Bagaimana upaya pemerintah dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila bagi generasi mendatang

“Ketahanan ideologi Pancasila kembali diuji ketika dunia masuk pada era globalisasi di mana banyaknya ideologi alternatif merasuki ke dalam segenap sendi-sendi bangsa melalui media informasi yang dapat dijangkau oleh seluruh anak bangsa,” kata Deputi Bidang Pengkajian Strategik Prof. Dr. Ir. Reni Mayerni, M.P. membuka Focus Group Discussion (FGD) tentang Mencari Bentuk Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Era Globalisasi bertempat di Ruang Gatot Kaca, Senin, 9 Maret 2020.

Reni menjelaskan bahwa Pancasila sejatinya merupakan ideologi terbuka, yakni ideologi yang terbuka dalam menyerap nilai-nilai baru yang dapat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup bangsa. Namun, di sisi lain diharuskan adanya kewaspadaan nasional terhadap ideologi baru. Apabila Indonesia tidak cermat, maka masyarakat akan cenderung ikut arus ideologi luar tersebut, sedangkan ideologi asli bangsa Indonesia sendiri yakni Pancasila malah terlupakan baik nilai-nilainya maupun implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Anggota Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno Laksono, M.E., menjelaskan mengenai tantangan yang dihadapi saat ini. Tantangan pertama adalah banyaknya ideologi alternatif melalui media informasi yang mudah dijangkau oleh seluruh anak bangsa seperti radikalisme, ekstremisme, konsumerisme. Hal tersebut juga membuat masyarakat mengalami penurunan intensitas pembelajaran Pancasila dan juga kurangnya efektivitas serta daya tarik pembelajaran Pancasila.

Kemudian tantangan selanjutnya adalah eksklusivisme sosial yang terkait derasnya arus globalisasi yang mengarah kepada menguatnya kecenderungan politisasi identitas, gejala polarisasi dan fragmentasi sosial yang berbasis SARA. Bonus demografi yang akan segera dinikmati Bangsa Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda di tengah arus globalisasi.

Pada kesempatan tersebut Dave juga memberikan rekomendasi implementasi nilai-nilai Pancasila di era globalisasi. Pertama, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang menarik bagi generasi muda dan masyarakat.

Rekomendasi selanjutnya adalah membumikan nilai-nilai Pancasila melalui pendidikan dan/atau pembelajaran berkesinambungan yang berkelanjutan di semua lini dan wilayah. Oleh karena itu, Dave menganggap perlu ada kurikulum di satuan pendidikan dan perguruan tinggi yaitu Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan (P3KN). 

Menanggapi pernyataan Dave, Analis Kebijakan Direktorat Sekolah Menengah Atas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) Dr. Juandanilsyah, S.E., M.A., menjelaskan bahwa Pancasila saat ini diajarkan dan diperkuat melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) dengan penekanan pada teori dan praktik. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh perkembangan global juga berdampak pada anak-anak. 

Menurut Juan, Pancasila di masa mendatang akan mempertahankan otoritas negara dan penegakan hukum serta menjadi pelindung hak-hak dasar warga negara sebagai manusia. Oleh karena itu, sangat penting untuk menanamkan kesadaran terhadap potensi bahaya gangguan dari luar yang dapat merusak dan mengajak siswa untuk mempertahankan identitas bangsa serta meningkatkan ketahanan mental dan ideologi bangsa.

“Seharusnya representasi sosial tentang Pancasila yang diingat orang adalah Pancasila ideologi toleransi, Pancasila ideologi pluralisme, dan Pancasila ideologi multikulturalisme,” kata Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia Prof. Dr. Hamdi Moeloek.

Representasi sosial tentang Pancasila yang dimaksud adalah kerangka acuan nilai bernegara dan berbangsa yang menjadi identitas Bangsa Indonesia. Hamdi menjelaskan bahwa jika Pancasila menjadi acuan, maka implementasi nilai-nilai Pancasila akan lebih mudah terlihat dalam praktik bernegara, misalnya saat pengambilan kebijakan-kebijakan politik. Selanjutnya Hamdi menjelaskan bahwa terlihat Pancasila bisa memberikan solusi di tengah adanya beragam ideologi seperti sosialis dan liberal serta di tengah usaha politik identitas oleh agama, etnik, dan kepentingan.

“PANCASILA merupakan hasil dari satu kesatuan proses yang dimulai dengan rumusan Pancasila 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir Sukarno, piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan rumusan final Pancasila 18 Agustus 1945. Adalah jiwa besar para founding fathers, para ulama dan pejuang kemerdekaan dari seluruh pelosok Nusantara sehingga kita bisa membangun kesepakatan bangsa yang mempersatukan kita.” (Presiden Joko Widodo, 1 Juni 2017)    

Bangsa Indonesia dengan segenap potensi yang ada, merupakan bangsa yang besar dan kaya. Memiliki keuntungan demografi, dengan posisi strategis di antara jalur-jalur distribusi barang dan jasa internasional, dan memiliki SDA hayati dan non-hayati yang melimpah serta diberkahi dengan sumber energi yang seakan tak ada habisnya. Tepat apabila dijuluki sebagai the winning region (kawasan pemenang), karena negara ini memiliki segalanya.

Kebesaran bangsa Indonesia dengan segala sumber dayanya itu sangat rentan menjadi negara yang hancur dan gagal (failed state). Karena Indonesia pada dasarnya merupakan negara yang memiliki perbedaan dari segala bidang (naturally fragmented). Keanekaragaman baik dari suku, agama, maupun golongan sangat mudah memicu terjadinya disintegrasi bangsa.

