Berikut ini adalah salah satu upaya Suku Bajo dalam melestarikan populasi ikan di laut yaitu

Oleh : Steven Sumolang

Berikut ini adalah salah satu upaya Suku Bajo dalam melestarikan populasi ikan di laut yaitu
Pemukiman Bajo di Pulau Salaka Kepulauan Togean Sulawesi Tengah (Foto : Steven)

Togean, Sulteng (5/2015). Bajo adalah sebuah etnik yang tidak terpisahkan dengan laut, pola pemukiman masyarakat Bajo saja, sangat unik, rumahnya kebanyakan berada di atas air, kalau dahulu justru bertempat tinggal di perahu-perahu atau Lepa. Kini orang Bajo telah menyebar di seluruh penjuru nusantara, yang terbanyak di wilayah Sulawesi. Ada satu tradisi penangkapan ikan yang biasa mereka lakukan, yang menyebabkan mereka melakukan perjalanan sampai jauh, tradisi tersebut adalah Bapongka.

Menurut Muhajir (43 th), warga Kepulauan Togean sebuah Taman Nasional Laut di Sulawesi Tengah, Bapongka adalah tradisi masyarakat Bajo yang menggunakan peralatan tradisional dan tetap memelihara lingkungan laut dari kerusakan.

Bapongka atau disebut juga Babangi adalah bermalam di laut selama 3 hari sampai sebulan. Pongka adalah berlayar mencari nafkah atau atau hasil-hasil laut ke daerah atau provinsi lain, selama beberapa minggu/bulan. Menangkap Hasil Laut bapongka adalah suatu kegiatan melaut khas masyarakat  Bajo atau Bajau di Kepulauan Togean yang telah dilakukan sejak lama. Mereka pergi ke satu tempat di luar kampungnya untuk mencari  hasil laut selang berhari-hari hingga berminggu-minggu secara berkelompok. Setiap kelompok terdiri  dari tiga sampai lima perahu, masing-masing perahu  terdapat satu orang. Pembentukan kelompok kecil bapongka lebih sering dilakukan berdasarkan kedekatan hubungan. Biasanya kelompok kecil tersebut akan bertemu dengan kelompok kecil yang lain di suatu lokasi penangkapan dan akhirnya  membentuk  kelompok besar yang jumlahnya bisa mencapai 15 bahkan  20 perahu.   Kelompok Bapongka berupaya menangkap ikan, udang, lola, atau kepiting, teripang.

Perahu tradisional yang mereka gunakan disebut lepa, yang dilengkapi cadik dan atap yang  terbuat dari daun  sagu. Umumnya  perahu dijalankan  dengan dayung, meskipun saat ini ada beberapa perahu dilengkapi mesin katinting. Pada saat bapongka mereka membawa cukup banyak perlengkapan, seperti: bahan makanan seperti sagu, lampu petromaks, tempat air, perlengkapan memasak  dan makan, perlengkapan tidur, perlengkapan memasak teripang, serta peralatan lainnya termasuk peralatan menangkap teripang dan hasil laut lainnya.

Berikut ini adalah salah satu upaya Suku Bajo dalam melestarikan populasi ikan di laut yaitu
Rumah Orang Bajo (Foto : Steven)
Berikut ini adalah salah satu upaya Suku Bajo dalam melestarikan populasi ikan di laut yaitu
Aktivitas Warga Bajo (Foto : Steven)

Karena bapongka sudah dilakukan secara turun-temurun ada kecenderungan lebih banyak masyarakat Bajo Togean yang memilih bapongka dibanding kegiatan melaut lainnya. Bapongka bisa dibilang berdampak baik bagi kelestarian laut, khususnya terumbu karang, karena hanya menggunakan  peralatan  sederhana. Sayangnya, ada indikasi bahwa hasil bapongka cenderung berkurang dari segi jumlah maupun ukuran hasil laut. Dikhawatirkan  berkurangnya penghasilan  bapongka  akan mempengaruhi minat masyarakat melakukan bapongka.

Dalam kehidupan suku Bajo ada beberapa hal yang merupakan pantangan-pantangan dalam kehidupan, terutama apabila sedang melaut  yang mereka sebut Bapongka. Pantangan-pantangan tersebut bagi orang Bajo diyakini dapat mempengaruhi hasil tangkapan. Beberapa pantangan yang tidak boleh membuang sesuatu di laut saat melakukan Bapongka, Bahwa saat Bapongka tidak boleh membuang : air cucian beras, arang kayu bekas memasak, ampas kopi, air cabe, air jahe, kulit jeruk , abu dapur. Pada saat mencuci beras air cuciannya ditampung di dalam perahu. Air cucian beras tersebut akan dibuang setelah mendekati daratan. Demikian juga dengan arang kayu bekas memasak, abu dapur, kulit jeruk, air cabe dan air jahe.

Sedang pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar sebagai seorang istri di saat suami melaut yaitu: (1) istri yang ditinggal tidak boleh membawa api dan menyapu di dalam rumah; (2) pada waktu hendak berlayar jauh, setelah berada di dalam perahu, tidak boleh mengeluarkan air yang ada dalam perahu sebelum perahu berjalan, dan (3) pada waktu berada di laut atau dalam perjalanan tidak boleh mengucapkan kata-kata kotor atau makian.

Kesederhanan perahu dan peralatan mengambil hasil laut dan pantangan yang harus dilakukan, dimana mereka tak boleh melanggarnya karena dipercaya akan terjadi bencana karena alam laut diyakini ada penguasa dalam bentuk roh yakni Mbo. Hal-hal ini membuat tradisi Bapongka sangat menghargai dan melestarikan alam, sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Bajo.*** (Steven, dari berbagai sumber)

Berikut ini adalah salah satu upaya Suku Bajo dalam melestarikan populasi ikan di laut yaitu
Perahu Tradisional Orang Bajo (Foto Steven)

SISTEM PENGETAHUAN  TRADISIONAL NELAYAN BAJO:

TELAAH BUDAYA MARITIM

KNOWLEDGE SYSTEM OF TRADITIONAL FISHERMAN IN BAJO:

MARITIME CULTURAL STUDY

Raodah¹

Balai Pelestarian  Nilai Budaya Makassar

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Jln Sultan Alauddin Km7 Makassar

Telp.(0411)883748/885119,Fax (0411)883748

Email:

Abstract

This article is the result of research aimed to study and to describe the local knowledge of Bajo tribe in their activities as fisherman and in sailing. Bajo tribe understands and apply local knowledge related to weather, the location of stars and other natural signs in doing their daily activities and sailing. Those local knowledge has been inherited from generation to generations over time and still become their guidance until the present day. Method used in this research is a qualitative method, and the data gathering method through observation, interview, and literature study, which then analyzed qualitatively. The result show that Bajo tribe has a useful knowledge system to identify natural condition of the sea, to locate their fishing spots, to identify types of marine biota, and knowledge about navigation in sailing. For the people of Bajo, sea is an integral part of their life, they live and die above the sea. They consider the sea as sehe, tabar, anundita, lalang, patambangan, pamunang ala’ baka raha, and patambangan umbo ma’dilao.

