pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 ada empat macam. Pertama, negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menerima aliran pengertian negara persatuan yang uraiannya tercantum dalam bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang kedua. Kedua, negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ketiga, negara berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan / perwakilan. Keempat, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Undang-Undang Dasar Negara harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggaraan negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar Negara) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar Negara menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya (Notonagoro, 1955: 24 – 25).

Hakikat dan kedudukan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah : Pertama, Pembukaan memuat dasar-dasar pokok kerohanian negara (dalam bagian-bagian pertama, kedua, dan ketiga). Kedua, daerah negara. Ketiga, asas kerohanian Pancasila. Keempat, ketentuan tentang asas politik berupa bentuk negara (bagian keempat). Kelima, saat mulai berlakunya adalah pada waktu Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Lima faktor tersebut memungkinkan ketentuan tentang hakikat dan kedudukan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menurut syarat-syarat ukuran yang diketemukan dalam Ilmu Hukum. Pada saat mulai berlakunya Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tanggal 18 Agustus 1945 berhentilah berlakunya tertib hukum yang lama dan timbullah tertib hukum Indonesia.

Tertib hukum ialah keseluruhan peraturan-peraturan hukum dalam susunan yang hirarkhis dan harus memenuhi empat syarat. Pertama, ada kesatuan subjek yang mengadakan peraturan-peraturan hukum. Kedua, ada kesatuan asas kerohanian yang meliputi keseluruhan peraturan-peraturan hidup. Ketiga, ada kesatuan waktu dalam mana peraturan-peraturan hukum tersebut berlaku. Keempat, ada kesatuan daerah di mana peraturan-perturan hukum tersebut berlaku.

Pembagian susunan yang hirarkhis seluruh peraturan-peraturan hukum dapat diadakan di dalam tertib hukum. Undang-Undang Dasar yang merupakan hukum dasar negara yang tertulis tidak merupakan peraturan hukum yang tertinggi, seperti juga dinyatakan dalam penjelasan resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, karena diterangkan bahwa Undang-Undang Dasar Negara masih mempunyai dasar-dasar pokok. Dasar-dasar pokok Undang-Undang Dasar Negara dalam hakikatnya terpisah dari Undang-Undang Dasar Negara, dinamakan Pokok Kaidah Negara yang Fundamental (Staatsfundamentalnorm). Pokok kaidah fundamental negara mengandung tiga syarat mutlak. Pertama, ditentukan oleh pembentuk negara. Kedua, memuat ketentuan-ketentuan tentang dasar negara. Ketiga, memuat bukan hanya mengenai soal organisasi negara. Karena Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 memenuhi persyaratan tersebut, maka merupakan hakikat Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mempunyai kedudukan dua macam terhadap tertib hukum Indonesia. Pertama, menjadi dasarnya, karena Pembukaan yang memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia. Kedua, memasukkan diri di dalamnya sebagai ketentuan hukum yang tertinggi sesuai dengan kedudukannya asli sebagai asas bagi hukum dasar lainnya, baik yang tertulis (Undang-Undang Dasar Negara) maupun yang convention, dan peraturan-peraturan hukum lainnya yang lebih rendah (Notonagoro, 1955: 44 – 45).

Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 memuat empat hal yang menjadi syarat bagi adanya suatu tertib hukum. Pertama, adanya suatu pemerintah Republik Indonesia, maka ada kesatuan subjek atau penguasa. Kedua, adanya Pancasila, maka ada kesatuan asas kerohanian. Ketiga, dengan disebutkannya seluruh tumpah darah Indonesia, maka ada kesatuan daerah. Keempat, dengan disebutkannya, disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam bentuk negara, maka timbul suatu masa baru yang terpisah dari waktu yang lampau dan merupakan jangka waktu yang berlangsung terus. Jadi, peraturan-peraturan hukum yang ada di negara Indonesia mulai saat berdirinya negara Indonesia merupakan suatu tertib hukum ialah tertib hukum Indonesia (Notonagoro, 1959: 15).

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menurut sejarah terjadinya ditentukan oleh pembentuk negara sebagai penjelmaan kehendaknya yang dalam hakikatnya terpisah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menurut isinya memuat asas kerohanian negara (Pancasila), asas politik negara (Republik yang berkedaulatan rakyat), tujuan negara (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial), serta menetapkan adanya suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Jadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam segala sesuatunya memenuhi syarat-syarat mutlak bagi Pokok Kaidah Negara yang Fundamental. Pokok Kaidah Fundamental Negara dalam hukum mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap, kuat, dan tak berubah bagi negara yang dibentuk, sehingga dengan jalan hukum tidak dapat diubah (Notonagoro, 1959: 17).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mempunyai hubungan hirarkhis dan organis dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mempunyai kedudukan di bawah dan di dalam lingkungan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 merupakan isi penjelmaan asas kerohanian negara, asas politik negara, dan tujuan negara. Pancasila telah mempunyai bentuk dan isi formal maupun material untuk menjadi pedoman hidup kenegaraan dan hukum Indonesia. Seluruh hidup kenegaraan dan tertib hukum Indonesia didasarkan atas, ditujukan kepada, dan diliputi oleh Pancasila, asas politik, dan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (Notonagoro, 1971: 171-175).

Pelaksanaan Pancasila secara objektif ini menurut Notonagoro meliputi:

  1. Tafsir Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, harus dilihat dari sudut Pancasila.
  2. Pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam undang-undang harus mengingat dasar-dasar pokok pikiran yang tercantum dalam Pancasila.
  3. Interpretasi dan pelaksanaan undang-undang harus mengingat unsur-unsur yang tercantum dalam Pancasila.
  4. Interpretasi dan pelaksanaan undang-undang harus lengkap dan menyeluruh meliputi semua bidang dan tingkat penguasa, dari pusat sampai daerah.
  5. Seluruh hidup kenegaraan dan tertib hukum Indonesia didasarkan atas dan ditujukan kepada, serta diliputi oleh asas filsafat dan asas politik serta tujuan negara yang terkandung dalam pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD NRI 1945.

Realisasi pelaksanaan Pancasila secara konkret harus tercermin dalam setiap penentuan kebijaksanaan di bidang kenegaraan, antara lain:

  1. Hukum dan perundang-undangan dan peradilan
  2. Pemerintahan
  3. Politik dalam dan luar negeri
  4. Keselamatan, keamanan dan pertahanan
  5. Kesejahteraan
  6. Kebudayaan
  7. Pendidikan, dan lain-lain (Notonagoro, 1971).


Berikut ini merupakan contoh jalur PEMIKIRAN Pancasila ditinjau secara akademis

Materi ini diperkaya dengan pengayaan video yang bisa anda di akses pada link berikut.

V 7.3 Pelaksanaan Pancasila dalam Peraturan Perundang-Undangan

Source: https://www.youtube.com/watch?v=Y52mMkHYt1w

Pelaksanaan Pancasila jenis kedua adalah pelaksanaan subjektif, artinya pelaksanaan dalam pribadi setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Notonagoro menjelaskan, bahwa pelaksanaan Pancasila secara subjektif ini memegang peranan sangat penting, karena sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan Pancasila.

Pandangan ini mengacu pada Penjelasan UUD NRI 1945 dinyatakan “...Yang penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin Undang-Undang Dasar yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, tetapi pelaksana atau penguasanya bersifat perseorangan, maka Undang-Undang Dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik. Sebaliknya, meskipun Undang-Undang Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik, karena bersifat kekeluargaan, maka Undang-Undang Dasar itu tentu tidak akan merintangi jalannya negara. Jadi yang paling penting ialah semangat...”.

Pelaksanaan subjektif ini menurut Notonagoro dibentuk secara berangsur-angsur secara berjenjang melalui proses pendidikan, baik pendidikan formal, non formal, maupun informal di lingkungan keluarga dan masyarakat. Hasil yang akan diperoleh berupa jenjang pengetahuan, kesadaran, ketaatan, kemampuan dan kebiasaan, mentalitas, watak dan hati nurani yang dijiwai oleh Pancasila.

Pengetahuan yang didapat berupa pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafati, kiranya perlu ditambah lagi yaitu pengetahuan ideologis. Pengetahuan yang memadai diharapkan akan menumbuhkan kesadaran untuk melaksanakan Pancasila. Jenjang kesadaran akan mengantarkan manusia pada ketaatan, taat di sini berarti taat hukum, taat moral dan taat religius. Jika ketaatan sudah diresapi manusia, maka diharapkan akan muncul kebiasaan, dan kebiasaan yang baik akan menjadikannya sebagai mental, watak, dan merasuk ke hati nurani.

  1. Hubungan Pelaksanaan Pancasila secara Objektif dan Subjektif

Produk perundang-undangan sebaik apa pun, jika tidak dilaksanakan oleh para penyelenggara negara yang baik mentalnya, maka tidak akan ada artinya, sebaliknya sebaik apa pun sikap mental penyelenggara negara namun tidak didukung oleh sistem dan struktur yang kondusif, maka tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal.

Pelaksanaan Pancasila secara objektif sebagai Dasar Negara membawa implikasi wajib hukum, artinya ketidaktaatan pada Pancasila dalam artian ini dapat dikenai sanksi yang tegas secara hukum. Demikian pula pelaksanaan Pancasila secara subjektif yaitu sebagai Pandangan Hidup bangsa membawa implikasi wajib moral. Artinya sanksi yang muncul lebih sebagai sanksi dari hati nurani atau masyarakat.