Bandung, Rabu - 3 November 2021 Persyaratan pengajuan Upaya Adminstratif sebelum masyarakat mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara telah berlangsung beberapa tahun terakhir yakni sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif. Di dalam Perma tersebut disebutkan bahwa “Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi pemerintahan setelah menempuh upaya administratif”. Namun pelaksanaan Upaya Administrastif masih melahirkan berbagai macam pendapat dan multifatsir dalam pelaksanaan pengujian sengketa. Berdasarkan hal tersebut Direktur Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia melaksanakan Acara Bimbingan Teknis Bagi Para Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tata Usaha Negara Se-Indonesia dengan topic pembahasan utama tentang Upaya Administratif yang dilaksanakan secara during dan luring di Bandung, 3-5 November 2021. Pembukaan kegiatan Bimtek dibuka dengan keynote speaker oleh Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI, Prof.Dr.H.Supandi, S.H, M.Hum. Turut hadir dalam Pembukaan Bimtek tersebut, Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Dr.H. Yulius, S.H, M.H, Rektor Universitas Diponegoro Semarang yang juga hadir sebagai Narasumber, Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H.,M.Hum, Direktur Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Lulik Tri Cahyaningrum, S.H, M.Hum dan Direktur Pembinaan Tenaga Teknis dan Administrasi Peradilan Tata Usaha Negara selaku Ketua penyelenggara kegiatan, Dr.H.Hari Sugiarto, S.H,M.H. Namun diakui oleh Prof Supandi bahwa selain soal tenggang waktu, terdapat beberapa isu hukum yang masih perlu dikaji dan dibahas terkait dengan penerapan Upaya Administratif ini baik di ranah pemerintahan maupun di dalam praktik peradilan. Menurutnya, isu-isu tersebut antara lain bahwa sesuai Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, maka keberatan diajukan kepada Badan/Pejabat yang menerbitkan keputusan berupa Sertipikat Hak atas tanah yaitu Kepala Kantor Pertanahan, akan tetapi disisi lain Kepala Kantor Pertanahan sama sekali tidak memiliki wewenang untuk membatalkan sertipikat hak atas tanah. “Oleh karenanya keberatan yang diajukan oleh masyarakat kepada Kepala Kantor Pertanahan dapat dikatakan hampir tidak pernah dijawab” ujarnya.Isu kedua yakni terdapat beberapa permasalahan yang terkait dengan upaya administratif misalnya apakah Surat Keputusan yang diterbitkan sebelum diundangkannya Perma No. 6 Tahun 2018 juga wajib ditempuh Upaya Administratif terlebih dahulu jika baru akan diajukan gugatan saat ini yaitu setelah diterbitkannya Perma Nomor 6 Tahun 2018 ?Isu ketiga, jika Penggugat telah menempuh upaya administratif namun upaya administratif yang diajukan tersebut salah alamat bukan kepada Badan/Pejabat yang seharusnya ? apakah dibiarkan saja sampai dengan putusan akhir atau seperti apa ?, isu keempat, mengenai banding administrasi juga terdapat persoalan dimana tidak mudah menentukan siapa yang dimaksud dengan atasan Pejabat ? dan setelah menempuh Upaya Banding Administrasi, siapa yang berwenang mengadili sebagai pengadilan tingkat pertama apakah PTUN atau PTTUN ? Oleh karena itu Ketua Kamar Tata Usaha Negara MA-RI ini berharap melalui bimbingan teknis ini dapat diperoleh pemikiran-pemikiran serta kesepakatan-kesepakatan yang membangun yang dapat memecahkan berbagai persoalan tersebut diatas. Selanjutnya, selain membahas tentang Upaya Administratif, mantan Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Teknis Peradilan Mahkamah Agung RI ini juga