Keywords: Bajo tribe, sea, knowledge system

Abstrak

Artikel ini merupakan hasil penelitian yang bertujuan mengetahui dan mendeskripsikan pengetahuan lokal  suku Bajo dalam  aktivitas kehidupannya sebagai nelayan dan kegiatan pelayaran. Suku Bajo memahami dan menerapkan pengetahuan lokal yang berkaitan dengan keadaan cuaca, letak bintang, dan tanda-tanda alam lainya dalam menjalankan aktivitasnya sebagai nelayan dan pelayaran. Pengetahuan lokal itu diperoleh secara turun temurun dan masih menjadi pedoman masyarakat suku Bajo sampai sekarang.  Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan studi pustaka, kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Suku Bajo memiliki sistem pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengetahui berbagai kondisi alam laut, yaitu pengetahuan tentang wilayah tangkapan, jenis-jenis biota laut, dan pengetahuan navigasi dalampelayaran. Bagi orang Bajo laut merupakan bagian integral, mereka lahir, hidup dan mati di atas air laut. Padangan orang Bajo tentang laut,yaitu laut sebagai sehe, tabar, anundita, lalang, patambangan, pamunang ala’ baka raha,dan patambangan umbo ma’dilao.

Kata kunci: suku Bajo, laut,  sistem pengetahuan.

Keragaman budaya telah mempengaruhi bangsa  ini  dalam  memahami  pentingnya  budaya  bahari.  Budaya  bahari  hendaknya  dipahami sebagai cara atau pola pikir  sekelompok masyarakat yang menetap di wilayah pesisir dengan memiliki cara pandang tertentu tentang pengetahuan dan teknologi,  religi (pandangan hidup), bahasa, seni,  mata  pencaharian, dan organisasi.  Melalui  analogi  ada  tujuh unsur universal budaya. Ketujuh unsur tersebut diarahkan pada pemberdayaan dan sumber  daya  kelautan    untuk  pertumbuhan  dan  dinamika  masyarakat  yang  menetap  di  wilayah perairan, pesisir( Martin dan Meliono, 2011). Bagi masyarakat pesisir, sikap hidup dasar masyarakat tersebut adalah memiliki atau  menganggap  bahwa  laut  merupakan  sumber  daya  untuk  kelangsungan,  pertumbuhan,  dan  kesejahteraan  masyarakat.  Oleh  karena itu,  masyarakat  pesisir  di  wilayah  Indonesia  memiliki  cara  pandang  tertentu  terhadap  sumber  daya  laut  dan  persepsi  kelautan. Melalui latar belakang budaya yang dimiliki oleh masyarakat pesisir, muncul berbagai pengetahuan lokal yang digunakan sebagai pedoman untuk mengatasi berbagai gejala alam, pengetahuan tentang habitat laut dan pelayaran.

Sistem pengetahuan merupakan salah satu unsur kebudayaan universal, yang ada dan bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan di dunia, baik dalam masyarakat pedesaan yang kecil terpencil maupun dalam masyarakat perkotaan yang besar dan kompleks (Koentjaraningrat, 1992: 2). Sistem pengetahuan lahir dari hasil pengalaman dan daya kreativitas masyarakat untuk digunakan sebagai petunjuk atau pedoman dalam melakukan aktivitas demi kelangsungan hidup sehari-hari. Sistem pengetahuan tersebut diwariskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Dalam proses pewarisan, sistem pengetahuan tidak diterima begitu saja, tetapi telah teruji kebenarannya berdasarkan pada berbagai peristiwa dan pengalaman hidup yang berulang-ulang dialami, seperti didengar, dilihat, dan dirasakan, baik dari sendiri maupun dari orang lain.

Pengetahuan (knowledge) merupakan sesuatu yang pasti ada dalam setiap masyarakat, sesuai dengan jenis mata pencaharian yang mereka miliki dan lingkungan tempat mereka berada. Menurut Koetjaraningrat (2009: 288), masyarakat sekecil apapun tidak dapat hidup tanpa memiliki pengetahuan tentang alam sekelilingnya. Setiap masyarakat memiliki sistem pengetahuan relatif banyak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat bersangkutan. Misalnya, sistem pengetahuan tentang astronomi, pengetahuan tentang ekonomi dan mata pencaharian, pengetahuan tentang lingkungan alam, dan pengetahuan tentang berbagai ritual dan sebagainya. Dalam kegiatan penelitian ini, kajian sistem pengetahuan difokuskan pada sistem pengetahuan nelayan Bajo dalam mengelolah sumber daya laut.

Masyarakat nelayan adalah kelompok masyarakat yang kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya yang ada di dalam laut, karena hampir semua aktivitas kehidupan mereka berkaitan dan berhubungan dengan laut. Ciri khas kehidupan mereka adalah keras dan penuh resiko dalam mengarungi kehidupannya, yang senantiasa bertarung melawan badai, sengatan matahari, guyuran hujan dan dekapan angin malam yang dingin. Keadaan seperti ini lebih dirasakan oleh nelayan tradisional, dengan perahu sampannya berani mengarungi lautan luas, demi  menghidupi diri dan keluarganya. Untuk tetap dapat bertahan hidup pada masa-masa sulit seperti itu, telah melahirkan sistem pengetahuan dan teknologi yang mampu menaklukkan ganasnya laut dan musim yang tidak bersahabat.

Orang Bajo merupakan satu dari sekian komunitas yang mengelola, memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hayati laut berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang telah melembaga dan dipatuhi serta dipertahankan melalui pengendalian sosial (social control) oleh setiap komunitasnya berdasarkan sistem kepercayaan yang bersumber dari  idigenous knowledge yang diwarisi dari generasi ke generasi (Arief, 2008: 88-94).

Masyarakat nelayan  Bajo yang bermukim di Kelurahan Bajoe,  Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone, tentunya tidak bisa mengabaikan pengetahuan  yang berhubungan dengan lingkungan laut. Seperti pengetahuan tentang gejala alam (tentang musin, bulan, bintang, gugusan karang dan tanda-tanda lain yang akan terjadi.  Semua ini sangat membantu pekerjaan mereka dalam menangkap ikan dan biota laut lainnya. Semua tanda-tanda gejala alam tersebut dapat menjadi pedoman atau petunjuk bagi orang-orang Bajo. Mereka belajar dari lingkungan laut, bahkan dapat dikatakan alam lingkungan laut itulah yang membentuk persepsi dan kearifan lokal mereka. Tanpa pengetahuan  tersebut, niscaya akan sulit bagi orang-orang Bajo untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam menangkap ikan dan biota laut lainnya. Bahkan mungkin saja akan menimbulkan kegagalan atau bencana bagi orang Bajo, seperti tidak membawa hasil, tenggelam di laut, tersesat, dibawa arus.

Sejalan dengan perkembangan modernisasi, sistem pengetahuan berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. Dalam perkembangannya senantiasa melibatkan inovasi internal dan pengaruh eksternal guna menyesuaikan kondisi kekinian.  Perkembangan sistem pengetahuan dan teknologi yang makin pesat itu, tidak berarti  akan menggiurkan  semua  orang atau masyarakat nelayan untuk menerima dan menerapkan teknologi modern tersebut, akan tetapi ada sekelompok orang atau masyarakat nelayan yang masih tetap mempertahankan cara-cara dan teknologi yang mereka miliki dalam memanfaatkan sumberdaya alam di sekitarnya, misalnya nelayan Bajo dan nelayan Bugis-Makassar. Semuanya ini masih tetap mempertahankan sistem pengetahuan tradisional mereka dalam memanfaatkan sumberdaya laut demi kelangsungan hidupnya. Untuk mempertahankan hal tersebut perlu senantiasa dilakukan pengkajian tentang pengetahuan tradisional nelayan Bajo, agar tetap eksis sebagai salah satu muatan lokal dalam pembentukan karakter dan jati diri bangsa. Berdasarkan latar belakang tersebut,  fokus masalah dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana sistem pengetahuan tradisional nelayan  Bajo dalam pengelolaan sumberdaya  laut ? ”

Penelitian ini bertujuan mengungkapkan dan mendeskripsikan sistem pengetahuan tradisional  nelayan Bajo. Ruang lingkup dalam tulisan ini meliputi dua hal yakni wilayah dan materi. Ruang lingkup wilayah penelitian adalah Kelurahan Bajoe Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan lokasi pemukiman komunitas Bajo. Ruang lingkup materi penelitian meliputi: Pandangan orang Bajo tentang laut, pengetahuan tentang wilayah penangkapan, sistem pengetahuan tentang biota-biota laut, dan pengetahuan tentang pelayaran.

