Berikut ini adalah beberapa tindakan PKI sebelum peristiwa G30S PKI, kecuali

TEMPO.CO, Jakarta - Memasuki pengujung September, masyarakat Indonesia akan selalu diingatkan perihal peristiwa Gerakan 30 September atau G30S—berdasarkan literatur Orde Baru, nama tersebut ditambah menjadi G30S/PKI. Peristiwa tersebut menyisakan luka bagi sejarah bangsa Indonesia sendiri.

Selain pembunuhan jenderal, peristiwa tersebut juga membunuh jiwa-jiwa masyarakat Indonesia yang diduga berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). New York Times pada Mei 1966 menuliskan jumlah korban tewas mencapai 300 ribu orang. New York Times beberapa bulan kemudian, seperti dipaparkan buku Dalih Pembunuhan Massal, kembali menyelidiki dan menyimpulkan jumlah korban mati seluruhnya lebih dari setengah juta orang.

Selain jumlah korban yang sudah dipaparkan sebelumnya, hal yang masih menjadi tanda tanya hingga saat ini adalah siapa dalang terjadinya peristiwa tersebut. Dari berbagai penelitian setidaknya terdapat lima versi dalang terjadinya peristiwa tersebut. Mulai dari PKI, konflik internal angkatan darat, Soekarno, Soeharto, hingga unsur asing seperti CIA (Badan Intelijen Amerika Serikat).

1. PKI

Versi ini hadir setelah rezim Orde Baru berkuasa pasca peristiwa tersebut. Hal ini termaktub di dalam buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968) karya Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh. Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa ketika itu PKI ingin membuat negara Indonesia berideologi komunisme.

Nugroho juga ikut menyunting buku Sejarah Nasional Indonesia yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara. Buku tersebut akhirnya menjadi rujukan untuk pembelajaran di sekolah. Dalam buku ini pula kata PKI ditambahkan setelah kata G30S. Hal itu yang menjadi propaganda rezim Orde Baru untuk menyatakan bahwa PKI-lah satu-satunya dalang di balik peristiwa tersebut.

2. Konflik Internal Angkatan Darat

Berdasarkan lipi.go.id, beberapa teori menyebutkan bahwa perwira Angkatan Darat ditambah satu-dua orang dari angkatan lain juga terlibat dalam aksi tersebut. Mereka bersekongkol dengan segelintir anggota Biro Khusus PKI untuk menculik beberapa perwira tinggi yang ditengarai anggota Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta 5 Oktober 1965.

Sejarawan Harold Crouch dalam Army and Politics in Indonesia (1978) mengatakan, menjelang tahun 1965, kubu Angkatan Darat terbagi menjadi dua fraksi. Walaupun kedua fraksi ini memiliki kesamaan sikap anti-PKI, namun keduanya bersebrangan dalam menghadapi Sukarno.

3. Sukarno

Terdapat beberapa buku yang menyebutkan bahwa salah satu The Foundung Father ini terlibat dalam peristiwa tersebut. Adapun buku-buku tersebut yaitu Anatomy of Jakarta Coup, October 1, 1965 (2004) karya Victor M. Vic, Antonie C.A. Dake dalam The Sukarno File, 1965-1967: Chronology of Defeat (2006), dan Pembeantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno karya Lambert Giebels.

Buku-buku tersebut mengarah pada de-Soekarnoisasi yaitu menjadikan Presiden RI pertama sebagai dalang pembunuhan G30S dan bertanggung jawab atas dampak kejadian tersebut. Soekarno tidak mau mengutuk PKI dan karena itu diartikan mendukung pelaku kudeta.

4. Soeharto

Soebandrio dalam jurnalnya Kesaksianku tentang G30S (2000) menuliskan, bahwa sejumlah pihak menduga Soeharto sempat bertemu dengan Latief dan Letkol Untung, pemimpin aksi penculikan perwira militer.

Ketika itu Latief mengungkapkan rencana kudeta Presiden Sukarno, namun Soeharto tidak menggagalkannya dan justru membiarkan hal tersebut. Selain itu Soeharto juga tidak memberitahu kejadian tersebut kepada Jenderal AH. Nasution.

5. CIA

Memasuki era 1960-an, perang tidak lagi dilakukan secara terang-terangan dengan menenteng senjata. Di era tersebut perang dilakukan dengan pemikiran yang menghasilkan buah-buah ideologi. Hal inilah yang menjadi pemicu Amerika Serikat melalui CIA diduga terlibat dalam peristiwa ini.

Ketika itu Inggris, Jepang, dan Australia tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan negara-negara yang berporos dengan ideologi tersebut. Selain itu, Uni Soviet yang trurut membantu Indonesia dalam pembebasan Irian Barat juga membuat Amerika Serikat cemburu dengan hal tersebut.

