Bagaimana orang disebut sebagai pejabat yang bermoral

Bagaimana orang disebut sebagai pejabat yang bermoral
Masalah etika memiliki potensi dan peran yang sangat penting dalam proses administrasi negara. Etika administrasi negara merupakan salah satu wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara. Etika administrasi negara di samping digunakan sebagai pedoman, acuan, referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya agar dapat dikatakan baik atau buruk.

Pertimbangan – pertimbangan etika sama sekali bukan merupakan langkah mundur, tetapi justru merupakan upaya untuk menemukan pranata – pranata pembangunan yang berwatak dan bermoral serta mendapatkan bentuk interaksi yang ideal antara aparat negara dengan setiap warga Negara. Hal ini disebabkan karena masalah etika negara merupakan standar penilaian administrasi negara mengenai tindakan administrasi negara yang menyimpang dari etika administrasi negara (mal administrasi) dan faktor yang menyebabkan timbulnya mal administrasi dan cara mengatasinya.

Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari birokrasi dan manajemen pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan dilakukan oleh birokrat – birokrat dapat terlihat dan ter–akuntable dengan jelas sehingga akan memudahkan law enforcement untuk menata ulang manajemen pemerintahan Indonesia yang sehat dan berlandaskan pada prinsip – prinsip good governance dan berasaskan pada nilai – nilai etika administrasi negara.

Pada pemerintahan yang bersih (clean good governance) terkait law enforcement dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang yang diberikan kepadanya, pemerintahan tidak melakukan tindakan – tindakan yang menyimpang dari etika Administrasi publik (mal- administration) yang akan mengabaikan law enforcement pada penataan ulang pemerintahan di Indonesia. Sehingga pada tujuan law enforcement terdapat:

  1. Birokrat – birokrat pemerintah dari pemerintahan, yang ditentukan oleh kualitas sumber daya apaturnya,
  2. Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan sistem pemerintahan yang harus diberlakukan,
  3. Kelembagaan yang dipergunakan oleh birokrat – birokrat pemerintahan untuk mengaktualisasikan kinerjanya,
  4. Kepemimpinan dalam birokrasi publik yang berakhlak, berwawasan (visionary), demokratis dan responsive terhadap revitalisasi penataan ulang pemerintahan Indonesia (reinventing government).

Pengertian Etika

Dalam banyak tulisan filosofis, jarang ditemukan penggunaan istilah “etika dan moral” secara konsisten. Etika berasal dari bahasa Yunani; ethos, yang artinya kebiasaan atau watak sedangkan moral berasal dari bahasa Latin; mos (jamak : mores) yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Secara epistemologis, pengertian etika dan moral memiliki kemiripan namun sejalan dengan perkembangan ilmu, ada beberapa pergeseran yang kemudian membedakannya.

Etika merujuk kepada dua hal. Pertama, etika berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari nilai – nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya. Kedua, etika merupakan pokok permasalahan dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Moral dalam pengertiannya yang umum menaruh penekanan kepada karakter dan sifat-sifat individu yang khusus, di luar ketaatan kepada peraturan. Oleh karena itu, moral merujuk kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa dan sebagainya, yang kesemuanya tidak terdapat dalam peraturan-peraturan hukum.

Prinsip Nilai Etika Aministrasi Negara

Etika menurut Bertens (1977) adalah seperangkat nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan Darwin (1999) mengartikan etika adalah prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh suatu kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku individu dalam berhubungan dengan individu lain dalam masyarakat.

Setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dan masing-masing  menginginkan kepentingannya itu terpenuhi. Namun, terpenuhinya suatu kepentingan biasanya menutut pemenuhan kepentingan yang lain sehingga kepuasan setiap orang mustahil bias tercapai. Guna menjaga keutuhan sistem dari adanya berbagai gejolak yang diakibatkan perselisihan kepentingan itu diperlukan pranata negara sebagai pihak yang berwenang mengatur, menyesuaikan atau menentukan prioritas bagi terpenuhinya kepentingan serta tujuan berbagai pihak. Sarana yang memadai untuk melaksanakan hal-hal ini biasa disebut birokrasi.

Dewasa ini masyarakat begitu peka dengan istilah birokrasi. Hampir semua lapisan masyarakat mengenal birokrasi. Namun, banyak hal yang tergambar di benak orang jika membicarakan birokrasi ialah urusan-urusan menjengkelkan yang berkenaan dengan pengisian formulir-formulir, proses perolehan izin yang melalui banyak kantor secara berantai, aturan-aturan ketat yang mengharuskan seseorang melewati banyak sekali formalitas, dan sebagainya. Akan tetapi birokrasi yang sesungguhnya, dimaksudkan sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan mengacu pada kedua pendapat ini, maka etika mempunyai fungsi sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi dinilai baik atau buruk, tidak tercela dan terpuji.

Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat dijadikan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksananakan tugas dan kewenangannya antara lain adalah

  1. Efisiensi, artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien
  2. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi
  3. Impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal, maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari urusan perasaan daripada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi sanksi dan yang berprestasi selayaknya mendapatkan penghargaan
  4. Merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen dan promosi pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), sikap (attitude), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience), sehingga menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan  tugas dan tanggung jawabnya dan bukan spoil system (adalah sebaliknya)
  5. Responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya
  6. Accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat obyektif sebab birokrasi dikatakan akuntable bilamana mereka dinilai obyektif oleh masyarakat karena dapat mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan, sikap dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal dan mereka dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang professional dan dapat memberikan kepuasan publik
  7. Responsiveness, artinya birokrasi publik memiliki daya tanggap terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat dengan cepat dipahami dan berusaha memenuhi, tidak suka menunda – nunda waktu atau memperpanjang alur pelayanan.

Akuntabilitas administrasi negara dalam pengertian yang luas melibatkan lembaga-lembaga publik (agencies) dan birokrat untuk mengendalikan bermacam-macam harapan yang berasal dari dalam dan adari luar organisasinya. Strategi untuk mengendalikan harapan-harapan dari akuntabilitas administrasi publik melibatkan dua faktor kritis, pertama yaitu bagaimana kemampuan mendefinisikan dan mengendalikan harapan-harapan yang diselenggarakan oleh manajemen pemerintahan. Kedua, derajat kontrol keseluruhan terhadap harapan-harapan yang telah didefinisikan para birokrat.

Korupsi: Salah Satu Bentuk Mal-administrasi

Banyak “mal-praktik” dalam tubuh birokrasi yang diungkap oleh masyarakat, baik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah tindakan yang menyimpang hukum serta penyelewengan law enforcement. Hal ini disebabkan karena etika admnistrasi negara dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dan upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia tidak sesuai dengan good governance.

Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan barang public, bias berupa uang dan jasa untuk kepentingan memperkaya ddiri dan bukan untuk kepentingan publik. Proses terjadinya dapat dibedakan dalam tiga bentuk yaitu graft, bribery dan nepotism.

Graft, merupakan korupsi yang bersifat internal, artinya korupsi yang dilakukan tanpa melibatkan pihak ketiga. Seperti menggunakan atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untuk kepentingan diri sendiri. Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya, bawahan tidak dapat meolak permintaan atasan.

Sementara bribery (penyogokan, penyuapan) merupkan tindakan korupsi yang melibatkan orang di luar dirinya (instansinya), biasa disebut dengan korupsi eksternal. Artinya korupsi tersebut tidak dapat terjadi jika tidak ada orang lain yang melakukan tindakan penyuapan atau penyogokan terhadap dirinya. Tindakan pemberian sesuatu (penyuapan, penyogokan) dimaksudkan agar dapat mempengaruhi objektifitas dalam membuat keputusan, atau keputusan yang dibuat akan menguntungkan si pemberi. Pemberian sesuatu dapat berupa materi, uang dan juga jasa.

Nepotism merupakan suatu tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pada pertimbangan objektif, rasional tetapi didasarkan atas pertimbangan “nepitis”, “kekerabatan”, seperti masih teman, keluarga, golongan, pejabat dan lain sebagainya. Pertimbangan pengambilan keputusan ini seringkali untuk kepentingan orang yang membuat keputusan. Mereka akan lebih aman dan nyaman jika orang yang berada di sekitarnya (anak buahnya) adalah orang-orang yang masih “nepotism” atau masih kerabat dekat. Jika mereka melakukan tindakan penyimbangan mereka akan aman dan dilindungi.

Korupsi di atas adalah korupsi yang dilihat dari proses terjadinya. Namun dilihat dari sifat korupsinya dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu korupsi individualis dan korupsi sistemik.

Korupsi individualis, merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu atau beberapa orang dalam suatu organisasi dan berkembang suatu mekanisme muncul, hilang dan jika ketahuan pelaku korupsi akan terkena hukuman, bias berupa dijauhi, dicela, disudukan dan bahkan diakhiri nasib karirnya.

Korupsi sistemik merupakan suatu korupsi ketika yang melakukan korupsi adalah sebagian besar (kebanyakan orang) dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang). Dikatakan sistemik, karena tindakan korupsi ini bias diterima sebagai sesuatu yang wajar/biasa (tidak menyimpang) oleh orang yang berada di sekitarnya. Jika ketahuan, maka di antara mereka yang terlibat saling melindungi, menutup-nutupi dan mendukung satu sama lain untuk menyelamatkan orang yang ketahuan tersebut. Hal ini disebabkan agar instansinya tidak tercemar, sehingga walaupun mereka tau  ada tindakan korupsi mereka lebih baik “diam”, daripada mereka dikucilkan atau dijadikan saksi dalam perkara tindakan korupsi tersebut.

Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Mal-Administrasi

Faktor internal

Faktor internal berupa kepribadian seseorang, berwujud suatu niat, kemauan dan dorongan yang tumbuh dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan mal-administrasi. Hal ini disebabkan lemahnya mental seseorang, dangkalnya agama dan keimanan sehingga memudahkan untuk melakukan sesuatu tindakan walaupun sesungguhnya tindakan tersebut tidak baik, tercela dan buruk baik menurut nilai-nilai sosial maupun menurut ajaran agama.

Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, bias berupa lemahnya peraturan, lemahnya lembaga kontrol, lingkungan kerja dan lain sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan tindakan korupsi.

Peraturan perundangan merupakan suatu tatanan nilai yang dibuat dan diikuti oleh para pegawai dalam menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya. Manakala peraturan memberi kelonggaran bagi pegawai untuk melakukan tindakan mal-administrasi, karena peraturannya tidak jelas, sanksi yang diberikan lemah, maka akan memberikan peluang (kesempatan) pegawai melakukan tindakan mal-administrasi tersebut. Misalnya, walaupun telah ada peraturan perundangan anti korupsi yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun peraturan perundangan tersebut tidak efektif untuk mencegah tindakan korupsi.

Etika Administrasi Birokrasi dalam praktik

Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan unsur yang penting dalam suatu negara. Oleh karena itu, maka tidak berlebihan apabila salah satu faktor penentu krisis nasional dan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan, terutama birokrasi, yang tidak mengindahkan prinsip–prinsip tata pemerintahan yang baik.