Konsep yang digunakan dalam tulisan ini yang berkaitan dengan sistem pengetahuan, yaitu kebudayaan dilihat sebagai pengetahuan manusia sebagai makluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan, yang secara selektif digunakan oleh para pendukung/pelakunya untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi, dan digunakan sebagai referensi atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi (Soekanto, 2006: 158).

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptifdengan pendekatan kualitatif yang bertujuan memperoleh gambaran tentang sistem pengetahuan lokal nelayan Bajo di Kabupaten Bone. Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer berupa observasi dan wawancara mendalam (indepth interview). Observasi adalah suatu penyelidikan secara sistimatis menggunakan kemampuan indera manusia. Pengamatan dilakukan pada saat  masyarakat nelayan beraktivitas dan dilakukan wawancara mendalam (Endaswara, 2012: 208). Sedang data sekunder berupa studi pustaka, melalui literatur yang telah ada untuk dijadikan tinjauan pustaka sebagai acuan penelitian.

Sesuai dengan metode penelitian kualitatif yang digunakan maka penentuan sampel sumber data dilakukan secara purposifyaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu (Maleong 2005:8). Dengan demikian, sebagai narasumber atau informan dipilih orang-orang Suku Bajo yang memiliki pengetahuan  tentang tanda-tanda alam, wilayah tangkap yang produktif, dan berbagai jenis biota laut  serta pengetahuan dalam pelayaran.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif, yaitu menganalisis data yang diperoleh dari hasil wawancara  dengan masyarakat nelayan yang terlibat langsung dalam prosesi ritual dan hasil observasi lapangan. Analisis data merupakan proses mengatur proses urutan, mengorganisasikan dalam suatu pola dan ukuran untuk menjadikan suatu kesimpulan..

  1. HASIL DAN PEMBAHASAN
  2. Pandangan Orang Bajo Tentang Laut.

Orang  Bajo memandang laut sebagai milik bersama, dengan kata lain laut dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang ingin mencari penghidupan. Laut merupakan sebagai bagian integral dalam kehidupan nelayan orang Bajo, dan mereka lahir, hidup dan mati di atas air laut. Sejak dahulu hingga generasi sekarang, dimana laut merupakan sumber kehidupan ekonomi keluarga pada msyarakat nelayan orang Bajo. Belum ada alternatif lain sebagai sumber kehidupan ekonomi selain dari sumber daya laut. Oleh karena itu, laut dianggap segala-galanya. Pandangan ini merupakan suatu bentuk umum yang dianut oleh semua nelayan di Sulawesi-Selatan. Dengan demikian, mekanisme kontrol terhadap wilayah perairan dapat dilakukan oleh semua orang yang berkepentingan dengan laut.  Implikasi perilaku dari pandangan ini, dapat dilihat dari kesedian mereka menerima nelayan pendatang dari luar, seperti dari Takalar, Pulau Sembilan dan pulau-pulau lainnya yang terletak di Selat Makassar, untuk menangkap ikan di kawasan Teluk Bone. Demikian pula dengan aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan lokal dengan melakukan penangkapan ikan di daerah lain, seperti daerah perairan Taka Bonerate (Selayar), Sulawesi Tenggara, Maluku. Irian Jaya, bahkan sampai di Nusa Tenggara Timur.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka nelayan suku Bajo, memahami laut dengan berbagai sudut pandang, yaitu : (1) laut sebagai sehe (sahabat), (2) laut sebagai tabar (obat), (3) laut sebagai anudinta’ (makanan), (4) laut sebagai lalang (prasarana tranportasi), (5) laut sebagai patambangang (tempat tinggal), (6) laut sebagai pamunang ala’ baka raha’ (sumber kebaikan dan keburukan), dan (7) laut sebagai patambangan umbo ma’dilao (tempat leluhur orang Bajo yang menguasai laut (Hafid  2014 : 56).

Laut sebagai sehe berarti laut adalah sahabat yang senantiasa menemani kehidupan orang Bajo. Laut akan senantiasa memberikan sesuatu yang diharapkan oleh orang Bajo sesuai aktivitasnya masing-masing.  Laut sebagai  sehe kepada setiap orang Bajo tidaklah selalu sama banyak yang dapat diperoleh tergantung dari usaha dan rezeki orang itu sendiri. Demikian pula halnya fenomena-fenomena alam, seperti datangnya sisiapu (badai) dan ombak besar dan sulili (pusaran air). Hal ini tidak diartikan sebagai musuh, tetapi merupakan ujian kesetian bagi sahabatnya yang senantiasa mengunjungi  dan bergaul setiap hari.

Laut sebagai tabar (obat) berarti laut menyimpan berbagai ramuan untuk dijadikan obat guna menyembuhkan berbagai penyakit, baik penyakit yang diderita pada saat melaut maupun sedang berada di darat atau di rumah. Misalnya, ketika orang Bajo sedang melaut, tiba-tiba  merasa sakit, apalagi diyakini rasa sakit itu muncul sebagai kehilafan atau kesalahan akibat pantangan yang berkaitan dengan etika di laut, maka obatnya adalah air laut itu sendiri. Caranya,  adalah air diambil kemudian dimandikan kepada si sakit.

Laut sebagai anudinta’ (makanan) berarti sumber makanan untuk kebutuhan sehari-hari orang Bajo. Dalam pengertian ini, orang Bajo sangat menggantungkan harapannya pada sumberdaya laut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Segala potensi sumberdaya laut, baik berupa biota maupun yang tidak hidup (seperti, batu karang) diupayakan untuk dimanfaatkan sebagai kebutuhan hidupnya. Namun demiukian, upaya pemanfaatan sumberdaya laut tersebut, kadang kala sudah tidak sesuai dengan kaidah nilai-nilai leluhurnya,seperti penggunaan alat tangkap destruktif (bom ikan, bius ikan) yang konsekuensinya dapat merusak ekosistem laut.

Laut sebagai lalang (prasarana transportasi) artinya sarana jalan untuk dilalui, bagi orang Bajo dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari sebagai nelayan. Demikian pula untuk menuju ke tempat-tempat lain di luar desa atau kampungnya. Seperti dipahami bersama, bahwa orang Bajo hidupnya berada di atas air, atau berada di pesisir pantai dan pulau-pulau yang selalu bersentuhan dengan laut, maka setiap langkah dan jalannya senantiasa melalui jalur laut. Dengan demikian, laut merupakan sarana yang sangat vital untuk dilalui setiap hari dalam melakukan aktivitasnya.