GERIN RIO PRANATA

Baca juga: Tiga Versi Cerita G30S Ini Memiliki Dalang yang Berbeda-Beda

G30SPKICIASoekarnoSoeharto


Satuan elit TNI AL bernama Pasukan Tengkorak Kopaska. Pasukan ini ciri khasnya mengenakan penutup wajah gambar tengkorak. Apa kelebihannya?

Baca Selengkapnya

Hari ini, 88 tahun silam atau tepatnya 20 Juni 1934 merupakan hari kelahiran praktisi hukum Adnan Buyung Nasution. Ia membidani kelahiran LBH.

Baca Selengkapnya

Nama besar Garuda Indonesia mungkin tidak akan bergaung tanpa andil rakyat Aceh yang memberikan sumbangan emas untuk RI beli pesawat pada 1948.

Baca Selengkapnya

Surabaya menjadi kota yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan Soekarno.

Baca Selengkapnya

Presiden Pertama RI Soekarno, memiliki 3 nama. Di mana masa kecilnya?

Baca Selengkapnya

Fatmawati merupakan sosok yang punya peran penting dalam kemerdekaan Indonesia. Bukan saja sebagai istri Soekarno.

Baca Selengkapnya

Pada saat yang sama Soeharto menunjuk pensiunan Ketua Mahkamah Agung RI, Ali Said, untuk menyusun Komisi tersebut dan memilih para anggota Komnas HAM.

Baca Selengkapnya

Prabowo mengingatkan pada seluruh wisudawan agar tidak pernah mau diajak atau terjerumus pada ajaran yang radikal.

Baca Selengkapnya

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan bahwa disertasinya ditujukan agar impian Megawati Soekarnoputri terwujud.

Baca Selengkapnya

Hari ini, 3-4 Juni 1989, terjadi tragedi berdarah di Cina. Kala itu, mahasiswa melakukan protes untuk menuntut demokrasi di Lapangan Tiananmen.

Baca Selengkapnya

 TUGAS SEJARAH

XII IPA 6

PERISTIWA G-30-S/PKI

A.    Perkembangan PKI pada Masa Demokrasi Terpimpin

            Sejak demokrasi terpimpin dilaksanakan di Indonesia , keiatan politik didominasi oleh PKI. Perkembangan politik pada saat itu didasarkan pada pelaksanaan ide nasakom [nasionalis, agama, dan komunis]. Hal ini menyebabkan PKI mendapatkan kesempatan untuk memperluas pengaruhnya disemua lapisan masyarakat termasuk di pemerintahan dan ABRI. Pengaruh PKI semakin meluas di masyarakat disebabkan oleh hal-hal berikut.

a.       Keputusan pemerintah membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia [PSI] yang merupakan kekuatan politik pesaing PKI pada bulan Agustus 1968.

b.      Kondisi ekonomi yang menurun dimanfaatkan olek PKI untuk membangun simpati terutama dikalangan masyarakat bawah karena mereka paling mengalami tekanan ekonomi akibat harga-harga barang yang tidak terbeli.                                                                                        

c.       Keberhasilan PKI memobilisasi para buruh, petani, nelayan, pedagang kecil, dan pegawai rendahan dengan menjanjikan untuk mendapatkan kenaikan pendapatan.

B.     Berbagai Aksi PKI sebelum G-30-S/PKI

            PKI menjelang akhir masa Demokrasi Terpimpin telah memperoleh kedudukan yang kuat dan menjadi salah satu partai terbesar dalam Pemilu 1 tahun 1955 setelah PNI,Masyumi, dan NU. Beberapa tindakan PKI sebelum peristiwa G-30-S/PKI, antara lain sebagai berikut.

a.        Melakukan aksi-aksi pemogokan yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan kereta api, seperti di Purwokerto [Januari 1964], Cirebon [14 Mei 1964], Semarang [6 Juli 1964], Bandung [31 Agustus 1964], dan Tasikmalaya [11 Oktober 1964].

b.      Melakukan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh ormas-ormas PKI di beberapa daerah, seperti di Indramayu [16 Oktober 1964], Bandar Betsy [14 Mei 1965], Kanigoro [13 Januari 1965], dan pengrusakan kantor gubernur Jawa Timur [27 September 1965].

c.       Melakukan ilfiltrasi [penyusupan] dalam organisasi masyarakat dan sosial politik serta TNI.

d.      Mengusulkan pembentukan Angkatan Kelima.

e.       Mengadakan latihan kemiliteran bagi ormasnya, seperti Pemuda Rakyat dan Gerwani.

f.       Menciptakan isu ‘’Dewan Jenderal’’ yang akan melakukan kudeta kepada perintah.

g.      Menyingkirkan lawan-lawan politik PKI, seperti pembubaran Partai Murba oleh pemerintah atas desakan PKI.