Konsep-konsep tentang nilai moral dan etika dalam administrasi pemerintahan dirumuskan untuk diterapkan dalam kehidupan kenegaraan dan lingkup administrasi yang sesungguhnya. Kemanfaatan konsepsi etika tersebut hanya akan terasa apabila benar-benar menjadi bagian dari dinamika administrasi modern. Dalam banyak hal, konsep dan teori filosofis mengenai moralitas dalam bidang administrasi negara berasal dari praktek administrasi sehari-hari.

  1. Asas – Asas Umum Birokrasi Pemerintahan yang Baik

Setiap negara memiliki konteks budaya yang berbeda-beda, kebutuhan masyarakat pada suatu waktu yang selalu berubah dan masalah yang dihadapi oleh setiap negara pun berbeda, sehingga merumuskan asas umum pemerintahan yangbaik dalam satu kata adalah upaya yang sulit. Dalam konteks negara Indonesia, sebagian besar rakyat Indonesia sepakat bahwa pada pemerintahan orde lama berhasil meletakkan dasar Nasionalisme bagi bangsa Indonesia tetapi gagal dalam merumuskan program–program pembangunan yang menyentuh rakyat.

Pada masa pemerintahan orde baru, pemerintahan orde baru, pemerintah memang telah berhasil melaksanakan pembangunan kemakmuran ekonomis dan stabilitas nasional melalui program-program yang pragmatis, namun orang mulai berpikir bahwa kemakmuran materi bukan satu-satunya tujuan yang harus dicapai. Tampaklah bahwa perkembangan situasi politik, sosial and budaya serta dinamika masyarakat turut mempengaruhi opini masyarakat tentang sistem administrasi pemerintahan yang ideal. Interpretasi dan pendapat individual mempengaruhi wujud pemerintahan yang didambakan oleh masyarakat, namun demikian landasan pemikiran yang disepakati oleh sebagian besar masyarakat dapat dipakai sebagai pedoman.

1. Prinsip Demokrasi

Pemerintahan dengan prinsip demokrasi pada dasarnya berasas pada kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, rakyat yang menentukan jalannya negara dan pemerintahan. Di dalam pemerintahan yang berasas kedaulatan rakyat, maka kepentingan rakyatlah yang diutamakan karena kepentingan rakyat menempati kedudukan yang paling tinggi. Dasar dari konsep demokrasi menyangkut penilaian tentang nilai manusia, martabat manusia dan kesamaan di hadapan hukum. Demokrasi mendambakan terciptanya suatu sistem kemasyarakatan dimana setiap warga negaranya mempunyai kedudukan yang sama dan adil. Oleh karena itu dalam pemerintahan dengan prinsip demokrasi, hendaknya setiap aktivitas birokrasi pemerintahan dalam mewujudkan kepentingan rakyat berjiwa demokrasi, dapat dipertanggungjawabkan dan efisien.

2. Keadilan Sosial dan Pemerataan

Keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan tercapai apabila tidak terjadi ketimpangan distribusi hasil-hasil pembangunan antar kelompok masyarakat yang kaya dan miskin serta antar daerah/wilayah geografis, antara perkotaan dan pedesaan. Oleh karena itu aparat birokrasi membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menyeimbangkan kebutuhan masyarakat miskin dan masyarakat pedesaan dengan kebutuhan masyarakat kaya dan masyarakat perkotaan.

3. Mengusahakan Kesejahteraan Umum

Suatu kekuasaan negara legitimate, apabila negara tersebut melalui kegiatan-kegiatannya dapat meningkatkan kesejahteraan umum bagi rakyatnya. Rakyat akan menerima dengan senang kewajiban-kewajiban dari negara yang dibebankan kepada rakyat, asalkan dengan kewajiban tersebut rakyat menjadi lebih sejahtera. Oleh karena itu, setiap aparat birokrasi pemerintah harus mempunyai komitmen yang tulus untuk memperhatikan kesejahteraan rakyat

4. Mewujudkan Negara Hukum

Mewujukan negara hukum adalah amanat dari konstitusi. Oleh karena itu, aparatur pemerintahan bersama dengan seluruh rakyat akan mewujudkan suatu pemerintahan yang dijalankan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi aparat pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

5. Dinamika dan Efisiensi

Dinamika dapat diartikan sebagai kemampuan adaptasi organisasi yang baik sehingga aparat pemerintah sanggup mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tepat dan responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang terus berkembang. Selain itu, ukuran kinerja bagi birokrasi pemerintahan adalah efisiensi. Efisiensi harus tetap mengutamakan kepuasan dan kelancaran layanan publik serta memperhitungkan pemakaian tenaga kerja, prosedur pelayanan dan biaya yang dikeluarkan.

B. Administrasi dan Nilai – Nilai Yudisial Norma Pengawasan

Pembuatan keputusan merupakan penopang utama kegiatan administrasi. Sebagian besar proses administrasi berupa serangkaian pemilihan alternatif tindakan atau pengambilan keputusan. Waktu yang tersedia untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan tersebut seringkali sangat sempit karena permasalahan yang ada membutuhkan penanganan segera. Sementara itu, pertimbangan efisiensi terkadang tidak memungkinkan bagi para pejabat pemerintah untuk berlama-lama memikirkan akibat dari suatu keputusan atau mencari landasan legalitas dari kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Oleh karena itu, pejabat pemerintah dituntut mampu menjawab persoalan-persoalan secara pragmatis.

Maka dalam menjalankan tugas-tugasnya, para pejabat pemerintah selalu berada di tengah-tengah kontradiksi antara pertimbangan pragmatis dan pertimbangan legalitas. Dia harus mampu menyeimbangkan antara preferensi pribadi, kemauan membuat undang-undang, serta peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga tempat pejabat pemerintah tersebut mengabdi.

Untuk membuat keputusan, haruslah dilaksanakan dengan hasil pertimbangan yang baik dan tidak merugikan kedua belah sisi, baik Pemerintah maupun masyarakat, karena hasil keputusan tidak jarang membawa keributan ataupun demo-demo dari kalangan masyarakat yang tidak terima dengan keputusan dari pemerintah tersebut. Sebagai contoh, kenaikan harga bahan bakar minyak atau ditariknya subsidi oleh pemerintah yang berdampak pada kenaikan harga barang di pasaran.

Pembuat keputusan merupakan penopang dalam administrasi. Pertimbangan lain untuk pengambilan keputusan pragmatis adalah kenyataan bahwa rumusan-rumusan legal yang ada seringkali tidak mampu menjawab situasi permasalahan yang tengah dihadapi. Ketika mengambil suatu kebijakan, para pejabat publik kadang kurang bisa melihat keseluruhan aspek yang terkait dalam suatu permasalahan publik.

Perkembangan sistem ketatanegaran di seluruh dunia selama setengah abad terakhir menunjukkan meluasnya pengakuan atas hak-hak rakyat. Pernyataan-pernyataan tentang hak asasi antara lain meliputi kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, hak hidup dan hak milik, serta hak atas perlindungan yang sama. Ada dua manfaat yang dapat ditarik dari keterlibatan lembaga-lembaga peradilan tersebut. Pertama, tentu saja adalah terlindunginya kepentingan-kepentingan rakyat, terutama pihak warga negara yang kedudukannya lemah. Kedua adalah manfaat yang diperoleh dari reformasi yang berkesinambungan atas tata kerja dalam institusi-institusi publik serta cara-cara dalam pengambilan kebijakan oleh aparat-aparatnya. Kemudian perkembangan signifikan adalah ekspansi tanggungjawab legal bagi administrator publik.

Untuk mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan administrasi negara secara judicial, pemerintah bersama-sama dengan Dewan perwakilan telah mengesahkan undang-undang PTUN. Untuk menciptakan sistem administrasi pemerintahan yang tertib, mencegah kebocoran uang negara, serta menjamin efektivitas dan efisiensi, lembaga-lembaga pemerintah harus memiliki pemeriksa yang berpotensi dan berkualitas tinggi. Dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan, aparat juga harus memiliki sikap batin tertentu. Diantara kualitas batin tersebut adalah sikap sanksi (suspicious mind), ingin tahu lebih banyak (inquisitive mind), logis dan analitis (logical and analytical mind) dan akurat (accurate).

Dari keseluruhan tolak ukur normatif yang dapat digunakan untuk menilai kinerja organisasi-organisasi publik, tampak bahwa “kebajikan” yang dapat diberikan oleh aparatur pemerintah hanya dapat terwujud jika mengacu kepada kepentingan umum secara obyektif atau netralitas birokrasi.

C. Kearifan dan Kebijakan

Perkembangan konstelasi politik dan ekonomi di Indonesia selama beberapa dasawarsa terakhir menampakkan tiga kecenderungan utama. Pertama, meningkatnya kemakmuran dengan semakin terpenuhinya kebuthan ekonomi. Kedua, meluasnya kekuasaan birokrasi pada setiap jenjang administrasi pemerintah. Dan yang ketiga, meningkatnya kekuasaan politis bagi para eksekutif dalam jajaran pemerintah. Meningkatnya kekuasaan politis para eksekutif berarti meningkat pula peranan birokrat dan administrator dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas.

Ketika seorang pejabat pemerintah mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, maka dituntut syarat kearifan karena akan semakin banyak terlibat dalam bidang manajerial daripada teknis. Semakin tinggi jabatan seseorang semakin banyak orang lain yang akan dipengaruhi oleh keputusan-keputusan pejabat tersebut, sehingga semakin beresiko ketidakpuasan di antara bawahan ataupun masyarakat.

Pejabat yang arif (Kumorotomo, 2007, hal. 327) adalah pejabat yang mampu menjaga supaya keputusan-keputusannya diterima oleh sebagian besar dengan landasan kebenaran yang hakiki. Tanggungjawab seorang pejabat pemerintahan dengan demikian bukan hanya pada organisasi yang dikelolanya atau kepada atasannya saja, akan tetapi kepada warga negara yang secara langsung ataupun tidak langsung terkena kebijakan yang diambilnya.

Kebenaran suara hati menuntut agar manusia tidak dipaksa untuk bertindak melawan suara hati. Hak untuk bertindak sesuai dengan suara hati akan menemukan batasan pada hak orang lain. Kebebasan suara hati tidak boleh sampai mengurangi atau mempengaruhi hak orang lain, atau bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang wajar (Magis-Suseno, 1999 hal 149). Keterbukaan aparatur pemerintah dan perlakuan yang adil atau fair sangat penting dalam wacana tugas layanan publik. Manusia yang bermoral, demikian juga administrasi publik menjadi etis hanya akan ada jika administrator itu memiliki kemauan untuk bersifat arif sehingga beretika (Sayuti, 2011, hal. 149), tanpa adanya takut akan hukuman atau harap akan ganjaran, tanpa taku celaan atau harap akan pujian, dan tanpa takut terkena sanksi atau memperoleh promosi.

Kearifan dalam pengambilan kebijakan mutlak diperlukan, mengingat dewasa ini terdapat kecenderungan meningkatnya peran pejabat publik atau administrator pemerintahan dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas. Disinilah arti pentingnya kearifan, yang merupakan landasan etis bagi aparatur pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemanjuan bangsa.