Laut merupakan patambangang (tempat tinggal) artinya sebagai tempat tinggal. Sejak dahulu, nelayan orang Bajo hidupnya (tempat tinggalnya) berada di atas air (laut). Mereka membangun tempat tinggal di atas perahu yang disebut dengan bidok. Dalam bidok tersebut dilengkapi dengan dapur dan tempat tidur, layaknya sebuah rumah. Bidok tersebut mengapung dan berlayar mengikuti arus angin, sehingga tempat mereka selalu berpindah-pindah (mengembara). Sekarang ini, walaupun sudah banyak orang Bajo membuat rumah panggung atau permanen di daerah pesisir ataupun di pulau-pulau, pola pemukiman mereka belum bisa dipisahkan dari laut. Rumah-rumah mereka kebanyakan didirikan di atas air dengan menancapkan tiang-tiang rumah mereka di dasar laut.

Laut sebagai pamunang ala’ baka raha,’ (artinya sumber kebaikan dan keburukan),. Secara tradisional, hampir semua manusia memandang alam di sekitar manusia  memiliki kekuatan supernatural yang harus diperlakukan sesuai dengan aturan yang berlaku dalam masyarakat setempat. Bagi orang Bajo memandang laut memilki kekuatan yang bersumber dari penguasa  atau penjaganya. Pada tempat-tempat tertentu di laut diyakini dihuni dan dijaga oleh makhluk yang memiliki kekuatan gaib. Bilamana manusia tidak patuh dan menghormati aturan yang berlaku di lokasi tersebut, maka marabahaya yang akan muncul.

Laut sebagai patambanang umbo ma’dilao (tempat leluhur orang Bajo yang menguasai laut), artinya laut sebagai tempat tinggal umbo ma’dilao (leluhur orang Bajo). Umbo ma’dilao diyakini oleh orang Bajo sebagai penguasa laut. Menurut kepercayaan orang Bajo, umbo ma’dilao mengelilingi laut di dunia ini sebanyak tujuh kali sehari untuk memberikan kemudahan rezeki dan memberikan sanksi bagi mereka yang tidak mengindahkan etika norma-norma di laut. Oleh karena itu, nelayan Bajo senantiasa membaca mantra bila saat akan menangkap ikan. Mantra yang biasa dibacakan oleh nelayan orang Bajo adalah sebagai berikut :

“ Bismillahrahmani rahim, oh papu oh umbo ma’dilao, ambotambira daha   opu,    sampara ma’dilao”

Artinya : Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, oh Tuhan oh nenek di laut   dan   wakilnya   janganlah   saya ditegur dan diganggu di laut (Faisal, 2011:21). Mantra lainya yang serupa yakni:

“Bismillahrahmani rrahim, Pamoporoka aku para-para lamo nia anu sala,  paturuanta ku lamonia anu kurah pagennentaaka, idi mboku lilla mboku dinda, Nabi raimung simang alam putara keliling”

Artinya: Maafkan saya kalau ada yang salah, benarkan kalau kurang, cukupkan karena kita kuanggap kakek dan nenek, Nabi raimengyang mengelilingi alam ( wawancara Abd. Kadir,  14 April  2011).

2.Pengetahuan  Tentang Wilayah Penangkapa

Wilayah laut dalam pandangan nelayan Bajo dipandang sebagai kawasan terbuka dan bebas dikelola oleh semua orang. Tidak ada wilayah laut yang merupakan kepemilikan pribadi atau kelompok kecuali daerah rumpun dan lokasi penanaman rumput laut. Disamping itu, laut dipandang pula sebagai sumber dari segala aktivitas pencaharian hidup. Pandangan seperti itu merupakan suatu bentuk umum yang dianut oleh semua  masyarakat nelayan Sulawesi-Selatan. Oleh karena itu, masyarakat nelayan orang Bajo telah memiliki pengetahuan yang dapat memprediksikan beberapa lokasi/wilayah yang diketahui terdapat banyak ikan dan biota laut lainnya. Seperti diketahui bahwa ketika mereka melihat suatu lokasi yang dangkal di area terumbu karang dan dasar berpasir, berlumpur atau berbatu-batu, di situ terdapat biota laut spesis tak liar (relatif diam). Menurut pemahaman para nelayan setempat, bahwa terumbu karang itu merupakan sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan, tempat bertelur dan juga tempat berlindung bagi ikan, seperti “rumah” bagi manusia. Di sekitar karang tersebut hidup berbagai jenis ikan yang dalam bahasa lokal disebut  bale batu  atau ikan karang. Salah satu ruang atau tempat yang dimanfaatkan nelayan dalam penangkapan ikan adalah lokasi terumbu karang, bagi nelayan orang Bajo menyebutnya daerah itu sappa. Sedangkan nelayan-nelayan Pulau Sembilan menyebutnya dengan nama taka. Bagi nelayan  Bajo sappa sebagai suatu kumpulan terumbu karang yang merupakan  tempat hidup ikan-ikan karang.

Istilah sappa  dalam pandangan  orang Bajo merupakan  suatu ruang/tempat atau suatu kawasan terumbu karang yang di dalamnya terdapat rumah ikan yang dijadikan sebagai lokasi penangkapan (fishing spots) yang harus dipelihara dan dijaga. Pandangan demikian membuat nelayan orang Bajo mengenal alat pancing dan sejenisnya, yang dinilai sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan. Setiap sappa memiliki bentuk dan luas yang berbeda-beda, dan di dalamnya biasanya terdapat beberapa rumah ikan. Jenis ikan yang hidup dan berkembang biak di sappa antara lain, ikan sunu, dan ikan kerapu.

Dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan dan biota laut lainnya, dapat dilakukan setiap saat sepanjang air dalam keadaan pasang dan air tidak surut, yaitu pada waktu pagi sore, dan malam hari. Lokasi penangkapan ikan orang Bajo mulai dari gugusan perairan Teluk Bone yaitu dari Bajoe hingga wilayah perairan Sulawesi Tenggara kemudian ke Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai. Mereka mendatangi berbagai gugusan karang (sappa) sebagai tempat penangkapan selama 3 sampai 4 hari atau sampai bekal yang dibawa sudah menipis. Gugusan karang (sappa) tersebut, merupakan lahan potensial bagi spesis ikan dan biota laut lainnya untuk berkembang biak terutama pada kedalaman antara 5 sampai 20 meter dengan jarak 3 sampai 5 mil dari pantai.  Pada saat itu pula nelayan orang  Bajo memberi nama pada gugusan karang (sappa) sesuai dengan nama tertentu dalam bahasa Bajo, karena erat kaitannya dengan nama nenek moyang mereka. Sejak dahulu sappa dianggap warisan sebagai tempat milik nenek moyangnya dalam memanfaatkan sumberdaya hayati laut. Namun demikian, gugusan karang (sappa) tersebut dapat pula dimanfaatkan oleh orang lain selain orang-orang Bajo untuk mencari rezeki (dalle) yang talah diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa (Papuk).

Dari berbagai gugusan karang (sappa) yang ada pada kawasan perairan Teluk Bone itu, menurut informasi nelayan Bajo bahwa gugusan karang (sapa) yang kaya akan keanekaragaman hayati laut dan selalu didatangi para nelayan Bajo adalah gugusan karang Limpoge, Lakarangan dan  Lagenda. Sedangkan gugusankarang yang dianggap keramat adalah gugusan karang  Alosie, Sasage, dan Lakapu-apu. Dari ketiga gugusan karang tersebut  terdapat banyak  ikan besar, seperti ikan tenggiri, ikan putih, hiu, lajang dan ikan sinrili. Namun, hal tersebut dapat diketahui pula bahwa gugusan karang itu jarang disinggahi oleh nelayan  Bajo untuk mencarikan ikan karena dianggap keramat. Menurut  Roso (65 tahun) bahwa, di tempat itu banyak ikan terlihat pada saat itu, namun terkadang kita kehilangan semangat untuk menangkap ikan. Selain itu, tidak boleh berbicara takabur di tempat tersebut karena kita bisa jatuh sakit setelah tiba di daratan (wawancara, 14 April 2011).

Sehubungan dengan itu, masyarakat nelayan suku Bajo telah pula memiliki pengetahuan tentang  keberadaan adanya ikan pada suatu tempat tertentu (gugusan karang) dengan cara melihat tanda-tanda yang ada, antara lain : 1) Adanya cahaya ikan seperti memutih yang kelihatan dari kejauhan  terutama pada malam hari. 2) Terlihat pula dari jauh adanya bayangan batu karang (garas) yang merupakan tempat berlindungnya ikan dari ombak. 3) Keadaan air kelihatannya tenang dan jernih dan keadaan  pasir pada waktu itu berlumpur. 4) Terlihat dari kejauhan terutama pada siang hari, dengan adanya burung pemangsa ikan yang berbentuk paruh bebek yang berjumlah ratusan burung, baik yang berwarnah putih (burung titirat) maupun  berwarna hitam (burung belle).5) Adanya arus (abang) yang merupakan tempat makan ikan atau bermain, pada saat itu ikan-ikan bermunculan dan berlompat-lompat ketika mendapatkan makanan terutama pada pagi  hingga sore hari. Jenis ikan yang muncul pada saat itu adalah jenis ikan lure(teri),penajang dan ruma-ruma. 6) Kedalaman perairan dalam antara bebatuan dan pasir berjarak sekitar 17-30 depa dibawah permukaan air laut. 7) Adanya gelembung-gelembung yang muncul kepermukaan  dan terjadinya pula perubahan warna air laut (Hafid, 2014: 69-70). Dengan melihat adanya tanda-tanda seperti itu, nelayan Bajo segera memasang alat tangkapnya yang disebut alat tangkap tabere ataupun alat tangkap lainnya.

Disamping itu, orang Bajo juga mengenal adanya tanda-tanda akan berkurangnya ikan, yaitu dengan melihat  sebuah pohon radda yang banyak tumbuh pada daerah pesisir terutama di kawasan Teluk Bone, yang daun dan buahnya berubah menjadi merah. Tanda lainnya,  ketika air surut dan lokasinya berlumpur,  nelayan kesulitan untuk mendapatkan ikan. Dari berbagai pengetahuan yang dimiliki oleh nelayan tersebut dapat diperoleh melalui pengalaman melaut dan cerita dari orang tua yang merupakan pengetahuan  mereka yang diperoleh  secara turun-temurun.

  1. Pengetahuan Tentang Biota Laut

Masyarakat nelayan  Bajo memahami berbagai jenis ikan yang ada di perairan Teluk Bone. Pengetahuan orang Bajo ini yang terkait dengan laut dan isinya meliputi biota ikan dan non-ikan. Jenis ikan secara umum dapat dibagi atas dua, yaitu jenis ikan karang dan ikan laut dalam. Jenis ikan  karang merupakan jenis ikan yang paling banyak dikenal oleh nelayan orang Bajo, bahkan  jenis ikan karang tersebut, merupakan jenis biota yang memiliki nilai jual tinggi yang berkualitas ekspor dan laku di pasar Internasional, seperti di Singapura dan Hongkong. Pengetahuan yang selektif seperti ini dipengaruhi oleh peningkatan dan perubahan pola makan konsumen, peningkatan permintaan dan harga pemasaran yang melibatkan stakeholders secara kompleks. Ketergantungan sepenuhnya dipihak nelayan pada situasi pasar dan aspek pengelolaan informasi oleh nelayan mulai meningkat. Jenis-jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi menurut  orang Bajo, yakni  ikan hiu dengan harga sebesar 2 sampai 3 juta terutama ikan hiu yang berwarna abu-abu atau dikenal pula dengan nama ikan hiu taro bingkoh. Sedang jenis ikan hiu lainnya seperti ikan hiu mangali (kareo mangali) dan ikan hiu antukang (kareo antukang)  memiliki harga yang sedang. Jenis ikan hiu ini terdapat pada gugusn karang Matella dan gugusan karang Limpoge.   Waktu atau musim melimpahnya ikan hiu tersebut, biasanya pada bulan Juni hingga bulan September. Keberadaan ikan hiu disuatu tempat dapat diketahui oleh nelayan  Bajo dengan melihat tanda-tanda, yaitu antara lain: 1) Banyaknya ikan yang bermunculan di tengah laut pada kedalaman  20 meter dari permukaan laut, 2) Ikan muncul pada pertengahan karang (garas), 3) Ikan muncul pada pertemuan arus (kekeang) yang merupakan tempat makan dan bermain ikan, 4) Adanya bau bangkai yang berasal baik dari manusia maupun dari hewan laut, 5) Ikan muncul pada saat musim angin timur, 6) Setiap ikan yang muncul kepermukaan, sirip ikan tersebut tampak kelihatan dari kejauhan dan kepalanya selalu menghadap ke atas, dan 7) Terkadang ikan itu muncul pada saat ada nelayan berbicara sombong atau takabur (Hafid, 2014: 73)

Adapun alat tangkap yang digunakan oleh nelayan suku Bajo untuk mendapatkan ikan hiu, yaitu seperti alat pancing tunggal atau pancing tabere. Selain itu, dapat pula digunakan pukat nylon.  Namun, yang paling banyak digunakan oleh nelayan Bajo adalah alat tangkap pancing tabere. Cara oprasionalnya pancing tunggal atau pancing tabere tersebut, diturunkan pada lokasi penangkapan, kemudian tali pancing diikatkan pada pelampung lalu dibiarkan bergerak kemana saja. Setelah ikan hiu tersebut  memakan umpan pancing yang berupa potongan ikan segar (ekor kuning), lalu melarikan umpan tersebut sambil mengulur-ulur pancing dengan menahan secara perlahan hingga mencapai 20 meter sampai pada batas tasi mencapai pelampung sebagai penahan tali pancing. Bila pelampung tertarik turun ke dalam laut, maka untuk sementara didiamkan selama 1- 2 jam agar ikan hiu sampai kelelahan. Selanjutnya, apabila pelampung meletus dengan muncul gelembung udara kepermukaan berarti ikan hiu sudah memakan umpan, akan tetapi jika pelampung itu tidak meletus dan dalam keadaan diam atau tetap, berarti ikan hiu tersebut telah mati. Kemudian tasi pancing itu ditarik secara bersama-sama yang terdiri atas  3 – 5 orang hingga muncul kepermukaan(wawancara Roso, 17 April 2011)

Selain ikan hiu seperti tersebut di atas, nelayan suku Bajo juga mengenal ikan pari yang nilai ekonominya kurang memiliki pasaran yang maksimal seperti halnya ikan hiu. Jenis ikan pari ini berada di dasar laut pada kedalaman 2 depa dari gugusan karang. Menurut pemahaman nelayan Bajo, bahwa ikan pari itu memiliki jumlah yang banyak serta tidak mengenal adanya musin ikan, pokoknya setiap saat ikan pari tersebut selalu ada. Cara penangkapannya harus menyelam dengan menggunakan alat tombak bermata dua atau panah ikan. Jenis ikan pari ini terdiri atas 2 jenis di kawasan perairan Teluk Bone, yaitu ikan pari dan ikan kiyampong. Sedangkan untuk jenis non ikan yang bernilai ekonomi tinggi antara lain Kerang-kerangan, udang/lobster, rumput laut, kepiting (karama), sumampara  dan teripang. Jenis biota non-ikan ini, terutama teripang telah dieksploitasi oleh masyarakat nelayan sejak lama. Harga teripang bergantung kepada jenis dan beratnya. Biota non ikan lainnya yaitu lobster  juga memiliki harga yang cukup tinggi dan bervariasi bergantung pula beratnya, sedangkan yang ukuran lebih kecil tidak ada harganya.  Namun dalam kurung waktu beberapa tahun terkhir ini,  terjadi penurunan populasi ikan karang dalam bebagai jenis. Hal ini disebabkan oleh sejak adanya permintaan dan harga ikan-ikan karang hidup dan harganya meningkat. Akan tetapi, secara umum penurunan populasi ini disebabkan oleh terutama, dengan penggunaan bahan destruktif (bom) atau dengan cara ilegal yang bertentangan dengan aturan dan undang-undang yang berlaku, karena yang dilakukannya selain dapat merusak eksistensi terumbu karang  juga dapat membunuh ikan-ikan kecil dari semua jenis.