C.    Pertentangan antara PKI dan Angkatan Darat [AD]          

            Adanya perbedaan ideology dan kepentingan antara PKI dan Angkatan Darat menyebabkan keduanya bersaing satu sama lain. Sesuai dengan ideologi yang dianutnya, PKI berkepentingan merintis berdirinya Negara komunis. Sedangkan Angkatan Darat sebagai kekuatan pertahanan Negara berkepentingan mengamankan Pancasila sebagai dasar Negara.

            Pada bulan Januari 1965 PKI mengajukan gagasan pembentukan Angkatan Kelima. Gagasan tersebut berisi tuntutan agar kaum buruh dan tani dipersenjatai. Hal tersebut dilakukan untuk menggalang kekuatan menghadapi neokolonial imperialisme [neokolin] Inggris dalam rangka Dwikora. Pada bulan Mei 1965, PKI melempar isu adanya Dewan Jenderal dalam tubuh Angkatan Darat. Menurut PKI, Dewan Jenderal ditafsirkan sebagai badan yang mempersiapkan perebutan kekuasaan dari Presiden Soekarno.                                                                                                                                                                                          Angkatan Darat secara tegas menolak gagasan pembentukan Angkatan Kelima. Menurut Men/Pangad Letnan Jenderal Ahmad Yani, pembentukan Angkatan Kelima tidak efisien dan merugikan revolusi Indonesia. Penolakan pembentukan Angkatan Kelima dinyatakan pula oleh Laksamana Muda Martadinata atas nama Angkatan Laut. Mereka hanya dapat menerima jika Angkaan Kelima berada dalam lingkungan ABRI dan ditangan komando perwira yang professional. Adapun dalam menanggapi adanya isu Dewan Jenderal, melainkan Dewa jabatan dan Kepangkatan Tinggi [Wanjakti] yang bertugas memberikan usul kepada men/pangad tentang promosi jabatan dan pangkat para perwira tinggi.

            Di tengah persaingan antara PKI dan Angkatan Darat, pada bulan Juli 1965 muncul berita tentang memburuknya kesehatan Presiden Soekarno. Menurut tim dokter yang khusus didatangkan dari RRC, ada kemungkinan presiden akan lumpuh jika tidak meninggal. Pimpinan PKI yang mengetahui beraita itu langsung dari dokter-dokter RRC, merasa perlu segera mengambil tindakan.

D.    Sebab – sebab Munculnya G30 S/PKI

Sejak D.N. Aidit terpilih menjadi ketua PKI tahun 1951, ia dengan cepat membangun kembali PKI yang porak – poranda akibat kegagalan pemberontakan tahun 1948. Usaha tersebut berhasil dan PKI dalam pemilu 1955 menempati urutan pertama .

PKI ingin merebut kekuasaan melalui parlemen pada masa demokrasi terpimpin dan juga menguasai wilayah Republik Indonesia . Untuk mencapai itu PKI melakukan cara :

a.       Membentuk biro khusus yang secara rahasia bertugas mempersiapkan kader – kader di berbagai organisasi politik termasuk ABRI .

b.      Memengaruhi Presiden Soekarno untuk menyingkirkan dan melenyapkan lawan – lawan politiknya.Tampak dengan dibubarkannya Partai Masyumi, PSI, dan Partai Murba oleh presiden .

c.       Memecah belah PNI menjadi 2 kelompok dengan menyusupkan Ir. Surachman [seorang tokoh PKI] ke dalam tubuh PNI .

Setelah PKI merasa cukup kuat , dihembuskan isu bahwa pimpinan TNI AD membentuk Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada saat peringatan Hari Ulang Tahun ABRI 5 Oktober 1965. PKI juga menyebutkan bahwa anggota Dewan Jenderal itu adalah agen Nekolim [Amerika Serikat/Inggris. Tuduhan itu ditolak AD, bahkan AD langsung menuduh PKI yang melakukan perebutan kekuasaan.

Namun dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ABRI 5 Oktober 1965, puluhan ribu tentara telah berkumpul di Jakarta sejak akhir bulan September 1965, sehingga dugaan – dugaan akan terjadinya kudeta semakin bertambah santer.

1.      Peristiwa G30S/PKI

Menjelang terjadinya peristiwa G30S/PKI , tersiar kabar bahwa kesehatan Presiden Soekarno menurun dan kemungkinan akan lumpuh/meninggal. Mengetahui hal tersebut D.N Aidit langsung memulai gerakan. Rencana gerakan diserahkan kepada Kamaruzaman [alias Syam] yang diangkat sebagai ketua Biro Khusus PKI dan disetujui oleh D.N Aidit. Biro khusus ini menghubungi kadernya dikalangan ABRI , seperti Brigjen Supardjo, Letnan Kolonel Untung dari Cakrabirawa, Kolonel Sunardi dari TNI AL , Marsekal Madya Omar Dani dari Tni AU dan Kolonel Anwar dari Kepolisian.