menyinggung tentang tidak berwenangnya Peradilan Tata Usaha Negara dalam menguji dan mengadili gugatan Fiktif Positif. Menurutnya, masyarakat sudah banyak mengetahui bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah menghilangkan peran Pengadilan Tata Usaha Negara yang semula termuat didalam Pasal 53 ayat (4), (5) dan (6) juncto Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, namun banyak diantara mereka yang masih bimbang apakah Pengadilan TUN masih berwenang mengadili permohonan fiktif positif ataukah tidak. Menurutnya, Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum, diatur dalam Peraturan Presiden, sehingga fiktif positif saat ini tidak lagi berada di ranah yudikatif melainkan berada di ranah eksekutif. “ Meskipun Peraturan Presiden sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Cipta Kerja tersebut hingga kini belum diterbitkan, namun bukan berarti kita masih berwenang mengadili permohonan fiktif positif karena dasar kewenangan kita yang semula tercantum didalam Undang-Undang Administrasi Pemerintah sudah dihilangkan dengan Undang-Undang Cipta Kerja” tegas Prof Supandi. Kegiatan Bimbingan Tekhnis akan diisi dengan materi-materi yang terkait dengan Upaya Administratif yakni antara lain materi tentang, “ Upaya Administratif Dalam Sistem Peradilan Tata Usaha Negara” yang disampaikan oleh Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H, M. Hum, kemudian Materi lainnya yakni, “Upaya Administratif Dalam sengketa pegawai ASN pasca lahirnya PP Nomor 79 tahun 2021” yang akan disampaikan oleh Adni Anto.S.Sos, M.AP, Asisten Sekretaris Badan Pertimpangan Kepegawaian (BAPEK) RI dan materi terakhir yakni “ Implikasi Upaya Administratif dalam Pemeriksaan Sengketa Tata Usaha Negara Pasca Perma Nomor 6 Tahun 2018” yang akan disampaikan oleh Dr. H. Yulius, S.H.MH, Hakim Agung Mahkamah Agung RI. (IM) Pemohon diminta merombak sistematika permohonan dan memperkuat alasan permohonan karena Pasal 55 UU PTUN sebenarnya sudah pernah diuji dan putusannya ditolak. Bacaan 2 Menit Gedung PTUN Jakarta: Foto: RES Majelis Panel Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar uji materi Pasal 55 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Permohonan ini diajukan oleh Habibie, Direktur Perusahaan PT Timsco Indonesia melalui kuasa hukumnya, Dahlan Pido. Pemohon menilai aturan ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan, karena rentang waktu 90 hari untuk mengajukan gugatan ke PTUN yang diatur dalam Pasal 55 terhitung dirasa sangat singkat. Kuasa Hukum Pemohon, Dahlan Pido menilai tenggang waktu 90 hari sejak diumumkannya keputusan TUN terlalu singkat. Sedangkan, Pemohon dalam kasus ini sebenarnya bukan sebagai pihak pertama atau kedua, tetapi pihak ketiga dalam suatu keputusan TUN terkait kepemilikan pemecahan tanah. “Jika ditujukan langsung kepada pihak pertama, maka dapatlah berlaku ketentuan 90 hari ini, tetapi pemohon bukan pihak yang ditujukan langsung oleh keputusan TUN tersebut. Pemohon sebagai pihak ketiga sangat dirugikan dengan berlakunya Pasal 55 UU PTUN itu,” kata Dahlan dalam sidang pendahuluan yang diketuai Manahan Sitompul di ruang sidang MK, Senin (26/3/2018). Selengkapnya, Pasal 55 UU PTUN menyebutkan “Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.” Menurutnya, penyelesaian persoalan hukum ini semestinya berpedoman pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 tahun 1991. Dalam SEMA tersebut ada pasal yang menyebut “Memperpanjang masa tenggang waktu menggugat di PTUN. Hal ini mengingat frasa merasa kepentingannya dirugikan” tidak hanya dibatasi oleh tenggang waktu 90 hari, tetapi juga kapan saja ketika tiba-tiba muncul kondisi ada kepentingan yang dirugikan. “Dengan SEMA ini sangat dimungkinkan untuk menggugat suatu keputusan TUN yang sudah diterbitkan puluhan tahun silam,” kata dia. Page 2Pemohon diminta merombak sistematika permohonan dan memperkuat alasan permohonan karena Pasal 55 UU PTUN sebenarnya sudah pernah diuji dan putusannya ditolak. Bacaan 2 Menit Dahlan berpendapat penerapan tenggang waktu maksimal 90 hari menggugat keputusan TUN dalam Pasal 55 UU PTUN itu seharusnya bisa menggunakan asas lex spesialis derogate legi generalis. Artinya, tenggang waktu dalam Pasal itu bisa memberikan ruang khusus bagi kasus tertentu. Dia berdalih secara rasionalitas penerapan hukum tidak mudah ketentuan tenggang waktu itu dilaksanakan. “Apabila, renggang waktu menggugat ke PTUN yang sangat singkat itu masih tetap berlaku. Maka, hak menggugat pencari keadilan tidak akan terpenuhi,” kata dia. “Pemohon meminta Mahkamah mengabulkan permohonan ini dengan menyatakan frasa “90 Hari” dalam Pasal 55 UU PTUN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai tenggang waktu 90 hari sejak Keputusan TUN diumumkan atau sejak diketahui kepentinganya itu dirugikan tentang kepemilikan hak atas tanah,” pintanya. Masukan Mahkamah Manahan Sitompul meminta Pemohon mempersingkat dan mengubah sistematika permohonan. “Sistematika permohonan diurutkan lagi sesuai format permohonan yang lazim di MK “Nanti bisa diperbaiki untuk sidang perbaikan permohonan,” kata Manahan menyarankan. Dia menilai uraian alasan Pemohon seolah-olah Mahkamah adalah pengadilan tingkat banding dan kasasi. Padahal, kewenangan Mahkamah menguji norma UU terhadap UUD Tahun 1945. “Ini, harus lebih diperkuat lagi alasan atau dasar pengujian normanya, bukan mengurai kasus (konkrit) yang terjadi,” kritiknya. Manahan mengingatkan pengujian Pasal 55 UU PTUN ini sudah pernah dimohonkan pengujian dalam dua permohonan yakni Perkara No. 57 dan 76 Tahun 2015. Kedua permohonan ini, hasil putusannya ditolak oleh Mahkamah. “Jadi, sudah ada dua putusan yang menolak pengujian norma ini. Pemohon harus menguraikan putusan MK sebelumnya. Jadi, kita minta alasan yang diajukan dan batu ujinya berbeda agar nanti putusannya tidak nebis in idem,” sarannya. Baca Juga: Jangka Waktu Gugatan TUN Konstitusional Dia juga meminta Pemohon memperjelas lagi pihak yang berkepentingan dalam keputusan TUN. Ini agar Mahkamah mengerti maksud dari pemohon. “Bukan memperdalam kasus sebelumnya, tetapi alasan dan pertimbangan keputusan TUN sebelumnya harus dijelaskan agar Mahkamah dapat mengetahuinya,” tuturnya. Page 3Pemohon diminta merombak sistematika permohonan dan memperkuat alasan permohonan karena Pasal 55 UU PTUN sebenarnya sudah pernah diuji dan putusannya ditolak. Bacaan 2 Menit Anggota Majelis Panel, Hakim Konstitusi Wahiddudin Adam menilai dalam petitum Pemohon hanya diperuntukan untuk hak atas kepemilikan tanah saja. Artinya, petitum permohonan hanya untuk kepentingan pemohon. “Andaikan permohonan ini dikabulkan berarti impilikasi dari putusan MK nanti hanya berlaku bagi pemohon, tidak berlaku umum. “Jadi harus dijelaskan petitumnya juga dapat berlaku umum, nanti bisa Pemohon pikirkan dan perbaiki lagi,” pintanya. Anggota Panel lain, Aswanto menambahkan dalam permohonan terdapat bagian kesimpulan dan rekomendasi. “Ini tidak lazim dalam permohonan uji materi UU, maka saran saya, bahan kesimpulan dan rekomendasi ini bisa untuk memperkaya bagian posita permohonan,” katanya. |