Belajar dari sejarah dunia, sejak 1991 tercatat 3 negara terpecah oleh konflik yang disebabkan bahasa, ekonomi, dan agama. Hasilnya, 23 negara baru memproklamasikan diri dengan warisan konflik yang berkepanjangan. Sebut saja Yugoslavia, Sudan, dan Uni Soviet. Pengalaman sejarah menunjukkan beberapa kali Indonesia juga pernah diterpa dengan perpecahan antaranak bangsa. Namun, pada akhirnya negara ini mampu untuk bertahan.

Kemampuan untuk bertahan dari perpecahan bangsa itu, bukan tanpa sebab. Hal ini disebabkan bangsa Indonesia memiliki alat pemersatu bangsa (national cohesion) yang terbentuk secara alamiah dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Lihat saja pada zaman majapahit, Mpu Tantular di dalam Kitab Sutasoma telah menuliskan Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa yang mengisahkan bahwa pada masa itu tidak ada perselisihan sedikitpun yang disebabkan perbedaan baik agama maupun suku bangsa.

Hal ini bukti bahwa menghormati perbedaan telah diyakini nenek moyang bangsa Indonesia beratus-ratus tahun yang lalu. Sementara itu, di belahan dunia lain, sekelompok manusia masih memperlakukan manusia lainnya sebagai budak yang dipekerjakan secara kasar tanpa upah layak atas dasar perbedaan rasial dan warna kulit semata.

Oleh karena itu, sangat disayangkan apabila sejarah kerukunan bangsa Indonesia yang sudah tumbuh beratus-ratus tahun lamanya ini harus dihancurkan oleh kebencian yang disebabkan oleh keserakahan dan perebutan kekuasaan di antara kelompok-kelompok tertentu.
Tentunya perpecahan seperti negara-negara itu tidak kita inginkan terjadi di negara yang kita cintai ini. Tanggung jawab ini terletak pada kita semua, terlebih pada bahu dan pundak para generasi muda yang hidup di zaman now khususnya bagi generasi milenial.  

Generasi milienial atau generasi Y (teori William Straus dan Neil Howe) yang saat ini berumur antara 18–36 tahun, merupakan generasi di usia produktif. Generasi yang akan memainkan peranan penting dalam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.         Keunggulan generasi ini memiliki kreativitas tinggi, penuh percaya diri serta terkoneksi antara satu dengan lainnya. Namun, karena hidup di era yang serba otomatis, generasi ini cenderung menginginkan sesuatu yang serba instan dan sangat gampang dipengaruhi.      

Hal inilah yang menjadi titik kritis bagi masa depan negara dan bangsa kita. Sungguh merupakan suatu ironi di tengah masifnya perkembangan teknologi komunikasi saat ini, tetapi di sisi lain, ternyata hal itu tidak mampu mendekatkan dan menyatukan anak bangsa. Era komunikasi terbukti memberi jaminan akses dan kecepatan memperoleh informasi. Akan tetapi, acapkali menciptakan jarak serta membuat tidak komunikatif. Bahkan, berujung dengan rusaknya hubungan interpersonal.

Teknologi komunikasi dan informasi telah mengubah perang konvensional menjadi perang modern dengan menggunakan teknologi, media massa, internet (cyber war). Sasarannya jelas yaitu ketahanan ekonomi, pertahanan dan keamanan, budaya, ideologi, lingkungan, politik, karakter, dll.

Disadari atau tidak banyak pihak yang sepertinya tidak ingin Indonesia menjadi bangsa yang besar dan hebat. Kita sering menerima gempuran dan pola serangan pintar melalui F-7, food, fashion, film dan fantasi, filosofi, dan finansial.
Serangan terhadap filosofi dan finansial ialah hal yang paling mengkhawatirkan. Serangan terhadap filosofi yang paling mengkhawatirkan yang merupakan bentuk perang ideologi dan pikiran agar terjebak pada pola ideologi liberalis, kapitalis, sosialis, dan radikalis

Untuk membentengi diri dari kehancuran akibat pesatnya perkembangan teknologi dan upaya-upaya memecah bangsa, maka bangsa ini harus kembali kepada Pancasila. Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia, telah berkembang secara alamiah dari perjalanan panjang sejarah, berisikan pandangan hidup, karakter dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila itu ialah semangat bersatu, menghormati perbedaan, rela berkorban, pantang menyerah, gotong royong, patriotisme, nasionalisme, optimisme, harga diri, kebersamaan, dan percaya pada diri sendiri.
Pancasila harus dijadikan cara hidup (way of life) seluruh anak bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila tidak perlu lagi diajarkan secara formal dengan tampilan kaku, tetapi yang terpenting ialah hakikatnya tetap terpelihara dan diamalkan.

Dalam melaksanakan langkah-langkah itu, diperlukan sinergisme lintas kelembagaan, untuk bersama-sama mengaktualisasikan Pancasila melalui sistem dan dinamika kekinian. Kampus memegang peranan penting dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi milenial sehingga tidak ada indikasi perkembangan paham lain.

Generasi milenial harus berada di depan, memegang obor untuk mencegah paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila agar tidak masuk ke dalam kampus sehingga masa depan pendidikan dan nasib generasi penerus bangsa ke depan tidak berada di jalan yang salah.

Arah perjalanan bangsa ini berada di tangan generasi milenial, generasi muda yang saat ini tengah membaca tulisan ini, yang akan menerima tongkat estafet pembangunan. Mari jaga, rawat dan peliharalah nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari.