Berikan penjelasan oleh kalian bagaimana berdakwah melalui pendekatan kultural

Menjalankan Suatu perusahaan perlu dilakukan perencanaa, pelaksanaan, dan evaluasi

Apakah bisnis yang etis sama dengan bisnis yang sukses

15.menjelaskan perbedaan antara perdagangan dalam negeri dan perdagangan internasional

Alasan pemerintah menggunakan hasil pemungutan pajak untuk

Apa saja contoh-contoh kasus yang tergolong dalam pasar monopsoni adalah

Apa yang dimaksud dengan kebaikan dari sistem ekonomi komando, ….

Apa saja yang merupakan dampak negatif adanya kerja sama ekonomi antar negara adalah....

Apa yang akan terjadi jika taktik negosiasi tidak mencapai kesepakatan ? apakah ada alternatif lain yang akan dipakai untuk mencapai kesepakatan ?

Aspek pelayanan yang dievaluasi konsumen yang jelas tampak oleh mata dinamakan

Faktor yang menyebabkan kurva permintaan honda bergeser ke kanan adalah

Oleh: H. Khumaini Rosadi, SQ., M.Pd.I

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- “Dakwahkan Islam di luar negeri dengan pendekatan budaya”, pesan Parni Hadi, Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa kepada Dai Ambassador Cordofa 2017 – setelah selesai memerankan tokoh sunan kalijaga, pada pementasan seni ketoprak, 21 Mei 2017 lalu di Rumah Budaya Nusantara Puspo Budoyo, Ciputat – Banten.

Sebagaimana dulu Islam masuk ke Indonesia dengan santun, damai, dan tidak saling menyalahkan. Islam berkembang dengan adaptasi. "Penyesuaian budaya namun tetap menjaga etika. tetap menghormati ajaran pendahulunya dan membenarkannya secara perlahan," ujar Parni Hadi.

Sejarah wali songo patut menjadi referensi berdakwah bagi para dai. Baik di dalam negeri apalagi di luar negeri. Budaya saling menghargai satu sama lain untuk menciptkan toleransi sangat dianjurkan dalam Islam.

Selama tidak berlebihan. Selama ada batasan. Bila berkaitan dengan masalah sosial dan kebangsaan, wajib bertoleransi. Tetapi jika sudah menyentuh ranah aqidah dan ibadah, maka tidak boleh ditoleransi. Ini prinsip.

Sunan kalijaga contohnya. Menerapkan model dakwah dengan pendekatn budaya, yaitu dengan melalui lagu dan wayang. Kita mengenal lagu ilir-ilir, itu ciptaan sunan kalijaga. Wayang dengan tiket masuk nontonnya membaca Kalimosodo, artinya dua kalimat syahadat.

Dan di dalamnya ada peran tokoh lakon Yudhistitira, bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Itu semua digambarkan sebagai Rukun Islam. Dua kalimat Syahadat – Yudhistira. Shalat – Bima. Puasa – Arjuna. Zakat – Nakula. Haji - Sadewa.

Begitu indah cara dan model walisongo menyebarkan Islam. Pengajarannya disampaikan dengan santun, tidak serta merta langsung menyalahkan, dan tidak langsung menghilangkan tradisi lama yang sudah turun temurun. Pendidikannya disampaikan secara pelan-pelan tapi pasti. Slowly but sure.

Sebagaimana kisah Rasulullah menenangkan orang Baduy yang buang air kecil di masjid, sedangkan ada sahabat yang ingin memarahinya. Tetapi Rasulullah katakan biarkan sampai habis dulu air seninya, jangan dikejutkan sehingga berantakan atau berceceran ke mana-mana.

Bila sudah selesai, nanti tinggal disiram dengan air, baru diberikan nasihat bahwa ini masjid, suci. Tidak boleh sembarangan buang air kecil. Subhanallah. Begitu santun ajaran Islam. Ini budaya Islam, saling mengingatkan.

Contoh lain, ketika Rasulullah berhadapan setiap pagi dengan nenek-nenek buta yang selalu berteriak, jangan dekati Muhammad! Jangan percaya Muhammad! dan menuduhkan tuduhan-tuduhan yang tidak baik kepada Rasulullah. Padahal Rasulullah ada di depannya.

Dengan santunnya Rasulullah menyuapinya setiap pagi dan menyembunyikan identitasnya. Setelah beliau wafat, dan sunnah ini diteruskan oleh Abu Bakar Shiddiq, barulah si nenek tahu dari keterangan Abu Bakar ternyata yang biasa menyuapinya setiap pagi adalah Muhammad, terkejut bukan kepalang.

Lantas seketika itu juga di hadapan Abu Bakar, nenek tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat. Subhanallah. Budaya santun yang baik sekali. Ini Islam. Akhlak Rasulullah yang begitu mulia.

Sebagaimana Allah mengharamkan Khamr dan Judi secara perlahan.

Tersebut dalam Alquran, proses pengharaman Khamr dan judi secara Pelan-pelan, tidak langsung memvonis haram. Disampaikan dulu perbandingan halal dan haram, lalu dijelaskan manfaat dan mudlaratnya, yang ternyata mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya.

Lalu disampaikan tidak boleh shalat dalam keadaan mabuk. Padahal shalat adalah cara mendekatkan diri dengan Allah, baru tahapan akhir dijelaskan bahwa Khamr dan judi hukumny haram.

Sampai empat kali tahapan, Khamr dan judi baru diharamkan secara jelas.  Bertahap-tahap pengharamannya, karena tradisi khamr dan judi pada saat itu sudah menjadi budaya tidak baik pada zaman itu.

Menjadi seorang dai harus mampu menyebarkan ajaran Islam dengan pendekatan budaya. Bukan hanya di dalam negeri. Tetapi di luar negeri pun mengenalkan Islam harus dengan pendekatan budaya. Tentunya budaya yang baik. Budaya Indonesia yang santun. Budaya Islam yang mencerahkan. Budaya saling sapa ketika beretemu.

Budaya saling menghormati dan menghargai pendapat orang lain. Budaya saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. Indahnya Islam, disebarkan melalui kesantunan Budaya.

Saya berdakwah di Italia, khususnya di kota Roma, juga dengan pendekatan budaya. Budaya saling bersalaman ketika bertemu. Budaya berzikir bersama setelah shalat. Budaya membaca shalawat sebelum dan sesudah sholat dan kajian. Semua jamaah senang, terlihat bahagia. Indahnya budaya Islam. Indahnya budaya Indonesia.

Berikan penjelasan oleh kalian bagaimana berdakwah melalui pendekatan kultural

Perkembangan dan dinamika zaman yang demikian pesat, menuntut dakwah Islam terus memformulasi bentuknya yang tepat. Hal itu agar pesan-pesan risalah agama terakhir ini dapat diterima masyarakat di tengah globalitas dan kompleksitas permasalahan modern kini. Selain itu, juga untuk membuktikan bahwa Islam adalah doktrin yang shalih likulli zaman wa makan (Islam sesuai dengan setiap masa dan tempat). Jelas doktrin mulia yang tak pernah luntur ditelan masa itu membutuhkan orientasi dan reformulasi baru sesuai dengan tuntutan zaman.

Menjawab fenomena demikian inilah tampaknya, sebagian kalangan masyarakat kita beberapa tahun belakangan merumuskan pelbagai model dakwah Islam yang selaras dengan napas kemajuan modern. Salah satunya yang digagas ormas Muhammadiyah yang mengusung "Dakwah Kultural" Islam, sebuah model penyampaian misi Islam yang lebih terbuka, toleran, dengan mengakomodir budaya dan adat masyarakat setempat. Sejauhmana perkembangan Dakwah Kultural dan relevansinya di era modern kini? Sekjen Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), KH Hussein Umar menilai, dakwah kultural hanyalah bagian dari strategi dakwah Islam secara luas.

"Cara itu baik-baik saja, apalagi di tengah pesatnya perkembangan dewasa ini. Namun dakwah kultural bukan berarti kita diperbolehkan kompromi pada nilai-nilai lokal setempat yang dianggap bertentangan dengan ajaran Alquran dan Hadis. Hal semacam itu tetap kita tolak," ujar Hussein. Itu sebabnya, kata pria kelahiran 14 Desember 1940 ini, bahwa dakwah kultural tetap relevan. Malah, ketua komisi dakwah MUI Pusat ini menunjuk, model dakwah kultural pun sebenarnya sudah diterapkan sejak masa Nabi SAW dan para sahabatnya.

"Praktik itu tentu dengan formulasi yang disesuaikan dengan masyarakat kala itu. Jadi pendekatan kultural harus mampu menjadi solusi dakwah Islam kontemporer, jangan malah menjadi bagian dari problem dakwah itu sendiri," Hussein yang juga salah satu Ketua KISDI ini berharap. Kepada Republika, Anggota Dewan Pembina YPI Al-Azhar Jakarta ini berbicara panjang lebar di sekitar prospek dakwah kultural dan tantangan umat Islam ke depan. Petikannya:

Menurut Anda, apa yang disebut Dakwah Kultural itu?

