Bagaimana sikap seseorang yang optimis ketika menghadapi permasalahan

KOMPAS.com - Apa biasanya komentar kita, saat menghadapi deadlock dalam meeting, di mana beda pendapat tidak menemukan jalan tengah? Apa respon kita saat pertumbuhan bisnis tidak menggembirakan, sehingga perusahaan harus melakukan efisiensi biaya di sana-sini, termasuk memotong bonus atau fasilitas untuk karyawan? Apa yang kita pikirkan saat klien yang dulunya sangat loyal, kemudian berpaling menggunakan jasa kompetitor?

Kesemuanya ini sering membuat mood kita seolah diselimuti awan kelabu. Sering dengan mudah kita langsung merasa terpuruk, berkeluh-kesah, mencari-cari kesalahan. Situasi ini juga kerap membuat kita merasa mentok atau no way out, bukan?

Kadang, kita tidak bisa menyalahkan individu, bila memang menyaksikan situasi yang buruk. Tetapi, kita memang perlu mawas diri dan bertanya, apakah sikap pesimis, bahkan sinis, ini akan berguna? Bukankah pemikiran adalah awal dari tindakan kita? Begitu kita memulai sesuatu dengan sikap negatif maka kita tidak mempunyai kesempatan untuk memulai sesuatu yang baik.

Dalam bisnis, kejutan seperti mitra bisnis yang tiba-tiba berpaling dan ingkar janji, ketidakberuntungan ataupun keputusan yang salah dan menyebabkan kerugian bisa terjadi, atau malah kadang datang bertubi-tubi. Bayangkan, apa jadinya bila kita sudah kehilangan optimisme? Tidak adanya optimisme, tanpa disadari bisa menyebabkan ekonomi tergerogoti  karena tidak tumbuhnya bisnis baru secara proporsional.

Sikap pesimis juga menyebabkan kita tidak lagi antusias berinvestasi, bahkan mematikan niat untuk berburu orang-orang berbakat. Dan lucunya, dalam situasi seperti itu, banyak ide baru yang direspons secara getir, penuh kesinisan. Bukan saja orang menekankan sikap konservatif, atau “buy in” ide baru lemah, tetapi penolakan tersebut diwarnai agresi. Komentar: “Ah, basi!”, jadi lebih sering kita dengar, misalnya saat ada rekan kerja mengeluarkan ide yang terkesan "biasa-biasa" saja.

Jadi, bisa dikatakan bahwa musuh optimisme bukanlah sekadar pesimisme, tetapi juga kesinisan. Jadi dalam setiap ide atau situasi, yang muncul secara default di dalam persepsi kita adalah pandangan negatif, yang bahkan dibumbui dengan memori-memori lama tentang keburukan situasi. Bukankah ini bisa sangat menghambat kemajuan kita?

Seorang tokoh periklanan, Jay Chiat, sering mengatakan bahwa ketrampilan hidup yang perlu senantiasa dikembangkan adalah untuk menghadapi ancaman kekalahan. Beliau mengatakan  bahwa optimisme adalah satu-satunya senjata menghadapi kesulitan. Itu sebabnya, kita perlu berlatih mental secara rutin untuk melakukan berbagai hal sebaik-baiknya, walau dengan  sumberdaya terbatas.

Kita bisa melihat para entrepreneur sukses jarang terdengar mengkomplen hal-hal yang mereka tidak punya, tetapi justru menghargai apa yang mereka miliki dan apa hasil pemanfaatannya. Dengan begitu kita terbiasa berada di  situasi bawah tekanan, bukan mengeluh, merengek, tetapi siap untuk memunculkan “call for action”.

Disiplin berpikir sebagai dasar optimisme
Optimisme adalah keyakinan bahwa hampir semua masalah dapat diselesaikan dengan kerja keras dan mindset yang tepat. Meski terdengar sederhana, tapi kita tahu betul betapa ini tidak mudah, apalagi karena memang berita-berita buruk datang silih berganti dan lingkungan sekitar kita pun seringkali menyuburkan sikap pesimisme. Itu sebabnya, kita kerap kagum pada orang yang selalu bisa berpikir optimis, padahal kita tahu sendiri bahwa nasibnya tidak seberuntung orang lain.

Sebetulnya, tidak sedikit riset yang menunjukkan bahwa orang yang berpikir positif mempunyai derajat kesuksesan yang lebih tinggi di pekerjaan, sekolah, bahkan dalam hidupnya. Hasil penelitian pun mengatakan bahwa optimisme ini ditularkan. Orangtua yang optimis, biasanya membesarkan putra-putri yang optimis pula. Jadi, apa yang perlu dilakukan agar kita bisa senantiasa bersikap optimis?