Menjelang pelaksanaan Gerakan 30 September 1965, pimpinan PKI telah beberapa kali mengadakan pertemuan rahasia. Tempat pertemuan terus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Melalui serangkaian pertemuan itu, pimpinan PKI menetapkan bahwa Gerakan September 1965 secara fisik dilakukan dengan kekuatan militer yang di pimpin oleh Letnan Kolonel Untung , Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa [Pasukan Pengawal Presiden] yang bertindak sebagai pimpinan formal seluruh gerakan.

Sebagai pemimpin dari Gerakan G30S/PKI 1965, Letnan Kolonel Untung mengambil keputusan dan memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk siap dan mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965. Pada dini hari itu, mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap 6 perwira tinggi dan seorang perwira pertama dari AD. Para perwira disiksa dan selanjutnya dibunuh. Mereka dibawa ke Lubang Buaya. Selanjutnya dimasukkan ke dalam sumur tua, kemudian ditimbun dengan sampah dan tanah. 7 korban tersebut :

1.      Letnan Jenderal A. Yani [ Menteri/Panglima AD / Men Pangad ]

2.      Mayor Jenderal R. Soeprapto [ Deputy II Pangad ]

3.      Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo [ Deputy III Pangad ]

4.      Mayor Jenderal Suwondo Parman [Asisten I Pangad ]

5.      Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan [ Asisten IV Pangad ]

6.      Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo [Inspektur Kehakiman/Oditur]

7.      Letnan Satu Pierre Andreas Tendean [Ajudan Jenderal A.H Nasution.

Ketika terjadi penculikan Jendral A.H Nasution berhasil menyelamatkan diri. Namun putrinya yang bernama Ade Irma Suryani gugur. Ajudan Jenderal A.H Nasution yang bernama Letnan Satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban. Korban lainnya adalah adalah pembantu Letnan Polisi Karel Satsuit Tubun.

Pada waktu bersamaan , G30S/PKI mengadakan perebuta  kekuasaan di Yogyakarta , Solo, Wongiri dan Semarang. Selanjutnya G30S/PKI mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi melalui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965 yang dibacakan oleh Letnan Kolonel Untung . Dewan Revolusi di Yogyakarta diketuai oleh Mayor Mulyono. Mereka telah melakukan penculikan erhadap Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono. Ke 2 perwira TNI AD dibunuh oleh gerombolan penculik didesa Kentungan . PENUMPASAN G30S/PKI DAN TUNTUTAN MASSA DALAM PEMBUBARANNYA

  1. 1. TINDAKAAN KOSTRAD
    1. Penilaian Panglima Kostrad

Pada hari Jum’at tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari, setelah memperoleh informasi terjadinya penculikan dan pembunuhan terhadap pimpinan TNI-AD , pangkostrad Mayjend TNI Soeharto segera mengumpulkan staffnya di markas Kostrad, untuk mempelajari situasi. Dalam rapat tersebut Pangkostrad belum mendapat gambaran yang lengkap dan jekas tentang gerkan yang beru saja terjadi, serta belum mengetahui tempat presiden berada. Setelah tampilnya Letkol Inf. Untung, seorang perwira menengah TNI-AD yang pernah berdinas dalam jajaran Kodam VII/Doponegoro dan beliau ketahui sebagai anggota PKI, dengan pengumuman pertamannya yang disiarkan setelah warta berita RRI Jakarta pukul 07.00, maka Pangkostrad Mayjend TNI Soeharto mempunyai keyakinan bahwa Gerakan 30 September adalah gerakan PKI yang bertujuan menggulingkandan merebut kekuasan dari Pemerintah RI yang sah.

      Berdasarkan keyakinan itu, Pangkostrad Mayjend TNI Soeharto segera menyusun rencana untuk menumpas gerakan pengkhiatan tersebut. Beliau segera mengkonsolidasikan dan menggerakkan personil Markas Kostrad dan satuan-satuan lain di Jakarta yang tidak mendukung Gerakan 30 September, disertai dengan usaha menginsyafkan kesatuan-kesatuan yang digunakan oleh Gerakan 30 September. Imbangan kekuatan makin tidak menguntukan pihak Gerakan 30 September, terutama setelah sebagian besar satuan yang digunakan oleh beberpa perwira yang dibina PKI berhasil disadarkan dan kembali menggabungkan diri kedalam Komando dan pengendalian Kostrad. Setelah pasukan-pasukan yang dopengaruhi oleh G30S berhasil disadarkan, maka langkah selanjutnya adalah merebut RRI Jakarta dan Kantor Besar Telkom yang sejak pagi-pagi diduduki oleh pasukan Kapten Inf. Suradi yang berada dibawah komando Kolonel Inf. A. Latief. Pada pukul 17.00 pasukan RPKAD dibawah pimpinan Kolonel Inf. Sarwo Edhie Wibowo diperintahkan merebut kembali kedua objek penting tersebut dengan sejauh mungkin menghindari pertumpahan darah.