Pengetahuan lainnya yang dimiliki oleh nelayan suku Bajo, yakni  tidak boleh melakukan penangkapan (pamali) atau mengambil sesuatu yang berwujud ikan besar, karena hal tersebut merupakan pantangan bagi nelayan suku Bajo. Ikan-ikan tersebut  antara lain, 1) Ikan Paus (globicephala macrorhynchus), menurut keyakinan  mereka bahwa ikan tersebut sangat berbahaya kalau diganggu atau ditangkap, karena dapat mendatangkan bencana bagi nelayan suku Bajo, seperti datangnya angin besar, terjadinya ombak, besar dan badai; 2) Ikan lumba-lumba (Delphinidae). Jenis ikan ini dianggap oleh sebagian masyarakat nelayan orang Bajo pada masa dahulu sebagai  penolong bagi manusia ketika mereka mendapat kecelakan di laut, sehingga tidak boleh ditangkap terutama oleh sebuah keluarga. Pandangan seperti ini hingga sekarang sudah tidak menjadi pantang/larangan yang terlalu mengikat; 3) Utte lempong (raja ikan). Jenis ikan ini, dianggap oleh nelayan Bajo sebagai raja ikan (ponggawa bale) dan apabila bertemu dengan nelayan raja ikan tersebut akan mengusap-ngusap kepalanya sebagai tanda kelaparan. Makanan yang paling disukai adalah makanan wajik (baje)  sehingga diberi nama bale labaje. Oleh karena itu, ikantersebut sangat berbahaya jika dilakukan penangkapan, terlebih lagi kalau dibunuh  akan mendapat bencana atau balasan yang serupa bagi yang membunuhnya.  Dengan demikian, bagi nelayan suku Bajo yang membuat kesalahan diharuskan dengan segera meminta maaf pada ikan utte lempong tersebut, dengan cara memberi sesajian berupa nasi, telur dan sebagainya, dan mengelus-elus kepala ikan  tersebut. Adapun ciri khas ikan utte lempong itu, yakni warnanya hitam total dan muncul secara tiba-tiba dihadapan nelayan atau passompe (pedagang antarpulau) dan muncul biasanya pada bulan Juni dan Oktober.Di luar bulan tersebut dapat muncul secara tiba-tiba. Jika ikan tersebut tidak muncul lagi atau sudah pergi, maka tidak lama kemudian munculah gerombolang ikan  yang begitu banyak dihadapan para nelayan.

  1. Pengetahuan yang Berkenaan dengan Pelayaran

Pengetahuan nelayan tentang pelayaran yang terkait dengan aktivitas kenelayanan, dapat difungsikan sebagai suatu cara untuk memperoleh keselamatan dalam melakukan aktivitasnya menangkap ikan. Pengetahuan ini terkait dengan aspek agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat nelayan suku Bajo, yang diperoleh berdasarkan pengalaman empirik selama melakukan pelayaran atau melaut. Masyarakat nelayan suku Bajo adalah penganut agama Islam yang taat beribadah.   Dari sudut religi ternyata sampai sekarang masih banyak warga masyarakat suku Bajo yang mempertahankan kepercayaan tradisional, peninggalan nenek moyang mereka, terutama dalam hal pelayaran atau pada saat mereka turun ke laut menangkap ikan dan biota laut lainnya. Dengan adanya kepercayaan bahwa di setiap lokasi karang memilki penunggu halus, sehingga bila akan membuang jangkar terlebih dahulu mereka memberi salam. Disamping itu ada pula kepercayaan terhadap roh-roh  mendiami satu tempat atau lokasi seperti; pangroak kampong (roh yang mendiami kampung), pangroak sappa (roh yang menghuni gugusan karang), pangroak tasik (roh yang mendiami laut). Untuk menghindari murkahnya, kesemuanya harus diselamati melalui upacara selamatan.

Kepercayaan lainnya yang dipahami nelayan suku Bajo bahwa rejeki berupa hasil tangkapan yang berlimpah hanya dapat diperoleh jika mereka berangkat pada waktu yang tepat, yaitu ketika air laut pasang. Sistem pengetahuan seperti itu sangat berpengaruh pada hasil tangkapan serta keselamatan selama dilaut.Pengetahuan pelayaran itu dapat dijadikan pedoman dan pandangan mereka dalam beraktivitas menangkapan ikan dan biota laut lainnya.

Dalam memanfaatkan sumber daya laut, masyarakat nelayan  Bajo telah memiliki pengetahuan tradisional yang  berhubungan dengan gejala-gejala alam  yang diwariskan secara turun temurun serta pengalaman-pengalaman yang didapatkan selama melaut. Pengetahuan ini tidak jauh berbeda dengan nelayan-nelayan lainnya yang ada di daerah Sulawesi Selatan. Sejalan dengan perjalanan waktu, sepertinya pengetahuan tentang gejala-gejala alam tersebut sudah kurang populer dikalangan masyarakat, sehingga untuk mengungkap semua itu dibutuhkan penelusuran yang lebih jauh terhadap orang-orang tua dan pemuka/tokoh masyarakat.

Pengetahuan tentang gejala-gejala alam yang dipahami oleh nelayan orang Bajo, akan menjadi panduan bagi mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup dan menghindari dari bahaya. Pengetahuan tersebut terdiri atas pengetahuan tentang musim, bintang, bulan, dan tanda-tanda lainnya yang akan terjadinya  dan sebagainya.

Keadaan iklim atau cuaca menurut konsep nelayan suku Bajo, dapat dijadikan suatu dasar untuk menentukan wilayah penangkapan. Apabila dalam suatu wilayah penangkapan tidak terdapat angin, hujan, atau ombak yang deras atau disebut dengan istilah ‘lino;(artinya suatu keadaan yang sangat baik dan menguntungkan dalam melaksanakan aktivitas penangkapan ikan dan biota laut lainnya), ikan dapat diperoleh dengan jumlah yang banyak. Sebaliknya, jika muncul angin kencang yang dapat menyebabkan berbagai gangguan lain, seperti ombak besar, arus deras  menyebabkan terpencarnya kawanan ikan dan biota laut lainnya, sehingga sulit untuk mendapatklan ikan yang lebih banyak. Keadaan seperti ini terjadi apabila angin bertiup dari arah barat dalam kecepatan tinggi, serta diselingi hujan, angin yang berubah-ubah arah, atau disebut dengan istilah lokal russa (artinya malapetaka). Kondisi seperti ini sangat ditakuti oleh nelayan, karena datangnya secara tiba-tiba, sehingga dapat langsung menggulingkan perahu nelayan. Apabila hal ini terjadi sedangkan nelayan tengah beroperasi, secepatnyalah  mencari tempat berlabuh ke pulau yang terdekat. Jika tidak ditemukan  tempat berlindung, maka tidak ada upaya lain kecuali berpasrah dan menyerahkan diri kepada Allah swt.