Saya tak ingin pendekatan kita menjadi sangat dikotomis berkaitan dengan pendekatan dan cara-cara dakwah Islam dewasa ini. Bila kemudian sebagian kalangan memperdebatkan dakwah kultural, bagi saya, dakwah kultural itu merupakan salah satu dimensi dari proses dakwah itu sendiri. Kalau kita mengacu pada nas-nas Alquran maupun Hadis, dakwah itu selalu mengacu pada pemahaman, antara lain; mengajak orang lain pada kebaikan (yad'uuna ilal alkhair), seperti ditegaskan dalam Surat Ali Imran, 104. Nah, ini kemudian disebut sebagai dimensi-dimensi dakwah. Jadi, dakwah kultural lebih merupakan refleksi pemahaman, pendekatan, dan metodologi kita tentang medan dakwah. Itu sebabnya, cara yang ditempuh lebih banyak mengakomodir budaya setempat, serta lebih menyatu dengan kondisi lingkungan setempat. Hanya saja, kita jangan sampai terjebak pada peristilahan dan perdebatan yang menyesatkan lantaran istilah dakwah kultural tersebut.

Ada nggak batasan tertentu dikatakan dakwah kultural?

Pada dasarnya kategori itu sama saja dengan model dakwah-dakwah lainnya, yakni selama dakwah itu sejalan dengan nas-nas kedua sumber Islam, Alquran, dan Hadis. Memang dakwah kultural, seperti ditegaskan tadi, lebih banyak mengakomodir lokalitas (budaya setempat), tapi hal itu tidak serta merta ada semacam kompromi antara yang haq dan yang batil. Hanya saja yang perlu saya tekankan di sini, bahwa dakwah kultural lantas seolah-olah ini dianggap satu-satunya cara yang tepat. Mengapa? Karena dihadapkan dengan pendekatan-pendekatan politik. Memang pendekatan politik pada saat-saat tertentu dibutuhkan. Artinya, kalau medan yang kita hadapi itu bermuatan politik dalam kaitan kepentingan umat Islam yang lebih luas, seperti dalam kasus UU Sisdiknas beberapa waktu lalu, ya kita hadapi dengan pendekatan politik.

Kalau kita hadapi dengan pendekatan kultural ya tidak mengena, kita akan kalah. Contoh lain, dalam soal UU Peradilan Agama, pada akhir 80-an. Banyak kasus seperti itu, dari sejak Natsir dulu (meski kala itu tak terbayang, apakah dakwah kultural atau tidak, hingga kini). Karena itulah, yang ingin saya tegaskan di sini, bahwa pendekatan kultural ada waktu dan tempatnya, begitu pun pendekatan politik ada saatnya pula. Oleh sebab itu, lembaga-lembaga dakwah juga punya tanggung jawab bila dakwah sudah memasuki pendekatan politik. Nah di sinilah, saya menganggap penting pendekatan apapun, termasuk pendekatan kultural.

Kalau begitu, dakwah kultural bisa dijadikan medium tajdid dong?

Tentu saja bisa. Pembaruan itu kan banyak caranya. Kalau sekarang yang lagi dikembangkan banyak kalangan adalah dakwah kultural atau semacamnya, saya kira berpotensi besar sebagai medium pembaruan kehidupan beragama, dan itu kan yang dikehendaki oleh Islam. Bahwa adanya pembaruan itu suatu keharusan, saya kira dakwah kultural itulah sangat tepat dijadikan sarana ke arah situ.

Sejauh ini, bagaimana pendekatan dakwah yang dilakukan NU dan Muhammadiyah?

Ya, kalau saya lihat, dakwah yang dikembangkan NU kan lebih memberikan pada tekanan-tekanan tradisi, lebih berorientasi dan menghargai tradisi. Malah boleh dibilang, pendekatan kultural NU sudah sejak lama dikembangkan. Karena pada realitasnya, pendekatan lokalitas, yakni apresiasi pada nilai-nilai tradisi di masyarakat lebih besar, maka NU dapat diterima dengan cepat, khususnya di daerah-daerah pedesaan. Sementara di Muhammadiyah, memang ada semangat pembaruan yang menonjol, meski tajdid (pembaruan) yang sedari awal diusung Muhammadiyah terus mengalami frekuensi pasang-surut. Tapi saya kira kedua-duanya (NU dan Muhammadiyah) dakwahnya sama-sama kultural.

Apa kelemahan dan kelebihan dakwah yang dikembangkan kedua organisasi Islam tersebut?

Yang ideal itu dua-duanya harus bisa digabung. Kelebihan NU itu seperti tadi, lentur dan cair. Walaupun menurut sebagian kritik lenturnya jadi tidak jelas, tetapi mudah diterima oleh banyak orang. Tetapi, kelemahannya adalah menggerakkan masyarakat secara sistematis menjadi agak susah. Dan kecenderungan umat jadi tergantung pada bukan sistem, tetapi pada orang atau ketokohan. Itu yang kemudian secara ekstrem disebut muncul kultus individu. Sedangkan kelemahan Muhammadiyah adalah karena kebijakan organisasi harus ditetapkan bersama, maka menjadi tidak mudah. Kalau voting itu gampang, tapi seperti yang terjadi di Sidang Tahunan MPR kan susah juga untuk mencapai kesepakatan. Dan itu yang kemudian menjadi lambat, menjadi birokratis. Bahkan aktivis-aktivis Muhammadiyah sendiri kurang berani tampil sendiri. Karena dia selalu merujuk pada keputusan-keputusan kelompok. Tetapi, sesungguhnya Muhammdiyah bisa menjadikan organisasinya sebagai alat untuk menggerakkan masyarakat.

DDII sendiri bagaimana memandang pendekatan dakwah kultural ini?

Kami di DDII tidak melihat atau tak ingin masuk dalam wilayah memperdebatkan istilah-istilah tersebut. Bagi kami, baik dakwah kultural maupun lainnya itu, adalah bagian dari kebijakan-kebijakan dakwah. Yang penting, tekanannya itu adalah bil hikmah (dakwah disampaikan dengan pengetahuan), mauizatil hasanah (teladan positif), dan wa jadilhum billati hiya ahsan (perdebatan dengan akal sehat dan baik pula). Ketiga cara yang diisyaratkan Alquran ini kan jelas dan tegas, mengakomodir semua nilai-nilai Islam. Jadi, tak masalah, apapun caranya, yang penting tak menyalahi ajaran Islam.

Bagaimana relevansinya di tengah pluralitas dan perkembangan zaman yang demikian pesat?

Saya kira dakwah kultural akan tetap relevan, kapan pun. Tinggal bagaimana caranya saja mengemas pendekatan tersebut. Hemat saya, dakwah dengan pendekatan kultural akan lebih berhasil lagi untuk menarik lapisan elit yang mencapai tingkat kemapanan dalam hal-hal yang bersifat materi, ekonomi, politik, tapi mereka agak jauh dari kehidupan yang sesuai dengan akidah Islam. Orang-orang semacam itu, kalau didekati dengan pendekatan formalistis yang lebih menekankan pada dogma-dogma formal semacam pendekatan halal-haram, akan sulit tercapai. Boleh jadi malah akan menjauh. Maka cara terbaik terhadap kelompok seperti itu adalah pendekatan kultural.

Hanya saja, di kalangan perkotaan, bahkan di sebagian kalangan pedesaan juga, masyarakat kita ini mengalami dua kecenderungan yang sama kuat yang harus dipecahkan oleh gerakan dakwah. Pertama, kecenderungan positif, yakni fenomena transenden, dimana masyarakat kota ingin tampil lebih agamis. Maka berbondong-bondonglah orang naik haji, umrah, ingin lebih dekat dengan tuntunan-tuntunan agama, kajian keagamaan marak, dan lain sebagainya. Kedua, kecenderungan masif dan negatif, seperti fenomena sikap-sikap amoral, maraknya pornoaksi dan pornografi, dan sejenisnya. Intinya, dua hal saling berhadapan dan bertentangan ini akan terus bertarung. Karena itu, model dakwah kultural akan tetap relevan karena metodologinya kan lebih banyak kondisional dan mengakomodir lokalitas.

Lantas, apakah dakwah yang disampaikan Nabi SAW maupun para sahabatnya bisa disebut pendekatannya kultural?

Begini. Nabi, atau para sahabat itu kan berdakwah disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Sayyidina Umar bin Khattab misalnya pernah bilang, "Khatibu an-naas 'ala qadri uqulihim" (sampaikanlah ajaran Islam sesuai kadar kemampuan mereka). Jadi, saya kira cara Nabi SAW maupun sahabatnya itu bisa saja kita sebut kultural. Kita lihat bagaimana cara Nabi SAW mendekati kabilah-kabilah yang ada saat itu. Karena itu, dapat kita tiru, tentu dengan kondisi masyarakat yang berbeda kini. Dan sebenarnya apa yang dilakukan Nabi SAW dan sahabatnya itu kan cerminan dari ketiga bentuk seperti disebut dalam Alquran, yakni Mauidah hasanah, jaadil hum billati hiya ahsan, dan bil hikmah.n hery sucipto

Berikan penjelasan oleh kalian bagaimana berdakwah melalui pendekatan kultural

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...