Pertama-tama, kita perlu memperhatikan apakah perbendaharaan kata-kata kita lebih berisi kata-kata magic yang mempengaruhi positifnya pikiran kita, atau sebaliknya, perbendaharaan kata kita justru didominasi kata-kata yang “menjatuhkan”, seperti,”mana mungkin?”, "apa iya?”, atau “ salah siapa?”.

Kita bisa segera melihat bahwa kata-kata negatif yang ada di pikiran atau kita ucapkan, akan membawa pikiran kita ke dalam pembicaraan defensif atau tidak produktif. Andaikan saja kumpulan kata-kata kita selalu menantang kita untuk melanjutkan pemikiran kita, seperti mempertanyakan detail, memikirkan kemungkinan pelaksanaan tindakan, membayangkan berbagai kemungkinan untuk berpikir kreatif dan menyelesaikan masalah, maka tanpa disadari mood kita akan terangkat dan kita pun akan terpengaruh dengan pikiran kita sendiri, terbawa kepada suasana pencarian solusi.

Optimisme sebetulnya juga perlu dibarengi dengan kegiatan berfikir eksploratif yang akhirnya memungkinkan kita untuk menembak jalan keluar yang lebih jitu.

Aturan 24x3
Kita tentu pernah melihat orang yang memotong pendapat orang lain dan seketika menilai ide orang buruk, padahal orang tersebut belum selesai menyampaikan pendapatnya. Tidakkah kita kadang berpikir bahwa komentar negatif itu terlalu dini? Pernahkah kita buang muka saat menemui seseorang yang tidak kita sukai, pada detik-detik pertama? Bukankah bila kita pikirkan lebih lanjut, kita sudah menyia-nyiakan kesempatan positif untuk membina hubungan atau paling tidak menerima informasi?

Berarti, hal yang perlu kita latih juga adalah menahan respon, untuk tidak segera mengomentari, menilai, memutuskan. Sebaliknya, kita perlu mengendapkan lebih dulu informasi yang kita terima untuk memberi waktu kita melihat sisi positif dari setiap situasi.

Seorang pakar mengemukakan kita “Rule 3x24”, untuk melatih kita berpikir dan bersikap optimis. Sebelum kita mengomentari situasi yang kita rasa buruk, maka kita perlu menunggu 24 detik sebelum memberi respon. Mengapa? Karena, bila tidak menunggu 24 detik, kita tidak sempat mencerna apa yang kita tangkap. Ini sebetulnya bukan hal istimewa, namun dasar dari ketrampilan mendengar.

Selanjutnya, kita perlu menggunakan 24 menit untuk memikirkan situasi atau ide tersebut, mengelaborasi dan meng-exercise-nya. Setelah kita olah, bila kita ingin menyampaikan kritik ataupun ketidaksetujuan, alangkah baiknya kita "inapkan" dulu sanggahan kita semalaman, sehingga kita bisa mematangkan ketidaksetujuan kita dalam 24 jam.

Rumus 3 x 24 yang sederhana ini, sebetulnya adalah salah satu cara untuk mengatur pikiran, agar tetap jernih dan obyektif. Kita perlu berlatih dan mendisiplinkan diri untuk bersikap seperti ini, apalagi di zaman komunikasi instan, melalui media sosial, yang sangat-sangat real time ini. Ini mungkin menyebabkan kita seolah-olah lamban, tetapi bukan konvensional dan sinis, tetapi justru obyektif.

(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Editor: Felicitas Harmandini

Hai, Ibu dan Ayah, semoga sehat sekeluarga, ya!

Di masa pertumbuhan dan perkembangannya, si Kecil dapat dipengaruhi oleh berbagai sikap dari orang lain. Salah satu sikap yang penting untuk dipelajari olehnya adalah sikap optimis dalam kehidupan sehari-hari.

Sikap optimis ini penting untuk dimiliki anak, karena akan sangat berguna ketika berhadapan dengan berbagai masalah yang datang. Ketika memiliki sikap optimis di dalam diri, si Kecil akan berusaha untuk tetap bangkit, seberat apa pun tantangan atau masalah yang dimilikinya.

Bagaimana sikap seseorang yang optimis ketika menghadapi permasalahan
Ilustrasi Contoh Sikap Optimis (Arsip Zenius)

Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), optimis dapat didefinisikan sebagai “orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal”.

Berdasarkan definisi tersebut, memang tepat rasanya ketika seorang anak memiliki sikap optimis dalam dirinya. Dengan rasa optimis itu, maka dia memiliki harapan yang baik ketika berhadapan dengan berbagai masalah yang menghampiri.