Dengan datangnya  musin barat yang mengakibatkan menurunnya produktifitas nelayan, adalah hal yang biasa  dialami oleh nelayan suku Bajo. Hal ini tidak membuat nelayan untuk tidak turun ke laut. Mereka tetap beraktivitas walaupun terkadang harus berhadapan dengan badai yang datangnya mendadak. Apabila keadaan ini menimpah para nelayan Bajo, langkah yang diambil pada saat itu adalah berupaya berlindung ke pulau yang terdekat atau segera membelokkan perahunya untuk menghindari badai dan menunggu hingga redah. Dalam kondisi yang tidak menguntungkan ini, nelayan hanya mengandalkan pengetahuan tradisional yang mereka miliki, dengan membaca berbagai macam doa atau yang dikenal dengan istilah mabaca-baca, dan nelayan pun tetap bertahan dan melakukan aktivitasnya untuk medapatkan ikan.

Pengetahuan mengenai tanda-tanda alam lainnya, seperti letak bintang yang sudah menjadi bahagian dalam aktivitas pelayaran dan kehidupan para nelayan. Pengetahuan nelayan orang Bajo tentang bintang tersebut sehubungan dengan aktivitasnya di laut, hingga saat ini masih dilaksanakan. Letak bintang merupakan sesuatu yang sangat penting dalam meramalkan arah dan daerah yang dituju, dan dengan keadaan cuaca yang seringkali berubah dengan tiba-tiba. Bintang-bintang yang ada di langit dapat diberi nama sesuai dengan bentuk dan waktu munculnya dan  mempunyai arti atau makna bagi para pelaut. Pemberian  arti bagi sejumlah bintang adalah suatu konsistensi dan ketekunan dalam mengikuti sifat-sifat dan karakteristik khusus yang dimilki oleh jenis bintang tetentu.

Adapun bentuk dan jenis-jenis bintang yang mempunyai nama lokal  antara lain: Sulo bawie artinya penerang bagi binatang babi yakni bintang yang selalu muncul disebelah timur dan terbit pada awal malam dan tenggelam sekitar pukul 02.00 wita dini hari. Diakatakan istilah Sulo bawie karena pada waktu bintang ini masih bersinar babi yang ada di hutan bersembunyi, sedangkan apabila bintang ini sudah tenggelam,  babi yang ada di dalam hutan keluar untuk mencari makan, karena menganggap alam sudah gelap. Dengan adanya bintang ini dapat dijadikan standar waktu pada saat mereka turun ke laut.

Letak atau kondisi bintang juga dapat digunakan untuk menentukan pasang surutnya air laut. Ketika bintang sedang tegak (bintang pada pagi hari) pertanda bahwa air tenang, dan apabila bintang condong ke bawah berarti air sedang surut. Gejala alam seperti ini dipergunakan karena masyarakat nelayan suku Bajo jarang yang menggunakan jam tangan (arloji) sebagai penunjuk waktu.  Sedangkan, pada malam hari tanda-tanda tersebut diganti dengan melihat bulan. Apabila bulan sedang tegak menandakan air tenang dan jika bulan condong ke bawah menandakan air mulai surut. Tanda lain yang sering pula digunakan oleh nelayan Bajo adalah dengan melihat burung elang, ketika burung itu turun ke bumi menandakan air pasang naik dan sebaliknya, berganti dengan air surut.

Untuk jenis bintang yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk arah bagi nelayan dalam berlayar adalah bintang Tanrae. Bintang ini berjumlah tiga buah yang dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan arah perahu dalam berlayar, yang posisinya membentuk segitiga dan letaknya berpindah-pindah atau tidak tetap. Kata Tanrae berarti tanda-tanda, alamat atau pertanda. Apabila bintang itu muncul di ufuk timur, menandakan mulai musim timur yang diikuti angin bertiup dari timur. Sebaliknya, apabila bintang itu muncul di ufuk barat menandakan mulai musim barat yang diikuti oleh angin yang bertiup dari arah barat.  Pada saat itu, pelaut dan nelayan seringkali mengalami hempasan gelombang air laut. Setiap pertengahan bulan Agustus, muncul angin yang agak kencang yang disebut anginna tanrae. Apabila bintang ini muncul dari arah timur menandakan bahwa angin timur telah tiba dan ditandai dengan datangnya hujan yang disebut bosi tengnga esso tanrae. Sedangkan tanda-tanda musim barat telah tiba, maka bintang tanrae telah berada ataupun tenggelam pada posisi sebelah barat. Bintang lainnya yang menunjukkan musim barat dan timur adalah Lamburue yaitu sekelompok bintang yang menyerupai ikan pari, worongporongnge yang jumlahnya tujuh buah,  dan bintang manue yang berbentuk menyerupai ayam. (Hamid, 1990 :27)

Jenis bintang lainnya yang dikenal oleh nelayan orang Bajo adalah bintang Tallu-tallue yakni bintang yang terdiri atas tiga buah, yang berjejer lurus dari arah utara ke selatan. Dengan berpedoman pada tanda-tanda alam tersebut,  para nelayan suku Bajo  jarang tersesat pada saat mereka berlayar dalam melakukan penangkapan ikan, karena sudah ada bintang yang dijadikan kompas atau petunjuk arah. Namun dalam kenyataannya di lokasi penelitian,  pengetahuan  tentang pelayaran ini terutama mengenai tanda-tanda alam  tidak selalu tepat atau sesuai dengan apa yang diramalkan. Akan tetapi, tidak dijadikan sebagai alasan mereka untuk mengurangi kepercayaan terhadap gejala tersebut, bahkan diyakini oleh orang-orang suku Bajo atas keterbatasan pengetahuan yang mereka miliki itu dengan adanya Tuhan yang MahaKuasa yang disebutnya dengan Papuk (bahasa Bajo).

Selanjutnya, gejala-gejala alam lainnya yang terkait dengan karang.  Nelayan orang Bajo dapat melihat karang yang berada dilautan luas dengan melihat tanda-tanda seperti terlihatnya pantulan cahaya disiang hari dari kejauhan. Sedangkan, pada malam hari dapat mmperhatikan keadaan ombak, semakin dekat kapal pada karang maka kelihatan ombak disekitarnya semakin bergulung-gulung. Selain itu, dapat pula diperhatikan gesekan yang berdesir di bagian bawah kapal. Jika gesekannya terasa keras berarti karang berada di tempat itu, walaupun sebenarnya tidak terlihat bila air belum pasang.

Pengetahun tentang badai (sisipau), yang merupakan salah satu kondisi alam  sering muncul di tengah laut dan sangat ditakuti oleh nelayan Bajo. Bilamana badai ini datang dengan secara tiba-tiba dan tidak sempat dihindarkan dapat berisiko, bahkan bisa mengakibatkan korban nyawa dan materi.

Beberapa nelayan orang Bajo, mengatakan bahwa cara menghindarkan badai yang  datang sewaktu-waktu, yakni  dengan melihat keadaan hujan, pusaran air, keadaan musim, dan keadaan awan di langit. Apabila hujan deras yang disertai angin yang kencang adalah salah satu pertanda bahwa datangnya badai (sisiapu). Bila melihat hal seperti itu,  nelayan  Bajo akan menghindar dengan mencari daerah yang dianggap aman untuk berlabuh. Demikian pula pusaran angin dan pusaran air  juga selalu menandai datangnya badai. Apabila pusaran air disertai hujan dan angin yang kencang, dan bila tidak dihindari akan menarik kapal ke atas dan melemparkannya kembali ke laut, bahkan angin pun yang kencang kadang-kadang menyeret kapal  hingga terdampar.