Pada pukul 17.20 Studio RRI Jakarta telah dikuasai oleh RPKAD dan bersamaan dengan itu telah direbut pula Kantor Besar Telkom. Setelah diperoleh laporan bahwa daerah di sekitar pangkalan Uadara Halim  Perdanakusuma digunakan sebagai basis Gerakan 30 September, operasi penumpasan diarahkan ke daerah tersebut. Perkembangan menjelang petang tanggal 1 Oktober 1965 berlangsung dengan cepat. Pasukan pendukung G 30 S yang menggunakan Pondok Gede sebagai basis segera menyadari adanya situasi yang semakin tidak menguntungkan gerakannya. Situasi menjadi semakin gawat bagi pasukan G 30 S setelah Presiden memerintahkan secara lisan kepada Brigjen TNI Soepadjo agar pasukan-pasukan yang mendukung G 30 S menghentikan pertummpahan darah.

Setelah RRI berhasil dikuasai kembali oleh RPKAD, pada pukul 19.00 Mayjen TNI Soeharto selaku pimpinan sementara AD menyampaikan pidato radio yang dapat ditangkap diseluruh wilayah tanah air. Dengan bukti-bukti siaran G 30 S melalui RRI Jakarta Soeharto menjelaskan bahwa telah terjadi tindakan pengkhianatan oleh apa yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Selanjutnya dijelaskan bahwa G 30 S telah melakukan penculikab terhadap beberapa Perwira Tinggi TNI-AD, sedangkan Presiden dan Menko Hankam/Kasab Jendral TNI A.H. Nasution dalam keadaan aman. Situasi Ibu Kota Negara telah dikuasai kembali dan telah dipersiapkan langkah-langkah untuk menumpas G 30 S tersebut. Untuk sementara pimpinan AD dipegang oleh Soeharto. Pidato Pangkostrad tersebut dapat menentramkan hati rakyat yang seharian penuh diliputi suasana gelisah dan tanda tanya.

Pasukan pendukung G 30 S setelah melakukan perlawanan lebih kurang setengah jam, pada tanggal  2 Oktober 1965 pukul 14.00 menghentikan perlawanannya dn melarikan diri dari Pondok Gede.

  1. 2. TUNTUTAN MASSA DALAM PEMBUBARAN PKI
    1. 1. Reaksi Partai Politik dan organisasi Massa

Kenyataan menunjukkan bahwa setelah tersiar adanya G 30 S melalui studio RRI Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965, baik parpol maupun ormas belum menentukan sikap karena sama sekali tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan latar belakangnya. Mereka belum mempunyai pedoman untuk menanggapinya. Situasi maupun kondisi sosial politik pada saat itu memaksa mereka bertindak sangat cermat sekali agar sikap yang mereka ambil jangan sampai menimbulkan kerugian politis bagi partai atau golongan.

Baru setelah mendengar siaran langsung pidato Soeharto ditempat ditemukannya para korban penculikan pada tanggal 4 Oktober 1965 dan siaran upacara pemakaman para pahlawan Revolusu tanggal 5 Oktober 1965, keluarlah pernyataan-pernyataan dan ormas yang umumnya bernada sebagai berikut:

1.      Mengucap syukur atas terhindarnya presiden Soekarno dari bahaya;

2.      Tetap berdiri penuh di belakang presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno;

3.      Mengutuk pemberontakan dan pengkhianatan G 30 S

4.      Tindakan Spontan Massa terhadap PKI

Setelah diperoleh tanda-tanda yang semakin jelas bahwa PKI adalah dalang dari pelaku Gerakan 30 September, mulailah terjadi aksi-aksi spontan berbagai kelompok massa pemuda, mahasiswa dan pelajar. Pada tanggal 8 Oktober 1965 mulai terjadi aksi-aksi massa menyerbu gedung-gedung kantor PKI serta ormas-ormasnya. Aksi-aksi massa tersebut terjadi diberbagai daerah dan tempat-tempat dimana terdapat basis-basis kekuatan PKI disitu terjadi suasana tegang dan konflik fisik.

Sementara itu tanggal 8 Oktober 1965 di taman Suropati Jakarta, partai politik dan berbagai organisasi massa melakukan apel kebulatan tekad untung mengamankan Pancasila. Apel kebulatan tekad tersebut juga mendesak Presiden untuk membubarkan PKI beserta ormas pendukungnya, membersihkan kabinet, DPR-GR, MPRS, serta lembaga-lembaga  negara lainnya dari unsur-unsur G 30 S/PKI.

Kegiatan penindakan terhadap PKI yang semula hanya timbul secara spontan dari masing-masing golongan masa, pemuda, mahasiswa dan pelajar kemudian menjadi lebih luas. Pada tanggal 2 Oktober 1965 berbagai partai politik yaitu NU, IPKI, Partai Katolik, Parkindo, PSII, unsur-unsur perti, dan unsur-unsur PNI, serta ormas-ormas aanti komunis seperti Muhamadiyah, SOSKI, dan lain-lain membentuk dan begabung menjadi fron Pancasila.

Dengan memperhatikan munculnya suasana yang sama dilingkungan mahasiswa dalam menuntut pembubaran PKI dan menyerbu gedung-gedung PKI, tanggal 25 Oktober 1965 Menteri perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan [PTIP], Brigjen TNI dr. Syarif Thayeb, memanggil beberapa tokoh dari organisasi mahasiswa. Beliau mengatakan bahwa untuk menghadapi gerakan komunis, para mahasiswa agar tidak bergerak sendiri-sendiri tetapi terpadu dalam satu kesatuan aksi. Dan menganjurkan kepada mahasiswa agar membentuk Gerakan Mahasiswa yang terpadu dengan nama “ Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia” [KAMI]. Sejak saat itulah terbentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang kemudian diikuti oleh munculnya berbagai kesatuan aksi lainnya. Kesatuan-kesatuan aksi ini tergabung dalam Badan Koordinasi Kesatuan Aksi. Pada tanggal 31 Desember 1965 BKKA dan Fron Pancasila menandatangani naskah deklarasi mendukung pancasila, yang bertujuan menggalang persatuan antara rakyat dan ABRI sebagai Dwi Tunggal dalam mengamalkan ideologi pancasila secara murni serta menolak usaha pembelaan terhadap Gerakan 30 September dalam bentuk apapun.

5.      Tri Tuntutan Rakyat [Tritura]

      Janji yang berulang kali diucapkan Presiden Soekarno untuk memberikkan penyelesaian politik yang adil terhadap pemberontakan G-30-S/PKI belum juga diwujudkan. Sementara itu, gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI kian keras dan bertambah luas. Situasi yang menjurus kearah konflik politik tersebut bertambah lagi dengan munculnya rasa tidak puas terhadap kesdaan ekonomi negara.

Dalam keadan serba tidaak puas dan tidak sabar, akhirnya tercetuslah Tri-Tuntutan hati Nurani Rakyat, atau lebih dikenal sebagai Tri Tuntutan Rakyat, yang disingkat menjadi Tritura. Dengan dipelopori oleh KAMI dam KAPI, pada tanggal 12 Januari 1966 kesatuan-kesatuan aksi yang bergabung dalam fron Pancasila memenuhi halaman DPR GR dan mengajukan tiga buah tuntutan yang kemudian dikenal sebagai Tritura itu, yang isinya adalah :

  1. Pembubaran PKI;
  2. Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI; dan
  3. Penurunan harga dan perbaikan ekonomi.
  4. KOMANDO PEMULIHAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN

      Sore hari tanggal 2 Oktober 1965 setelah berhasil mengiuasai kembali keaasaan kota Jakarta, Mayend Soeharto menemui Presiden di Istana Bogor. Dalam pertemuan tersebut presiden memutuskan untuk secra langsung memegang tampuk PimpinanAngkatan Darat yang semenjak tanggak 1 Iktober 1965 untuk  sementara Mayjend Soeharto. Sebagai pelaksana harian presiden menunjuk Mayjend Pranoto Reksosamudro untuk  menyelenggarakan pemulihan keamanan dan ketertiban seperti sedia kala ditunjuk Mayjend Soeharto, panglima Kostrad.

Keputusan tersebut disiarkan oleh Presiden dalam Pidato melalui RRI Pusat dini hari pukul 01.30 tanggal 3 Oktober 1965. Pengangkatan Mayjend Soeharto sebagai panglima operasi pemulihan keamanan dan ketertiban serta pembentukan komando operasi pemulihan keamanan dan ketertiban [Kopkamtib] kemudian diatur dengan Kepres/Pangti ABRI/Koti Nomor 142/Koti/1965 tanggal 1 November 1965,  Nomor 162/Koti/1965/tgl 12 November 1965 dan Nomor 179/Koti/1965 tanggal 6 Desember 1965.

Tugas pokok Kopkamtib adalah memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibat-akibat peristiwa Gerakan 30 September serta menegakkan kembali kewibawaan pemerintah pada umumnya dengan jalan operasi fisik,  militer dan mental. Dalam usaha penumpasan gerakan pemberontakan ini, di mana-mana ABRI mendapat bantuan dari rakyat dan bekerjasama dengan organisai-organisasi politik dan organisasi-organisasi massa yang setia kepada pancasila.

      Pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto, menteri/pangad, yang pokoknya berisi perintah kepada Letjen Soeharto untuk atas nama presiden/Pangti ABRI/peminpim besar Revolusi, mengambil sega tindakan yang dianggap perlu guna terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kesetabilam pemerintahan.

Pemberian surat perintah tersebut merupakan pemberian kepercayaan dan sekaligus pemberian wewang kepda Letjend Soeharto untuk mengatasi keadaan yang waktu itu serba tidak menentu. Keluarnya Surat Perintah tersebut disambut dengan semangat yang menggelora oleh rakyat dan durat perintah tersebut sering disebut “Supersemar” [Surat Perintah 11 Maret]. Berdasarkan kewenangan yang bersumber pada Supersemar, dengan menimbang masih adanya kegiatan sisa-sisa G30S/PKI serta memperhatikan hasil-hasil pengadilan dan keputusan Mahkamah militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh G30S/PKI, pada tanggal 12 Maret 1966 Letjend Soeharto atas nama Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi menandatangani Surat Keputusan Prsiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/PBR. No 1/3/1966, yaitu pembubaran PKI dan organisasi-organisasi yang bernaungdan berlindung dibawahnya serta menyatakan sebagai organisasi terlarang di wilayah kekuasaan Negara RI.

      Berdasarkan wewenang yang bersumber pada Supersemar, Letjend Soeharto atas nama Presiden menetapkan pembubaran dan pelarangan PKI, termasuk semua bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai kedaerah beserta semua organisasi yang se azas/ berlindung/bernaung dibawahnya, keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden/Pangti ABRI/mandataris MPR/PBR no.1/3/1966 tanggal 12 maret 1966 dan merupakan tindakan pertama Letjen Soeharto sebagai pengemban perintah 11 Maret atau Supersemar.

Keputusan pembubaran dan pelarangan  PKI itu diamabil oleh pengemban Supersemar berdasarkan pertimbangan bahwa PKI telah nyata-nyata melakukan perbuatan kejahatan dan kekejaman. Bukan itu saja, tetapi telah dua kali pengkhianatan terhadap negara dan rakyat Indonesia yang sedanag berjuang.

Seluruh rakyat yang menjunjung tinggi landasan falsafah dan ideologi Pancasila waktu itu serentak menuntut dibubarkannya PKI. Oleh karena itu, keputusan pembubaran PKI itu disambut dengan gembira dan perasaan lega oleh seluruh rakyat Indonesia.

a.       Pasca Kejadian

            Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang  dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan “penghargaan penuh” atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni- Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontrarevolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia.” Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para “pemberontak” dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan. Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan ”persatuan nasional”, yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung “pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama “Tribune”. Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: “Kita dan rekanrekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik…Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan…Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam.” Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah

b.      Asumsi Penangkapan dan Pembunuhan

            Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua

partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan

diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah [bulan Oktober], Jawa Timur [bulan November] dan Bali [bulan Desember]. Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu. Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas didekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu “terbendung mayat”. Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah “Time” memberitakan: ”Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungaisungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius.” Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhanpembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galiangalian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus. Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh temanteman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis “anti-Tionghoa” terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat. Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kampkamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Semua hal tersebut hanyalah asumsi-asumsi yang dihembuskan pihak asing dan konco-koco PKI setelah kejatuhan Suharto, hal tersebut bisa dikatakan asumsi karena sampai saat ini tidak ada bukti nyata pembantaian-pembantaian tersebut. Bahkan sampai saat ini, bekas anggota PKI masih banyak yang masih hidup dan tidak dipenjara atau dibunuh. Asumsi-asumsi demikian sangat menghancurkan citra bangsa Indonesia di mata dunia Internasional, perlu diluruskan bahwa semua asumsi-asumsi pembunuhan dan pembantaian memiliki sumber yang tidak jelas dan tidak dapat

dipercaya.

Pemulihan Keamanan dan Ketertiban

§  Mayjen Soeharto ditugaskan untuk pemulihan keamanan danketertiban yang terkait dengan G30S/PKI.

§  Kebijakan Presiden Soekarno mengenai penyelesaian G30S/PKIdinyatakan dalam sidang paripurna Kabinet Dwikora tanggal 6Oktober 1965 di Istana Bogor.

Penumpasan G30S/PKI di Jawa Tengah dan Yogyakarta

§  Brigjen Surjosumpeno segera memanggil para perwira untukmelakukan taklimat.

§  Pangdam memerintahkan kepada para pejabat supaya tetap tenang dan berusaha untuk menenangkan rakyat karena situasi yang sebenarnya belum diketahui. Berangkat ke Magelang untuk menyusun kekuatan.

§  Tanggal 2 Oktober membebaskan kota Semarang dengan kekuatan 2 pleton BTR.

§  Kota demi kota yang pernah dikuasai oleh pihak G30S/PKI itu berhasil direbut kembali.

§  Dibentuk Komando Operasi Merapi yang dipimpin oleh KolonelSarwo Edi Wibowo.

§  Kolonel Sahirman, Kolonel Maryono, dan Kapten Sukarno berhasilditembak mati.

§  Di Blitar dengan nama Operasi Trisula.

§  Di luar Jakarta dan Jawa Tengah cukup dilakukan dengan GerakanOperasi Territorial.f.

§  Dampak Sosial-Politik Peristiwa G30S/PKI terhadap masyarakatIndonesia

§  Kondisi politik Indonesia masih belum stabil, kehidupan ideologynasional belum mapan, kemelaratan di mana-mana, keamanannasional sulit dikendalikan.

PENUMPASAN G30S/PKI DI JAWA TENGAH DAN YOGYAKARTA

            Ketika meletus G30S/PKI, daerah yang paling gawat keadaannya adalah di Jakarta dan Jawa Tengah. Kodam VII/Diponegoro memiliki 3 brigade, yaitu 4,5,6. Sebagai hasil penggarapan biro khusus PKI, anggota brigade 4 digunakan oleh kaum PKI, sedangkan pada brigade 5 hanya sedikit yang terpengaruh oleh PKI, hanya brigade 6 yang tidak terpengaruh. Batalyon yang yang sering digunakan oleh kaum PKI adalah Batalyon K dan M yang berkedudukan di solo. Batalyon L dan C berkedudukan di Jogjakarta, serta Batalyon D berkedudukan di Salatiga.

Munculnya G30S/PKI di Jawa Tengah diawali dengan siaran RRI Semarang.

Dewan Revolusi Yogyakarta mengumumkan melaui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965 bahwa ketua PKI di Yogyakarta adalah Mayor Mulyono. Dengan Batalyon L mereka menguasai Makorem 072 dan menculik kepala staf yaitu Letnan Kolonel Sugiyono.Pada tanggal 2 Oktober 1965 terjadi demonstrasi anggota PKI dan organisasi massanya di depan Makorem 072 untuk menyatakan dukungannya terhadap gerakan 30 september 1965.

Mereka menculik Komandan Brigade 6 Kolonel Azahari, Kepala Staf Brigade 6 Letnan Kolonel Purwoto, Kepala Staf Kodim 735 Mayor Soeparman, Komandan Polisi Militer Detasemen Surakarta Kapten Prawoto dan Komandan Batalyon M, Mayor Darso. Selain melakukan penculikan, mereka juga melakukan pendudukan terhadap kantor RRI, telekomnikasi dan bank-bank negara. Pada tanggal 2 Oktober 1965, Wali kota Solo Oetomo Ramelan menyatakan dukungan kepada PKI.

Pangdam VII/ Diponegoro, Brigadir Jendral Surjosumpeno,setelah mendengar pengumuman dari Kolonel Untung melalui radio, segera memanggil perwira stafnya dan Sad Tunggal Jawa Tengah unutk mengadakan Taklimat[briefing].

Atas dasar keadaan yang tidak sesuai harapan di Semarang, Salatiga dan Solo. Panglima daerah VII/Diponegoro mengadakan taklimat dengan komandan setempat dan memutuskan unutk menggerakan pasukan dalam upaya memberantas G30S/PKI.

Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 2 Oktober 1965. Pasukan bergerak pada pukul 05.00 untuk membebaskan kota Semarangdengan kekuatan 2 pleton BTR[Broneto Transportasi], yaitu kendaraan yang mengangkut personil Kavaleri pimpinan Jassin Husein dan 1 Batalyon Artileri Medan dengan tugas infantry.

Untuk memantapkan konsilidasi Kodam VII/Diponegoro, pada tanggal 5 Oktober 1965 Pangdam Mengdakan taklimat secara simultan dengan para komandan pleton di kota Salatiga, Solo, dan Yogyakarta.

Untuk mengatsi kekacauan pada tanggal 16 Oktober 1965 dengan bantuan RPKAD serta pasukan Kavaleri Pangdam VII/Diponegoro tiba di Semarang tanggal 19 Oktober 1965. Daerah Jateng yang dianggap paling gawat adalah Surakarta, Klaten, dan Boyolali.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 dibentuk komando operasi merapi yang dipimpin oleh Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Dalam operasi ini pimpinan PKI Jateng seperti Kolonel Sahirman, Kolonel Maryono, dan Kapten Sukarno ditembak mati. Dengan keberhasilan itu, pada tanggal 30 Desember pasukan RPKAD di tarik dari Jateng kembali ke Jakarta.

Pembersihan terhadap PKI juga di lakukan di Blitar Selatan, di namai Operasi Trisula pada tanggal 3 Juli 1968. Operasi berlangsung satu setengah bulan dan menangkap 850 orang PKI yang mendukung G30S/PKI. Operasi penumpasan juga dilakukan di perbatasab Jateng dan Jatim, yaitu di daerah gunung Lawu dan Kendeng, sedikitnya 200 kader  PKI tertangkap. Penumapasan di Purwodadi setelah tercium bahwa PKI gelap Membangu STPR[Sekolah Tentara Perlawanan Rakyat].

Dalam operasi itu berhasil menangkap Supono Marsudidjojo, orang kedua biro PKI. Di luar Jakarta dan Jateng operasi hanya dilakukan dengan Territorial dan penangkapan tokoh.

Secara keseluruhan pemberontakan yang bernama G30S/PKI yang ditengarai di dukung oleh PKI telah berhasil ditumpas.

Page 2

Video yang berhubungan