Konsep kearifan menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan penempatan atau mutasi sehingga akan meminimalisir timbulnya konflik yang berkepanjangan dan ketidaksepahaman, untuk bias menjalankan proses pemerintahan yang baik dalam masa transisi dari setralistik ke desentralisasi tidak semua kemauan Pejabat Publik langsung diterapkan tetapi perlu ada perenungan dan pertimbangan kearifan sehingga pemerintahan akan berjalan dengan baik.

Dalam membuat kebijakan, seorang pejabat dapat menggunakan interpretasinya terhadap gagasan tertentu, individu atau kelompok secara positif maupun negatif. Untuk menerapkan gagasan secara benar, mengelola sumber daya negara dengan tanggungjawab, menetukan alternatif keputusan secara objektif dan menerapkan prosedur dengan baik, seorang pejabat harus memiliki kualitas pribadi yang prima. Bailey menguraikan tiga kualitas yang diperlukan bagi seorang pembuat kebijakan yaitu sebagai berikut :

1. Optimisme

Sifat ini tidak ditafsirkan sebagai kesenangan untuk menganggap mudah semua masalah, tetapi suatu kecenderungan untuk berasumsi tentang kemungkinan untuk mendapatkan hasil-hasil yang positif, yakin bahwa peluang untuk memecahkan persoalan selalu ada.

2. Keberanian (courage)

Sifat ini memerlukan kekuatan pribadi dan komitmen yang benar. Pembuat kebijakan harus berani menolak tekanan-tekanan yang tidak sah dari para politisi, pengaruh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat atau intimidasi dari para pakar dan orang-orang yang mengandalkan favoritisme.

3. Keadilan yang berwatak  kemurahan hati

Sifat ini menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok sasaran dengan perlakuan yang baku, yang sama serta suatu kepekaan atas perbedaan individual. Oleh karena itu kearifan seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk menjadi perumus kebijakan yang baik. Kepekaan dan empati sangat diperlukan karena walau bagaimanapun pejabat publik melayani manusia yang tentunya punya martabat, harga diri dan perasaan. Dalam melayani masyarakat umum yang selalu perlu diperhatikan adalah ketentuan mengenai keadilan prosedural.

D. Kode Etik sebagai pedoman dalam Pelaksanaan Administrasi Negara

Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dari kode etik bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat dan nilai-nilai filosofis. Kode etik juga merupakan hasil kesepakatan dan konvensi suatu kelompok sosial. Kode etik adalah persetujuan bersama yang timbul dari para anggota untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas pada kaum profesi karena sesungguhnya setiap pekerjaan dan setiap jenjang keputusan mengandung konsekuensi moral.

Manfaat lain dari perumusan kode etik adalah para aparat pemerintah akan memiliki kesadaran moral atas kedudukan yang diperolehnya adri negara atas nama rakyat. Pejabat yang menaati norma-norma dalam kode etik akan menempatkan kewajibannya sebagai aparat pemerintah (incumbency obligation) di atas kepentingan-kepentingan akan karir dan kedudukan. Pejabat tersebut akan melihat kedudukan sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Oleh karena itu kode etik mengandaikan bahwa para pejabat publik dapat berperilaku sebagai pendukung nilai-nilai moral dan sekaligus pelaksana dari nilai-nilai tersebut dalam tindakan-tindakan nyata. Dalam kaitan ini, Fredericson dan Hart mengatakan :

…………………… public servant must be both moral philophers and moral active, which would require: first, an understanding of, and believe in regime and second, a sense of extensive benevolence for the people of the nation.

Sebagai aparat negara, para pejabat wajib menaati prosedur, tata kerja, dan peraturan-peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi pemerintah. Sebagai pelaksana kepentingan umum, para pejabat wajib mengutamakan aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat tertentu. Dan sebagai manusia yang bermoral, pejabat harus memperhatikan nilai-nilai etis di dalam berindak dan berperilaku. Seorang pejabat pemerintahan harus memiliki kewaspadaan spiritual dan kewaspadaan profesional. Kewaspadaa spiritual  merujuk pada penerapan nilai-nilai kearifan, kejujuran, keuletan, sikap sederhana dan hemat, tanggungjawab serta akhlak dan perilaku yang baik. Kewaspadaan profesional berarti menaati kaidah-kaidah teknis dan peraturan-peraturan sehubungan dengan kedudukannya sebagai seorang pembuat keputusan.

Rumusan eksplisit kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau pejabat pemerintah, ada bebarapa sumber yang dapat dijadikan acuan. Salah satunya adalah ketentuan mengenai Sapta Prasetya KORPRI, keputusan musyawarah KORPRI yang ketiga, No. Kep-05/MUNAS/1989 tanggal 1 Juni 1989 tentang penyempurnaan kode etik Korps Pegawai Republik Indonesia bahkan dengan tegas mengatakan bahwa Sapta Prasetya. Kode etik ini pertama kali dilontarkan pada musyawarah Nasional KORPRI, Sapta Prasetya dimaksudkan sebagai landasan dasar kode etik (pasal 4 Keputusan Munas 1 KORPRI No. 3/MUNAS/1978). Inilah kode etik yang diberlakukan bagi para pegawai. Seorang pegawai atau pejabat akan mengucapkan atau bahkan menghafal Sapta Prasetya maupun sumpah jabatan dengan mudah. Namun, perenungan, penghayatan serta pengamalan dari apa yang diucapkan jauh lebih penting.

Untuk menerapkan kaidah-kaidah etis tersebut, para pegawai perlu merujuk kepada peraturan-peraturan kepegawaian yang lebih operational, salah satu peraturan pemerintah yang memuat adalah Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Di samping peraturan dan ketentuan di atas, unsur-unsur etis yang langsung menyangkut pekerjaan sehari-hari seorang pegawai dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil.

Kode etik merumuskan nilai-nilai etis luhur dalam tugas-tugas administrasi negara. Kode etik merupakan pedoman dalam bertindak. Mengenai pelaksanaannya dalam perilaku nyata, tergantung niat baik dan sentuhan moral yang ada dalam diri pegawai atau pejabat sendiri. Kode etik dirumuskan untuk penyempurnaan pekerjaan, mencegah hal-hal yang buruk dan untuk kepentingan bersama, maka setiap pegawai dan pejabat diharapkan menaatinya dengan kesadaran yang tulus.

Paham idealisme etika mengatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah baik dan suka hal-hal yang baik. Apabila ada orang-orang yang menyimpang dari kebaikan, itu semata-mata karena tidak tahu norma untuk bertindak dengan baik atau tidak tahu cara-cara bertindak yang menuju ke arah kebaikan. Yang diperlukan adalah suatu peringatan dan sentuhan nurani yang terus-menerus untuk menggugah kesadaran moral dan melestarikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dan interaksi antar individu.

Pemerintah pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitas demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998 : 139). Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran dari paradigma “rule government” menjadi “good government”, dimana dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik melibatkan seluruh elemen, baik di dalam intern birokrasi maupun di luar birokrasi publik.

Unsur utama penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang baik adalah penting adanya akuntabilitas (accountability), transparansi (transparancy), keterbukaan (oppeness), dan law enforcement (penegakan hukum) “Bhata dalam nisjar (1997;119), sehingga melalui unsur-unsur tersebut dapat menciptakan sistem administrasi negara di Indonesia yang efisien, efektf dan sekaligus bertanggungjawab.


Page 2

Bagaimana orang disebut sebagai pejabat yang bermoral
Masalah etika memiliki potensi dan peran yang sangat penting dalam proses administrasi negara. Etika administrasi negara merupakan salah satu wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara. Etika administrasi negara di samping digunakan sebagai pedoman, acuan, referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya agar dapat dikatakan baik atau buruk.

Pertimbangan – pertimbangan etika sama sekali bukan merupakan langkah mundur, tetapi justru merupakan upaya untuk menemukan pranata – pranata pembangunan yang berwatak dan bermoral serta mendapatkan bentuk interaksi yang ideal antara aparat negara dengan setiap warga Negara. Hal ini disebabkan karena masalah etika negara merupakan standar penilaian administrasi negara mengenai tindakan administrasi negara yang menyimpang dari etika administrasi negara (mal administrasi) dan faktor yang menyebabkan timbulnya mal administrasi dan cara mengatasinya.

Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari birokrasi dan manajemen pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan dilakukan oleh birokrat – birokrat dapat terlihat dan ter–akuntable dengan jelas sehingga akan memudahkan law enforcement untuk menata ulang manajemen pemerintahan Indonesia yang sehat dan berlandaskan pada prinsip – prinsip good governance dan berasaskan pada nilai – nilai etika administrasi negara.

Pada pemerintahan yang bersih (clean good governance) terkait law enforcement dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang yang diberikan kepadanya, pemerintahan tidak melakukan tindakan – tindakan yang menyimpang dari etika Administrasi publik (mal- administration) yang akan mengabaikan law enforcement pada penataan ulang pemerintahan di Indonesia. Sehingga pada tujuan law enforcement terdapat:

  1. Birokrat – birokrat pemerintah dari pemerintahan, yang ditentukan oleh kualitas sumber daya apaturnya,
  2. Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan sistem pemerintahan yang harus diberlakukan,
  3. Kelembagaan yang dipergunakan oleh birokrat – birokrat pemerintahan untuk mengaktualisasikan kinerjanya,
  4. Kepemimpinan dalam birokrasi publik yang berakhlak, berwawasan (visionary), demokratis dan responsive terhadap revitalisasi penataan ulang pemerintahan Indonesia (reinventing government).

Pengertian Etika

Dalam banyak tulisan filosofis, jarang ditemukan penggunaan istilah “etika dan moral” secara konsisten. Etika berasal dari bahasa Yunani; ethos, yang artinya kebiasaan atau watak sedangkan moral berasal dari bahasa Latin; mos (jamak : mores) yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Secara epistemologis, pengertian etika dan moral memiliki kemiripan namun sejalan dengan perkembangan ilmu, ada beberapa pergeseran yang kemudian membedakannya.

Etika merujuk kepada dua hal. Pertama, etika berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari nilai – nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya. Kedua, etika merupakan pokok permasalahan dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Moral dalam pengertiannya yang umum menaruh penekanan kepada karakter dan sifat-sifat individu yang khusus, di luar ketaatan kepada peraturan. Oleh karena itu, moral merujuk kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa dan sebagainya, yang kesemuanya tidak terdapat dalam peraturan-peraturan hukum.

Prinsip Nilai Etika Aministrasi Negara

Etika menurut Bertens (1977) adalah seperangkat nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan Darwin (1999) mengartikan etika adalah prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh suatu kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku individu dalam berhubungan dengan individu lain dalam masyarakat.

Setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dan masing-masing  menginginkan kepentingannya itu terpenuhi. Namun, terpenuhinya suatu kepentingan biasanya menutut pemenuhan kepentingan yang lain sehingga kepuasan setiap orang mustahil bias tercapai. Guna menjaga keutuhan sistem dari adanya berbagai gejolak yang diakibatkan perselisihan kepentingan itu diperlukan pranata negara sebagai pihak yang berwenang mengatur, menyesuaikan atau menentukan prioritas bagi terpenuhinya kepentingan serta tujuan berbagai pihak. Sarana yang memadai untuk melaksanakan hal-hal ini biasa disebut birokrasi.

Dewasa ini masyarakat begitu peka dengan istilah birokrasi. Hampir semua lapisan masyarakat mengenal birokrasi. Namun, banyak hal yang tergambar di benak orang jika membicarakan birokrasi ialah urusan-urusan menjengkelkan yang berkenaan dengan pengisian formulir-formulir, proses perolehan izin yang melalui banyak kantor secara berantai, aturan-aturan ketat yang mengharuskan seseorang melewati banyak sekali formalitas, dan sebagainya. Akan tetapi birokrasi yang sesungguhnya, dimaksudkan sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan mengacu pada kedua pendapat ini, maka etika mempunyai fungsi sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi dinilai baik atau buruk, tidak tercela dan terpuji.

Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat dijadikan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksananakan tugas dan kewenangannya antara lain adalah

  1. Efisiensi, artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien
  2. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi
  3. Impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal, maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari urusan perasaan daripada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi sanksi dan yang berprestasi selayaknya mendapatkan penghargaan
  4. Merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen dan promosi pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), sikap (attitude), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience), sehingga menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan  tugas dan tanggung jawabnya dan bukan spoil system (adalah sebaliknya)
  5. Responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya
  6. Accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat obyektif sebab birokrasi dikatakan akuntable bilamana mereka dinilai obyektif oleh masyarakat karena dapat mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan, sikap dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal dan mereka dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang professional dan dapat memberikan kepuasan publik
  7. Responsiveness, artinya birokrasi publik memiliki daya tanggap terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat dengan cepat dipahami dan berusaha memenuhi, tidak suka menunda – nunda waktu atau memperpanjang alur pelayanan.

Akuntabilitas administrasi negara dalam pengertian yang luas melibatkan lembaga-lembaga publik (agencies) dan birokrat untuk mengendalikan bermacam-macam harapan yang berasal dari dalam dan adari luar organisasinya. Strategi untuk mengendalikan harapan-harapan dari akuntabilitas administrasi publik melibatkan dua faktor kritis, pertama yaitu bagaimana kemampuan mendefinisikan dan mengendalikan harapan-harapan yang diselenggarakan oleh manajemen pemerintahan. Kedua, derajat kontrol keseluruhan terhadap harapan-harapan yang telah didefinisikan para birokrat.

Korupsi: Salah Satu Bentuk Mal-administrasi

Banyak “mal-praktik” dalam tubuh birokrasi yang diungkap oleh masyarakat, baik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah tindakan yang menyimpang hukum serta penyelewengan law enforcement. Hal ini disebabkan karena etika admnistrasi negara dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dan upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia tidak sesuai dengan good governance.

Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan barang public, bias berupa uang dan jasa untuk kepentingan memperkaya ddiri dan bukan untuk kepentingan publik. Proses terjadinya dapat dibedakan dalam tiga bentuk yaitu graft, bribery dan nepotism.

Graft, merupakan korupsi yang bersifat internal, artinya korupsi yang dilakukan tanpa melibatkan pihak ketiga. Seperti menggunakan atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untuk kepentingan diri sendiri. Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya, bawahan tidak dapat meolak permintaan atasan.

Sementara bribery (penyogokan, penyuapan) merupkan tindakan korupsi yang melibatkan orang di luar dirinya (instansinya), biasa disebut dengan korupsi eksternal. Artinya korupsi tersebut tidak dapat terjadi jika tidak ada orang lain yang melakukan tindakan penyuapan atau penyogokan terhadap dirinya. Tindakan pemberian sesuatu (penyuapan, penyogokan) dimaksudkan agar dapat mempengaruhi objektifitas dalam membuat keputusan, atau keputusan yang dibuat akan menguntungkan si pemberi. Pemberian sesuatu dapat berupa materi, uang dan juga jasa.

Nepotism merupakan suatu tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pada pertimbangan objektif, rasional tetapi didasarkan atas pertimbangan “nepitis”, “kekerabatan”, seperti masih teman, keluarga, golongan, pejabat dan lain sebagainya. Pertimbangan pengambilan keputusan ini seringkali untuk kepentingan orang yang membuat keputusan. Mereka akan lebih aman dan nyaman jika orang yang berada di sekitarnya (anak buahnya) adalah orang-orang yang masih “nepotism” atau masih kerabat dekat. Jika mereka melakukan tindakan penyimbangan mereka akan aman dan dilindungi.

Korupsi di atas adalah korupsi yang dilihat dari proses terjadinya. Namun dilihat dari sifat korupsinya dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu korupsi individualis dan korupsi sistemik.

Korupsi individualis, merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu atau beberapa orang dalam suatu organisasi dan berkembang suatu mekanisme muncul, hilang dan jika ketahuan pelaku korupsi akan terkena hukuman, bias berupa dijauhi, dicela, disudukan dan bahkan diakhiri nasib karirnya.

Korupsi sistemik merupakan suatu korupsi ketika yang melakukan korupsi adalah sebagian besar (kebanyakan orang) dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang). Dikatakan sistemik, karena tindakan korupsi ini bias diterima sebagai sesuatu yang wajar/biasa (tidak menyimpang) oleh orang yang berada di sekitarnya. Jika ketahuan, maka di antara mereka yang terlibat saling melindungi, menutup-nutupi dan mendukung satu sama lain untuk menyelamatkan orang yang ketahuan tersebut. Hal ini disebabkan agar instansinya tidak tercemar, sehingga walaupun mereka tau  ada tindakan korupsi mereka lebih baik “diam”, daripada mereka dikucilkan atau dijadikan saksi dalam perkara tindakan korupsi tersebut.

Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Mal-Administrasi

Faktor internal

Faktor internal berupa kepribadian seseorang, berwujud suatu niat, kemauan dan dorongan yang tumbuh dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan mal-administrasi. Hal ini disebabkan lemahnya mental seseorang, dangkalnya agama dan keimanan sehingga memudahkan untuk melakukan sesuatu tindakan walaupun sesungguhnya tindakan tersebut tidak baik, tercela dan buruk baik menurut nilai-nilai sosial maupun menurut ajaran agama.

Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, bias berupa lemahnya peraturan, lemahnya lembaga kontrol, lingkungan kerja dan lain sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan tindakan korupsi.

Peraturan perundangan merupakan suatu tatanan nilai yang dibuat dan diikuti oleh para pegawai dalam menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya. Manakala peraturan memberi kelonggaran bagi pegawai untuk melakukan tindakan mal-administrasi, karena peraturannya tidak jelas, sanksi yang diberikan lemah, maka akan memberikan peluang (kesempatan) pegawai melakukan tindakan mal-administrasi tersebut. Misalnya, walaupun telah ada peraturan perundangan anti korupsi yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun peraturan perundangan tersebut tidak efektif untuk mencegah tindakan korupsi.

Etika Administrasi Birokrasi dalam praktik

Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan unsur yang penting dalam suatu negara. Oleh karena itu, maka tidak berlebihan apabila salah satu faktor penentu krisis nasional dan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan, terutama birokrasi, yang tidak mengindahkan prinsip–prinsip tata pemerintahan yang baik.

Konsep-konsep tentang nilai moral dan etika dalam administrasi pemerintahan dirumuskan untuk diterapkan dalam kehidupan kenegaraan dan lingkup administrasi yang sesungguhnya. Kemanfaatan konsepsi etika tersebut hanya akan terasa apabila benar-benar menjadi bagian dari dinamika administrasi modern. Dalam banyak hal, konsep dan teori filosofis mengenai moralitas dalam bidang administrasi negara berasal dari praktek administrasi sehari-hari.

  1. Asas – Asas Umum Birokrasi Pemerintahan yang Baik

Setiap negara memiliki konteks budaya yang berbeda-beda, kebutuhan masyarakat pada suatu waktu yang selalu berubah dan masalah yang dihadapi oleh setiap negara pun berbeda, sehingga merumuskan asas umum pemerintahan yangbaik dalam satu kata adalah upaya yang sulit. Dalam konteks negara Indonesia, sebagian besar rakyat Indonesia sepakat bahwa pada pemerintahan orde lama berhasil meletakkan dasar Nasionalisme bagi bangsa Indonesia tetapi gagal dalam merumuskan program–program pembangunan yang menyentuh rakyat.

Pada masa pemerintahan orde baru, pemerintahan orde baru, pemerintah memang telah berhasil melaksanakan pembangunan kemakmuran ekonomis dan stabilitas nasional melalui program-program yang pragmatis, namun orang mulai berpikir bahwa kemakmuran materi bukan satu-satunya tujuan yang harus dicapai. Tampaklah bahwa perkembangan situasi politik, sosial and budaya serta dinamika masyarakat turut mempengaruhi opini masyarakat tentang sistem administrasi pemerintahan yang ideal. Interpretasi dan pendapat individual mempengaruhi wujud pemerintahan yang didambakan oleh masyarakat, namun demikian landasan pemikiran yang disepakati oleh sebagian besar masyarakat dapat dipakai sebagai pedoman.

1. Prinsip Demokrasi

Pemerintahan dengan prinsip demokrasi pada dasarnya berasas pada kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, rakyat yang menentukan jalannya negara dan pemerintahan. Di dalam pemerintahan yang berasas kedaulatan rakyat, maka kepentingan rakyatlah yang diutamakan karena kepentingan rakyat menempati kedudukan yang paling tinggi. Dasar dari konsep demokrasi menyangkut penilaian tentang nilai manusia, martabat manusia dan kesamaan di hadapan hukum. Demokrasi mendambakan terciptanya suatu sistem kemasyarakatan dimana setiap warga negaranya mempunyai kedudukan yang sama dan adil. Oleh karena itu dalam pemerintahan dengan prinsip demokrasi, hendaknya setiap aktivitas birokrasi pemerintahan dalam mewujudkan kepentingan rakyat berjiwa demokrasi, dapat dipertanggungjawabkan dan efisien.

2. Keadilan Sosial dan Pemerataan

Keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan tercapai apabila tidak terjadi ketimpangan distribusi hasil-hasil pembangunan antar kelompok masyarakat yang kaya dan miskin serta antar daerah/wilayah geografis, antara perkotaan dan pedesaan. Oleh karena itu aparat birokrasi membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menyeimbangkan kebutuhan masyarakat miskin dan masyarakat pedesaan dengan kebutuhan masyarakat kaya dan masyarakat perkotaan.

3. Mengusahakan Kesejahteraan Umum

Suatu kekuasaan negara legitimate, apabila negara tersebut melalui kegiatan-kegiatannya dapat meningkatkan kesejahteraan umum bagi rakyatnya. Rakyat akan menerima dengan senang kewajiban-kewajiban dari negara yang dibebankan kepada rakyat, asalkan dengan kewajiban tersebut rakyat menjadi lebih sejahtera. Oleh karena itu, setiap aparat birokrasi pemerintah harus mempunyai komitmen yang tulus untuk memperhatikan kesejahteraan rakyat

4. Mewujudkan Negara Hukum

Mewujukan negara hukum adalah amanat dari konstitusi. Oleh karena itu, aparatur pemerintahan bersama dengan seluruh rakyat akan mewujudkan suatu pemerintahan yang dijalankan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi aparat pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

5. Dinamika dan Efisiensi

Dinamika dapat diartikan sebagai kemampuan adaptasi organisasi yang baik sehingga aparat pemerintah sanggup mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tepat dan responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang terus berkembang. Selain itu, ukuran kinerja bagi birokrasi pemerintahan adalah efisiensi. Efisiensi harus tetap mengutamakan kepuasan dan kelancaran layanan publik serta memperhitungkan pemakaian tenaga kerja, prosedur pelayanan dan biaya yang dikeluarkan.

B. Administrasi dan Nilai – Nilai Yudisial Norma Pengawasan

Pembuatan keputusan merupakan penopang utama kegiatan administrasi. Sebagian besar proses administrasi berupa serangkaian pemilihan alternatif tindakan atau pengambilan keputusan. Waktu yang tersedia untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan tersebut seringkali sangat sempit karena permasalahan yang ada membutuhkan penanganan segera. Sementara itu, pertimbangan efisiensi terkadang tidak memungkinkan bagi para pejabat pemerintah untuk berlama-lama memikirkan akibat dari suatu keputusan atau mencari landasan legalitas dari kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Oleh karena itu, pejabat pemerintah dituntut mampu menjawab persoalan-persoalan secara pragmatis.

Maka dalam menjalankan tugas-tugasnya, para pejabat pemerintah selalu berada di tengah-tengah kontradiksi antara pertimbangan pragmatis dan pertimbangan legalitas. Dia harus mampu menyeimbangkan antara preferensi pribadi, kemauan membuat undang-undang, serta peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga tempat pejabat pemerintah tersebut mengabdi.

Untuk membuat keputusan, haruslah dilaksanakan dengan hasil pertimbangan yang baik dan tidak merugikan kedua belah sisi, baik Pemerintah maupun masyarakat, karena hasil keputusan tidak jarang membawa keributan ataupun demo-demo dari kalangan masyarakat yang tidak terima dengan keputusan dari pemerintah tersebut. Sebagai contoh, kenaikan harga bahan bakar minyak atau ditariknya subsidi oleh pemerintah yang berdampak pada kenaikan harga barang di pasaran.

Pembuat keputusan merupakan penopang dalam administrasi. Pertimbangan lain untuk pengambilan keputusan pragmatis adalah kenyataan bahwa rumusan-rumusan legal yang ada seringkali tidak mampu menjawab situasi permasalahan yang tengah dihadapi. Ketika mengambil suatu kebijakan, para pejabat publik kadang kurang bisa melihat keseluruhan aspek yang terkait dalam suatu permasalahan publik.

Perkembangan sistem ketatanegaran di seluruh dunia selama setengah abad terakhir menunjukkan meluasnya pengakuan atas hak-hak rakyat. Pernyataan-pernyataan tentang hak asasi antara lain meliputi kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, hak hidup dan hak milik, serta hak atas perlindungan yang sama. Ada dua manfaat yang dapat ditarik dari keterlibatan lembaga-lembaga peradilan tersebut. Pertama, tentu saja adalah terlindunginya kepentingan-kepentingan rakyat, terutama pihak warga negara yang kedudukannya lemah. Kedua adalah manfaat yang diperoleh dari reformasi yang berkesinambungan atas tata kerja dalam institusi-institusi publik serta cara-cara dalam pengambilan kebijakan oleh aparat-aparatnya. Kemudian perkembangan signifikan adalah ekspansi tanggungjawab legal bagi administrator publik.

Untuk mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan administrasi negara secara judicial, pemerintah bersama-sama dengan Dewan perwakilan telah mengesahkan undang-undang PTUN. Untuk menciptakan sistem administrasi pemerintahan yang tertib, mencegah kebocoran uang negara, serta menjamin efektivitas dan efisiensi, lembaga-lembaga pemerintah harus memiliki pemeriksa yang berpotensi dan berkualitas tinggi. Dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan, aparat juga harus memiliki sikap batin tertentu. Diantara kualitas batin tersebut adalah sikap sanksi (suspicious mind), ingin tahu lebih banyak (inquisitive mind), logis dan analitis (logical and analytical mind) dan akurat (accurate).

Dari keseluruhan tolak ukur normatif yang dapat digunakan untuk menilai kinerja organisasi-organisasi publik, tampak bahwa “kebajikan” yang dapat diberikan oleh aparatur pemerintah hanya dapat terwujud jika mengacu kepada kepentingan umum secara obyektif atau netralitas birokrasi.

C. Kearifan dan Kebijakan

Perkembangan konstelasi politik dan ekonomi di Indonesia selama beberapa dasawarsa terakhir menampakkan tiga kecenderungan utama. Pertama, meningkatnya kemakmuran dengan semakin terpenuhinya kebuthan ekonomi. Kedua, meluasnya kekuasaan birokrasi pada setiap jenjang administrasi pemerintah. Dan yang ketiga, meningkatnya kekuasaan politis bagi para eksekutif dalam jajaran pemerintah. Meningkatnya kekuasaan politis para eksekutif berarti meningkat pula peranan birokrat dan administrator dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas.

Ketika seorang pejabat pemerintah mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, maka dituntut syarat kearifan karena akan semakin banyak terlibat dalam bidang manajerial daripada teknis. Semakin tinggi jabatan seseorang semakin banyak orang lain yang akan dipengaruhi oleh keputusan-keputusan pejabat tersebut, sehingga semakin beresiko ketidakpuasan di antara bawahan ataupun masyarakat.

Pejabat yang arif (Kumorotomo, 2007, hal. 327) adalah pejabat yang mampu menjaga supaya keputusan-keputusannya diterima oleh sebagian besar dengan landasan kebenaran yang hakiki. Tanggungjawab seorang pejabat pemerintahan dengan demikian bukan hanya pada organisasi yang dikelolanya atau kepada atasannya saja, akan tetapi kepada warga negara yang secara langsung ataupun tidak langsung terkena kebijakan yang diambilnya.

Kebenaran suara hati menuntut agar manusia tidak dipaksa untuk bertindak melawan suara hati. Hak untuk bertindak sesuai dengan suara hati akan menemukan batasan pada hak orang lain. Kebebasan suara hati tidak boleh sampai mengurangi atau mempengaruhi hak orang lain, atau bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang wajar (Magis-Suseno, 1999 hal 149). Keterbukaan aparatur pemerintah dan perlakuan yang adil atau fair sangat penting dalam wacana tugas layanan publik. Manusia yang bermoral, demikian juga administrasi publik menjadi etis hanya akan ada jika administrator itu memiliki kemauan untuk bersifat arif sehingga beretika (Sayuti, 2011, hal. 149), tanpa adanya takut akan hukuman atau harap akan ganjaran, tanpa taku celaan atau harap akan pujian, dan tanpa takut terkena sanksi atau memperoleh promosi.

Kearifan dalam pengambilan kebijakan mutlak diperlukan, mengingat dewasa ini terdapat kecenderungan meningkatnya peran pejabat publik atau administrator pemerintahan dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas. Disinilah arti pentingnya kearifan, yang merupakan landasan etis bagi aparatur pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemanjuan bangsa.

Konsep kearifan menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan penempatan atau mutasi sehingga akan meminimalisir timbulnya konflik yang berkepanjangan dan ketidaksepahaman, untuk bias menjalankan proses pemerintahan yang baik dalam masa transisi dari setralistik ke desentralisasi tidak semua kemauan Pejabat Publik langsung diterapkan tetapi perlu ada perenungan dan pertimbangan kearifan sehingga pemerintahan akan berjalan dengan baik.

Dalam membuat kebijakan, seorang pejabat dapat menggunakan interpretasinya terhadap gagasan tertentu, individu atau kelompok secara positif maupun negatif. Untuk menerapkan gagasan secara benar, mengelola sumber daya negara dengan tanggungjawab, menetukan alternatif keputusan secara objektif dan menerapkan prosedur dengan baik, seorang pejabat harus memiliki kualitas pribadi yang prima. Bailey menguraikan tiga kualitas yang diperlukan bagi seorang pembuat kebijakan yaitu sebagai berikut :

1. Optimisme

Sifat ini tidak ditafsirkan sebagai kesenangan untuk menganggap mudah semua masalah, tetapi suatu kecenderungan untuk berasumsi tentang kemungkinan untuk mendapatkan hasil-hasil yang positif, yakin bahwa peluang untuk memecahkan persoalan selalu ada.

2. Keberanian (courage)

Sifat ini memerlukan kekuatan pribadi dan komitmen yang benar. Pembuat kebijakan harus berani menolak tekanan-tekanan yang tidak sah dari para politisi, pengaruh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat atau intimidasi dari para pakar dan orang-orang yang mengandalkan favoritisme.

3. Keadilan yang berwatak  kemurahan hati

Sifat ini menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok sasaran dengan perlakuan yang baku, yang sama serta suatu kepekaan atas perbedaan individual. Oleh karena itu kearifan seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk menjadi perumus kebijakan yang baik. Kepekaan dan empati sangat diperlukan karena walau bagaimanapun pejabat publik melayani manusia yang tentunya punya martabat, harga diri dan perasaan. Dalam melayani masyarakat umum yang selalu perlu diperhatikan adalah ketentuan mengenai keadilan prosedural.

D. Kode Etik sebagai pedoman dalam Pelaksanaan Administrasi Negara

Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dari kode etik bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat dan nilai-nilai filosofis. Kode etik juga merupakan hasil kesepakatan dan konvensi suatu kelompok sosial. Kode etik adalah persetujuan bersama yang timbul dari para anggota untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas pada kaum profesi karena sesungguhnya setiap pekerjaan dan setiap jenjang keputusan mengandung konsekuensi moral.

Manfaat lain dari perumusan kode etik adalah para aparat pemerintah akan memiliki kesadaran moral atas kedudukan yang diperolehnya adri negara atas nama rakyat. Pejabat yang menaati norma-norma dalam kode etik akan menempatkan kewajibannya sebagai aparat pemerintah (incumbency obligation) di atas kepentingan-kepentingan akan karir dan kedudukan. Pejabat tersebut akan melihat kedudukan sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Oleh karena itu kode etik mengandaikan bahwa para pejabat publik dapat berperilaku sebagai pendukung nilai-nilai moral dan sekaligus pelaksana dari nilai-nilai tersebut dalam tindakan-tindakan nyata. Dalam kaitan ini, Fredericson dan Hart mengatakan :

…………………… public servant must be both moral philophers and moral active, which would require: first, an understanding of, and believe in regime and second, a sense of extensive benevolence for the people of the nation.

Sebagai aparat negara, para pejabat wajib menaati prosedur, tata kerja, dan peraturan-peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi pemerintah. Sebagai pelaksana kepentingan umum, para pejabat wajib mengutamakan aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat tertentu. Dan sebagai manusia yang bermoral, pejabat harus memperhatikan nilai-nilai etis di dalam berindak dan berperilaku. Seorang pejabat pemerintahan harus memiliki kewaspadaan spiritual dan kewaspadaan profesional. Kewaspadaa spiritual  merujuk pada penerapan nilai-nilai kearifan, kejujuran, keuletan, sikap sederhana dan hemat, tanggungjawab serta akhlak dan perilaku yang baik. Kewaspadaan profesional berarti menaati kaidah-kaidah teknis dan peraturan-peraturan sehubungan dengan kedudukannya sebagai seorang pembuat keputusan.

Rumusan eksplisit kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau pejabat pemerintah, ada bebarapa sumber yang dapat dijadikan acuan. Salah satunya adalah ketentuan mengenai Sapta Prasetya KORPRI, keputusan musyawarah KORPRI yang ketiga, No. Kep-05/MUNAS/1989 tanggal 1 Juni 1989 tentang penyempurnaan kode etik Korps Pegawai Republik Indonesia bahkan dengan tegas mengatakan bahwa Sapta Prasetya. Kode etik ini pertama kali dilontarkan pada musyawarah Nasional KORPRI, Sapta Prasetya dimaksudkan sebagai landasan dasar kode etik (pasal 4 Keputusan Munas 1 KORPRI No. 3/MUNAS/1978). Inilah kode etik yang diberlakukan bagi para pegawai. Seorang pegawai atau pejabat akan mengucapkan atau bahkan menghafal Sapta Prasetya maupun sumpah jabatan dengan mudah. Namun, perenungan, penghayatan serta pengamalan dari apa yang diucapkan jauh lebih penting.

Untuk menerapkan kaidah-kaidah etis tersebut, para pegawai perlu merujuk kepada peraturan-peraturan kepegawaian yang lebih operational, salah satu peraturan pemerintah yang memuat adalah Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Di samping peraturan dan ketentuan di atas, unsur-unsur etis yang langsung menyangkut pekerjaan sehari-hari seorang pegawai dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil.

Kode etik merumuskan nilai-nilai etis luhur dalam tugas-tugas administrasi negara. Kode etik merupakan pedoman dalam bertindak. Mengenai pelaksanaannya dalam perilaku nyata, tergantung niat baik dan sentuhan moral yang ada dalam diri pegawai atau pejabat sendiri. Kode etik dirumuskan untuk penyempurnaan pekerjaan, mencegah hal-hal yang buruk dan untuk kepentingan bersama, maka setiap pegawai dan pejabat diharapkan menaatinya dengan kesadaran yang tulus.

Paham idealisme etika mengatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah baik dan suka hal-hal yang baik. Apabila ada orang-orang yang menyimpang dari kebaikan, itu semata-mata karena tidak tahu norma untuk bertindak dengan baik atau tidak tahu cara-cara bertindak yang menuju ke arah kebaikan. Yang diperlukan adalah suatu peringatan dan sentuhan nurani yang terus-menerus untuk menggugah kesadaran moral dan melestarikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dan interaksi antar individu.

Pemerintah pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitas demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998 : 139). Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran dari paradigma “rule government” menjadi “good government”, dimana dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik melibatkan seluruh elemen, baik di dalam intern birokrasi maupun di luar birokrasi publik.

Unsur utama penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang baik adalah penting adanya akuntabilitas (accountability), transparansi (transparancy), keterbukaan (oppeness), dan law enforcement (penegakan hukum) “Bhata dalam nisjar (1997;119), sehingga melalui unsur-unsur tersebut dapat menciptakan sistem administrasi negara di Indonesia yang efisien, efektf dan sekaligus bertanggungjawab.


Page 3

Bagaimana orang disebut sebagai pejabat yang bermoral
Masalah etika memiliki potensi dan peran yang sangat penting dalam proses administrasi negara. Etika administrasi negara merupakan salah satu wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara. Etika administrasi negara di samping digunakan sebagai pedoman, acuan, referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya agar dapat dikatakan baik atau buruk.

Pertimbangan – pertimbangan etika sama sekali bukan merupakan langkah mundur, tetapi justru merupakan upaya untuk menemukan pranata – pranata pembangunan yang berwatak dan bermoral serta mendapatkan bentuk interaksi yang ideal antara aparat negara dengan setiap warga Negara. Hal ini disebabkan karena masalah etika negara merupakan standar penilaian administrasi negara mengenai tindakan administrasi negara yang menyimpang dari etika administrasi negara (mal administrasi) dan faktor yang menyebabkan timbulnya mal administrasi dan cara mengatasinya.

Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari birokrasi dan manajemen pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan dilakukan oleh birokrat – birokrat dapat terlihat dan ter–akuntable dengan jelas sehingga akan memudahkan law enforcement untuk menata ulang manajemen pemerintahan Indonesia yang sehat dan berlandaskan pada prinsip – prinsip good governance dan berasaskan pada nilai – nilai etika administrasi negara.

Pada pemerintahan yang bersih (clean good governance) terkait law enforcement dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang yang diberikan kepadanya, pemerintahan tidak melakukan tindakan – tindakan yang menyimpang dari etika Administrasi publik (mal- administration) yang akan mengabaikan law enforcement pada penataan ulang pemerintahan di Indonesia. Sehingga pada tujuan law enforcement terdapat:

  1. Birokrat – birokrat pemerintah dari pemerintahan, yang ditentukan oleh kualitas sumber daya apaturnya,
  2. Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan sistem pemerintahan yang harus diberlakukan,
  3. Kelembagaan yang dipergunakan oleh birokrat – birokrat pemerintahan untuk mengaktualisasikan kinerjanya,
  4. Kepemimpinan dalam birokrasi publik yang berakhlak, berwawasan (visionary), demokratis dan responsive terhadap revitalisasi penataan ulang pemerintahan Indonesia (reinventing government).

Pengertian Etika

Dalam banyak tulisan filosofis, jarang ditemukan penggunaan istilah “etika dan moral” secara konsisten. Etika berasal dari bahasa Yunani; ethos, yang artinya kebiasaan atau watak sedangkan moral berasal dari bahasa Latin; mos (jamak : mores) yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Secara epistemologis, pengertian etika dan moral memiliki kemiripan namun sejalan dengan perkembangan ilmu, ada beberapa pergeseran yang kemudian membedakannya.

Etika merujuk kepada dua hal. Pertama, etika berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari nilai – nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya. Kedua, etika merupakan pokok permasalahan dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Moral dalam pengertiannya yang umum menaruh penekanan kepada karakter dan sifat-sifat individu yang khusus, di luar ketaatan kepada peraturan. Oleh karena itu, moral merujuk kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa dan sebagainya, yang kesemuanya tidak terdapat dalam peraturan-peraturan hukum.

Prinsip Nilai Etika Aministrasi Negara

Etika menurut Bertens (1977) adalah seperangkat nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan Darwin (1999) mengartikan etika adalah prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh suatu kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku individu dalam berhubungan dengan individu lain dalam masyarakat.

Setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dan masing-masing  menginginkan kepentingannya itu terpenuhi. Namun, terpenuhinya suatu kepentingan biasanya menutut pemenuhan kepentingan yang lain sehingga kepuasan setiap orang mustahil bias tercapai. Guna menjaga keutuhan sistem dari adanya berbagai gejolak yang diakibatkan perselisihan kepentingan itu diperlukan pranata negara sebagai pihak yang berwenang mengatur, menyesuaikan atau menentukan prioritas bagi terpenuhinya kepentingan serta tujuan berbagai pihak. Sarana yang memadai untuk melaksanakan hal-hal ini biasa disebut birokrasi.

Dewasa ini masyarakat begitu peka dengan istilah birokrasi. Hampir semua lapisan masyarakat mengenal birokrasi. Namun, banyak hal yang tergambar di benak orang jika membicarakan birokrasi ialah urusan-urusan menjengkelkan yang berkenaan dengan pengisian formulir-formulir, proses perolehan izin yang melalui banyak kantor secara berantai, aturan-aturan ketat yang mengharuskan seseorang melewati banyak sekali formalitas, dan sebagainya. Akan tetapi birokrasi yang sesungguhnya, dimaksudkan sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan mengacu pada kedua pendapat ini, maka etika mempunyai fungsi sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi dinilai baik atau buruk, tidak tercela dan terpuji.

Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat dijadikan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksananakan tugas dan kewenangannya antara lain adalah

  1. Efisiensi, artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien
  2. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi
  3. Impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal, maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari urusan perasaan daripada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi sanksi dan yang berprestasi selayaknya mendapatkan penghargaan
  4. Merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen dan promosi pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), sikap (attitude), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience), sehingga menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan  tugas dan tanggung jawabnya dan bukan spoil system (adalah sebaliknya)
  5. Responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya
  6. Accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat obyektif sebab birokrasi dikatakan akuntable bilamana mereka dinilai obyektif oleh masyarakat karena dapat mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan, sikap dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal dan mereka dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang professional dan dapat memberikan kepuasan publik
  7. Responsiveness, artinya birokrasi publik memiliki daya tanggap terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat dengan cepat dipahami dan berusaha memenuhi, tidak suka menunda – nunda waktu atau memperpanjang alur pelayanan.

Akuntabilitas administrasi negara dalam pengertian yang luas melibatkan lembaga-lembaga publik (agencies) dan birokrat untuk mengendalikan bermacam-macam harapan yang berasal dari dalam dan adari luar organisasinya. Strategi untuk mengendalikan harapan-harapan dari akuntabilitas administrasi publik melibatkan dua faktor kritis, pertama yaitu bagaimana kemampuan mendefinisikan dan mengendalikan harapan-harapan yang diselenggarakan oleh manajemen pemerintahan. Kedua, derajat kontrol keseluruhan terhadap harapan-harapan yang telah didefinisikan para birokrat.

Korupsi: Salah Satu Bentuk Mal-administrasi

Banyak “mal-praktik” dalam tubuh birokrasi yang diungkap oleh masyarakat, baik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah tindakan yang menyimpang hukum serta penyelewengan law enforcement. Hal ini disebabkan karena etika admnistrasi negara dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dan upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia tidak sesuai dengan good governance.

Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan barang public, bias berupa uang dan jasa untuk kepentingan memperkaya ddiri dan bukan untuk kepentingan publik. Proses terjadinya dapat dibedakan dalam tiga bentuk yaitu graft, bribery dan nepotism.

Graft, merupakan korupsi yang bersifat internal, artinya korupsi yang dilakukan tanpa melibatkan pihak ketiga. Seperti menggunakan atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untuk kepentingan diri sendiri. Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya, bawahan tidak dapat meolak permintaan atasan.

Sementara bribery (penyogokan, penyuapan) merupkan tindakan korupsi yang melibatkan orang di luar dirinya (instansinya), biasa disebut dengan korupsi eksternal. Artinya korupsi tersebut tidak dapat terjadi jika tidak ada orang lain yang melakukan tindakan penyuapan atau penyogokan terhadap dirinya. Tindakan pemberian sesuatu (penyuapan, penyogokan) dimaksudkan agar dapat mempengaruhi objektifitas dalam membuat keputusan, atau keputusan yang dibuat akan menguntungkan si pemberi. Pemberian sesuatu dapat berupa materi, uang dan juga jasa.

Nepotism merupakan suatu tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pada pertimbangan objektif, rasional tetapi didasarkan atas pertimbangan “nepitis”, “kekerabatan”, seperti masih teman, keluarga, golongan, pejabat dan lain sebagainya. Pertimbangan pengambilan keputusan ini seringkali untuk kepentingan orang yang membuat keputusan. Mereka akan lebih aman dan nyaman jika orang yang berada di sekitarnya (anak buahnya) adalah orang-orang yang masih “nepotism” atau masih kerabat dekat. Jika mereka melakukan tindakan penyimbangan mereka akan aman dan dilindungi.

Korupsi di atas adalah korupsi yang dilihat dari proses terjadinya. Namun dilihat dari sifat korupsinya dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu korupsi individualis dan korupsi sistemik.

Korupsi individualis, merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu atau beberapa orang dalam suatu organisasi dan berkembang suatu mekanisme muncul, hilang dan jika ketahuan pelaku korupsi akan terkena hukuman, bias berupa dijauhi, dicela, disudukan dan bahkan diakhiri nasib karirnya.

Korupsi sistemik merupakan suatu korupsi ketika yang melakukan korupsi adalah sebagian besar (kebanyakan orang) dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang). Dikatakan sistemik, karena tindakan korupsi ini bias diterima sebagai sesuatu yang wajar/biasa (tidak menyimpang) oleh orang yang berada di sekitarnya. Jika ketahuan, maka di antara mereka yang terlibat saling melindungi, menutup-nutupi dan mendukung satu sama lain untuk menyelamatkan orang yang ketahuan tersebut. Hal ini disebabkan agar instansinya tidak tercemar, sehingga walaupun mereka tau  ada tindakan korupsi mereka lebih baik “diam”, daripada mereka dikucilkan atau dijadikan saksi dalam perkara tindakan korupsi tersebut.

Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Mal-Administrasi

Faktor internal

Faktor internal berupa kepribadian seseorang, berwujud suatu niat, kemauan dan dorongan yang tumbuh dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan mal-administrasi. Hal ini disebabkan lemahnya mental seseorang, dangkalnya agama dan keimanan sehingga memudahkan untuk melakukan sesuatu tindakan walaupun sesungguhnya tindakan tersebut tidak baik, tercela dan buruk baik menurut nilai-nilai sosial maupun menurut ajaran agama.

Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, bias berupa lemahnya peraturan, lemahnya lembaga kontrol, lingkungan kerja dan lain sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan tindakan korupsi.

Peraturan perundangan merupakan suatu tatanan nilai yang dibuat dan diikuti oleh para pegawai dalam menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya. Manakala peraturan memberi kelonggaran bagi pegawai untuk melakukan tindakan mal-administrasi, karena peraturannya tidak jelas, sanksi yang diberikan lemah, maka akan memberikan peluang (kesempatan) pegawai melakukan tindakan mal-administrasi tersebut. Misalnya, walaupun telah ada peraturan perundangan anti korupsi yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun peraturan perundangan tersebut tidak efektif untuk mencegah tindakan korupsi.

Etika Administrasi Birokrasi dalam praktik

Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan unsur yang penting dalam suatu negara. Oleh karena itu, maka tidak berlebihan apabila salah satu faktor penentu krisis nasional dan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan, terutama birokrasi, yang tidak mengindahkan prinsip–prinsip tata pemerintahan yang baik.

Konsep-konsep tentang nilai moral dan etika dalam administrasi pemerintahan dirumuskan untuk diterapkan dalam kehidupan kenegaraan dan lingkup administrasi yang sesungguhnya. Kemanfaatan konsepsi etika tersebut hanya akan terasa apabila benar-benar menjadi bagian dari dinamika administrasi modern. Dalam banyak hal, konsep dan teori filosofis mengenai moralitas dalam bidang administrasi negara berasal dari praktek administrasi sehari-hari.

  1. Asas – Asas Umum Birokrasi Pemerintahan yang Baik

Setiap negara memiliki konteks budaya yang berbeda-beda, kebutuhan masyarakat pada suatu waktu yang selalu berubah dan masalah yang dihadapi oleh setiap negara pun berbeda, sehingga merumuskan asas umum pemerintahan yangbaik dalam satu kata adalah upaya yang sulit. Dalam konteks negara Indonesia, sebagian besar rakyat Indonesia sepakat bahwa pada pemerintahan orde lama berhasil meletakkan dasar Nasionalisme bagi bangsa Indonesia tetapi gagal dalam merumuskan program–program pembangunan yang menyentuh rakyat.

Pada masa pemerintahan orde baru, pemerintahan orde baru, pemerintah memang telah berhasil melaksanakan pembangunan kemakmuran ekonomis dan stabilitas nasional melalui program-program yang pragmatis, namun orang mulai berpikir bahwa kemakmuran materi bukan satu-satunya tujuan yang harus dicapai. Tampaklah bahwa perkembangan situasi politik, sosial and budaya serta dinamika masyarakat turut mempengaruhi opini masyarakat tentang sistem administrasi pemerintahan yang ideal. Interpretasi dan pendapat individual mempengaruhi wujud pemerintahan yang didambakan oleh masyarakat, namun demikian landasan pemikiran yang disepakati oleh sebagian besar masyarakat dapat dipakai sebagai pedoman.

1. Prinsip Demokrasi

Pemerintahan dengan prinsip demokrasi pada dasarnya berasas pada kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, rakyat yang menentukan jalannya negara dan pemerintahan. Di dalam pemerintahan yang berasas kedaulatan rakyat, maka kepentingan rakyatlah yang diutamakan karena kepentingan rakyat menempati kedudukan yang paling tinggi. Dasar dari konsep demokrasi menyangkut penilaian tentang nilai manusia, martabat manusia dan kesamaan di hadapan hukum. Demokrasi mendambakan terciptanya suatu sistem kemasyarakatan dimana setiap warga negaranya mempunyai kedudukan yang sama dan adil. Oleh karena itu dalam pemerintahan dengan prinsip demokrasi, hendaknya setiap aktivitas birokrasi pemerintahan dalam mewujudkan kepentingan rakyat berjiwa demokrasi, dapat dipertanggungjawabkan dan efisien.

2. Keadilan Sosial dan Pemerataan

Keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan tercapai apabila tidak terjadi ketimpangan distribusi hasil-hasil pembangunan antar kelompok masyarakat yang kaya dan miskin serta antar daerah/wilayah geografis, antara perkotaan dan pedesaan. Oleh karena itu aparat birokrasi membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menyeimbangkan kebutuhan masyarakat miskin dan masyarakat pedesaan dengan kebutuhan masyarakat kaya dan masyarakat perkotaan.

3. Mengusahakan Kesejahteraan Umum

Suatu kekuasaan negara legitimate, apabila negara tersebut melalui kegiatan-kegiatannya dapat meningkatkan kesejahteraan umum bagi rakyatnya. Rakyat akan menerima dengan senang kewajiban-kewajiban dari negara yang dibebankan kepada rakyat, asalkan dengan kewajiban tersebut rakyat menjadi lebih sejahtera. Oleh karena itu, setiap aparat birokrasi pemerintah harus mempunyai komitmen yang tulus untuk memperhatikan kesejahteraan rakyat

4. Mewujudkan Negara Hukum

Mewujukan negara hukum adalah amanat dari konstitusi. Oleh karena itu, aparatur pemerintahan bersama dengan seluruh rakyat akan mewujudkan suatu pemerintahan yang dijalankan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi aparat pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

5. Dinamika dan Efisiensi

Dinamika dapat diartikan sebagai kemampuan adaptasi organisasi yang baik sehingga aparat pemerintah sanggup mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tepat dan responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang terus berkembang. Selain itu, ukuran kinerja bagi birokrasi pemerintahan adalah efisiensi. Efisiensi harus tetap mengutamakan kepuasan dan kelancaran layanan publik serta memperhitungkan pemakaian tenaga kerja, prosedur pelayanan dan biaya yang dikeluarkan.

B. Administrasi dan Nilai – Nilai Yudisial Norma Pengawasan

Pembuatan keputusan merupakan penopang utama kegiatan administrasi. Sebagian besar proses administrasi berupa serangkaian pemilihan alternatif tindakan atau pengambilan keputusan. Waktu yang tersedia untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan tersebut seringkali sangat sempit karena permasalahan yang ada membutuhkan penanganan segera. Sementara itu, pertimbangan efisiensi terkadang tidak memungkinkan bagi para pejabat pemerintah untuk berlama-lama memikirkan akibat dari suatu keputusan atau mencari landasan legalitas dari kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Oleh karena itu, pejabat pemerintah dituntut mampu menjawab persoalan-persoalan secara pragmatis.

Maka dalam menjalankan tugas-tugasnya, para pejabat pemerintah selalu berada di tengah-tengah kontradiksi antara pertimbangan pragmatis dan pertimbangan legalitas. Dia harus mampu menyeimbangkan antara preferensi pribadi, kemauan membuat undang-undang, serta peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga tempat pejabat pemerintah tersebut mengabdi.

Untuk membuat keputusan, haruslah dilaksanakan dengan hasil pertimbangan yang baik dan tidak merugikan kedua belah sisi, baik Pemerintah maupun masyarakat, karena hasil keputusan tidak jarang membawa keributan ataupun demo-demo dari kalangan masyarakat yang tidak terima dengan keputusan dari pemerintah tersebut. Sebagai contoh, kenaikan harga bahan bakar minyak atau ditariknya subsidi oleh pemerintah yang berdampak pada kenaikan harga barang di pasaran.

Pembuat keputusan merupakan penopang dalam administrasi. Pertimbangan lain untuk pengambilan keputusan pragmatis adalah kenyataan bahwa rumusan-rumusan legal yang ada seringkali tidak mampu menjawab situasi permasalahan yang tengah dihadapi. Ketika mengambil suatu kebijakan, para pejabat publik kadang kurang bisa melihat keseluruhan aspek yang terkait dalam suatu permasalahan publik.

Perkembangan sistem ketatanegaran di seluruh dunia selama setengah abad terakhir menunjukkan meluasnya pengakuan atas hak-hak rakyat. Pernyataan-pernyataan tentang hak asasi antara lain meliputi kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, hak hidup dan hak milik, serta hak atas perlindungan yang sama. Ada dua manfaat yang dapat ditarik dari keterlibatan lembaga-lembaga peradilan tersebut. Pertama, tentu saja adalah terlindunginya kepentingan-kepentingan rakyat, terutama pihak warga negara yang kedudukannya lemah. Kedua adalah manfaat yang diperoleh dari reformasi yang berkesinambungan atas tata kerja dalam institusi-institusi publik serta cara-cara dalam pengambilan kebijakan oleh aparat-aparatnya. Kemudian perkembangan signifikan adalah ekspansi tanggungjawab legal bagi administrator publik.

Untuk mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan administrasi negara secara judicial, pemerintah bersama-sama dengan Dewan perwakilan telah mengesahkan undang-undang PTUN. Untuk menciptakan sistem administrasi pemerintahan yang tertib, mencegah kebocoran uang negara, serta menjamin efektivitas dan efisiensi, lembaga-lembaga pemerintah harus memiliki pemeriksa yang berpotensi dan berkualitas tinggi. Dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan, aparat juga harus memiliki sikap batin tertentu. Diantara kualitas batin tersebut adalah sikap sanksi (suspicious mind), ingin tahu lebih banyak (inquisitive mind), logis dan analitis (logical and analytical mind) dan akurat (accurate).

Dari keseluruhan tolak ukur normatif yang dapat digunakan untuk menilai kinerja organisasi-organisasi publik, tampak bahwa “kebajikan” yang dapat diberikan oleh aparatur pemerintah hanya dapat terwujud jika mengacu kepada kepentingan umum secara obyektif atau netralitas birokrasi.

C. Kearifan dan Kebijakan

Perkembangan konstelasi politik dan ekonomi di Indonesia selama beberapa dasawarsa terakhir menampakkan tiga kecenderungan utama. Pertama, meningkatnya kemakmuran dengan semakin terpenuhinya kebuthan ekonomi. Kedua, meluasnya kekuasaan birokrasi pada setiap jenjang administrasi pemerintah. Dan yang ketiga, meningkatnya kekuasaan politis bagi para eksekutif dalam jajaran pemerintah. Meningkatnya kekuasaan politis para eksekutif berarti meningkat pula peranan birokrat dan administrator dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas.

Ketika seorang pejabat pemerintah mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, maka dituntut syarat kearifan karena akan semakin banyak terlibat dalam bidang manajerial daripada teknis. Semakin tinggi jabatan seseorang semakin banyak orang lain yang akan dipengaruhi oleh keputusan-keputusan pejabat tersebut, sehingga semakin beresiko ketidakpuasan di antara bawahan ataupun masyarakat.

Pejabat yang arif (Kumorotomo, 2007, hal. 327) adalah pejabat yang mampu menjaga supaya keputusan-keputusannya diterima oleh sebagian besar dengan landasan kebenaran yang hakiki. Tanggungjawab seorang pejabat pemerintahan dengan demikian bukan hanya pada organisasi yang dikelolanya atau kepada atasannya saja, akan tetapi kepada warga negara yang secara langsung ataupun tidak langsung terkena kebijakan yang diambilnya.

Kebenaran suara hati menuntut agar manusia tidak dipaksa untuk bertindak melawan suara hati. Hak untuk bertindak sesuai dengan suara hati akan menemukan batasan pada hak orang lain. Kebebasan suara hati tidak boleh sampai mengurangi atau mempengaruhi hak orang lain, atau bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang wajar (Magis-Suseno, 1999 hal 149). Keterbukaan aparatur pemerintah dan perlakuan yang adil atau fair sangat penting dalam wacana tugas layanan publik. Manusia yang bermoral, demikian juga administrasi publik menjadi etis hanya akan ada jika administrator itu memiliki kemauan untuk bersifat arif sehingga beretika (Sayuti, 2011, hal. 149), tanpa adanya takut akan hukuman atau harap akan ganjaran, tanpa taku celaan atau harap akan pujian, dan tanpa takut terkena sanksi atau memperoleh promosi.

Kearifan dalam pengambilan kebijakan mutlak diperlukan, mengingat dewasa ini terdapat kecenderungan meningkatnya peran pejabat publik atau administrator pemerintahan dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas. Disinilah arti pentingnya kearifan, yang merupakan landasan etis bagi aparatur pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemanjuan bangsa.

Konsep kearifan menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan penempatan atau mutasi sehingga akan meminimalisir timbulnya konflik yang berkepanjangan dan ketidaksepahaman, untuk bias menjalankan proses pemerintahan yang baik dalam masa transisi dari setralistik ke desentralisasi tidak semua kemauan Pejabat Publik langsung diterapkan tetapi perlu ada perenungan dan pertimbangan kearifan sehingga pemerintahan akan berjalan dengan baik.

Dalam membuat kebijakan, seorang pejabat dapat menggunakan interpretasinya terhadap gagasan tertentu, individu atau kelompok secara positif maupun negatif. Untuk menerapkan gagasan secara benar, mengelola sumber daya negara dengan tanggungjawab, menetukan alternatif keputusan secara objektif dan menerapkan prosedur dengan baik, seorang pejabat harus memiliki kualitas pribadi yang prima. Bailey menguraikan tiga kualitas yang diperlukan bagi seorang pembuat kebijakan yaitu sebagai berikut :

1. Optimisme

Sifat ini tidak ditafsirkan sebagai kesenangan untuk menganggap mudah semua masalah, tetapi suatu kecenderungan untuk berasumsi tentang kemungkinan untuk mendapatkan hasil-hasil yang positif, yakin bahwa peluang untuk memecahkan persoalan selalu ada.

2. Keberanian (courage)

Sifat ini memerlukan kekuatan pribadi dan komitmen yang benar. Pembuat kebijakan harus berani menolak tekanan-tekanan yang tidak sah dari para politisi, pengaruh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat atau intimidasi dari para pakar dan orang-orang yang mengandalkan favoritisme.

3. Keadilan yang berwatak  kemurahan hati

Sifat ini menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok sasaran dengan perlakuan yang baku, yang sama serta suatu kepekaan atas perbedaan individual. Oleh karena itu kearifan seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk menjadi perumus kebijakan yang baik. Kepekaan dan empati sangat diperlukan karena walau bagaimanapun pejabat publik melayani manusia yang tentunya punya martabat, harga diri dan perasaan. Dalam melayani masyarakat umum yang selalu perlu diperhatikan adalah ketentuan mengenai keadilan prosedural.

D. Kode Etik sebagai pedoman dalam Pelaksanaan Administrasi Negara

Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dari kode etik bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat dan nilai-nilai filosofis. Kode etik juga merupakan hasil kesepakatan dan konvensi suatu kelompok sosial. Kode etik adalah persetujuan bersama yang timbul dari para anggota untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas pada kaum profesi karena sesungguhnya setiap pekerjaan dan setiap jenjang keputusan mengandung konsekuensi moral.

Manfaat lain dari perumusan kode etik adalah para aparat pemerintah akan memiliki kesadaran moral atas kedudukan yang diperolehnya adri negara atas nama rakyat. Pejabat yang menaati norma-norma dalam kode etik akan menempatkan kewajibannya sebagai aparat pemerintah (incumbency obligation) di atas kepentingan-kepentingan akan karir dan kedudukan. Pejabat tersebut akan melihat kedudukan sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Oleh karena itu kode etik mengandaikan bahwa para pejabat publik dapat berperilaku sebagai pendukung nilai-nilai moral dan sekaligus pelaksana dari nilai-nilai tersebut dalam tindakan-tindakan nyata. Dalam kaitan ini, Fredericson dan Hart mengatakan :

…………………… public servant must be both moral philophers and moral active, which would require: first, an understanding of, and believe in regime and second, a sense of extensive benevolence for the people of the nation.

Sebagai aparat negara, para pejabat wajib menaati prosedur, tata kerja, dan peraturan-peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi pemerintah. Sebagai pelaksana kepentingan umum, para pejabat wajib mengutamakan aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat tertentu. Dan sebagai manusia yang bermoral, pejabat harus memperhatikan nilai-nilai etis di dalam berindak dan berperilaku. Seorang pejabat pemerintahan harus memiliki kewaspadaan spiritual dan kewaspadaan profesional. Kewaspadaa spiritual  merujuk pada penerapan nilai-nilai kearifan, kejujuran, keuletan, sikap sederhana dan hemat, tanggungjawab serta akhlak dan perilaku yang baik. Kewaspadaan profesional berarti menaati kaidah-kaidah teknis dan peraturan-peraturan sehubungan dengan kedudukannya sebagai seorang pembuat keputusan.

Rumusan eksplisit kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau pejabat pemerintah, ada bebarapa sumber yang dapat dijadikan acuan. Salah satunya adalah ketentuan mengenai Sapta Prasetya KORPRI, keputusan musyawarah KORPRI yang ketiga, No. Kep-05/MUNAS/1989 tanggal 1 Juni 1989 tentang penyempurnaan kode etik Korps Pegawai Republik Indonesia bahkan dengan tegas mengatakan bahwa Sapta Prasetya. Kode etik ini pertama kali dilontarkan pada musyawarah Nasional KORPRI, Sapta Prasetya dimaksudkan sebagai landasan dasar kode etik (pasal 4 Keputusan Munas 1 KORPRI No. 3/MUNAS/1978). Inilah kode etik yang diberlakukan bagi para pegawai. Seorang pegawai atau pejabat akan mengucapkan atau bahkan menghafal Sapta Prasetya maupun sumpah jabatan dengan mudah. Namun, perenungan, penghayatan serta pengamalan dari apa yang diucapkan jauh lebih penting.

Untuk menerapkan kaidah-kaidah etis tersebut, para pegawai perlu merujuk kepada peraturan-peraturan kepegawaian yang lebih operational, salah satu peraturan pemerintah yang memuat adalah Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Di samping peraturan dan ketentuan di atas, unsur-unsur etis yang langsung menyangkut pekerjaan sehari-hari seorang pegawai dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil.

Kode etik merumuskan nilai-nilai etis luhur dalam tugas-tugas administrasi negara. Kode etik merupakan pedoman dalam bertindak. Mengenai pelaksanaannya dalam perilaku nyata, tergantung niat baik dan sentuhan moral yang ada dalam diri pegawai atau pejabat sendiri. Kode etik dirumuskan untuk penyempurnaan pekerjaan, mencegah hal-hal yang buruk dan untuk kepentingan bersama, maka setiap pegawai dan pejabat diharapkan menaatinya dengan kesadaran yang tulus.

Paham idealisme etika mengatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah baik dan suka hal-hal yang baik. Apabila ada orang-orang yang menyimpang dari kebaikan, itu semata-mata karena tidak tahu norma untuk bertindak dengan baik atau tidak tahu cara-cara bertindak yang menuju ke arah kebaikan. Yang diperlukan adalah suatu peringatan dan sentuhan nurani yang terus-menerus untuk menggugah kesadaran moral dan melestarikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dan interaksi antar individu.

Pemerintah pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitas demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998 : 139). Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran dari paradigma “rule government” menjadi “good government”, dimana dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik melibatkan seluruh elemen, baik di dalam intern birokrasi maupun di luar birokrasi publik.

Unsur utama penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang baik adalah penting adanya akuntabilitas (accountability), transparansi (transparancy), keterbukaan (oppeness), dan law enforcement (penegakan hukum) “Bhata dalam nisjar (1997;119), sehingga melalui unsur-unsur tersebut dapat menciptakan sistem administrasi negara di Indonesia yang efisien, efektf dan sekaligus bertanggungjawab.