Dari berbagai sikap lain yang juga penting untuk dimiliki oleh si Kecil, sikap optimis merupakan salah satu sikap dasar yang manfaatnya begitu besar untuk anak. Manfaatnya begitu besar, karena sikap ini berguna bagi si Kecil dalam menghadapi berbagai hal yang dialaminya.

Baiklah, Ibu dan Ayah, setelah mengetahui kalau sikap optimis penting untuk anak, lantas apa saja contoh dari sikap optimis?

Kita bahas satu per satu, yuk!

Contoh Sikap Optimis

Bagaimana sikap seseorang yang optimis ketika menghadapi permasalahan
Ilustrasi Apa Saja Contoh Sikap Optimis (Arsip Zenius)

  1. Berusaha Mencari Solusi terhadap Permasalahan

Seseorang yang optimis memiliki kemampuan untuk bangkit ketika sedang berhadapan dengan masalah yang membuatnya jatuh.

Hal ini membuat seorang anak yang memiliki sifat optimis punya kepercayaan bahwa permasalahan yang dimilikinya hanya sesuatu yang sifatnya sementara.

Selain itu, sikap optimis membuat anak memiliki pemikiran kalau setiap kesulitan memiliki jalan penyelesaiannya sendiri.

2. Berprasangka Baik terhadap Masa Depan

Sesuai dengan definisi dari kata “optimis” yang diberikan oleh KBBI, maka sikap ini membuat seseorang memiliki harapan atau prasangka baik ketika berhadapan dengan berbagai hal, khususnya masa depannya sendiri.

Dalam hal ini, kita dapat melihat kalau terdapat perbedaan yang bertolak belakang di antara sikap pesimis dan optimis.

JIka seorang anak pesimis, maka dia akan memikirkan kemungkinan terburuk yang mungkin dapat terjadi di masa depan. Sementara itu, si Kecil yang memiliki sikap optimis, memiliki pandangan kalau masa depan tidaklah seburuk itu dan percaya terhadap hal baik yang mungkin terjadi di masa depan.

Baca Juga: Contoh Sikap Peduli Terhadap Sesama dan Manfaatnya untuk Anak

3. Mengelola Ekspektasi pada Hal Baik

Ekspektasi merupakan sesuatu yang berpengaruh besar terhadap seseorang. Optimisme dapat ditingkatkan melalui respons terhadap ekspektasi yang dimiliki.

Nah, sikap optimis ini dapat ditingkatkan dengan cara mengingat dan mencatat apa saja ekspektasi positif yang orang lain lihat terhadap diri kita.

Si Kecil yang hidup dengan ekspektasi positif terhadap dirinya, secara tidak sadar akan membentuk diri untuk berusaha mewujudkan ekspektasi tersebut dan menerapkan sikap optimis.

4. Belajar dari Berbagai Permasalahan

Sikap optimis sangat berperan besar ketika si Kecil berhadapan dengan suatu masalah. Tantangan yang dihadapinya, akan menjadi sarana anak untuk belajar dari hal tersebut, ketimbang berlarut-larut meratapinya.

Hal ini penting untuk anak, agar anak dapat belajar dari pengalaman hidupnya sendiri dan tidak terjebak dengan permasalahan yang sama. Selain itu, sikap optimis juga berusaha memandang permasalahan dalam kaca mata positif, yaitu melihat permasalahan sebagai tantangan yang memiliki banyak pelajaran yang bisa dipetik.

5. Mengelola Suasana Hati

Sikap optimis bisa dijaga dengan cara mengelola atau menjaga suasana hati. Ketika si Kecil berada dalam kondisi yang tertekan, maka sikap optimis dalam diri akan membuatnya untuk segera mengatasi permasalahan tersebut agar suasana hatinya tidak terdampak oleh tekanan tersebut.

Selain itu, sikap optimis akan membuat anak memiliki keinginan untuk secepat mungkin mengatasi masalah yang dimilikinya. Jika hal tersebut tidak secepatnya diatasi, maka hanya akan memicu stres saja dan tenggelam di dalam pikiran-pikiran buruk.

6. Memandang Tantangan Sebagai Suatu Kesempatan

Contoh sikap optimis yang terakhir adalah sikap untuk melihat masalah atau tantangan sebagai suatu kesempatan. Walaupun masalah merupakan sesuatu yang tidak mengenakkan, tetapi sikap optimis akan membuat anak memandang permasalahan tersebut sebagai wadah untuk berkembang.

Masalah atau tantangan tersebut adalah sebuah kesempatan untuk anak mengembangkan dirinya. Oleh karena itu, berbagai tantangan tersebut, adalah kumpulan kesempatan yang akan bergabung dan membentuk anak untuk semakin dekat dengan kesuksesannya.

Baca Juga: 7 Manfaat Membaca Bagi Anak Usia Dini Hingga SD

Cara Menjelaskan Sikap Optimis pada Anak

Bagaimana sikap seseorang yang optimis ketika menghadapi permasalahan
Ilustrasi Menanamkan Sikap Optimis pada Anak (Arsip Zenius)

1. Memberi Contoh Sikap Optimis

Sebagai orang tua, Ibu dan Ayah dapat langsung menjadi contoh untuk si Kecil dalam menerapkan sikap optimis. Hal ini akan membuat anak belajar secara langsung dari orang tua, ketimbang hanya dijelaskan melalui kata-kata.

Ibu dan Ayah dapat memulainya dengan tidak menunjukkan sikap negatif kepada si Kecil. Kalau terlalu fokus pada sesuatu yang negatif, contohnya dengan bersikap pesimis atau mengeluh, maka anak kemungkinan dapat mempelajari hal yang sama dari Ibu dan Ayahnya.

Oleh karena itu, orang tua perlu mengajarkan anak tentang contoh sikap optimis dengan cara mempraktikkannya secara langsung. Hal ini dapat dilakukan dengan mengacu contoh-contoh sikap optimis yang sudah dijelaskan sebelumnya.

2. Membiasakan Anak-Anak untuk Bersyukur

Bersyukur merupakan suatu wujud rasa terima kasih yang dapat membantu anak untuk mengembangkan sikap optimisnya. Ibu dan Ayah juga dapat memberikan contoh langsung dengan cara membiasakan bersyukur di dalam lingkungan rumah.

Kebiasaan bersyukur ini dapat dilakukan dengan membiasakan setiap anggota keluarga untuk saling membagikan satu hal baik yang telah terjadi atau patut disyukuri. Dengan bersyukur, akan membentuk kebiasaan dalam hidup yang lebih sehat dan bahagia.

Baca Juga: 6 Hak Anak di Rumah yang Wajib Dipenuhi Orang Tua

3. Memperkenalkan Anak pada Tanggung Jawab

Sikap optimis bisa ditumbuhkan dalam diri anak, dengan cara memberikan anak sebuah tanggung jawab. Hal ini akan memicu anak untuk merasakan arti dari sebuah pencapaian melalui tanggung jawab yang dimilikinya.

Sikap optimis akan terbentuk ketika anak memiliki suatu pencapaian atau kesuksesan dari tanggung jawabnya, dan hal ini pada akhirnya akan mengembangkan sikap optimis di dalam diri anak.

4. Membatasi Penggunaan Media Sosial untuk Anak

Berbagai informasi yang beredar di internet akan memengaruhi seberapa optimisnya seorang anak dalam kehidupannya sehari-hari. Informasi yang keliru, justru akan membuat anak mengembangkan sikap pesimis.

Oleh karena itu, si Kecil perlu dihindarkan dari energi-energi positif atau sikap pesimis yang berasal dari media sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan membatasi penggunaannya atau mengelola media sosial yang digunakan oleh anak.

Selain itu, Ibu dan Ayah perlu membimbing si Kecil dalam menggunakan media soal agar ia tidak jauh dari sikap optimis.

Sikap optimisme dapat dipelajari dan diajarkan kepada anak. Selain itu, Ibu dan Ayah tentu ingin anak mempelajari berbagai hal lain yang tidak hanya mencakup perilaku atau sifat anak, tetapi juga kemampuannya dalam penguasaan pengetahuan lainnya.

Di ZeniusLand, Ibu dan Ayah dapat memberikan si Kecil momen belajar yang seru dan asyik, salah satunya lewat petualangan Tiga Sekawan dan karakter Disney favorit. Belajar menjadi proses yang menyenangkan, terutama jika ditambah dengan sikap optimis.

Bagaimana keseruan dari belajar di ZeniusLand? Informasi selengkapnya dapat dilihat melalui akses di bawah ini.

Bagaimana sikap seseorang yang optimis ketika menghadapi permasalahan

Ibu dan Ayah, semoga artikel kali ini bisa memberikan informasi yang dibutuhkan dalam memperkenalkan sikap optimis ke buah hati, ya.

Bagaimana sikap seseorang yang optimis ketika menghadapi permasalahan

Download ZeniusLand

Aplikasi edukasi online dipenuhi dengan cerita seru dan permainan interaktif, untuk mengasah kemampuan berpikir kritis. Dirancang khusus untuk anak usia 7–12 tahun.

Bagaimana sikap seseorang yang optimis ketika menghadapi permasalahan

Bagaimana sikap seseorang yang optimis ketika menghadapi permasalahan