Selain pengetahuan tentang gejala-gejala alam seperti tersebut di atas, juga tidak terlepas bagi nelayan  Bajo mengenal beberapa pantangan (pamali) yang berkaitan dengan aktivitas mereka di laut. Mereka yakin bahwa apabila tidak mematuhi hal tersebut, maka hasil tangkapan mereka tidak mendapatkan hasil yang maksimal, bahkan dapat mengakibatkan kecelakaan pada diri mereka atau harta benda yang dimilikinya. Hal ini dimaksudkan untuk tidak merusak dan mencemari lingkungan laut oleh setiap nelayan, serta menjaga norma-norma kehidupan di laut terutama keselamatan berlayar selama mereka melakukan aktivitas penangkapan ikan dan biota laut lainnya. Selain itu, orang-orang Bajo sangat pula memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara manusia dengan manusia, manusia dan lingkungan seperti yang tampak dalam berbagai pantangan yang dimaksud yaitu antara lain : 1) Pantang untuk disapa oleh orang ketika mereka telah melangkah keluar dari rumah menuju perahunya; 2) Pada saat melangkah tidak boleh menginjak batas air laut dan pantai, sebab apabila hal ini dilanggar akan mengakibatkan kurang mendapatkan rejeki (dalle); 3) Dilarang menghalangi jalan seorang nelayan, pada saat mereka hendak menuju perahu untuk berlayar termasuk menegurnya; 4) Apabila sedang berada di perahu dilarang memanggil orang yang berada di darat; 5) Dilarang takabur/ bicara kotor pada saat berlayar, karena dapat mengundang kehadiran ikan hiu; 6) Dilarang bertengkar sesama  nelayan; 7) Dilarang menyebut nama binatang yang ada didarat kecuali burung; 8) Kalau melihat kayu besar hanyut tidak boleh diambil; 9) Tidak boleh ada tali terjulur ke laut pada malam hari karena dapat mengundang hantu laut; 10) Tidak boleh bertopang dagu selama berlayar atau selama berada di laut; 11) Tidak boleh tidur tengkurap atau tiarap selama berlayar; 12) Tidak boleh ongkang kaki terutama kaki kiri menindih kaki kanan; dan 13) Dilarang mencelupkan alat-alat dapur (periuk nasi) ke laut, karena dapat mendatangkan badai  (Hafid, 2012 :73)

Dari berbagai pamali-pamali atau pantangan yang telah digambarkan di atas, namun salah satu diantaranya yang paling ditakuti oleh nelayan orang-orang Bajo  untuk  dilanggar adalah mengambil air laut dengan menggunakan  periuk  nasi. Menurut pamahaman masyarakat nelayan setempat, bahwa hal yang demikian itu dapat mengakibatkan nelayan tidak mendapat hasil apapun di laut, jika pantangan tersebut dilanggar. Contoh kasus yang pernah dialami oleh salah seorang sawi, dimana sawi tersebut dengan tidak sadar mengambil air dengan menggunakan panci, dan tidak lama kemudian badai datang sehingga perahunya harus kembali kedarat dan tidak membawa hasil apapun.

Demikian halnya bagi keluarga nelayan yang tinggal di rumah, akan berusaha pula untuk tidak melakukan sesuatu hal yang diyakini bisa membawa sial bagi suami atau anak mereka yang sedang melaut, misalnya ;  Pada waktu magrib tidak boleh ribut dan tidak boleh pula membuang abu dapur ke bawah rumah,  tidak boleh membawa makanan ke luar rumah,  tidak boleh duduk ditangga apalagi menjelang magrib dan tidak keluar rumah bila tidak perlu,  menyalakan api di bawah rumah pada waktu magrib (sennu-sennuanna) dan sebagainya. Dengan adanya pamali-pamali seperti itu, maka para keluarga nelayan yang tinggal di rumah  harus menaati, agar suami atau anak yang sedang melaut itu dapat rezeki banyak dan selamat.

PENUTUP

Sistem pengetahuan yang dimiliki nelayan merupakan adaptasi dari lingkungan mereka yang berada pada wilayah pesisir dan laut. Wilayah pesisir tempat mereka hidup dan laut sebagai tempat menggantungkan hidupnya diperlukan sistem budaya yang tercermin di dalam sistem pengetahuan nelayan baik dalam kehidupannya sehari-hari maupun pada saat menangkap ikan. Pengetahuan tradisional yang dimiliki orang Bajo sampai saat ini masih digunakan  sebagai pedoman dalam melakukan aktivitas kenelayanan, Walau perkembangan ilmu pengetahuan makin maju namun, pengetahuan tradisional tentang gejala alam, wilayah tangkap, jenis-jenis ikan yang dimiliki masyarakat Bajo masih menjadi acuan bagi mereka dalam beraktivitas di laut.

Bagi orang Bajo laut adalah segalanya, sebagai lahan mata pencaharian, lingkungan tempat tinggal dan berbagai tindakan dan prilaku orang Bajo senantiasa berkaitan dengan laut. Dengan pengetahuan tradisional yang dimiliki orang Bajo mampu memahami ekosistem laut dalam mengesploitasi berbagai sumberdayahayati laut untuk kelangsungan hidupnya.

Pengetahuan yang dimiliki oleh orang Bajo diperoleh dengan cara autodidak dan  pengalaman melaut, serta cerita dari orang tua yang merupakan pengetahuan yang mereka peroleh secara turun-temurun. Orang Bajo memiliki ilmu pengetahuan sangat tinggi tentang kelautan namun, tidak diperdayakan, sehingga mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan. Pengetahuan yang dimiliki sifatnya tradisional, namun itu mengandung kearifan dalam mengelola sumber daya laut, sehingga sistem pengetahuan tradisional ini perlu dipertahankan.

,

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Adri. 2008. Sistem Pengetahuan Lokal Masyarakat Nelayan dalam Eksploitasi Sumberdaya Hayati Laut di Sulawesi Selatan. Jurnal Sains dan Teknologi .  Vol. 8 No. 2 : 88 – 94 Agustus 2008.

Endaswara ,Suwardi.2012. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Faisal, 2011.” Komunitas Bajo dan Persebarannya di Nusantara”. Makalah. Dibacakan pada Dialog Budaya Festival Masyarkat Bajo Nusantara tanggal 23 Desember 2011 di Hotel Clarion Makassar

Hafid,  Abdul,2014.  Pengetahuan Lokal Nelayan Bajo. Makassar: Pustaka Refleksi.

Hamid, Pananrangi,dkk.1990. Astronomi dan Meteorologi Tradisional di Daerah       Provinsi Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Koentjaraningrat, 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial Jakarta: PT Dian Rakyat.

———————, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Martin, Risnowati dan Meliono, Irmayanti. 2011. “Ritual Petik Laut pada Masyarakat Nelayan Sendang Biru Malang: Sebuah Telaah Bahari”. Makalah.  Disampaikan  pada  International  Conference  ICSSIS    pada  tanggal  18-19  Juli 2011  di  Fakultas  Ilmu  Pengetahuan Budaya UI, Kampus Depok

Moleong,L.J.2005. Metode Penelitian Kualitatif . Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Soekanto, Soerjono.  2006. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.